"Kamu kenapa selalu menunggu ibu sampai selesai makan baru pulang, Rik?" tanya Rudy, membuang prasangka pada ibu dari anak semata wayangnya.Sosok berkaos hijau army yang belum dipersilahkan duduk itu terkesiap. Benar memang, dia diutus untuk memastikan asupan bergizi untuk Bu Astuti. Namun, mendengar pertanyaan Rudy, ada rasa sungkan juga, sebab sebelum ini Rudy tidak banyak berkomentar.Ingatannya kembali pada hari itu, hari di mana Nadira minta tolong padanya. Permintaan yang membuat ia keheranan, sebab menurutnya, tinggal bersama anak dan menantu serta cucu, habis jual sawah pula, kenapa untuk makanan Bu Astuti sampai harus dipastikan memakan sampai habis. Tak urung ia setuju juga, sebab mendapat tambahan pelanggan. Usahanya di bidang catering itu pun awalnya juga belajar dari Nadira. Ada semacam hutang budi yang tersemat dalam benak Erik beserta istri, sebab perantara Nadira lah, Erik bertemu dengan jodoh, meski tak disengaja.Ada masa
Malam telah semakin naik ketika Damar menginjakkan kaki di kediaman orang tuanya. Raut terkejut ditunjukkan Bu Siska saat menyambut kepulangan Damar yang tiba-tiba dan juga … seorang diri."Damar, kamu sendirian?" tanya sang ibu, masih celingukan mencari keberadaan menantu dan cucunya. Hanya ada kendaraan roda empat dengan bak terbuka di halaman rumah. Kendaraan yang diyakini membawa Damar sampai ke tempat ini."Iya, Bu," jawab Damar singkat. Lelaki itu meminta tangan ibunya, menciumnya sebentar, lantas memberi pelukan singkat pada cinta pertamanya. "Habis ngantar barang, nggak mungkin bawa mereka," sambungnya yang mendapat anggukan."Ibu sehat?" tanya Damar, melerai pelukan. "Kok kurusan, sih, Bu? Matanya juga ada hitam-hitamnya ini," ucap Damar, menelisik wajah sang ibu. Bu Siska menarik kedua sudut bibirnya, hingga membentuk lengkungan senyum, lantas berkata, "Alhamdulillah sehat. Ya, beberapa hari ini agak susah tidur, jadi begini, ada kanton
Untuk beberapa saat lamanya, ia mengabaikan kesepakatan dengan Nadira serta Fajar tempo hari. Ia memang tidak mau mengganggu kehidupan mantan calon istrinya, hanya saja, memuja dalam diam dirasa tidak salah, selama tidak bersinggungan secara langsung. Setidaknya itu menurut versinya.Suara ponsel di atas nakas memporak-porandakan ingatan dan rencananya pada wanita dari masa lalunya. Nama Lila tertera di sana. Teringat sebab perginya sebelum sampai di tempat ini, membuat lelaki yang tengah berbaring setengah duduk itu enggan menerima panggilan telepon maupun memeriksa pesan masuk. Termasuk kali ini.Dering telepon itu terhenti begitu saja, lantas terulang kembali panggilan dari nomor yang sama. Pada panggilan ketiga, barulah diterima, meski dengan rasa malas. Ia hanya tak mau terganggu dengan getar yang ditimbulkan benda canggih yang tak lagi menjadi barang mewah lagi bagi kebanyakan orang."Hallo, assalamu'alaikum," sapa Damar begitu sambungan telepon ter
Gerimis tipis menemani Damar yang terpekur di depan sebuah makam. Harum dari kelopak mawar yang baru saja ditaburkan, menyapa indera penciuman lelaki berkaos hitam yang kini berwajah mendung. Hatinya kembali gerimis setiap kali berada di tempat tersebut. Tangan kanannya mengusap-usap batu nisan bernama adiknya yang telah berpulang lebih dulu.Titik-titik air yang turun membasahi bumi dan juga punggung ia abaikan. Rasa ngilu di kaki yang pernah patah pun tak ia pedulikan. Rasa rindunya telah tak terbendung, maka ke sanalah ia membawa langkah setelah menyantap sarapan spesial buatan sang ibu. Mengunjungi makam adiknya dan membaca doa di sana menjadi agenda wajib setiap kali ia pulang ke rumah orang tuanya. Sekian tahun berjalan, rasa bersalah masih terus menghantui pikirannya. "Jika bukan karena keteledoranku, mungkin kamu masih ada di tengah-tengah kami, Dek." Damar bergumam dengan mata yang merebak."Maafkan Mas ... . Maafkan Mas ... ."
Di tempat lain, Lila dibuat kepayahan menenangkan Sahara yang terus rewel sejak bangun tidur dan tak menemukan sang ayah. Meski telah bertemu wajah melalui video call, rupanya belum cukup mengobati rindu. Sudah dibujuk dengan bermacam mainan masih menangis juga, membuat Lila mendengkus kesal.Meraih ponsel, menghubungi sang suami yang kini terpisah jarak ratusan kilometer. Sambungan telepon itu terhubung, membuat Damar yang tengah fokus dengan arus lalu lintas serta kendaraan roda empat yang membawa trio ghibah, melirik ponsel yang ia letakkan di atas dashboard. Melihat nama Lila terpampang di layar, lelaki yang tengah resah itu memilih mengabaikan. Ponsel kembali berdering, bersamaan dengan lampu merah yang menyala, membuat kendaraan yang ia kendarai harus berhenti, sementara Xpander hitam di depan sana melaju tanpa hambatan. Beberapa kata umpatan meluncur begitu saja, sosok yang tengah kesal itu memilih menerima telepon."Ya, hallo. Assalamu'a
Esok adalah hari yang ditunggu oleh Rudy. Gips yang melekat di kakinya akan dilepas, jika hasil pemeriksaan bagus. Melihat apa yang ia konsumsi serta patuh pada aturan dokter, besar harapan lelaki itu ia akan bebas seperti sedia kala. Rasa jenuh sudah semakin memupuk di benaknya. Pergerakan yang hanya berada di sekitar rumah, tak jarang membuat anak sulung Bu Astuti itu uring-uringan tak jelas. Kadang sang ibu menjadi sasaran jika ada sesuatu yang salah dikerjakan pada anak semata wayangnya. Demikian pula dengan Zahra, yang belakangan ini semakin sering keluar rumah dan pulang saat malam telah datang.Seperti saat ini, sudah hampir jam sepuluh malam, wanita yang telah memberikan seorang putra yang diberi nama Rayyan Maulana itu tak kunjung memberikan tanda akan pulang. Beberapa kali menghubungi, hanya suara operator yang menjawab teleponnya.Rudy pikir, acara arisan di rumah ibu mertuanya sudah selesai sejak sore tadi. Nyatanya hingga semalam ini, Zahra masih belum pulang juga, pun ta
Suasana tegang masih melingkupi rumah yang dihuni tiga orang dewasa dan satu batita. Sejak perdebatan semalam, Zahra masih enggan mengajak bicara suaminya. Semua hal yang menjadi rutinitas ketika berada di rumah, dilakukan dalam diam. Suaranya akan terdengar riang kala menghadapi sang anak. Berbeda ketika bertemu Rudy, maka berubah masamlah wajahnya.Kemunculan Erik membuat Zahra semakin keki. Terlebih melihat keakraban sang anak pada tamu yang tak pernah dia undang. Tanpa sungkan, Rayyan meminta gendong dan juga es krim. Zahra mendelik marah, melihat Erik tanpa ragu membawa anaknya. Gegas ia mengejar, sebab tak rela anak kesayangannya menyantap es krim sepagi ini."Kamu mau bikin anakku sakit?!" gertak Zahra, mengambil alih Rayyan secara paksa. Erik terkekeh pelan."Tentu saja tidak." Erik berlalu begitu saja, kembali ke rumah Bu Astuti, meninggalkan Zahra yang mematung di halaman dengan wajah memendam marah. Wanita itu memilih pergi ke rumah salah satu tetangga. Rasa malas bertemu E
LILAAku mungkin salah menjalin hubungan dengan lelaki lain padahal statusku adalah seorang istri, dan juga … ibu.Namun, rasa cinta yang masih menggebu padanya yang menjadi cinta pertama, meski telah menghilang bertahun lamanya, tak bisa aku ingkari. Dan lagi, bagaimana aku bisa melepaskan dirinya sedangkan ia yang menjadi ayah dari anak perempuanku. Ya, anak yang kubesarkan bersama lelaki yang resmi menjadi suamiku itu memanglah anaknya, Rendi. Dialah yang menanamkan benih di rahimku, akibat kegilaan kami dalam berpacaran. Dulu.Saat aku sadar ada benih yang tumbuh di dalam rahimku, saat itu pula aku tak bisa menemukan keberadaannya. Dia … hilang tanpa jejak. Aku sempat putus asa saat tak kunjung menemukan dia. Mengadu pada keluarganya pun percuma. Hanya caci maki yang kudapat. Aku tak bisa mengelak dari keadaan, yang lambat laun akan diketahui banyak orang. Perutku akan terus membesar, menunjukkan pada dunia
"Aduh, nyumbang kok, terus!"Zahra meletakkan tas yang tadi dibawa ke rumah tetangga yang punya hajat menikahkan anaknya. Melepaskan kerudung, menyalakan kipas angin, Zahra merebahkan badan sambil memejamkan mata."Besok masih ada Aji, khitanan dia, sama Bulek Rumi nikahkan anaknya. Beras kayaknya tinggal sedikit, ya, Mas?" tanya Zahra yang kembali membuka mata.Rudy menatap karung beras yang isinya tinggal satu takaran untuk memasak nasi. Lelaki itu menghela napas lelah. Belum satu Minggu beras seberat dua puluh lima kilo itu dibeli untuk konsumsi sendiri. Namun, banyaknya hajatan di desa tersebut, membuat stok beras yang cukup untuk satu bulan itu hanya bertahan beberapa hari.Melihat toko sembako yang dirintis sejak lima tahun yang lalu, hati lelaki itu kian nelangsa. Tidak ada perkembangan berarti pada toko tersebut. Pembeli memang ada, tapi pengeluaran tidak sebanding dengan besarnya pemasukan.Lelaki itu tidak habis mengerti, ke man
Lila tidak pernah menyangka bahwa keputusan orang tuanya adalah mutlak. Nama orang tua yang tercoreng akibat perbuatannya yang viral di sosial media, membuat semua fasilitas dicabut paksa.Wanita itu mulai kelimpungan sebab tak biasa hidup sederhana. Jatah uang jajan yang berkurang drastis, tak mampu menyokong gaya hidupnya. Beberapa barang mewah yang pernah didapat dari Rendi berusaha dia jual. Namun, lagi-lagi kecewa harus dirasakan. Perhiasan bertabur berlian, tas mewah, sepatu bermerk, semua adalah barang KW. Otomatis tidak bisa dijual dengan harga tinggi.Kata makian kembali terlontar berulang kali. Namun, hal itu tidak bisa mengubah apa pun. Terlebih ketika dia akhirnya menemui Rendi, lelaki itu justru mengatakan kalau Lila bisa mendapatkan semua barang branded yang dipilih dari outlet resmi sesukanya, yakni dengan menukar Sahara untuk dirawat dan dibesarkan bersama kekasihnya di luar negeri."Masa depan anak itu akan terjamin. Kamu bebas menjadi wan
"Mohon maaf, Mbak. Apa ada kartu yang lain? Kartu ini tidak dapat digunakan," ucap petugas kasir membuat Lila melotot."Masa nggak bisa, sih? Saldonya masih banyak, loh?" jawab Lila mulai gusar. Diberikan sebuah kartu lain, hasilnya sama saja."Atau bisa dibayar dengan uang cash saja," pinta petugas kasih dengan sopan. Meskipun demikian, perempuan muda itu merasa tak enak hati saat melihat antrian yang masih mengular."Saya nggak bawa uang cash, Mbak," jawab Lila mulai kesal. "Sebentar saya telpon dulu, ya," ijinnya yang diiyakan oleh wanita dengan name tag Almira."Biar saya yang bayar."Sebuah suara yang dirasa tak asing, membuat Lila mengurungkan niat menelpon orang tuanya. Kedua matanya melotot melihat lelaki yang tempo hari mengaku istri kekasihnya.."Gue nggak butuh dikasihani!" seru Lila dengan ketus, saat Audrey memaksa membayar dan membawa belanjaannya. "Kau akan menyusahkan kasir kalau sampai batal membeli. Dia harus bayar itu semua yang sudah discan. Iya kalau dia punya du
Beberapa saat sebelumnya ...."Kamu apa nggak kangen anakmu, Nang?" tanya Bu Astuti pada Rudy yang duduk di teras ditemani rokok dan segelas kopi pahit."Kangen, Bu," jawab Rudy tanpa menoleh pada sang ibu. Asap kembali ia kepulkan ke udara.Bu Astuti menatap anaknya dengan pandangan iba. Semenjak tinggal berdua dengan ibunya saja, Rudy lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah. Toko sembako yang baru dirintis itu, hanya dibuka saat malam, tepatnya lewat Magrib hingga kantuk datang. Tidak menentu.Seperti sekarang, Rudy istirahat dari lelahnya beraktivitas di sawah sambil menunggu pembeli. Bu Astuti ikut duduk di samping anaknya yang terlihat lelah. "Kenapa, Bu? Ibu mau ketemu cucu ibu?" tanya Rudy kemudian. Bu Astuti ingin mengangguk, tapi, kepalanya justru menggeleng. Rasa rindu itu sudah demikian besar. Pun ingin tahu bagaimana kabar sang cucu pasca cedera tulang ekor hari itu. Hanya saja, melihat Rudy yang nyaris tak pernah membahas istri dan anaknya, membuat wanita paruh bay
Zahra terus menyalahkan Nadira atas sakit yang diderita anaknya. Jatuh dengan posisi terduduk itu rupanya membuat cedera pada tulang ekor Rayyan. Meskipun tidak sampai patah seperti yang dikhawatirkan sebelumnya, tetap saja membatasi kegiatan Rayyan, hingga bocah itu kerap rewel jika merasa bosan, sebab tidak bisa bebas beraktivitas seperti sediakala.Kedua orang tua Zahra ikut menyalahkan Nadira atas kejadian yang membuat cucunya cedera. Menurut mereka, kejadian itu tidak pernah terjadi sebelumnya, baik di rumah orang tua Rudy, maupun di rumah mereka saat Rayyan berkunjung.Sebagai cucu pertama dan kesayangan, nyaris semua perhatian tertumpah ruah pada anak itu. Nadira tidak heran sebab sudah berulang kali terjadi, jika ada sesuatu yang terjadi pada Rayyan, maka orang lain lah yang akan dikambinghitamkan, sementara Rayyan tersenyum penuh kemenangan.Tidak tahan lagi dengan makian yang didapat dari keluarga kakak iparnya, maka Nadira sepakat dengan Fajar untuk menunjukkan bukti rekama
Di tempat lain ….Damar memandangi layar ponselnya dengan jengah. Rentetan pesan dan panggilan dari Lila sengaja ia abaikan. Dari sekilas pesan yang terbaca saat muncul di pop up, ia tahu kalau Lila kalang kabut sebab kepergiannya dengan Sahara. Tentu saja Damar mengerti kegelisahan wanita yang telah empat tahun terakhir membersamai hidupnya.Lila pernah bercerita, bahwa hibah harta dari Pak Wirya dan Bu Marta kemungkinan besar akan ditunda, atau justru dibatalkan, jika sampai terjadi hal buruk dalam pernikahannya. Damar tidak peduli sama sekali. Baginya, jika itu berkaitan dengan harta orang tua Lila, dia tidak mau ikut campur. Toh, selama ini dia juga terus menerus disebut tidak berguna sebagai seorang suami, meski telah berusaha maksimal untuk mengelola lahan yang menghasilkan puluhan kwintal bawang merah.Sempat terlintas keinginan untuk menggugat Lila dengan tuduhan penipuan pernikahan. Namun, dirasa hanya buang waktu dan tenaga, i
"Itu bukannya si Rendi ya, Lil?"Mendengar nama kekasihnya disebut, Lila menghentikan mengunyah permen karet. Mengikuti arah telunjuk Marsha, tatapannya terhenti pada sosok lelaki yang tengah bergandengan tangan sambil tertawa-tawa bersama seorang lelaki berpakaian casual."Itu memang dia," gumam Lila tak yakin.Tatapannya masih menyorot dua pria yang memasuki kafe di sayap kiri, bersebelahan dari tempat Lila berada. Meski terhalang beberapa meja, Lila dan Marsha masih dapat melihat dan memperhatikan dengan jelas.Kedua lelaki itu duduk bersebelahan, nyaris tak berjarak. Mereka terus berbincang dengan seru diiringi tawa. Sesekali saling tatap penuh arti. Sampai kemudian datang pramusaji membawa buku menu, keduanya tidak mengubah posisi."Lila!" seru Marsha, menepuk-nepuk punggung tangan sahabatnya, sementara pandangan matanya masih menyorot lelaki yang ia kenal sebagai kekasih perempuan yang duduk di depannya."Apaan?" tanya Lila, menolehkan kepala, menemukan wajah sahabatnya yang terl
"Mama! Sakit, Maa … !"Tangis Rayyan melengking di langit-langit ruang tamu Nadira. Wajah Zahra pucat pasi. Tubuhnya membeku di tempat. Sementara Nadira kepayahan hendak jongkok sebab terhalang oleh perut besarnya.Nadira berniat menolong keponakannya yang terus menjerit kesakitan. Tangannya baru saja terulur ketika akhirnya ia berhasil melipat kedua kaki, menumpukan kedua lutut di lantai. Namun, sebuah suara menghentikan gerakannya."Jangan sentuh anakku!"Zahra.Wanita itu bergegas menghampiri anaknya, memeriksa beberapa bagian tubuh kecil anaknya dengan perasaan was-was. Sementara Nadira, langsung beringsut mundur, tidak mengerti kenapa kakak iparnya bersuara sekeras itu, melarang menyentuh Rayyan. 'Kenapa? Bukankah hal wajar jika aku ingin melihat kondisi keponakanku yang jatuh?' Nadira bermonolog dalam diam."Kamu sengaja, ya, mau celakain anakku?!" sentak Zahra, menatap sengit pada adik iparnya dengan napas memburu. Nadira semakin tidak mengerti, kenapa mendapat tuduhan seperti
Nadira duduk termenung di depan kolam kecil berisi ikan koi yang berebut makanan. Bibir tipisnya sesekali melengkungkan senyum melihat gerakan mereka yang dirasa lucu. Berada di rumah seorang diri, membuat ia lebih suka menghabiskan waktu di tempat ini, menikmati gemericik air dan kecipak ikan yang sesekali melompat naik.Suara ponsel di atas meja, membuat ia bergegas meraih benda canggih itu. Melihat nama Rudy tertera di sana, membuat Nadira menarik kedua sudut bibirnya."Assalamu'alaikum, Ra, kamu di rumah, kan?" sapa Rudy begitu sambungan telepon terhubung."Wa'alaikumsalam. Iya, Mas. Aku di rumah. Gimana? Ibu nggak kenapa-kenapa, kan?" "Enggak, kok. Ini ada syukuran kecil-kecilan. Mau bagi ke kamu juga. Masa tetangga dikasih malah kamu enggak. Ini lagi istirahat dulu. Paling sepuluh menitan lagi sampai.""Lah, udah deket ternyata. Ya udah, hati-hati ya, Mas.""Oke, sampai ketemu," pamit Rudy, lantas mengakhiri panggilan.Melihat Rudy yang sedang berbicara di telepon, Zahra memand