Zahra tidak pernah berpikir bahwa liburan keluarga yang ia rencanakan bisa berubah menjadi mimpi buruk. Senyum yang sepanjang hari ini menghiasi wajah, kini memudar bahkan berganti dengan tangisan.Rayyan yang masih berada dalam gendongannya terus menangis. Anak itu terkejut mendengar suara sang ibu yang terus berteriak minta tolong, sementara jalanan tetap lengang.Suara tangis Rayyan, beradu dengan raungan Zahra. Tangan kanan wanita itu meraba leher yang masih perih. Wajahnya keruh melihat pergelangan tangan yang kini kosong. "Zahra! Berhenti menangis!" sentak Rudy membuat Zahra menoleh. Tangisnya terhenti sesaat. Demikian juga dengan Rayyan."Kamu ngagetin aja, sih, Mas!" ucap Zahra dengan wajah memberengut. "Bantuin ini. Berat, tau!" perintah Rudy, mengulurkan tangan, meminta istrinya supaya mendekat.Wanita itu terpana. Setengah badan Rudy memang tertindih badan motor. Dia sendiri terlempar meski hanya berjarak satu meter.
Sampai di rumah sakit, dua orang perawat menyongsong kedatangan mereka dengan membawa sebuah kursi roda. Rudy segera dibawa ke ruangan IGD untuk dilakukan pemeriksaan.Ada sedikit retak di tulang kering yang membuat kaki Rudy dibalut gips. Meski cedera itu tidak terlalu parah, tapi, tetap saja akan menghambat kegiatan Rudy nantinya.Rudy baru dipindahkan ke ruang rawat saat Fajar datang menjenguk. Zahra sedikit terkejut melihat adik iparnya datang seorang diri. Ia juga merasa heran, bagaimana pria itu bisa datang ke sana, padahal dia belum memberi kabar siapa pun mengenai kejadian yang membawanya berada di rumah sakit. Dokter berpesan supaya Rudy tinggal di rumah sakit selama beberapa hari. Semua demi proses penyembuhan kakinya. Akan tetapi, Zahra menolak dengan keras. Pria yang mengenakan jas putih itu pun pamit, memberi kesempatan kepada pasien dan keluarganya untuk berembug terlebih dahulu."Aku nggak suka bau rumah sakit, Mas! Apalagi ada Ray
Di kediaman Nadira ….Jarum jam sudah menunjuk angka sebelas malam. Kondisi rumah sudah sepi, beberapa lampu utama juga sudah padam sejak tadi. Ibu sudah berada di kamarnya sejak dua jam lalu. Namun, Nadira masih terjaga. Sendirian dia duduk dengan tangan memainkan jarum dan benang. Meski terlihat duduk dengan tenang, berbeda dengan benaknya yang dipenuhi banyak hal. Kabar tentang kakak sulungnya yang kini terbaring di rumah sakit, ialah satu dari beberapa hal yang mengganggu pikirannya.Hal lain yang mengusik pikirannya, ialah mengenai sang ibu, yang beberapa hari ini mulai banyak melamun. Meski terlihat bahagia dengan kesibukan di kebun, memberi makanan untuk ternak dan menyiangi rumput seperti saat di rumah, tapi, beberapa kali terlontar nama Rayyan dari lisannya, menunjukkan kalau wanita bercucu satu itu tengah memendam rindu. Nadira dan Fajar sudah berencana mengantar untuk berkunjung esok hari. Namun, kabar kecelakaan Rudy yang justru sampai di telinganya.Bibir tipisnya seseka
Rumah dalam kondisi sepi ketika Bu Astuti menginjakkan kaki di halaman rumah. Nadira yang mulai sering kepayahan seiring perutnya yang bertambah besar, meraih tangan sang ibu, membawa beliau menaiki teras dan mencari kunci. Sementara Rudy berada di atas kursi roda yang didorong Fajar."Kayak orang sakit beneran kalau seperti ini," seloroh Rudy yang sempat menolak menggunakan kursi tersebut. Namun, atas bujukan adik dan adik iparnya, terpaksa ia mematuhi."Ya emang lagi sakit kamu, Mas," sahut Nadira, membuka pintu lebar-lebar, mempersilakan kakak dan suaminya masuk. Bu Astuti memilih duduk di kursi teras."Jangan pecicilan habis ini. Diem di atas kasur sampai sembuh." Mata Rudy melebar mendengar ucapan adiknya dengan wajah serius."Iya-iya," jawab Rudy tak mau memperpanjang ceramah adiknya.Fajar membantu kakak iparnya naik ke atas ranjang yang ada di ruang tengah. Nadira mengambil minuman dingin, ingin segera diminum yang segera dicegah Fajar."Nggak boleh," ucap lelaki berhidung manc
Beberapa Minggu berlalu, Rudy mulai bosan berada di rumah tanpa kegiatan berarti. Baginya, harga diri lelaki ialah bekerja, sedangkan itu tak lagi bisa dilakukan sebab gips di kaki yang masih menjerat, seakan meminta supaya ia duduk diam di rumah selama dua puluh empat jam.Dengan kondisi yang serba terbatas, Rudy bisa melihat nyaris semua yang dilakukan oleh penghuni rumah, termasuk sang istri tentunya. Wanita yang saat ini menyediakan segelas susu untuknya."Diminum, Mas," ujar Zahra, mengulurkan gelas belimbing berisi cairan putih yang masih mengepulkan asap tipis.Rudy menatap pemberian istrinya dengan jengah. Susu, bukan minuman yang ia minati. Mencium aromanya saja membuat perutnya mual. Kopi dan teh pahit lah yang sering ia minum belakangan ini. Ya, minuman pahit, tanpa gula sedikit pun, sebab dirasa badannya lebih enteng setelah mengurangi gula dalam minumannya."Apa rasanya, sih, Mas, masa nggak pakai gula," tegur Zahra suatu ketika, yang dijawab dengan senyuman."Ya rasa teh,
"Kamu kenapa selalu menunggu ibu sampai selesai makan baru pulang, Rik?" tanya Rudy, membuang prasangka pada ibu dari anak semata wayangnya.Sosok berkaos hijau army yang belum dipersilahkan duduk itu terkesiap. Benar memang, dia diutus untuk memastikan asupan bergizi untuk Bu Astuti. Namun, mendengar pertanyaan Rudy, ada rasa sungkan juga, sebab sebelum ini Rudy tidak banyak berkomentar.Ingatannya kembali pada hari itu, hari di mana Nadira minta tolong padanya. Permintaan yang membuat ia keheranan, sebab menurutnya, tinggal bersama anak dan menantu serta cucu, habis jual sawah pula, kenapa untuk makanan Bu Astuti sampai harus dipastikan memakan sampai habis. Tak urung ia setuju juga, sebab mendapat tambahan pelanggan. Usahanya di bidang catering itu pun awalnya juga belajar dari Nadira. Ada semacam hutang budi yang tersemat dalam benak Erik beserta istri, sebab perantara Nadira lah, Erik bertemu dengan jodoh, meski tak disengaja.Ada masa
Malam telah semakin naik ketika Damar menginjakkan kaki di kediaman orang tuanya. Raut terkejut ditunjukkan Bu Siska saat menyambut kepulangan Damar yang tiba-tiba dan juga … seorang diri."Damar, kamu sendirian?" tanya sang ibu, masih celingukan mencari keberadaan menantu dan cucunya. Hanya ada kendaraan roda empat dengan bak terbuka di halaman rumah. Kendaraan yang diyakini membawa Damar sampai ke tempat ini."Iya, Bu," jawab Damar singkat. Lelaki itu meminta tangan ibunya, menciumnya sebentar, lantas memberi pelukan singkat pada cinta pertamanya. "Habis ngantar barang, nggak mungkin bawa mereka," sambungnya yang mendapat anggukan."Ibu sehat?" tanya Damar, melerai pelukan. "Kok kurusan, sih, Bu? Matanya juga ada hitam-hitamnya ini," ucap Damar, menelisik wajah sang ibu. Bu Siska menarik kedua sudut bibirnya, hingga membentuk lengkungan senyum, lantas berkata, "Alhamdulillah sehat. Ya, beberapa hari ini agak susah tidur, jadi begini, ada kanton
Untuk beberapa saat lamanya, ia mengabaikan kesepakatan dengan Nadira serta Fajar tempo hari. Ia memang tidak mau mengganggu kehidupan mantan calon istrinya, hanya saja, memuja dalam diam dirasa tidak salah, selama tidak bersinggungan secara langsung. Setidaknya itu menurut versinya.Suara ponsel di atas nakas memporak-porandakan ingatan dan rencananya pada wanita dari masa lalunya. Nama Lila tertera di sana. Teringat sebab perginya sebelum sampai di tempat ini, membuat lelaki yang tengah berbaring setengah duduk itu enggan menerima panggilan telepon maupun memeriksa pesan masuk. Termasuk kali ini.Dering telepon itu terhenti begitu saja, lantas terulang kembali panggilan dari nomor yang sama. Pada panggilan ketiga, barulah diterima, meski dengan rasa malas. Ia hanya tak mau terganggu dengan getar yang ditimbulkan benda canggih yang tak lagi menjadi barang mewah lagi bagi kebanyakan orang."Hallo, assalamu'alaikum," sapa Damar begitu sambungan telepon ter
"Aduh, nyumbang kok, terus!"Zahra meletakkan tas yang tadi dibawa ke rumah tetangga yang punya hajat menikahkan anaknya. Melepaskan kerudung, menyalakan kipas angin, Zahra merebahkan badan sambil memejamkan mata."Besok masih ada Aji, khitanan dia, sama Bulek Rumi nikahkan anaknya. Beras kayaknya tinggal sedikit, ya, Mas?" tanya Zahra yang kembali membuka mata.Rudy menatap karung beras yang isinya tinggal satu takaran untuk memasak nasi. Lelaki itu menghela napas lelah. Belum satu Minggu beras seberat dua puluh lima kilo itu dibeli untuk konsumsi sendiri. Namun, banyaknya hajatan di desa tersebut, membuat stok beras yang cukup untuk satu bulan itu hanya bertahan beberapa hari.Melihat toko sembako yang dirintis sejak lima tahun yang lalu, hati lelaki itu kian nelangsa. Tidak ada perkembangan berarti pada toko tersebut. Pembeli memang ada, tapi pengeluaran tidak sebanding dengan besarnya pemasukan.Lelaki itu tidak habis mengerti, ke man
Lila tidak pernah menyangka bahwa keputusan orang tuanya adalah mutlak. Nama orang tua yang tercoreng akibat perbuatannya yang viral di sosial media, membuat semua fasilitas dicabut paksa.Wanita itu mulai kelimpungan sebab tak biasa hidup sederhana. Jatah uang jajan yang berkurang drastis, tak mampu menyokong gaya hidupnya. Beberapa barang mewah yang pernah didapat dari Rendi berusaha dia jual. Namun, lagi-lagi kecewa harus dirasakan. Perhiasan bertabur berlian, tas mewah, sepatu bermerk, semua adalah barang KW. Otomatis tidak bisa dijual dengan harga tinggi.Kata makian kembali terlontar berulang kali. Namun, hal itu tidak bisa mengubah apa pun. Terlebih ketika dia akhirnya menemui Rendi, lelaki itu justru mengatakan kalau Lila bisa mendapatkan semua barang branded yang dipilih dari outlet resmi sesukanya, yakni dengan menukar Sahara untuk dirawat dan dibesarkan bersama kekasihnya di luar negeri."Masa depan anak itu akan terjamin. Kamu bebas menjadi wan
"Mohon maaf, Mbak. Apa ada kartu yang lain? Kartu ini tidak dapat digunakan," ucap petugas kasir membuat Lila melotot."Masa nggak bisa, sih? Saldonya masih banyak, loh?" jawab Lila mulai gusar. Diberikan sebuah kartu lain, hasilnya sama saja."Atau bisa dibayar dengan uang cash saja," pinta petugas kasih dengan sopan. Meskipun demikian, perempuan muda itu merasa tak enak hati saat melihat antrian yang masih mengular."Saya nggak bawa uang cash, Mbak," jawab Lila mulai kesal. "Sebentar saya telpon dulu, ya," ijinnya yang diiyakan oleh wanita dengan name tag Almira."Biar saya yang bayar."Sebuah suara yang dirasa tak asing, membuat Lila mengurungkan niat menelpon orang tuanya. Kedua matanya melotot melihat lelaki yang tempo hari mengaku istri kekasihnya.."Gue nggak butuh dikasihani!" seru Lila dengan ketus, saat Audrey memaksa membayar dan membawa belanjaannya. "Kau akan menyusahkan kasir kalau sampai batal membeli. Dia harus bayar itu semua yang sudah discan. Iya kalau dia punya du
Beberapa saat sebelumnya ...."Kamu apa nggak kangen anakmu, Nang?" tanya Bu Astuti pada Rudy yang duduk di teras ditemani rokok dan segelas kopi pahit."Kangen, Bu," jawab Rudy tanpa menoleh pada sang ibu. Asap kembali ia kepulkan ke udara.Bu Astuti menatap anaknya dengan pandangan iba. Semenjak tinggal berdua dengan ibunya saja, Rudy lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah. Toko sembako yang baru dirintis itu, hanya dibuka saat malam, tepatnya lewat Magrib hingga kantuk datang. Tidak menentu.Seperti sekarang, Rudy istirahat dari lelahnya beraktivitas di sawah sambil menunggu pembeli. Bu Astuti ikut duduk di samping anaknya yang terlihat lelah. "Kenapa, Bu? Ibu mau ketemu cucu ibu?" tanya Rudy kemudian. Bu Astuti ingin mengangguk, tapi, kepalanya justru menggeleng. Rasa rindu itu sudah demikian besar. Pun ingin tahu bagaimana kabar sang cucu pasca cedera tulang ekor hari itu. Hanya saja, melihat Rudy yang nyaris tak pernah membahas istri dan anaknya, membuat wanita paruh bay
Zahra terus menyalahkan Nadira atas sakit yang diderita anaknya. Jatuh dengan posisi terduduk itu rupanya membuat cedera pada tulang ekor Rayyan. Meskipun tidak sampai patah seperti yang dikhawatirkan sebelumnya, tetap saja membatasi kegiatan Rayyan, hingga bocah itu kerap rewel jika merasa bosan, sebab tidak bisa bebas beraktivitas seperti sediakala.Kedua orang tua Zahra ikut menyalahkan Nadira atas kejadian yang membuat cucunya cedera. Menurut mereka, kejadian itu tidak pernah terjadi sebelumnya, baik di rumah orang tua Rudy, maupun di rumah mereka saat Rayyan berkunjung.Sebagai cucu pertama dan kesayangan, nyaris semua perhatian tertumpah ruah pada anak itu. Nadira tidak heran sebab sudah berulang kali terjadi, jika ada sesuatu yang terjadi pada Rayyan, maka orang lain lah yang akan dikambinghitamkan, sementara Rayyan tersenyum penuh kemenangan.Tidak tahan lagi dengan makian yang didapat dari keluarga kakak iparnya, maka Nadira sepakat dengan Fajar untuk menunjukkan bukti rekama
Di tempat lain ….Damar memandangi layar ponselnya dengan jengah. Rentetan pesan dan panggilan dari Lila sengaja ia abaikan. Dari sekilas pesan yang terbaca saat muncul di pop up, ia tahu kalau Lila kalang kabut sebab kepergiannya dengan Sahara. Tentu saja Damar mengerti kegelisahan wanita yang telah empat tahun terakhir membersamai hidupnya.Lila pernah bercerita, bahwa hibah harta dari Pak Wirya dan Bu Marta kemungkinan besar akan ditunda, atau justru dibatalkan, jika sampai terjadi hal buruk dalam pernikahannya. Damar tidak peduli sama sekali. Baginya, jika itu berkaitan dengan harta orang tua Lila, dia tidak mau ikut campur. Toh, selama ini dia juga terus menerus disebut tidak berguna sebagai seorang suami, meski telah berusaha maksimal untuk mengelola lahan yang menghasilkan puluhan kwintal bawang merah.Sempat terlintas keinginan untuk menggugat Lila dengan tuduhan penipuan pernikahan. Namun, dirasa hanya buang waktu dan tenaga, i
"Itu bukannya si Rendi ya, Lil?"Mendengar nama kekasihnya disebut, Lila menghentikan mengunyah permen karet. Mengikuti arah telunjuk Marsha, tatapannya terhenti pada sosok lelaki yang tengah bergandengan tangan sambil tertawa-tawa bersama seorang lelaki berpakaian casual."Itu memang dia," gumam Lila tak yakin.Tatapannya masih menyorot dua pria yang memasuki kafe di sayap kiri, bersebelahan dari tempat Lila berada. Meski terhalang beberapa meja, Lila dan Marsha masih dapat melihat dan memperhatikan dengan jelas.Kedua lelaki itu duduk bersebelahan, nyaris tak berjarak. Mereka terus berbincang dengan seru diiringi tawa. Sesekali saling tatap penuh arti. Sampai kemudian datang pramusaji membawa buku menu, keduanya tidak mengubah posisi."Lila!" seru Marsha, menepuk-nepuk punggung tangan sahabatnya, sementara pandangan matanya masih menyorot lelaki yang ia kenal sebagai kekasih perempuan yang duduk di depannya."Apaan?" tanya Lila, menolehkan kepala, menemukan wajah sahabatnya yang terl
"Mama! Sakit, Maa … !"Tangis Rayyan melengking di langit-langit ruang tamu Nadira. Wajah Zahra pucat pasi. Tubuhnya membeku di tempat. Sementara Nadira kepayahan hendak jongkok sebab terhalang oleh perut besarnya.Nadira berniat menolong keponakannya yang terus menjerit kesakitan. Tangannya baru saja terulur ketika akhirnya ia berhasil melipat kedua kaki, menumpukan kedua lutut di lantai. Namun, sebuah suara menghentikan gerakannya."Jangan sentuh anakku!"Zahra.Wanita itu bergegas menghampiri anaknya, memeriksa beberapa bagian tubuh kecil anaknya dengan perasaan was-was. Sementara Nadira, langsung beringsut mundur, tidak mengerti kenapa kakak iparnya bersuara sekeras itu, melarang menyentuh Rayyan. 'Kenapa? Bukankah hal wajar jika aku ingin melihat kondisi keponakanku yang jatuh?' Nadira bermonolog dalam diam."Kamu sengaja, ya, mau celakain anakku?!" sentak Zahra, menatap sengit pada adik iparnya dengan napas memburu. Nadira semakin tidak mengerti, kenapa mendapat tuduhan seperti
Nadira duduk termenung di depan kolam kecil berisi ikan koi yang berebut makanan. Bibir tipisnya sesekali melengkungkan senyum melihat gerakan mereka yang dirasa lucu. Berada di rumah seorang diri, membuat ia lebih suka menghabiskan waktu di tempat ini, menikmati gemericik air dan kecipak ikan yang sesekali melompat naik.Suara ponsel di atas meja, membuat ia bergegas meraih benda canggih itu. Melihat nama Rudy tertera di sana, membuat Nadira menarik kedua sudut bibirnya."Assalamu'alaikum, Ra, kamu di rumah, kan?" sapa Rudy begitu sambungan telepon terhubung."Wa'alaikumsalam. Iya, Mas. Aku di rumah. Gimana? Ibu nggak kenapa-kenapa, kan?" "Enggak, kok. Ini ada syukuran kecil-kecilan. Mau bagi ke kamu juga. Masa tetangga dikasih malah kamu enggak. Ini lagi istirahat dulu. Paling sepuluh menitan lagi sampai.""Lah, udah deket ternyata. Ya udah, hati-hati ya, Mas.""Oke, sampai ketemu," pamit Rudy, lantas mengakhiri panggilan.Melihat Rudy yang sedang berbicara di telepon, Zahra memand