.Rudi menarik tangan Zahra, membawanya menjauh dari Fajar dan Nadira."Mas, sakit!" sentak Zahra, berusaha melepaskan genggaman Rudy pada pergelangan tangannya.Rudy menatap tajam wajah istrinya yang meringis kesakitan. Di ujung lorong rumah sakit ia baru menghentikan langkah."Tega kamu, ya! Sudah kubilang jangan ke mana-mana, temani ibu, apa susahnya? Hm?" desis Rudy dekat telinga Zahra."Aku capek! Aku bosan di rumah terus. Kamu sih, enak, bisa jalan-jalan, lihat dunia luar. Lah aku?" Zahra menunjuk ujung hidungnya."Tiap hari di rumah, ngurus anak kamu, sama ibu kamu! Apa kamu pikir aku ini babu!"PLAK!Tangan Rudy melayang di udara. Ia tak percaya bisa mendaratkan telapak tangannya di wajah perempuan yang pernah ia cinta sepenuh hati.Zahra menatapnya dengan napas terengah menahan marah."Kamu nampar aku, Mas?" tanyanya lirih. Air mata mulai menetes satu per satu. Rasa sakit dan pana
Lima hari sudah Bu Astuti berada di rumah sakit. Kondisinya perlahan pulih, dan tinggal menunggu pemeriksaan hari ini untuk mendapat ijin pulang.Kabar itu disambut gembira oleh Nadira, yang selalu setia menemani sang ibu di rumah sakit, memastikan kalau semua kebutuhan ibunya terpenuhi."Ibu sudah bosan di sini, kangen mau main sama cucu ibu," ucap Bu Astuti saat berbincang dengan Nadira di taman rumah sakit. Di sanalah beliau biasa menghabiskan pagi, berjemur dan sesekali menyapa pasien lain."Ibu sabar, ya. Kita tunggu kabar dari dokter Haris. Setelah itu ibu bisa berjumpa dan main sepuasnya dengan cucu ibu," jawab Nadira.Sampai hari ini, ia belum berhasil membujuk ibu untuk tinggal bersamanya setelah keluar dari rumah sakit. Padahal besar harapan, ia akan memantau kondisi kesehatan ibu serta menjaga asupan makanan.Ia masih kepikiran dengan ucapan para tetangga tempo hari. Hendak bertanya langsung, tapi Bu Astuti terlihat enggan mena
"Ngadu apa, Bu?"Kedua wanita yang ada di ruang rawat itu menoleh bersamaan ke arah datangnya suara. Zahra terkejut melihat siapa yang berdiri tegak, sedang menatap penuh tanya ke arahnya. Sorot tajam itu seakan hendak menguliti. Detak jantung Zahra berubah gaduh seketika."Kenapa dia udah datang, sih?! Bukannya tadi bilangnya lama? Bagaimana kalau aku ketahuan? Aduh, bagaimana aku bisa belanja nanti kalau misi kali ini gagal?" Zahra menebak-nebak dalam diam.Rasa takut tiba-tiba menyergap. Sosok yang mengenakan celana jeans dipadukan tunik warna peach serta pasmina warna senada itu sungguh cemas jika apa ia ucapkan beberapa saat tadi terdengar oleh seseorang yang mulai melangkah satu-satu ke tempat ia berada. Tangannya menjadi tremor. Berusaha menetralkan semuanya dengan menggenggam erat tali tasnya, tapi, rupanya hal itu tak banyak membantu. Tatapan tajam dari lelaki yang bergelar suami itu meliriknya sekilas. Detik kemudian lekas beralih pada sang ibu. Bibir yang berwarna kehitaman
"Sudah pasti ibu jauh lebih bahagia saat tinggal bersamaku. Apa kamu baru sadar?"Zahra menimpali dengan suara tak kalah pelan. Wajah Nadira langsung berubah datar mendengar ucapan kakak iparnya. "Jika ibu bahagia tinggal di sana, kenapa wajahnya tidak mencerminkan itu? Dan kenapa sampai ibu kurang gizi, padahal semuanya sudah tersedia untuk ibu?"Ingin Nadira berkata demikian, tapi urung dilakukan saat melihat wajah ibu yang kini tersenyum lebar, sudah duduk manis di bangku penumpang. Ia pun enggan berdebat di depan ibu dan juga kakaknya. "Di rumahku ada Rayyan, cucu kesayangan ibu. Sedangkan di rumahmu, aku yakin ibu tidak akan nyaman. Ibu merasa menumpang kalau di sana, beda kalau tinggal sama aku, berada di rumahnya sendiri," lanjut Zahra dengan berbisik. Lagi.Nadira menghela napas panjang, lalu berkata, "Hem, ya. Lihat saja nanti, Mbak."Zahra mencebik tak suka, lalu menyusul masuk ke mobil. Baru akan meletakkan bokong, sebuah tangan menariknya ke luar."Kamu naik motor saja, a
"Ayo, dong, Bu. Tinggal tanda tangan saja apa susahnya, sih!"Zahra memberi perintah dengan wajah keruh. Sementara Bu Astuti menggeleng kuat-kuat, mengusap sudut matanya."Tidak! Ibu tidak mau tanda tangan. Itu satu-satunya yang tersisa peninggalan ayahmu, Nak."Bu Astuti tergugu. Rudy berdecak kesal."Ya makanya. Aturan sawah itu memang dijual lalu dibagi begitu ayah meninggal. Biar nggak makin rumit nanti. Lihat, cucu ibu itu juga punya hak waris. Sebentar lagi Nadira juga akan melahirkan. Semua anak cucu ibu punya hak yang sama. Kalau tambah banyak, tambah rumit hitung-hitungannya. Kalau perlu, rumah dan pekarangan ini juga sekalian dibagi, Bu!"Bu Astuti mengangkat kepala. "Ayah berpesan kalau sawah itu tidak boleh dijual, karena itu juga pemberian orang tuanya. Terus kalau rumah ini dijual, ibu mau tinggal di mana? Dan kamu juga, mau dibawa ke mana anak dan istri kamu, Rudy? Eling, Nang … ."Sosok yang mengenakan jilbab hitam itu berkata dengan suara parau. Pandangannya menerawan
Hari telah berganti malam. Usai perdebatan melelahkan yang tak menemukan titik temu itu, Bu Astuti memilih ikut pengajian di rumah salah satu tetangga. Kondisinya memang sudah jauh lebih baik. Berjalan pun sudah lebih tegak dari sebelumnya yang seperti kehabisan tenaga.Beberapa kali tidak ikut pengajian karena sakit, membuat wanita paruh baya itu rindu berkumpul dengan teman-temannya, sesama ibu dan nenek yang menolak tua. Rayyan yang dekat dengan neneknya pun memaksa ikut. Tinggal lah Zahra berdua saja dengan Rudy.Tak lama setelah Bu Astuti pamit dengan menuntun Rayyan, Rudy pun pamit ke halaman belakang hendak merokok.Kesempatan itu digunakan oleh Zahra untuk mengamankan benda berharga yang sudah dia ambil secara sembunyi-sembunyi dari lemari ibu mertuanya.Zahra berdecak sebal. Benda yang ia cari tak juga ditemukan meski telah mengobrak-abrik seluruh isi lemari. Karpet yang digelar di depan lemari itu pun sudah penuh dengan pakaian yang bert
Nadira melihat tampilan layar dengan wajah datar. Tidak ada raut sedih atau kesal. Ia menikmati setiap adegan yang muncul di layar seperti sebuah film yang kadang ditonton di kala senggang.Fajar yang duduk di sampingnya merasa heran dengan sikap yang ditunjukkan sang istri. "Sayang," panggil Fajar membuat Nadira menoleh. "Iya, Mas," jawab Nadira saat bertemu pandang dengan suaminya.Untuk beberapa saat Fajar terdiam. Ia masih menimbang hendak bertanya atau tidak."Kenapa, Mas?" tanya Nadira. Telapak tangan kanannya ditempelkan ke pipi sang suami. Fajar menunjuk layar ponsel tanpa mengalihkan tatap dari wajah istrinya yang menatapnya penuh tanya."Kamu, nggak pengen cegah mereka?" tanya Fajar ragu-ragu. Nadira mengernyitkan kening, masih menatap suaminya. "Untuk?""Itu, yang soal rencana Mas Rudy mau jual sawah."Nadira tersenyum. Tangannya yang berada di pipi Fajar hendak ia turunkan, tapi, bu
Mata Nadira mulai memupuk cairan bening. Hingga akhirnya panggilan itu terputus, dia masih duduk diam di tempat tidur. Kedua matanya memejam.'Aku tak bisa membayangkan seberapa dalam luka hati ibu. Ancaman seperti apa yang disampaikan Mas Rudy, dan penyebab Mas Rudy gigih ingin menjual sawah. Yang tidak aku mengerti, kenapa ibu tidak mau bercerita padaku? Apa ibu tidak mau berbagi duka denganku?' ratap Nadira dalam hati. 'Ah, tidak-tidak. Ini sudah seringkali terjadi, Nadira. Dan kamu masih baik-baik saja sampai saat ini.'Usai berkata demikian, ia membuka mata. Tatapannya bertemu dengan wajah teduh suaminya yang menatapnya dengan raut cemas. Detik kemudian ia tersenyum, membuat Fajar menghela napas lega."Sudah lebih baik?" tanya Fajar mendapat anggukan kepala.Lelaki itu menariknya masuk ke dalam pelukan. .Keesokan harinya, Nadira ikut ke percetakan seperti rencana semula. "Bumil cantik banget!" seru Dini yang melihat Nadira datang dengan membawa buah tangan. Mengenakan terusan
"Aduh, nyumbang kok, terus!"Zahra meletakkan tas yang tadi dibawa ke rumah tetangga yang punya hajat menikahkan anaknya. Melepaskan kerudung, menyalakan kipas angin, Zahra merebahkan badan sambil memejamkan mata."Besok masih ada Aji, khitanan dia, sama Bulek Rumi nikahkan anaknya. Beras kayaknya tinggal sedikit, ya, Mas?" tanya Zahra yang kembali membuka mata.Rudy menatap karung beras yang isinya tinggal satu takaran untuk memasak nasi. Lelaki itu menghela napas lelah. Belum satu Minggu beras seberat dua puluh lima kilo itu dibeli untuk konsumsi sendiri. Namun, banyaknya hajatan di desa tersebut, membuat stok beras yang cukup untuk satu bulan itu hanya bertahan beberapa hari.Melihat toko sembako yang dirintis sejak lima tahun yang lalu, hati lelaki itu kian nelangsa. Tidak ada perkembangan berarti pada toko tersebut. Pembeli memang ada, tapi pengeluaran tidak sebanding dengan besarnya pemasukan.Lelaki itu tidak habis mengerti, ke man
Lila tidak pernah menyangka bahwa keputusan orang tuanya adalah mutlak. Nama orang tua yang tercoreng akibat perbuatannya yang viral di sosial media, membuat semua fasilitas dicabut paksa.Wanita itu mulai kelimpungan sebab tak biasa hidup sederhana. Jatah uang jajan yang berkurang drastis, tak mampu menyokong gaya hidupnya. Beberapa barang mewah yang pernah didapat dari Rendi berusaha dia jual. Namun, lagi-lagi kecewa harus dirasakan. Perhiasan bertabur berlian, tas mewah, sepatu bermerk, semua adalah barang KW. Otomatis tidak bisa dijual dengan harga tinggi.Kata makian kembali terlontar berulang kali. Namun, hal itu tidak bisa mengubah apa pun. Terlebih ketika dia akhirnya menemui Rendi, lelaki itu justru mengatakan kalau Lila bisa mendapatkan semua barang branded yang dipilih dari outlet resmi sesukanya, yakni dengan menukar Sahara untuk dirawat dan dibesarkan bersama kekasihnya di luar negeri."Masa depan anak itu akan terjamin. Kamu bebas menjadi wan
"Mohon maaf, Mbak. Apa ada kartu yang lain? Kartu ini tidak dapat digunakan," ucap petugas kasir membuat Lila melotot."Masa nggak bisa, sih? Saldonya masih banyak, loh?" jawab Lila mulai gusar. Diberikan sebuah kartu lain, hasilnya sama saja."Atau bisa dibayar dengan uang cash saja," pinta petugas kasih dengan sopan. Meskipun demikian, perempuan muda itu merasa tak enak hati saat melihat antrian yang masih mengular."Saya nggak bawa uang cash, Mbak," jawab Lila mulai kesal. "Sebentar saya telpon dulu, ya," ijinnya yang diiyakan oleh wanita dengan name tag Almira."Biar saya yang bayar."Sebuah suara yang dirasa tak asing, membuat Lila mengurungkan niat menelpon orang tuanya. Kedua matanya melotot melihat lelaki yang tempo hari mengaku istri kekasihnya.."Gue nggak butuh dikasihani!" seru Lila dengan ketus, saat Audrey memaksa membayar dan membawa belanjaannya. "Kau akan menyusahkan kasir kalau sampai batal membeli. Dia harus bayar itu semua yang sudah discan. Iya kalau dia punya du
Beberapa saat sebelumnya ...."Kamu apa nggak kangen anakmu, Nang?" tanya Bu Astuti pada Rudy yang duduk di teras ditemani rokok dan segelas kopi pahit."Kangen, Bu," jawab Rudy tanpa menoleh pada sang ibu. Asap kembali ia kepulkan ke udara.Bu Astuti menatap anaknya dengan pandangan iba. Semenjak tinggal berdua dengan ibunya saja, Rudy lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah. Toko sembako yang baru dirintis itu, hanya dibuka saat malam, tepatnya lewat Magrib hingga kantuk datang. Tidak menentu.Seperti sekarang, Rudy istirahat dari lelahnya beraktivitas di sawah sambil menunggu pembeli. Bu Astuti ikut duduk di samping anaknya yang terlihat lelah. "Kenapa, Bu? Ibu mau ketemu cucu ibu?" tanya Rudy kemudian. Bu Astuti ingin mengangguk, tapi, kepalanya justru menggeleng. Rasa rindu itu sudah demikian besar. Pun ingin tahu bagaimana kabar sang cucu pasca cedera tulang ekor hari itu. Hanya saja, melihat Rudy yang nyaris tak pernah membahas istri dan anaknya, membuat wanita paruh bay
Zahra terus menyalahkan Nadira atas sakit yang diderita anaknya. Jatuh dengan posisi terduduk itu rupanya membuat cedera pada tulang ekor Rayyan. Meskipun tidak sampai patah seperti yang dikhawatirkan sebelumnya, tetap saja membatasi kegiatan Rayyan, hingga bocah itu kerap rewel jika merasa bosan, sebab tidak bisa bebas beraktivitas seperti sediakala.Kedua orang tua Zahra ikut menyalahkan Nadira atas kejadian yang membuat cucunya cedera. Menurut mereka, kejadian itu tidak pernah terjadi sebelumnya, baik di rumah orang tua Rudy, maupun di rumah mereka saat Rayyan berkunjung.Sebagai cucu pertama dan kesayangan, nyaris semua perhatian tertumpah ruah pada anak itu. Nadira tidak heran sebab sudah berulang kali terjadi, jika ada sesuatu yang terjadi pada Rayyan, maka orang lain lah yang akan dikambinghitamkan, sementara Rayyan tersenyum penuh kemenangan.Tidak tahan lagi dengan makian yang didapat dari keluarga kakak iparnya, maka Nadira sepakat dengan Fajar untuk menunjukkan bukti rekama
Di tempat lain ….Damar memandangi layar ponselnya dengan jengah. Rentetan pesan dan panggilan dari Lila sengaja ia abaikan. Dari sekilas pesan yang terbaca saat muncul di pop up, ia tahu kalau Lila kalang kabut sebab kepergiannya dengan Sahara. Tentu saja Damar mengerti kegelisahan wanita yang telah empat tahun terakhir membersamai hidupnya.Lila pernah bercerita, bahwa hibah harta dari Pak Wirya dan Bu Marta kemungkinan besar akan ditunda, atau justru dibatalkan, jika sampai terjadi hal buruk dalam pernikahannya. Damar tidak peduli sama sekali. Baginya, jika itu berkaitan dengan harta orang tua Lila, dia tidak mau ikut campur. Toh, selama ini dia juga terus menerus disebut tidak berguna sebagai seorang suami, meski telah berusaha maksimal untuk mengelola lahan yang menghasilkan puluhan kwintal bawang merah.Sempat terlintas keinginan untuk menggugat Lila dengan tuduhan penipuan pernikahan. Namun, dirasa hanya buang waktu dan tenaga, i
"Itu bukannya si Rendi ya, Lil?"Mendengar nama kekasihnya disebut, Lila menghentikan mengunyah permen karet. Mengikuti arah telunjuk Marsha, tatapannya terhenti pada sosok lelaki yang tengah bergandengan tangan sambil tertawa-tawa bersama seorang lelaki berpakaian casual."Itu memang dia," gumam Lila tak yakin.Tatapannya masih menyorot dua pria yang memasuki kafe di sayap kiri, bersebelahan dari tempat Lila berada. Meski terhalang beberapa meja, Lila dan Marsha masih dapat melihat dan memperhatikan dengan jelas.Kedua lelaki itu duduk bersebelahan, nyaris tak berjarak. Mereka terus berbincang dengan seru diiringi tawa. Sesekali saling tatap penuh arti. Sampai kemudian datang pramusaji membawa buku menu, keduanya tidak mengubah posisi."Lila!" seru Marsha, menepuk-nepuk punggung tangan sahabatnya, sementara pandangan matanya masih menyorot lelaki yang ia kenal sebagai kekasih perempuan yang duduk di depannya."Apaan?" tanya Lila, menolehkan kepala, menemukan wajah sahabatnya yang terl
"Mama! Sakit, Maa … !"Tangis Rayyan melengking di langit-langit ruang tamu Nadira. Wajah Zahra pucat pasi. Tubuhnya membeku di tempat. Sementara Nadira kepayahan hendak jongkok sebab terhalang oleh perut besarnya.Nadira berniat menolong keponakannya yang terus menjerit kesakitan. Tangannya baru saja terulur ketika akhirnya ia berhasil melipat kedua kaki, menumpukan kedua lutut di lantai. Namun, sebuah suara menghentikan gerakannya."Jangan sentuh anakku!"Zahra.Wanita itu bergegas menghampiri anaknya, memeriksa beberapa bagian tubuh kecil anaknya dengan perasaan was-was. Sementara Nadira, langsung beringsut mundur, tidak mengerti kenapa kakak iparnya bersuara sekeras itu, melarang menyentuh Rayyan. 'Kenapa? Bukankah hal wajar jika aku ingin melihat kondisi keponakanku yang jatuh?' Nadira bermonolog dalam diam."Kamu sengaja, ya, mau celakain anakku?!" sentak Zahra, menatap sengit pada adik iparnya dengan napas memburu. Nadira semakin tidak mengerti, kenapa mendapat tuduhan seperti
Nadira duduk termenung di depan kolam kecil berisi ikan koi yang berebut makanan. Bibir tipisnya sesekali melengkungkan senyum melihat gerakan mereka yang dirasa lucu. Berada di rumah seorang diri, membuat ia lebih suka menghabiskan waktu di tempat ini, menikmati gemericik air dan kecipak ikan yang sesekali melompat naik.Suara ponsel di atas meja, membuat ia bergegas meraih benda canggih itu. Melihat nama Rudy tertera di sana, membuat Nadira menarik kedua sudut bibirnya."Assalamu'alaikum, Ra, kamu di rumah, kan?" sapa Rudy begitu sambungan telepon terhubung."Wa'alaikumsalam. Iya, Mas. Aku di rumah. Gimana? Ibu nggak kenapa-kenapa, kan?" "Enggak, kok. Ini ada syukuran kecil-kecilan. Mau bagi ke kamu juga. Masa tetangga dikasih malah kamu enggak. Ini lagi istirahat dulu. Paling sepuluh menitan lagi sampai.""Lah, udah deket ternyata. Ya udah, hati-hati ya, Mas.""Oke, sampai ketemu," pamit Rudy, lantas mengakhiri panggilan.Melihat Rudy yang sedang berbicara di telepon, Zahra memand