Share

Bab 4. Kutil

Author: Nisa Khair
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Awas aja kalau sampai kamu kayak si Lila!" ancam Mas Rudy.

Mendengar nama itu disebut lagi, kembali hati merasa nyeri. Untuk beberapa saat lamanya aku terpekur, lalu menatap wajah lelaki satu-satunya di rumah ini. Lelaki yang semestinya menggantikan peran ayah, tapi, kenyataannya … .

"Pada ngapain, sih, ribut amat?"

Terdengar suara Salma, membuatku mengalihkan pandang dari kakak sulungku.

"Bocil, ngapain ikut ke sini?"

"Ih, Mas Rudy. Aku udah kelas dua belas, bentar lagi lulus, masa masih dipanggil bocil?" protesnya, dengan wajah merengut. Meski demikian, ia tetap saja mendekat, lalu menggamit lengan sang kakak.

"Biarin. Buat Mas, kamu tetep si bontot yang gemesin."

Mas Rudy mengacak rambut Salma, membuat Salma menepis tangannya. Bibirku tersenyum tipis melihat adegan itu. Mas Rudy selalu bisa akrab dengan adikku, sementara denganku … .

"Belajar yang bener, biar jadi orang," Mas Rudy kembali berujar, lalu mencubit ujung hidung Salma. Sementara Salma hanya meringis manja.

Mereka bisa dekat layaknya saudara yang sebenarnya. Saat Mas Rudy baru pulang pun, ia meminta ditemani tidur. Meski akhirnya ditinggal saat sudah benar-benar nyenyak.

Aku memaklumi sikap manjanya pada Mas Rudy, mungkin ia rindu dengan sosok ayah yang telah berpulang saat umurnya belum genap lima tahun. Sayangnya, Mas Rudy harus meninggalkan rumah demi mencari nafkah, menggantikan peran ayah sebagai kepala keluarga.

Mereka berdua masih bercanda dengan akrabnya, sesekali ibu menimpali. Sejurus kemudian, Mas Rudy beranjak memangkas jarak. Kini ia berdiri di sampingku yang menuang air ke dalam gelas. Kuhirup dalam-dalam aroma jahe yang menguar.

"Buatkan Mas juga, ya, Ra?" pintanya, membuatku sedikit terjingkat.

"Eh? Buatkan apa?" tanyaku bingung.

Ia hampir tak pernah meminta sesuatu padaku, seringnya melibatkan ibu. Pun jika ingin membeli sesuatu, ia lebih memilih memanggil ibu.

"Wedang jahe. Kamu lagi buat itu, kan?" jawab dan tanyanya, sambil menaikkan alis.

Hem, tadi aja nuduh yang enggak-enggak, sekarang minta dibuatkan juga. Tanpa menjawab, aku menyerahkan wedang yang sedianya akan kuminum demi meredakan mual. Biarlah nanti aku buat lagi.

"Ini, buat Mas."

Mas Rudy menerima, lantas meletakkannya di atas meja. Aku hendak berbalik, tapi, tangan besarnya menahan lenganku.

"Kenapa lagi?" tanyaku, dengan wajah masih menahan kesal.

Tanpa diduga, Mas Rudy meraih bahuku. Aku menjauhkan badan, sebab merasa risih. Jarangnya interaksi dengannya yang lebih sering di luar pulau, membuat jarak membentang, meski tak terlihat. Kami berdua lebih seperti orang asing. Bicara pun hanya sekedarnya.

"Maafkan Mas, Ra … ."

Hem, tumben minta maaf segala. Kenapa lagi Kakakku ini. Tangannya masih berada di pundakku.

"Maaf untuk apa?" tanyaku akhirnya.

"Mas cuma khawatir kamu kenapa-kenapa," jawabnya lirih.

Aku hampir tak percaya mendengarnya. Kakakku yang beberapa saat tadi julid, sekarang mengatakan kalau ia khawatir padaku? Apa aku tak salah dengar?

Tak dipungkiri kalau ada rasa hangat yang menjalar mendengar ucapannya.

"Aku nggak apa-apa, kok, Mas. Ini cuma telat makan tadi, udah biasa," jawabku, berusaha bersikap normal.

Baru kusadari kalau pandanganku terhalang embun. Saat jam makan siang tadi pun, aku tak berselera sama sekali, hanya pesan minuman hangat. Akibatnya seperti sekarang, mungkin asam lambungku naik.

"Gara-gara mikirin Damar, sampai nggak makan, kamu?" sahutnya, masih tak beranjak.

"Bod*h kalau kamu sampai nyiksa badan cuma mikirin dia, Ra. Rugi. Makan dulu, sana!" lanjutnya lagi.

"Iya-iya."

"Sabar, ya. Jodoh nggak ketuker, kok."

Lho, belum selesai dia?

Tatapan kami beradu, kulihat ia tersenyum. Ada kaca-kaca bening di pupil hitam itu.

.

Keesokan harinya, aku terbangun saat jarum jam menunjuk angka empat. Sayup-sayup lantunan ayat suci Al-Quran menyusup ke telinga. Kubuka mata yang terasa berat. Tak lama kemudian, terdengar adzan Subuh berkumandang.

Gegas aku beranjak ke kamar mandi, lantas membersihkan diri. Hawa sejuk dan sensasi segar setelah terguyur air, membuat suasana hati ikut membaik.

Kutunaikan kewajiban sebagai seorang muslim. Dilanjutkan membaca kitab suci sembari menunggu pagi. Berlama-lama di atas sajadah seperti ini, membuat hati tentram dan damai.

Jam enam pagi, aku telah siap dengan pakaian kerja. Kardus besar berisi benda pemberian sang mantan, kubawa serta. Tak mau menunda lagi, inginku hari ini memulai hari dengan lembar baru, dengan hati yang lebih tenang dan lapang.

"Sini, Mas bantu," tawar Mas Rudy.

Tanpa menunggu persetujuanku, kardus itu telah berpindah tangan. Meski sempat berdebat kecil semalam, sampai diminta buat melenyapkan saja, Mas Rudy akhirnya menyerah juga. Lalu menyanggupi mengantar pagi ini.

Tanganku baru akan memutar handle pintu depan, saat terdengar suara salam dari seseorang. Siapa yang bertamu sepagi ini?

Gegas kubuka pintu, ingin melihat siapa tamuku. Kedua mataku membeliak, saat melihat wajah Lila yang menyajikan senyum manisnya. Senyum yang sama, seperti saat pertama kali aku melihatnya datang ke rumah ini, lalu tinggal beberapa lama. Sampai akhirnya bertemu Mas Damar dan saling berkenalan.

"Terima kasih, ya. Akhirnya kamu mau melepaskan juga Mas Damar buat aku," ujarnya, sebelum aku menyapa.

"Kamu tau, akhirnya kami akan menjadi pasangan resmi, tak perlu kucing-kucingan lagi dari kamu." Ia mengibaskan rambut panjangnya yang digerai.

"Oh iya, selamat, Mbak Lila," jawabku singkat. "Apa masih ada lagi?"

"Ya, tentu saja. Jadi begini, karena kamu sudah tak ada hubungan apa-apa lagi dengan calon suamiku, aku hendak meminta seserahan yang pernah ia berikan saat lamaran dulu."

"Heh, kutil!"

Tanpa kuduga, Mas Rudy menerobos ke luar, hingga aku sedikit terhuyung.

"Nih, bawa! Pergi sono yang jauh. Makasih, ya. Kita jadi nggak repot nganterin."

Kardus itu telah berpindah tangan. Meski kulihat kedua mata Lila sempat membeliak lebar, tetap saja ia tersenyum lebar melihat beberapa benda yang menyembul ke luar.

"Lila!"

Kami menoleh bersamaan. Mas Damar tergesa turun dari motornya, lalu mengambil langkah panjang.

"Kamu ngapain, sih? Bikin malu, aja!" geram Mas Damar, lalu menatapku tak enak. "Maaf, ya, Ra," ujarnya kemudian.

"Ngapain minta maaf, sih, Mas. Aku ke sini cuma minta barang-barang yang pernah kamu kasih ke dia. Lagian udah disiapin kok, ini ternyata. Iya, kan, Ra?" suaranya melenggak-lenggok, membuatku merasa mual seketika.

"Kutil seneng amat dapat barang bekas!" gumam Mas Rudy. Meski pelan, tetap saja terdengar oleh semua yang ada di teras.

Aku mengulum senyum, Lila mendelik tak suka. Mas Damar melihatku dan Mas Rudy dengan sorot yang sulit diartikan.

.

Related chapters

  • Kuhibahkan Cincin dan Calon Suami pada Sepupuku   Bab 5. Bekas Nadira

    "Apa maksudnya barang bekas?"Lila melotot tak suka pada Mas Rudy. Yang ditatap masih tak acuh, malah menimang korek gas yang baru dikeluarkan dari saku celana. "Bukannya ada perhiasan sepuluh gram sama uang sepuluh juta? Aku lihat, kok, waktu itu. Bener kan, Mas?"Aku terkesiap mendengarnya. Begitu juga Mas Rudy yang kini menatapku dengan sorot bertanya.Kini perhatian Lila terpusat pada lelaki yang berdiri di sampingnya. Mas Damar menghela napas, lantas membuang wajah."Mas, kok kamu diem aja, sih?" Lila bertanya tak sabar."Udah, kita pulang aja. Pagi-pagi sudah cari perkara kamu!" geram Mas Damar."Ya mana bisa pulang, belum selesai ini urusannya."Kardus yang sejak tadi dipegang, sekarang ditumpahkan oleh Lila, hingga isinya berhamburan di teras. Dia mulai mencari apa yang beberapa saat tadi ia sebutkan. Ia nampak frustasi saat tak menemukan apa pun di antara kain-kain, sandal, sepatu, tas, serta

  • Kuhibahkan Cincin dan Calon Suami pada Sepupuku   Bab 6. Kakak macam apa?

    Nadira telah menghilang di ujung jalan. Meninggalkan rasa bersalah yang besar pada lelaki yang bergelar kakak sulung ini.Aku seperti tak mengenal adikku lagi. Ia bahkan mengabaikan tatapan dari tetangga yang bermunculan dan melihat tontonan gratis beberapa saat tadi.Entah apa yang telah ia lalui selama kami terpisah jarak ribuan kilometer. Ia bahkan tak membagi luka yang tengah ia rasa.Aku menengadah, melihat langit-langit rumah. Baru tersadar kalau semua kayu dan genteng di rumah ini masih baru dan bagus. Ke mana saja aku selama ini, hingga tak tau ada hal buruk menimpa keluargaku?Kucari ibu, ingin bertanya kenapa aku tak diberitahu perihal robohnya atap rumah ini. Meski aku sempat menghilang dan baru kembali, bukankah aku anak lelaki, yang bertanggung jawab atas adik-adik dan ibuku sepeninggal ayah?Mengedarkan pandangan dan mencari ke sekeliling rumah, tapi ibu tak juga terlihat. Kemana perginya sepagi ini?Kutemukan

  • Kuhibahkan Cincin dan Calon Suami pada Sepupuku   Bab 7. Penggemar Rahasia

    POV NadiraAku sedang menyeruput kopi hitam di jam istirahat, saat Mbak Ira–teman kuliah Mas Damar–datang tergopoh-gopoh menghampiri. "Nadira, kamu beneran udah putus sama Damar?"Ia bertanya tak sabar, lalu ndusel-ndusel- di kursi sempit yang sedang kududuki. Aku tersenyum melihat tingkahnya, lalu bergeser ke kursi sebelah."Iya. Kenapa, sih, Mbak?""Akhirnya … . Seneng Mbak dengernya. Lihat itu, Mas Adi, dia yang paling seneng waktu dapat kabar kamu nggak jadi sama Damar."Aku melirik pria berambut sebahu yang tengah tersenyum ke arahku. Ia sedikit menganggukkan kepala saat aku melihatnya. Mereka berdua teman seangkatan dengan Mas Damar, sedangkan Mbak Ira dulu pernah kerja di sini juga, hanya saja ia sudah pindah."Kamu kan nggak tau dia kayak gimana kalau di luar. Kita-kita, nih, yang cemas sama kamu," ujar Mbak Ira lagi.Aku tau kalau sejak awal mereka berdua kurang setuju dengan hubunganku dengan Mas Dama

  • Kuhibahkan Cincin dan Calon Suami pada Sepupuku   Bab 8. Pengganti Ayah

    Suara televisi masih terdengar ketika aku sampai di rumah. Mas Rudy masih terjaga rupanya."Baru pulang, Ra?" sapanya, yang kujawab dengan anggukan, lalu meraih punggung tangannya untuk kukecup.Ibu berada tak jauh dari ia duduk, sudah terlelap dengan posisi miring menghadap anak lelakinya. Ibu menggunakan kedua tangan sebagai bantalan. Semenjak Mas Rudy di rumah, sepertinya ibu lebih sering tertidur di sini. Nampaknya beliau tak mau jauh dari anak sulungnya. Semoga saja Mas Rudy mengerti, kalau kondisi kesehatan ibu membaik sejak ia berada di rumah.Kukecup pelan kening ibu, takut membangunkan. Kubetulkan selimutnya hingga ke leher. Salma segera menghambur ke luar kamar tak lama kemudian."Mana pesananku, Mbak?" sambutnya, lalu ikut bergabung di ruang tengah. Kuulurkan martabak bertabur keju kesukaannya. Ia menyambutnya dengan senyuman lebar, lalu mengucapkan terima kasih.Bibirku melengkungkan senyum melihat ia menikmati dengan lahap. Mas Rudy ikut mencomot sepotong. "Aku masuk du

  • Kuhibahkan Cincin dan Calon Suami pada Sepupuku   Bab 9. Tawaran Kerja

    "Nyari orang buat apa?" tanyaku bingung."Buat ngejalanin mesin.""Ngejalanin mesin?""Iya. Jadi dia jual mesin sekalian sama orangnya.""Lah, serem amat jual mesin sama orangnya," jawabku, lalu terbahak. Di seberang pun sama."Mesin apa coba? Aku kan nggak ngerti mesin. Ada-ada saja kamu, Mbak.""Ya, nanti kan diajari. Mesin printing tiga dimensi, nggak tau namanya. Kamu mau, ya? Lumayan, lho, gajinya gede."Gajinya gede.Aku mengulang dua kata itu. Menjadi anak tengah yang menggantikan posisi anak sulung, membuatku dituntut untuk berpenghasilan lebih banyak, supaya ibu dan adikku tak kekurangan."Nanti aku pikir-pikir dulu, deh, Mbak. Ini kontrak kerjaku juga belum habis. Nggak bisa keluar gitu aja," jawabku, lalu teringat betapa selama ini semua kebutuhanku tercukupi dengan bekerja di sana. Selain itu, aku merasa nyaman di tempat kerja yang sekarang, teman-teman kerja sudah seperti keluarga sendiri.

  • Kuhibahkan Cincin dan Calon Suami pada Sepupuku   Bab 10. Damar Kecelakaan

    "Emang terkejar bikin sebanyak ini?""Ya terkejar, Mas. Kan hari ini masuk siang."Ia menjawab singkat, lalu memasukkan bawang putih semangkuk penuh. Masih ada gula merah dan entah apalagi di depannya yang nampaknya antri untuk dimasukkan."Ada ibu juga yang bantuin. Iya, kan, Bu?""Iya. Ibu bosen nggak ada kerjaan. Malah capek semua badan ibu. Untung adikmu pinter."Yang dipuji hanya tersenyum tipis. Aku tak menyangkal ucapan ibu. "O iya. Mas Rudy rencananya gimana nanti, udah nggak kemana-mana lagi, kan?""Eh ... ?"Aku gelagapan ditanya begini. Aku memang berniat tak pergi jauh lagi, tapi hendak mengerjakan apa, itu masih kutimbang-timbang karena tak punya ketrampilan. Satu-satunya yang ada dalam bayanganku hanya pekerjaan di sawah. Itu pun sepertinya juga musiman. Ingin berdagang lagi, tapi … ."Jadi mau usaha apa kira-kira? Biar nggak bosen di rumah. Kalau ke sawah kan juga belum bisa, soalnya mas

  • Kuhibahkan Cincin dan Calon Suami pada Sepupuku   Bab 11A

    Badanku gemetar hebat, menyadari bahwa lelaki yang tengah tergolek di hadapan adalah Mas Damar.Darah segar membasahi sebagian kepalanya. Demikian juga dengan lengannya yang terbuka hingga ke siku.Suara-suara di sekelilingku terus berdengung-dengung, mempertanyakan siapa dia dan bagaimana kondisinya. Untuk beberapa saat lamanya aku tak melakukan apa pun. Aku shock melihat kecelakaan di depan mata.Seketika merasa kalau dunia ini begitu sempit, bahkan di saat aku bertekad untuk tak mau bertemu dengannya lagi, kini justru dipertemukan dalam kondisinya yang mengenaskan."Mas Damar!"Aku memekik setelah kesadaranku kembali. Lalu kurasakan pegangan di bahuku. Mas Rudy, ia menatapku dengan tatapan bertanya, lalu melihatku dan lelaki di depanku bergantian."Mas Rudy, panggil ambulance! Bapak berbaju putih, telepon polisi!"Mereka yang kusebut segera sibuk dengan ponselnya, sementara yang lain

  • Kuhibahkan Cincin dan Calon Suami pada Sepupuku   Bab 11B

    Motor kuparkir dengan tergesa. Sebuah pesan dari Mbak Dini mengatakan ada hal penting, dan aku harus segera datang.Mbak Dini segera menarik tanganku ke belakang ruang cetak, di mana berbaris rapi kotak-kotak loker tempat menyimpan barang berharga. Hingga kini kami berdiri berhadapan."Nadira, kenapa jadi begini?"Mbak Dini menatapku dengan mata yang memerah. Napasnya tersengal, hingga samar terdengar hembusan angin kecil dari lubang hidungnya. Untuk beberapa saat aku tak mengerti kenapa ia seperti ini. Terus terang saja hatiku menciut melihat ekspresinya. Detak jantung juga seperti melompat-lompat. Dalam ingatanku, ia biasa bercanda dan memamerkan senyuman ramah. Terlebih lagi, ia berhubungan dengan para pelanggan sebelum akhirnya memutuskan mereka akan dilayani oleh siapa. Tentu pelayanannya menjadi salah satu kunci bagi percetakan ini. Paling tidak, itu yang terlihat selama aku bekerja di sini. Tapi, sekarang ... .Apa aku t

Latest chapter

  • Kuhibahkan Cincin dan Calon Suami pada Sepupuku   Ending 2

    "Aduh, nyumbang kok, terus!"Zahra meletakkan tas yang tadi dibawa ke rumah tetangga yang punya hajat menikahkan anaknya. Melepaskan kerudung, menyalakan kipas angin, Zahra merebahkan badan sambil memejamkan mata."Besok masih ada Aji, khitanan dia, sama Bulek Rumi nikahkan anaknya. Beras kayaknya tinggal sedikit, ya, Mas?" tanya Zahra yang kembali membuka mata.Rudy menatap karung beras yang isinya tinggal satu takaran untuk memasak nasi. Lelaki itu menghela napas lelah. Belum satu Minggu beras seberat dua puluh lima kilo itu dibeli untuk konsumsi sendiri. Namun, banyaknya hajatan di desa tersebut, membuat stok beras yang cukup untuk satu bulan itu hanya bertahan beberapa hari.Melihat toko sembako yang dirintis sejak lima tahun yang lalu, hati lelaki itu kian nelangsa. Tidak ada perkembangan berarti pada toko tersebut. Pembeli memang ada, tapi pengeluaran tidak sebanding dengan besarnya pemasukan.Lelaki itu tidak habis mengerti, ke man

  • Kuhibahkan Cincin dan Calon Suami pada Sepupuku   Ending

    Lila tidak pernah menyangka bahwa keputusan orang tuanya adalah mutlak. Nama orang tua yang tercoreng akibat perbuatannya yang viral di sosial media, membuat semua fasilitas dicabut paksa.Wanita itu mulai kelimpungan sebab tak biasa hidup sederhana. Jatah uang jajan yang berkurang drastis, tak mampu menyokong gaya hidupnya. Beberapa barang mewah yang pernah didapat dari Rendi berusaha dia jual. Namun, lagi-lagi kecewa harus dirasakan. Perhiasan bertabur berlian, tas mewah, sepatu bermerk, semua adalah barang KW. Otomatis tidak bisa dijual dengan harga tinggi.Kata makian kembali terlontar berulang kali. Namun, hal itu tidak bisa mengubah apa pun. Terlebih ketika dia akhirnya menemui Rendi, lelaki itu justru mengatakan kalau Lila bisa mendapatkan semua barang branded yang dipilih dari outlet resmi sesukanya, yakni dengan menukar Sahara untuk dirawat dan dibesarkan bersama kekasihnya di luar negeri."Masa depan anak itu akan terjamin. Kamu bebas menjadi wan

  • Kuhibahkan Cincin dan Calon Suami pada Sepupuku   Jelang Ending 2

    "Mohon maaf, Mbak. Apa ada kartu yang lain? Kartu ini tidak dapat digunakan," ucap petugas kasir membuat Lila melotot."Masa nggak bisa, sih? Saldonya masih banyak, loh?" jawab Lila mulai gusar. Diberikan sebuah kartu lain, hasilnya sama saja."Atau bisa dibayar dengan uang cash saja," pinta petugas kasih dengan sopan. Meskipun demikian, perempuan muda itu merasa tak enak hati saat melihat antrian yang masih mengular."Saya nggak bawa uang cash, Mbak," jawab Lila mulai kesal. "Sebentar saya telpon dulu, ya," ijinnya yang diiyakan oleh wanita dengan name tag Almira."Biar saya yang bayar."Sebuah suara yang dirasa tak asing, membuat Lila mengurungkan niat menelpon orang tuanya. Kedua matanya melotot melihat lelaki yang tempo hari mengaku istri kekasihnya.."Gue nggak butuh dikasihani!" seru Lila dengan ketus, saat Audrey memaksa membayar dan membawa belanjaannya. "Kau akan menyusahkan kasir kalau sampai batal membeli. Dia harus bayar itu semua yang sudah discan. Iya kalau dia punya du

  • Kuhibahkan Cincin dan Calon Suami pada Sepupuku   Jelang Ending

    Beberapa saat sebelumnya ...."Kamu apa nggak kangen anakmu, Nang?" tanya Bu Astuti pada Rudy yang duduk di teras ditemani rokok dan segelas kopi pahit."Kangen, Bu," jawab Rudy tanpa menoleh pada sang ibu. Asap kembali ia kepulkan ke udara.Bu Astuti menatap anaknya dengan pandangan iba. Semenjak tinggal berdua dengan ibunya saja, Rudy lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah. Toko sembako yang baru dirintis itu, hanya dibuka saat malam, tepatnya lewat Magrib hingga kantuk datang. Tidak menentu.Seperti sekarang, Rudy istirahat dari lelahnya beraktivitas di sawah sambil menunggu pembeli. Bu Astuti ikut duduk di samping anaknya yang terlihat lelah. "Kenapa, Bu? Ibu mau ketemu cucu ibu?" tanya Rudy kemudian. Bu Astuti ingin mengangguk, tapi, kepalanya justru menggeleng. Rasa rindu itu sudah demikian besar. Pun ingin tahu bagaimana kabar sang cucu pasca cedera tulang ekor hari itu. Hanya saja, melihat Rudy yang nyaris tak pernah membahas istri dan anaknya, membuat wanita paruh bay

  • Kuhibahkan Cincin dan Calon Suami pada Sepupuku   Bab 61A

    Zahra terus menyalahkan Nadira atas sakit yang diderita anaknya. Jatuh dengan posisi terduduk itu rupanya membuat cedera pada tulang ekor Rayyan. Meskipun tidak sampai patah seperti yang dikhawatirkan sebelumnya, tetap saja membatasi kegiatan Rayyan, hingga bocah itu kerap rewel jika merasa bosan, sebab tidak bisa bebas beraktivitas seperti sediakala.Kedua orang tua Zahra ikut menyalahkan Nadira atas kejadian yang membuat cucunya cedera. Menurut mereka, kejadian itu tidak pernah terjadi sebelumnya, baik di rumah orang tua Rudy, maupun di rumah mereka saat Rayyan berkunjung.Sebagai cucu pertama dan kesayangan, nyaris semua perhatian tertumpah ruah pada anak itu. Nadira tidak heran sebab sudah berulang kali terjadi, jika ada sesuatu yang terjadi pada Rayyan, maka orang lain lah yang akan dikambinghitamkan, sementara Rayyan tersenyum penuh kemenangan.Tidak tahan lagi dengan makian yang didapat dari keluarga kakak iparnya, maka Nadira sepakat dengan Fajar untuk menunjukkan bukti rekama

  • Kuhibahkan Cincin dan Calon Suami pada Sepupuku   Bab 60C

    Di tempat lain ….Damar memandangi layar ponselnya dengan jengah. Rentetan pesan dan panggilan dari Lila sengaja ia abaikan. Dari sekilas pesan yang terbaca saat muncul di pop up, ia tahu kalau Lila kalang kabut sebab kepergiannya dengan Sahara. Tentu saja Damar mengerti kegelisahan wanita yang telah empat tahun terakhir membersamai hidupnya.Lila pernah bercerita, bahwa hibah harta dari Pak Wirya dan Bu Marta kemungkinan besar akan ditunda, atau justru dibatalkan, jika sampai terjadi hal buruk dalam pernikahannya. Damar tidak peduli sama sekali. Baginya, jika itu berkaitan dengan harta orang tua Lila, dia tidak mau ikut campur. Toh, selama ini dia juga terus menerus disebut tidak berguna sebagai seorang suami, meski telah berusaha maksimal untuk mengelola lahan yang menghasilkan puluhan kwintal bawang merah.Sempat terlintas keinginan untuk menggugat Lila dengan tuduhan penipuan pernikahan. Namun, dirasa hanya buang waktu dan tenaga, i

  • Kuhibahkan Cincin dan Calon Suami pada Sepupuku   Bab 60B

    "Itu bukannya si Rendi ya, Lil?"Mendengar nama kekasihnya disebut, Lila menghentikan mengunyah permen karet. Mengikuti arah telunjuk Marsha, tatapannya terhenti pada sosok lelaki yang tengah bergandengan tangan sambil tertawa-tawa bersama seorang lelaki berpakaian casual."Itu memang dia," gumam Lila tak yakin.Tatapannya masih menyorot dua pria yang memasuki kafe di sayap kiri, bersebelahan dari tempat Lila berada. Meski terhalang beberapa meja, Lila dan Marsha masih dapat melihat dan memperhatikan dengan jelas.Kedua lelaki itu duduk bersebelahan, nyaris tak berjarak. Mereka terus berbincang dengan seru diiringi tawa. Sesekali saling tatap penuh arti. Sampai kemudian datang pramusaji membawa buku menu, keduanya tidak mengubah posisi."Lila!" seru Marsha, menepuk-nepuk punggung tangan sahabatnya, sementara pandangan matanya masih menyorot lelaki yang ia kenal sebagai kekasih perempuan yang duduk di depannya."Apaan?" tanya Lila, menolehkan kepala, menemukan wajah sahabatnya yang terl

  • Kuhibahkan Cincin dan Calon Suami pada Sepupuku   Bab 60A

    "Mama! Sakit, Maa … !"Tangis Rayyan melengking di langit-langit ruang tamu Nadira. Wajah Zahra pucat pasi. Tubuhnya membeku di tempat. Sementara Nadira kepayahan hendak jongkok sebab terhalang oleh perut besarnya.Nadira berniat menolong keponakannya yang terus menjerit kesakitan. Tangannya baru saja terulur ketika akhirnya ia berhasil melipat kedua kaki, menumpukan kedua lutut di lantai. Namun, sebuah suara menghentikan gerakannya."Jangan sentuh anakku!"Zahra.Wanita itu bergegas menghampiri anaknya, memeriksa beberapa bagian tubuh kecil anaknya dengan perasaan was-was. Sementara Nadira, langsung beringsut mundur, tidak mengerti kenapa kakak iparnya bersuara sekeras itu, melarang menyentuh Rayyan. 'Kenapa? Bukankah hal wajar jika aku ingin melihat kondisi keponakanku yang jatuh?' Nadira bermonolog dalam diam."Kamu sengaja, ya, mau celakain anakku?!" sentak Zahra, menatap sengit pada adik iparnya dengan napas memburu. Nadira semakin tidak mengerti, kenapa mendapat tuduhan seperti

  • Kuhibahkan Cincin dan Calon Suami pada Sepupuku   Bab 59B

    Nadira duduk termenung di depan kolam kecil berisi ikan koi yang berebut makanan. Bibir tipisnya sesekali melengkungkan senyum melihat gerakan mereka yang dirasa lucu. Berada di rumah seorang diri, membuat ia lebih suka menghabiskan waktu di tempat ini, menikmati gemericik air dan kecipak ikan yang sesekali melompat naik.Suara ponsel di atas meja, membuat ia bergegas meraih benda canggih itu. Melihat nama Rudy tertera di sana, membuat Nadira menarik kedua sudut bibirnya."Assalamu'alaikum, Ra, kamu di rumah, kan?" sapa Rudy begitu sambungan telepon terhubung."Wa'alaikumsalam. Iya, Mas. Aku di rumah. Gimana? Ibu nggak kenapa-kenapa, kan?" "Enggak, kok. Ini ada syukuran kecil-kecilan. Mau bagi ke kamu juga. Masa tetangga dikasih malah kamu enggak. Ini lagi istirahat dulu. Paling sepuluh menitan lagi sampai.""Lah, udah deket ternyata. Ya udah, hati-hati ya, Mas.""Oke, sampai ketemu," pamit Rudy, lantas mengakhiri panggilan.Melihat Rudy yang sedang berbicara di telepon, Zahra memand

DMCA.com Protection Status