Motor kuparkir dengan tergesa. Sebuah pesan dari Mbak Dini mengatakan ada hal penting, dan aku harus segera datang.
Mbak Dini segera menarik tanganku ke belakang ruang cetak, di mana berbaris rapi kotak-kotak loker tempat menyimpan barang berharga. Hingga kini kami berdiri berhadapan."Nadira, kenapa jadi begini?"Mbak Dini menatapku dengan mata yang memerah. Napasnya tersengal, hingga samar terdengar hembusan angin kecil dari lubang hidungnya. Untuk beberapa saat aku tak mengerti kenapa ia seperti ini.Terus terang saja hatiku menciut melihat ekspresinya. Detak jantung juga seperti melompat-lompat. Dalam ingatanku, ia biasa bercanda dan memamerkan senyuman ramah.Terlebih lagi, ia berhubungan dengan para pelanggan sebelum akhirnya memutuskan mereka akan dilayani oleh siapa. Tentu pelayanannya menjadi salah satu kunci bagi percetakan ini. Paling tidak, itu yang terlihat selama aku bekerja di sini. Tapi, sekarang ... .Apa aku tTiga hari setelah kejadian itu, pagi-pagi sekali sebuah kabar mengejutkanku. Nina, adik Mas Damar yang beberapa waktu lalu jatuh terseret motor, telah berpulang setelah melewati masa kritisnya. Rasa ragu menderaku. Haruskah datang ke sana, sementara aku tak lagi memiliki ikatan dengan keluarga itu?"Jangan pernah ganggu lagi keluarga calon suamiku, kalau kau tak mau disebut pelakor!"Aku menghela napas. Ancaman Lila sore itu kembali terngiang-ngiang. Aku tak mengerti kenapa ia memperingatkan aku sedemikian rupa, sedangkan aku tak lagi memiliki minat sama sekali dengan pria itu. Namanya telah kuhempaskan jauh-jauh, meski sesekali kenangan saat bersamanya masih suka muncul tanpa permisi. Aku tak berminat memungut mantan yang telah kubuang. Lagi pula, rasa sakit yang ia tinggalkan masih tersisa.Aku menggelengkan kepala. Mungkin sebaiknya memang tak usah datang, cukup mendo'akan dari rumah. Tapi, suara Bu Siska--ibu Mas Damar--ya
"Semua ini gara-gara kamu!"Langkahku terhenti, lalu memalingkan wajah pada perempuan berambut lurus di depanku. "Maaf, salahku apa, nona?" tanyaku ingin tau."Masih bertanya, lagi! Itu, calon suamiku kakinya patah … karena kamu, kan?!"Heh? Bicara apa dia? Bagaimana bisa menyalahkan aku yang tak tau apa-apa. Bukankah sudah jelas kalau Mas Damar terguling karena gamis Nina terjebak di rantai dan ban sepeda motor yang mereka naiki?Aku sendiri justru baru dengar kalau kakinya patah beberapa saat tadi dari bisik-bisik pelayat, lalu kini darinya yang sedang menatapku tajam."Kamu pasti dendam karena akhirnya nggak jadi nikah sama dia, lalu kamu patahkan kakinya saat melihat dia tergeletak di pinggir jalan. Iya, kan?!"Astaghfirullah … melintas di pikiran pun tidak sama sekali apa yang baru saja diucapkan sepupu jauhku ini. Entah ada masalah apa dia, hingga berburuk sangka seperti ini padaku."Tega sekali, menyakit
.Hari-hari berikutnya, aku melihat Mas Rudy semakin giat bekerja. Selama musim mangga, maka itulah yang ia jual. Sesekali kuajak ia membuat salad buah, dan ia bahagia sekali saat buah-buahan yang ia kupas terjual habis. "Mas baru tau ada makanan seperti ini, dan ternyata laris," ujarnya dengan mata berbinar.Ia dengan bersemangat memasukkan uang yang ia dapat ke dalam dompet khusus yang telah kusiapkan."Nanti kalau uangnya cukup, Mas akan sewa kios di pasar," ujarnya bersemangat.Aku mendukung penuh. Kubebaskan ia mengelola uang, dengan syarat modalnya jangan diotak-atik, kecuali buat diputar lagi.Terkadang di hari Minggu saat car free day, bertiga dengan Salma, aku dan Mas Rudy membawa berbotol-botol kunyit asam dan beras kencur untuk dijual di sana. Mas Rudy akan berjaga, sementara aku dan Salma akan berkeliling di sepanjang jalan, mencari jajanan yang kami suka. Jika sudah dapat, maka bertiga kami menikmati
Hari-hari berlalu apa adanya. Aku masih bekerja di percetakan, sementara Mas Rudy masih dengan jualan palugada, meski sekarang lebih fokus sama bawang merah goreng. Kebetulan di desa sekitar juga banyak petani yang menanam bawang merah, jadi bisa mendapatkan harga di bawah pasaran.Sejauh pengamatanku, ia menjalani dengan hati gembira. Ibu pun tak segan membantu selagi bisa. Pun Salma, meski sudah dekat ujian, ia masih rajin membantu. Alasannya supaya dapat uang jajan lebih banyak.Rumah mulai sering ramai. Produksi bawang goreng menjadi lebih banyak. Mas Rudy juga masih jualan buah. Dan karena sudah langganan, ia hanya perlu memesan, lalu tinggal menunggu buah-buahan itu datang.Sampai hari itu tiba, Salma pulang dengan hasil ujian yang memuaskan. Kami menyambut kabar tersebut dengan hati yang penuh."Kamu harus lanjutkan kuliah, Dek. Katanya pengen jadi perawat," kataku.Ia justru menggeleng."Aku mau kerja aja, Mbak. Di pabrik
"Mas berubah pikiran, Ra."Mengernyitkan kening saat mendengar Mas Rudy berkata penuh kesungguhan. Lelaki yang menjadi kakak sulungku itu menghembuskan napas perlahan, lantas melanjutkan ucapannya."Mas selalu ingat, kamu berpesan supaya meniru bola salju," lanjutnya dengan mengulas senyum. "Berawal dari bulatan kecil, semakin lama ia akan semakin besar. Kadang di bawah, kadang di puncak. Demikian pula dengan usaha yang sedang Mas jalani."Aku terkejut mendengar ia mengulangi kalimatku beberapa waktu lalu."Waktu itu memang ingin punya kios di pasar. Tapi, setelah dipikir-pikir … dengan di rumah pun ternyata tetap laku jualan Mas. Semua berkat dukungan kamu, Dek. Terima kasih banyak, ya?"Ada perasaan lega luar biasa mendengarnya. Melihat perubahan pada kakak sulungku, yang membuat pikiranku lebih ringan. Himpitan di kepala seakan berkurang begitu saja. Mas Rudy yang dulu sangat ambisius, yang semua keinginannya harus
."Kita datang saja sebentar, salaman, lalu pulang," pinta ibu. Aku baru saja pulang dari alun-alun saat ibu berkata. Boks yang awalnya berisi kunyit asam lima lusin, kuletakkan di sudut dapur. Isinya telah berganti dengan aneka cemilan sekarang."Kita sudah diundang, maka wajib datang," titah ibu lagi.Oh ibu, tak taukah anak gadismu ini belum lama patah hati, dan kini masih merasakan efeknya?"Di rumah aja, Dek, ngapain pake datang segala. Dah, sana makan lagi itu, pucet itu mukamu," timpal Mas Rudy.Aku meraba pipi, menelengkan kepala pada teko yang menampilkan wajahku, tapi dalam bentuk mengerikan. Pucatkah?Jajanan di boks telah berpindah ke meja seluruhnya. Mas Rudy menyodorkan molen mini yang segera kuterima.Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya aku setuju pada titah ibu. Datang ke pernikahan mantan, hal yang … sungguh tak pernah kubayangkan sebelumnya.Gedung itu telah ramai saat aku dan ibu sam
"Kapan-kapan Mas main ke sana, ya? Apa boleh?""Eh?" Aku terperanjat. Tak ada di kamusku akan menjalin hubungan dengan lawan jenis dalam waktu dekat. Apalagi sampai datang ke tempat kerja. Kecuali … ."Mau nyetak stand banner."Oh, baguslah. Kukira mau ada perlu apa. Tapi, sepertinya ia menjeda kalimatnya."... Sekalian biar ketemu kamu," jawabnya seakan mengerti kebingunganku.Oh, apakah dia sedang menggombal?.Ia segera berlalu dari hadapanku. Tak berapa lama kemudian, ia menghilang di kelokan jalan. Lalu kurangkai satu-satu, hal apa yang pernah menghubungkan aku dengannya.Teman sekelas Mas Damar memang tak sampai tiga puluh, dan hampir semua saling kenal satu sama lain. Aku tak hafal nama-nama mereka, hanya beberapa yang kadang berinteraksi. Itu pun saat bersama Mas Damar. Termasuk yang beberapa saat tadi bicara denganku. Seingatku hanya pernah ngobrol beberapa kali.Tak mau berpikir terlalu j
"Mbak, teman-temanku mau ambil kursus. Aku ikut, ya?"Aku baru saja mencabut kunci motor saat Salma menyapa."Kursus apa?" tanyaku, lalu mengambil langkah panjang, ingin segera membasahi tenggorokan dengan air kendi. Salma mengekor di belakangku."Kursus menjahit, Mbak."Aku mencuci tangan, lalu duduk dan meraih kendi. Ah ... segar sekali rasa air dari kulkas alami. Salma ikut duduk di sampingku."Bagus itu. Mulai kapan?"Aku tersenyum melihat adikku yang masih berubah-ubah hendak mengambil keputusan. Setelah menolak kuliah, ia telah mengusulkan beberapa kegiatan sambil menunggu ijazahnya keluar.Pernah masuk garmen, tapi, hanya bertahan dua hari karena di sana lihat temannya dibentak-bentak. Si bungsu yang selalu diperlakukan lemah lembut oleh ibu pun merasa shock, lantas memutuskan berhenti. Setelah itu ikut kursus masak, bikin macam-macam kue, dia nggak tahan amisnya telur. Dan sekarang sudah ganti lagi. Aku
"Aduh, nyumbang kok, terus!"Zahra meletakkan tas yang tadi dibawa ke rumah tetangga yang punya hajat menikahkan anaknya. Melepaskan kerudung, menyalakan kipas angin, Zahra merebahkan badan sambil memejamkan mata."Besok masih ada Aji, khitanan dia, sama Bulek Rumi nikahkan anaknya. Beras kayaknya tinggal sedikit, ya, Mas?" tanya Zahra yang kembali membuka mata.Rudy menatap karung beras yang isinya tinggal satu takaran untuk memasak nasi. Lelaki itu menghela napas lelah. Belum satu Minggu beras seberat dua puluh lima kilo itu dibeli untuk konsumsi sendiri. Namun, banyaknya hajatan di desa tersebut, membuat stok beras yang cukup untuk satu bulan itu hanya bertahan beberapa hari.Melihat toko sembako yang dirintis sejak lima tahun yang lalu, hati lelaki itu kian nelangsa. Tidak ada perkembangan berarti pada toko tersebut. Pembeli memang ada, tapi pengeluaran tidak sebanding dengan besarnya pemasukan.Lelaki itu tidak habis mengerti, ke man
Lila tidak pernah menyangka bahwa keputusan orang tuanya adalah mutlak. Nama orang tua yang tercoreng akibat perbuatannya yang viral di sosial media, membuat semua fasilitas dicabut paksa.Wanita itu mulai kelimpungan sebab tak biasa hidup sederhana. Jatah uang jajan yang berkurang drastis, tak mampu menyokong gaya hidupnya. Beberapa barang mewah yang pernah didapat dari Rendi berusaha dia jual. Namun, lagi-lagi kecewa harus dirasakan. Perhiasan bertabur berlian, tas mewah, sepatu bermerk, semua adalah barang KW. Otomatis tidak bisa dijual dengan harga tinggi.Kata makian kembali terlontar berulang kali. Namun, hal itu tidak bisa mengubah apa pun. Terlebih ketika dia akhirnya menemui Rendi, lelaki itu justru mengatakan kalau Lila bisa mendapatkan semua barang branded yang dipilih dari outlet resmi sesukanya, yakni dengan menukar Sahara untuk dirawat dan dibesarkan bersama kekasihnya di luar negeri."Masa depan anak itu akan terjamin. Kamu bebas menjadi wan
"Mohon maaf, Mbak. Apa ada kartu yang lain? Kartu ini tidak dapat digunakan," ucap petugas kasir membuat Lila melotot."Masa nggak bisa, sih? Saldonya masih banyak, loh?" jawab Lila mulai gusar. Diberikan sebuah kartu lain, hasilnya sama saja."Atau bisa dibayar dengan uang cash saja," pinta petugas kasih dengan sopan. Meskipun demikian, perempuan muda itu merasa tak enak hati saat melihat antrian yang masih mengular."Saya nggak bawa uang cash, Mbak," jawab Lila mulai kesal. "Sebentar saya telpon dulu, ya," ijinnya yang diiyakan oleh wanita dengan name tag Almira."Biar saya yang bayar."Sebuah suara yang dirasa tak asing, membuat Lila mengurungkan niat menelpon orang tuanya. Kedua matanya melotot melihat lelaki yang tempo hari mengaku istri kekasihnya.."Gue nggak butuh dikasihani!" seru Lila dengan ketus, saat Audrey memaksa membayar dan membawa belanjaannya. "Kau akan menyusahkan kasir kalau sampai batal membeli. Dia harus bayar itu semua yang sudah discan. Iya kalau dia punya du
Beberapa saat sebelumnya ...."Kamu apa nggak kangen anakmu, Nang?" tanya Bu Astuti pada Rudy yang duduk di teras ditemani rokok dan segelas kopi pahit."Kangen, Bu," jawab Rudy tanpa menoleh pada sang ibu. Asap kembali ia kepulkan ke udara.Bu Astuti menatap anaknya dengan pandangan iba. Semenjak tinggal berdua dengan ibunya saja, Rudy lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah. Toko sembako yang baru dirintis itu, hanya dibuka saat malam, tepatnya lewat Magrib hingga kantuk datang. Tidak menentu.Seperti sekarang, Rudy istirahat dari lelahnya beraktivitas di sawah sambil menunggu pembeli. Bu Astuti ikut duduk di samping anaknya yang terlihat lelah. "Kenapa, Bu? Ibu mau ketemu cucu ibu?" tanya Rudy kemudian. Bu Astuti ingin mengangguk, tapi, kepalanya justru menggeleng. Rasa rindu itu sudah demikian besar. Pun ingin tahu bagaimana kabar sang cucu pasca cedera tulang ekor hari itu. Hanya saja, melihat Rudy yang nyaris tak pernah membahas istri dan anaknya, membuat wanita paruh bay
Zahra terus menyalahkan Nadira atas sakit yang diderita anaknya. Jatuh dengan posisi terduduk itu rupanya membuat cedera pada tulang ekor Rayyan. Meskipun tidak sampai patah seperti yang dikhawatirkan sebelumnya, tetap saja membatasi kegiatan Rayyan, hingga bocah itu kerap rewel jika merasa bosan, sebab tidak bisa bebas beraktivitas seperti sediakala.Kedua orang tua Zahra ikut menyalahkan Nadira atas kejadian yang membuat cucunya cedera. Menurut mereka, kejadian itu tidak pernah terjadi sebelumnya, baik di rumah orang tua Rudy, maupun di rumah mereka saat Rayyan berkunjung.Sebagai cucu pertama dan kesayangan, nyaris semua perhatian tertumpah ruah pada anak itu. Nadira tidak heran sebab sudah berulang kali terjadi, jika ada sesuatu yang terjadi pada Rayyan, maka orang lain lah yang akan dikambinghitamkan, sementara Rayyan tersenyum penuh kemenangan.Tidak tahan lagi dengan makian yang didapat dari keluarga kakak iparnya, maka Nadira sepakat dengan Fajar untuk menunjukkan bukti rekama
Di tempat lain ….Damar memandangi layar ponselnya dengan jengah. Rentetan pesan dan panggilan dari Lila sengaja ia abaikan. Dari sekilas pesan yang terbaca saat muncul di pop up, ia tahu kalau Lila kalang kabut sebab kepergiannya dengan Sahara. Tentu saja Damar mengerti kegelisahan wanita yang telah empat tahun terakhir membersamai hidupnya.Lila pernah bercerita, bahwa hibah harta dari Pak Wirya dan Bu Marta kemungkinan besar akan ditunda, atau justru dibatalkan, jika sampai terjadi hal buruk dalam pernikahannya. Damar tidak peduli sama sekali. Baginya, jika itu berkaitan dengan harta orang tua Lila, dia tidak mau ikut campur. Toh, selama ini dia juga terus menerus disebut tidak berguna sebagai seorang suami, meski telah berusaha maksimal untuk mengelola lahan yang menghasilkan puluhan kwintal bawang merah.Sempat terlintas keinginan untuk menggugat Lila dengan tuduhan penipuan pernikahan. Namun, dirasa hanya buang waktu dan tenaga, i
"Itu bukannya si Rendi ya, Lil?"Mendengar nama kekasihnya disebut, Lila menghentikan mengunyah permen karet. Mengikuti arah telunjuk Marsha, tatapannya terhenti pada sosok lelaki yang tengah bergandengan tangan sambil tertawa-tawa bersama seorang lelaki berpakaian casual."Itu memang dia," gumam Lila tak yakin.Tatapannya masih menyorot dua pria yang memasuki kafe di sayap kiri, bersebelahan dari tempat Lila berada. Meski terhalang beberapa meja, Lila dan Marsha masih dapat melihat dan memperhatikan dengan jelas.Kedua lelaki itu duduk bersebelahan, nyaris tak berjarak. Mereka terus berbincang dengan seru diiringi tawa. Sesekali saling tatap penuh arti. Sampai kemudian datang pramusaji membawa buku menu, keduanya tidak mengubah posisi."Lila!" seru Marsha, menepuk-nepuk punggung tangan sahabatnya, sementara pandangan matanya masih menyorot lelaki yang ia kenal sebagai kekasih perempuan yang duduk di depannya."Apaan?" tanya Lila, menolehkan kepala, menemukan wajah sahabatnya yang terl
"Mama! Sakit, Maa … !"Tangis Rayyan melengking di langit-langit ruang tamu Nadira. Wajah Zahra pucat pasi. Tubuhnya membeku di tempat. Sementara Nadira kepayahan hendak jongkok sebab terhalang oleh perut besarnya.Nadira berniat menolong keponakannya yang terus menjerit kesakitan. Tangannya baru saja terulur ketika akhirnya ia berhasil melipat kedua kaki, menumpukan kedua lutut di lantai. Namun, sebuah suara menghentikan gerakannya."Jangan sentuh anakku!"Zahra.Wanita itu bergegas menghampiri anaknya, memeriksa beberapa bagian tubuh kecil anaknya dengan perasaan was-was. Sementara Nadira, langsung beringsut mundur, tidak mengerti kenapa kakak iparnya bersuara sekeras itu, melarang menyentuh Rayyan. 'Kenapa? Bukankah hal wajar jika aku ingin melihat kondisi keponakanku yang jatuh?' Nadira bermonolog dalam diam."Kamu sengaja, ya, mau celakain anakku?!" sentak Zahra, menatap sengit pada adik iparnya dengan napas memburu. Nadira semakin tidak mengerti, kenapa mendapat tuduhan seperti
Nadira duduk termenung di depan kolam kecil berisi ikan koi yang berebut makanan. Bibir tipisnya sesekali melengkungkan senyum melihat gerakan mereka yang dirasa lucu. Berada di rumah seorang diri, membuat ia lebih suka menghabiskan waktu di tempat ini, menikmati gemericik air dan kecipak ikan yang sesekali melompat naik.Suara ponsel di atas meja, membuat ia bergegas meraih benda canggih itu. Melihat nama Rudy tertera di sana, membuat Nadira menarik kedua sudut bibirnya."Assalamu'alaikum, Ra, kamu di rumah, kan?" sapa Rudy begitu sambungan telepon terhubung."Wa'alaikumsalam. Iya, Mas. Aku di rumah. Gimana? Ibu nggak kenapa-kenapa, kan?" "Enggak, kok. Ini ada syukuran kecil-kecilan. Mau bagi ke kamu juga. Masa tetangga dikasih malah kamu enggak. Ini lagi istirahat dulu. Paling sepuluh menitan lagi sampai.""Lah, udah deket ternyata. Ya udah, hati-hati ya, Mas.""Oke, sampai ketemu," pamit Rudy, lantas mengakhiri panggilan.Melihat Rudy yang sedang berbicara di telepon, Zahra memand