Hari-hari berlalu apa adanya. Aku masih bekerja di percetakan, sementara Mas Rudy masih dengan jualan palugada, meski sekarang lebih fokus sama bawang merah goreng. Kebetulan di desa sekitar juga banyak petani yang menanam bawang merah, jadi bisa mendapatkan harga di bawah pasaran.
Sejauh pengamatanku, ia menjalani dengan hati gembira. Ibu pun tak segan membantu selagi bisa. Pun Salma, meski sudah dekat ujian, ia masih rajin membantu. Alasannya supaya dapat uang jajan lebih banyak.Rumah mulai sering ramai. Produksi bawang goreng menjadi lebih banyak. Mas Rudy juga masih jualan buah. Dan karena sudah langganan, ia hanya perlu memesan, lalu tinggal menunggu buah-buahan itu datang.Sampai hari itu tiba, Salma pulang dengan hasil ujian yang memuaskan. Kami menyambut kabar tersebut dengan hati yang penuh."Kamu harus lanjutkan kuliah, Dek. Katanya pengen jadi perawat," kataku.Ia justru menggeleng."Aku mau kerja aja, Mbak. Di pabrik"Mas berubah pikiran, Ra."Mengernyitkan kening saat mendengar Mas Rudy berkata penuh kesungguhan. Lelaki yang menjadi kakak sulungku itu menghembuskan napas perlahan, lantas melanjutkan ucapannya."Mas selalu ingat, kamu berpesan supaya meniru bola salju," lanjutnya dengan mengulas senyum. "Berawal dari bulatan kecil, semakin lama ia akan semakin besar. Kadang di bawah, kadang di puncak. Demikian pula dengan usaha yang sedang Mas jalani."Aku terkejut mendengar ia mengulangi kalimatku beberapa waktu lalu."Waktu itu memang ingin punya kios di pasar. Tapi, setelah dipikir-pikir … dengan di rumah pun ternyata tetap laku jualan Mas. Semua berkat dukungan kamu, Dek. Terima kasih banyak, ya?"Ada perasaan lega luar biasa mendengarnya. Melihat perubahan pada kakak sulungku, yang membuat pikiranku lebih ringan. Himpitan di kepala seakan berkurang begitu saja. Mas Rudy yang dulu sangat ambisius, yang semua keinginannya harus
."Kita datang saja sebentar, salaman, lalu pulang," pinta ibu. Aku baru saja pulang dari alun-alun saat ibu berkata. Boks yang awalnya berisi kunyit asam lima lusin, kuletakkan di sudut dapur. Isinya telah berganti dengan aneka cemilan sekarang."Kita sudah diundang, maka wajib datang," titah ibu lagi.Oh ibu, tak taukah anak gadismu ini belum lama patah hati, dan kini masih merasakan efeknya?"Di rumah aja, Dek, ngapain pake datang segala. Dah, sana makan lagi itu, pucet itu mukamu," timpal Mas Rudy.Aku meraba pipi, menelengkan kepala pada teko yang menampilkan wajahku, tapi dalam bentuk mengerikan. Pucatkah?Jajanan di boks telah berpindah ke meja seluruhnya. Mas Rudy menyodorkan molen mini yang segera kuterima.Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya aku setuju pada titah ibu. Datang ke pernikahan mantan, hal yang … sungguh tak pernah kubayangkan sebelumnya.Gedung itu telah ramai saat aku dan ibu sam
"Kapan-kapan Mas main ke sana, ya? Apa boleh?""Eh?" Aku terperanjat. Tak ada di kamusku akan menjalin hubungan dengan lawan jenis dalam waktu dekat. Apalagi sampai datang ke tempat kerja. Kecuali … ."Mau nyetak stand banner."Oh, baguslah. Kukira mau ada perlu apa. Tapi, sepertinya ia menjeda kalimatnya."... Sekalian biar ketemu kamu," jawabnya seakan mengerti kebingunganku.Oh, apakah dia sedang menggombal?.Ia segera berlalu dari hadapanku. Tak berapa lama kemudian, ia menghilang di kelokan jalan. Lalu kurangkai satu-satu, hal apa yang pernah menghubungkan aku dengannya.Teman sekelas Mas Damar memang tak sampai tiga puluh, dan hampir semua saling kenal satu sama lain. Aku tak hafal nama-nama mereka, hanya beberapa yang kadang berinteraksi. Itu pun saat bersama Mas Damar. Termasuk yang beberapa saat tadi bicara denganku. Seingatku hanya pernah ngobrol beberapa kali.Tak mau berpikir terlalu j
"Mbak, teman-temanku mau ambil kursus. Aku ikut, ya?"Aku baru saja mencabut kunci motor saat Salma menyapa."Kursus apa?" tanyaku, lalu mengambil langkah panjang, ingin segera membasahi tenggorokan dengan air kendi. Salma mengekor di belakangku."Kursus menjahit, Mbak."Aku mencuci tangan, lalu duduk dan meraih kendi. Ah ... segar sekali rasa air dari kulkas alami. Salma ikut duduk di sampingku."Bagus itu. Mulai kapan?"Aku tersenyum melihat adikku yang masih berubah-ubah hendak mengambil keputusan. Setelah menolak kuliah, ia telah mengusulkan beberapa kegiatan sambil menunggu ijazahnya keluar.Pernah masuk garmen, tapi, hanya bertahan dua hari karena di sana lihat temannya dibentak-bentak. Si bungsu yang selalu diperlakukan lemah lembut oleh ibu pun merasa shock, lantas memutuskan berhenti. Setelah itu ikut kursus masak, bikin macam-macam kue, dia nggak tahan amisnya telur. Dan sekarang sudah ganti lagi. Aku
Dua Minggu kemudian … ."Kamu bener mau resign, Nad?"Mbak Ambar menyerbuku saat jam istirahat tiba. Aku mengangguk mengiyakan. Satu Minggu lagi kontrak kerjaku di sini selesai, dan aku telah memantapkan hati untuk resign. Rupanya kabar itu cepat sekali menyebar."Yah ... nggak ada yang bawa bumbu pecel lagi, dong, entar," timpal Mbak Dini.Aku tersenyum pada teman-teman di depanku, yang sudah kuanggap kakak sendiri. Mereka tak pernah bosan dengan bumbu pecel yang kubawa. Tak jarang digunakan lauk saat makan siang, atau dimakan begitu saja sebagai cemilan."Gampang kalau itu, Mbak. Kalau pingin bisa diantar ke sini sama kakakku.""Ajarin bikin aja, gimana?" tawar Mbak Dini."Alah, gayamu mau bikin, paling cuma wacana," ledek Mbak Ambar. Mbak Dini memajukan bibir, terlihat lucu olehku."Ya, siapa tau aja nanti bisa gantikan Nadira jualan di sini kalau dia udah pindah. Iya, kan?" "Jangan mau, N
Kedua mataku dipenuhi kaca-kaca bening mendengar ucapan ibu. Tak biasanya beliau berbicara sepanjang ini padaku."Terima kasih, ya, Bu, akan saya ingat nasehatmu," jawabku singkat. Ibu mengangguk."Masmu sudah di rumah,dan ibu rasa memang tak akan pergi lagi. Tak usah khawatirkan ibu dan adikmu, ya."Aku mengangguk mengiyakan."Ya, semoga saja Mas Rudy istikomah, mau mengembangkan apa yang sudah dirintis dan sekarang mulai berkembang ya, Bu."Ibu mengangguk-angguk."Siapa tau kamu ketemu jodoh yang bener nanti," tambah ibu lagi.Aamiin. Eh? Jodoh lagi yang dibahas ibu."Sebenarnya ada yang nanyakan kamu, lho, Ra.""Siapa, Bu? Menanyakan apa?" tanyaku ingin tau."Itu, Pak Hardi. Pengen ngenalin anaknya sama kamu, siapa tau cocok, mau dijadikan mantu kamu."Aku terperanjat mendengar jawaban ibu. Pak Hardi itu hanya satu di kampung ini, kepala desa. Dan anaknya, yang mana dia?"M
"Oh, maaf. Maksudku, bagaimana kalau aku pengen bumbu pecel, atau salad buah buatan kamu?"Kedua sudut bibirku tertarik ke atas, lantas sejenak menelisik wajah pria muda di depanku yang nampak gugup dan sempat membuat nyaliku menciut."Tunggu sebentar, ya," jawabku, lalu beranjak ke pantry."Ini salad buah, tinggal kamu yang belum karena baru datang," ujarku dengan mengulas senyuman. Kuletakkan mangkuk plastik berisi salad buah yang kubuat pagi tadi di atas meja."Dan untuk bumbu pecel, nanti sebentar lagi diantar ke sini, sekalian nasi kotak sebagai ucapan perpisahan dariku pada semua teman di sini.""Nadira, bukan itu maksudku," sahut Fajar setelah beberapa saat terdiam di kursinya."Jadi?"Ia tak segera menjawab, justru menutup wajah dengan kedua telapak tangannya."Fajar, kamu kenapa?"Lalu suara ponsel di saku jaketnya terdengar menjerit-jerit. Ia segera menerima panggilan tersebut tanpa menin
"Anak saya nggak bisa ikut, tapi dia sudah punya pekerjaan tetap di kabupaten. Gajinya juga, lumayan lah. Jadi, Nak Nadira tak perlu kuatir soal nafkah nanti,” ujar Pak Hardi, kala itu."Saya akan senang sekali kalau Nadira jadi menantu saya, nggak usah kerja lagi juga nggak apa-apa nanti. Iya, kan, Pak?" timpal snag ibu negara.Hem, mana bisa begitu. Aku tak biasa menadahkan tangan. Selama ini bebas mau beli apa aja meski direm juga. Akan bagaimana belanja ibuku nanti kalau setelah bersuami aku tak boleh kerja?Pak Hardi mengangguk tanda setuju. "Ya, sayang sekali dia tak bisa ikut. Oh, tapi Nak Rudy ini, kan, teman sekelas Aji waktu SD dulu, ya?"Aku terperanjat, lalu menoleh pada Mas Rudy. Ia mengangguk mengiyakan. Jadi namanya Aji, seumur Mas Rudy?"Iya, Pak, Aji teman main saya dulu," jawab Mas Rudy. Aku menghela napas, membayangkan bersanding dengan pria yang tak kukenal, seumur kakakku pula. Yang mana orang
"Aduh, nyumbang kok, terus!"Zahra meletakkan tas yang tadi dibawa ke rumah tetangga yang punya hajat menikahkan anaknya. Melepaskan kerudung, menyalakan kipas angin, Zahra merebahkan badan sambil memejamkan mata."Besok masih ada Aji, khitanan dia, sama Bulek Rumi nikahkan anaknya. Beras kayaknya tinggal sedikit, ya, Mas?" tanya Zahra yang kembali membuka mata.Rudy menatap karung beras yang isinya tinggal satu takaran untuk memasak nasi. Lelaki itu menghela napas lelah. Belum satu Minggu beras seberat dua puluh lima kilo itu dibeli untuk konsumsi sendiri. Namun, banyaknya hajatan di desa tersebut, membuat stok beras yang cukup untuk satu bulan itu hanya bertahan beberapa hari.Melihat toko sembako yang dirintis sejak lima tahun yang lalu, hati lelaki itu kian nelangsa. Tidak ada perkembangan berarti pada toko tersebut. Pembeli memang ada, tapi pengeluaran tidak sebanding dengan besarnya pemasukan.Lelaki itu tidak habis mengerti, ke man
Lila tidak pernah menyangka bahwa keputusan orang tuanya adalah mutlak. Nama orang tua yang tercoreng akibat perbuatannya yang viral di sosial media, membuat semua fasilitas dicabut paksa.Wanita itu mulai kelimpungan sebab tak biasa hidup sederhana. Jatah uang jajan yang berkurang drastis, tak mampu menyokong gaya hidupnya. Beberapa barang mewah yang pernah didapat dari Rendi berusaha dia jual. Namun, lagi-lagi kecewa harus dirasakan. Perhiasan bertabur berlian, tas mewah, sepatu bermerk, semua adalah barang KW. Otomatis tidak bisa dijual dengan harga tinggi.Kata makian kembali terlontar berulang kali. Namun, hal itu tidak bisa mengubah apa pun. Terlebih ketika dia akhirnya menemui Rendi, lelaki itu justru mengatakan kalau Lila bisa mendapatkan semua barang branded yang dipilih dari outlet resmi sesukanya, yakni dengan menukar Sahara untuk dirawat dan dibesarkan bersama kekasihnya di luar negeri."Masa depan anak itu akan terjamin. Kamu bebas menjadi wan
"Mohon maaf, Mbak. Apa ada kartu yang lain? Kartu ini tidak dapat digunakan," ucap petugas kasir membuat Lila melotot."Masa nggak bisa, sih? Saldonya masih banyak, loh?" jawab Lila mulai gusar. Diberikan sebuah kartu lain, hasilnya sama saja."Atau bisa dibayar dengan uang cash saja," pinta petugas kasih dengan sopan. Meskipun demikian, perempuan muda itu merasa tak enak hati saat melihat antrian yang masih mengular."Saya nggak bawa uang cash, Mbak," jawab Lila mulai kesal. "Sebentar saya telpon dulu, ya," ijinnya yang diiyakan oleh wanita dengan name tag Almira."Biar saya yang bayar."Sebuah suara yang dirasa tak asing, membuat Lila mengurungkan niat menelpon orang tuanya. Kedua matanya melotot melihat lelaki yang tempo hari mengaku istri kekasihnya.."Gue nggak butuh dikasihani!" seru Lila dengan ketus, saat Audrey memaksa membayar dan membawa belanjaannya. "Kau akan menyusahkan kasir kalau sampai batal membeli. Dia harus bayar itu semua yang sudah discan. Iya kalau dia punya du
Beberapa saat sebelumnya ...."Kamu apa nggak kangen anakmu, Nang?" tanya Bu Astuti pada Rudy yang duduk di teras ditemani rokok dan segelas kopi pahit."Kangen, Bu," jawab Rudy tanpa menoleh pada sang ibu. Asap kembali ia kepulkan ke udara.Bu Astuti menatap anaknya dengan pandangan iba. Semenjak tinggal berdua dengan ibunya saja, Rudy lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah. Toko sembako yang baru dirintis itu, hanya dibuka saat malam, tepatnya lewat Magrib hingga kantuk datang. Tidak menentu.Seperti sekarang, Rudy istirahat dari lelahnya beraktivitas di sawah sambil menunggu pembeli. Bu Astuti ikut duduk di samping anaknya yang terlihat lelah. "Kenapa, Bu? Ibu mau ketemu cucu ibu?" tanya Rudy kemudian. Bu Astuti ingin mengangguk, tapi, kepalanya justru menggeleng. Rasa rindu itu sudah demikian besar. Pun ingin tahu bagaimana kabar sang cucu pasca cedera tulang ekor hari itu. Hanya saja, melihat Rudy yang nyaris tak pernah membahas istri dan anaknya, membuat wanita paruh bay
Zahra terus menyalahkan Nadira atas sakit yang diderita anaknya. Jatuh dengan posisi terduduk itu rupanya membuat cedera pada tulang ekor Rayyan. Meskipun tidak sampai patah seperti yang dikhawatirkan sebelumnya, tetap saja membatasi kegiatan Rayyan, hingga bocah itu kerap rewel jika merasa bosan, sebab tidak bisa bebas beraktivitas seperti sediakala.Kedua orang tua Zahra ikut menyalahkan Nadira atas kejadian yang membuat cucunya cedera. Menurut mereka, kejadian itu tidak pernah terjadi sebelumnya, baik di rumah orang tua Rudy, maupun di rumah mereka saat Rayyan berkunjung.Sebagai cucu pertama dan kesayangan, nyaris semua perhatian tertumpah ruah pada anak itu. Nadira tidak heran sebab sudah berulang kali terjadi, jika ada sesuatu yang terjadi pada Rayyan, maka orang lain lah yang akan dikambinghitamkan, sementara Rayyan tersenyum penuh kemenangan.Tidak tahan lagi dengan makian yang didapat dari keluarga kakak iparnya, maka Nadira sepakat dengan Fajar untuk menunjukkan bukti rekama
Di tempat lain ….Damar memandangi layar ponselnya dengan jengah. Rentetan pesan dan panggilan dari Lila sengaja ia abaikan. Dari sekilas pesan yang terbaca saat muncul di pop up, ia tahu kalau Lila kalang kabut sebab kepergiannya dengan Sahara. Tentu saja Damar mengerti kegelisahan wanita yang telah empat tahun terakhir membersamai hidupnya.Lila pernah bercerita, bahwa hibah harta dari Pak Wirya dan Bu Marta kemungkinan besar akan ditunda, atau justru dibatalkan, jika sampai terjadi hal buruk dalam pernikahannya. Damar tidak peduli sama sekali. Baginya, jika itu berkaitan dengan harta orang tua Lila, dia tidak mau ikut campur. Toh, selama ini dia juga terus menerus disebut tidak berguna sebagai seorang suami, meski telah berusaha maksimal untuk mengelola lahan yang menghasilkan puluhan kwintal bawang merah.Sempat terlintas keinginan untuk menggugat Lila dengan tuduhan penipuan pernikahan. Namun, dirasa hanya buang waktu dan tenaga, i
"Itu bukannya si Rendi ya, Lil?"Mendengar nama kekasihnya disebut, Lila menghentikan mengunyah permen karet. Mengikuti arah telunjuk Marsha, tatapannya terhenti pada sosok lelaki yang tengah bergandengan tangan sambil tertawa-tawa bersama seorang lelaki berpakaian casual."Itu memang dia," gumam Lila tak yakin.Tatapannya masih menyorot dua pria yang memasuki kafe di sayap kiri, bersebelahan dari tempat Lila berada. Meski terhalang beberapa meja, Lila dan Marsha masih dapat melihat dan memperhatikan dengan jelas.Kedua lelaki itu duduk bersebelahan, nyaris tak berjarak. Mereka terus berbincang dengan seru diiringi tawa. Sesekali saling tatap penuh arti. Sampai kemudian datang pramusaji membawa buku menu, keduanya tidak mengubah posisi."Lila!" seru Marsha, menepuk-nepuk punggung tangan sahabatnya, sementara pandangan matanya masih menyorot lelaki yang ia kenal sebagai kekasih perempuan yang duduk di depannya."Apaan?" tanya Lila, menolehkan kepala, menemukan wajah sahabatnya yang terl
"Mama! Sakit, Maa … !"Tangis Rayyan melengking di langit-langit ruang tamu Nadira. Wajah Zahra pucat pasi. Tubuhnya membeku di tempat. Sementara Nadira kepayahan hendak jongkok sebab terhalang oleh perut besarnya.Nadira berniat menolong keponakannya yang terus menjerit kesakitan. Tangannya baru saja terulur ketika akhirnya ia berhasil melipat kedua kaki, menumpukan kedua lutut di lantai. Namun, sebuah suara menghentikan gerakannya."Jangan sentuh anakku!"Zahra.Wanita itu bergegas menghampiri anaknya, memeriksa beberapa bagian tubuh kecil anaknya dengan perasaan was-was. Sementara Nadira, langsung beringsut mundur, tidak mengerti kenapa kakak iparnya bersuara sekeras itu, melarang menyentuh Rayyan. 'Kenapa? Bukankah hal wajar jika aku ingin melihat kondisi keponakanku yang jatuh?' Nadira bermonolog dalam diam."Kamu sengaja, ya, mau celakain anakku?!" sentak Zahra, menatap sengit pada adik iparnya dengan napas memburu. Nadira semakin tidak mengerti, kenapa mendapat tuduhan seperti
Nadira duduk termenung di depan kolam kecil berisi ikan koi yang berebut makanan. Bibir tipisnya sesekali melengkungkan senyum melihat gerakan mereka yang dirasa lucu. Berada di rumah seorang diri, membuat ia lebih suka menghabiskan waktu di tempat ini, menikmati gemericik air dan kecipak ikan yang sesekali melompat naik.Suara ponsel di atas meja, membuat ia bergegas meraih benda canggih itu. Melihat nama Rudy tertera di sana, membuat Nadira menarik kedua sudut bibirnya."Assalamu'alaikum, Ra, kamu di rumah, kan?" sapa Rudy begitu sambungan telepon terhubung."Wa'alaikumsalam. Iya, Mas. Aku di rumah. Gimana? Ibu nggak kenapa-kenapa, kan?" "Enggak, kok. Ini ada syukuran kecil-kecilan. Mau bagi ke kamu juga. Masa tetangga dikasih malah kamu enggak. Ini lagi istirahat dulu. Paling sepuluh menitan lagi sampai.""Lah, udah deket ternyata. Ya udah, hati-hati ya, Mas.""Oke, sampai ketemu," pamit Rudy, lantas mengakhiri panggilan.Melihat Rudy yang sedang berbicara di telepon, Zahra memand