POV FajarMelihat wajah ayu di depanku yang tengah tersenyum malu-malu, membuat ingatan ini kembali pada awal kami bertemu.Bukan kali pertama aku melihatnya saat ia datang dan duduk berhadapan dengan Sabil di ruang interview, tapi, tetap saja aku terpesona dengan hadirnya.Wajah itu menunduk, menunggu keputusan akan diterima atau tidak di percetakan ini. Ia tak bisa membuat desain, tapi bisa mengoperasikan Corel draw, meski bukan di tingkat mahir. Ia juga siap ditempatkan di bagian finishing jika memang tak ada lagi tempat sebagai operator.Sebegitu besar inginnya untuk diterima bekerja di sini. Dan aku mengerti alasannya."Oke, selamat bergabung. Bisa kerja mulai kapan, Mbak Nadira?" tanya Sabil, membuat ia menegakkan kepala, juga membeliakkan kedua mata. Lucu sekali melihat ekspresinya. Mata itu, yang kemudian membuatku jatuh rindu."Besok pagi jam delapan datang ke sini, bisa?" tanya Sabil lagi.Aku melihat
Sejak hari itu, suasana menjadi berbeda sama sekali. Ada sesuatu yang hilang bersama perginya. Hatiku mencelos setiap kali mendapati tempat parkir yang biasa terisi dengan motor matic bertuliskan huruf kanji itu kini kosong. Juga bangkunya yang kemudian kubiarkan tak terisi. Meski telah merelakan ia akan meraih bahagia di tempat baru, nyatanya jauh di sudut hati ini masih berharap ia kembali dan mengoperasikan monitor itu lagi.Aku … jatuh rindu.Yang kulakukan berikutnya ialah membujuk Bunda, supaya diijinkan tinggal bersama Eyang di Surabaya. Kota yang kuketahui menjadi tempat kerja Nadira berikutnya."Kamu kan, punya tanggung jawab sama percetakan." Bunda memberi alasan penolakan."Ada Sabil, loh, Bun. Boleh, ya?" Menggapit lengan bunda, menyandarkan kepalaku di bahu wanita yang menyayangiku tanpa tapi."Bukannya Eyang juga minta supaya aku belajar mengelola hotel miliknya?" Lagi aku membujuk wanita yang menjadi cin
"Kenapa kamu begitu yakin untuk kita melanjutkan langkah ke jenjang pernikahan, Jar? Aku ini hanya perempuan biasa, sementara kamu … aku yakin banyak yang lebih pantas untuk bersanding denganmu."Aku menangkap nada putus asa dari caranya bicara. "Aku mencintaimu. Berharap kelak hidup bahagia dalam sebuah rumah tangga. Bagiku, kamu wanita yang istimewa, Nad. Bahkan sejak pertama kita bertemu.""Kapan itu?" sahutnya cepat. "Kita satu tempat kerja, setiap hari bertemu bukan, saat aku masih di sana?"Aku tersenyum. Jauh sebelum ia masuk ke percetakan, telah kulihat ia menolong seorang nenek yang terperosok ke dalam saluran air. Beberapa kali pula kulihat menjajakan makanan di alun-alun. Maka saat Ira merekomendasikan salah seorang teman untuk mengisi kebutuhan operator yang kosong, dan ternyata itu dia, tanpa pikir panjang langsung kuminta datang. Interview itu hanya formalitas saja. Beruntung Sabil mau diajak kerjasama."Kamu ben
Aku pikir terlalu cepat merencanakan pernikahan. Rasanya masih ingin berlama-lama menikmati kesendirian sebagai seorang single yang bebas ke sana ke mari. Tapi, tak baik juga menunda-nunda kebaikan.Meski aku sadar kalau saat ini belum mencintai Fajar seutuhnya, tapi, rasa sayang padanya mulai merambati hati. Pada malam ia membawa bunga sakura itu, aku merasa mendapatkan sebuah petunjuk. Bahwa, mungkin inilah jodohku. Melihat dia yang sekarang, entah kenapa aku jadi membayangkan masa depan bersamanya. Aku hampir tak pernah berhubungan dekat dengan lawan jenis, kecuali sebatas teman biasa. Waktuku telah terkuras untuk bekerja dan memanfaatkan waktu senggang, dan itu sudah kumulai sejak masuk ke jenjang SMA. Hanya Mas Damar lah yang bisa mencuri hatiku, kala itu. Sampai kemudian, saat menemukan kecurangannya, membuat enggan menerima kehadiran orang baru untuk menggantikan dia. Aku hanya perlu waktu, dan kurasa Fajar yang berji
Fajar telah menemui Mas Rudy dan ibu beberapa waktu lalu untuk melamar. Aku kembali bekerja seperti biasa, meski Fajar membujuk supaya mengajukan resign. Mbak Yuli sudah heboh begitu melihat sebuah cincin melingkar di jari manisku yang biasanya polos. "Mbak, ini beneran mau merid? Kok nggak kabar-kabar? Terus nanti masih kerja di sini, nggak? Padahal udah cocok banget satu tim sama kamu, Mbak," cecar Mbak Yuli dengan wajah mendung.Aku tersenyum melihat ibu satu anak yang selalu semangat bekerja ini. Interaksiku dengannya selama menjadi karyawan Pak Arfan telah membuat kami saling dekat layaknya saudara. Bukan hanya soal pekerjaan, dia juga sering curhat masalah pribadinya.Saat aku baru kembali dari Medan dulu, ia bercerita kalau sering merasa kesepian saat bekerja, tak ada yang diajak berbicara sambil otak-atik program. "Siapa yang kuajak tukaran nanti kalau kamu nggak di sini?" tukasnya lagi.Aku menahan senyum, tering
Rupanya kabar rencana pernikahanku telah didengar oleh teman-teman di percetakan. Beberapa hari menjelang akad, Mbak Dini minta video call, lalu wajah teman-teman memenuhi layar ponselku.Bergantian mereka mengajak bicara dan mengucapkan selamat, sampai kemudian wajah Sabil muncul di layar, membuat ingatanku terhenti pada satu wajah, Mas Fatih.Wajah itu beberapa kali menyusup ke dalam mimpi. Kadang aku berharap, saat sedang berjamaah di masjid akan mendengar suaranya sebagai imam sholat seperti saat aku masih di Medan dulu. Harapan yang kemudian terhempas, saat yang terdengar olehku adalah suara yang berbeda sama sekali.Perasaan bersalah seringkali menyapaku. Merasa bersalah pada sang calon suami yang sejauh ini terlihat tulus mencintai jika keinginan tersebut muncul ke permukaan. Kadang aku berpikir, apa aku telah mendzolimi calon suamiku dengan berharap menjadi makmum dari Mas Fatih saat sedang beribadah? Seringkali terbayang wajahn
"Nad, coba kamu lihat ini, siapa tau berubah pikiran."Sebuah katalog dekorasi pelaminan disodorkan padaku. Membuka beberapa lembar isinya, jujur saja aku langsung minder membayangkan menggunakan salah satunya lalu duduk di sana sebagai ratu sehari.Semua itu terlalu mewah. Biaya sewanya sudah pasti mahal. Meski Fajar telah menyanggupi, tapi, aku cukup tau diri. Aku kasihan kalau dia harus mengeluarkan banyak biaya, sedangkan kami ini masih sama-sama merintis usaha. Sama-sama karyawan juga. Sayang sekali rasanya jika menghamburkan uang hanya untuk acara sehari. "Bagaimana?" tanyanya setelah beberapa saat aku terdiam.Kusodorkan kembali katalog itu, lalu menggeleng."Terima kasih, Mas. Tapi, maaf, aku nggak suka keramaian," jawabku, membuat ia menghembuskan napas panjang."Baiklah. Nanti kita bikin yang sederhana saja kalau begitu, ya?" ucapnya dengan tetap tersenyum. Dia menepati ucapannya. Semalam, tukang dekor telah
Hari telah berganti malam. Rumah ibu sudah kembali sepi, menyisakan beberapa keluarga jauh yang masih akan menginap di sini. Aku berada di kamar berdua dengan Fajar. Kamar yang sudah dihiasi mawar putih oleh tukang dekor tadi malam. Selain kamar, mereka juga menyulap ruang tamu menjadi lebih cantik dengan hiasan bunga-bunga.Kami akan menginap di sini malam ini, setelah itu baru akan ke rumah bunda keesokan harinya.Aku duduk di belakang Fajar setelah sholat Isya' berjamaah. Masih terpesona dengan suaranya yang merdu saat memimpin sholat. Rasanya masih tak percaya kalau lelaki baik ini adalah suamiku.Pemilik tinggi seratus delapan puluh centimeter itu melipat sajadah, lantas berdiri dan menyimpannya di atas meja. Aku mengikuti, lalu berdiri dengan canggung, menyadari hanya berdua dengan lelaki asing di kamar ini. "Nadira, apa aku boleh mencium keningmu?" pintanya dengan suara pelan.Aku mengangguk
"Aduh, nyumbang kok, terus!"Zahra meletakkan tas yang tadi dibawa ke rumah tetangga yang punya hajat menikahkan anaknya. Melepaskan kerudung, menyalakan kipas angin, Zahra merebahkan badan sambil memejamkan mata."Besok masih ada Aji, khitanan dia, sama Bulek Rumi nikahkan anaknya. Beras kayaknya tinggal sedikit, ya, Mas?" tanya Zahra yang kembali membuka mata.Rudy menatap karung beras yang isinya tinggal satu takaran untuk memasak nasi. Lelaki itu menghela napas lelah. Belum satu Minggu beras seberat dua puluh lima kilo itu dibeli untuk konsumsi sendiri. Namun, banyaknya hajatan di desa tersebut, membuat stok beras yang cukup untuk satu bulan itu hanya bertahan beberapa hari.Melihat toko sembako yang dirintis sejak lima tahun yang lalu, hati lelaki itu kian nelangsa. Tidak ada perkembangan berarti pada toko tersebut. Pembeli memang ada, tapi pengeluaran tidak sebanding dengan besarnya pemasukan.Lelaki itu tidak habis mengerti, ke man
Lila tidak pernah menyangka bahwa keputusan orang tuanya adalah mutlak. Nama orang tua yang tercoreng akibat perbuatannya yang viral di sosial media, membuat semua fasilitas dicabut paksa.Wanita itu mulai kelimpungan sebab tak biasa hidup sederhana. Jatah uang jajan yang berkurang drastis, tak mampu menyokong gaya hidupnya. Beberapa barang mewah yang pernah didapat dari Rendi berusaha dia jual. Namun, lagi-lagi kecewa harus dirasakan. Perhiasan bertabur berlian, tas mewah, sepatu bermerk, semua adalah barang KW. Otomatis tidak bisa dijual dengan harga tinggi.Kata makian kembali terlontar berulang kali. Namun, hal itu tidak bisa mengubah apa pun. Terlebih ketika dia akhirnya menemui Rendi, lelaki itu justru mengatakan kalau Lila bisa mendapatkan semua barang branded yang dipilih dari outlet resmi sesukanya, yakni dengan menukar Sahara untuk dirawat dan dibesarkan bersama kekasihnya di luar negeri."Masa depan anak itu akan terjamin. Kamu bebas menjadi wan
"Mohon maaf, Mbak. Apa ada kartu yang lain? Kartu ini tidak dapat digunakan," ucap petugas kasir membuat Lila melotot."Masa nggak bisa, sih? Saldonya masih banyak, loh?" jawab Lila mulai gusar. Diberikan sebuah kartu lain, hasilnya sama saja."Atau bisa dibayar dengan uang cash saja," pinta petugas kasih dengan sopan. Meskipun demikian, perempuan muda itu merasa tak enak hati saat melihat antrian yang masih mengular."Saya nggak bawa uang cash, Mbak," jawab Lila mulai kesal. "Sebentar saya telpon dulu, ya," ijinnya yang diiyakan oleh wanita dengan name tag Almira."Biar saya yang bayar."Sebuah suara yang dirasa tak asing, membuat Lila mengurungkan niat menelpon orang tuanya. Kedua matanya melotot melihat lelaki yang tempo hari mengaku istri kekasihnya.."Gue nggak butuh dikasihani!" seru Lila dengan ketus, saat Audrey memaksa membayar dan membawa belanjaannya. "Kau akan menyusahkan kasir kalau sampai batal membeli. Dia harus bayar itu semua yang sudah discan. Iya kalau dia punya du
Beberapa saat sebelumnya ...."Kamu apa nggak kangen anakmu, Nang?" tanya Bu Astuti pada Rudy yang duduk di teras ditemani rokok dan segelas kopi pahit."Kangen, Bu," jawab Rudy tanpa menoleh pada sang ibu. Asap kembali ia kepulkan ke udara.Bu Astuti menatap anaknya dengan pandangan iba. Semenjak tinggal berdua dengan ibunya saja, Rudy lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah. Toko sembako yang baru dirintis itu, hanya dibuka saat malam, tepatnya lewat Magrib hingga kantuk datang. Tidak menentu.Seperti sekarang, Rudy istirahat dari lelahnya beraktivitas di sawah sambil menunggu pembeli. Bu Astuti ikut duduk di samping anaknya yang terlihat lelah. "Kenapa, Bu? Ibu mau ketemu cucu ibu?" tanya Rudy kemudian. Bu Astuti ingin mengangguk, tapi, kepalanya justru menggeleng. Rasa rindu itu sudah demikian besar. Pun ingin tahu bagaimana kabar sang cucu pasca cedera tulang ekor hari itu. Hanya saja, melihat Rudy yang nyaris tak pernah membahas istri dan anaknya, membuat wanita paruh bay
Zahra terus menyalahkan Nadira atas sakit yang diderita anaknya. Jatuh dengan posisi terduduk itu rupanya membuat cedera pada tulang ekor Rayyan. Meskipun tidak sampai patah seperti yang dikhawatirkan sebelumnya, tetap saja membatasi kegiatan Rayyan, hingga bocah itu kerap rewel jika merasa bosan, sebab tidak bisa bebas beraktivitas seperti sediakala.Kedua orang tua Zahra ikut menyalahkan Nadira atas kejadian yang membuat cucunya cedera. Menurut mereka, kejadian itu tidak pernah terjadi sebelumnya, baik di rumah orang tua Rudy, maupun di rumah mereka saat Rayyan berkunjung.Sebagai cucu pertama dan kesayangan, nyaris semua perhatian tertumpah ruah pada anak itu. Nadira tidak heran sebab sudah berulang kali terjadi, jika ada sesuatu yang terjadi pada Rayyan, maka orang lain lah yang akan dikambinghitamkan, sementara Rayyan tersenyum penuh kemenangan.Tidak tahan lagi dengan makian yang didapat dari keluarga kakak iparnya, maka Nadira sepakat dengan Fajar untuk menunjukkan bukti rekama
Di tempat lain ….Damar memandangi layar ponselnya dengan jengah. Rentetan pesan dan panggilan dari Lila sengaja ia abaikan. Dari sekilas pesan yang terbaca saat muncul di pop up, ia tahu kalau Lila kalang kabut sebab kepergiannya dengan Sahara. Tentu saja Damar mengerti kegelisahan wanita yang telah empat tahun terakhir membersamai hidupnya.Lila pernah bercerita, bahwa hibah harta dari Pak Wirya dan Bu Marta kemungkinan besar akan ditunda, atau justru dibatalkan, jika sampai terjadi hal buruk dalam pernikahannya. Damar tidak peduli sama sekali. Baginya, jika itu berkaitan dengan harta orang tua Lila, dia tidak mau ikut campur. Toh, selama ini dia juga terus menerus disebut tidak berguna sebagai seorang suami, meski telah berusaha maksimal untuk mengelola lahan yang menghasilkan puluhan kwintal bawang merah.Sempat terlintas keinginan untuk menggugat Lila dengan tuduhan penipuan pernikahan. Namun, dirasa hanya buang waktu dan tenaga, i
"Itu bukannya si Rendi ya, Lil?"Mendengar nama kekasihnya disebut, Lila menghentikan mengunyah permen karet. Mengikuti arah telunjuk Marsha, tatapannya terhenti pada sosok lelaki yang tengah bergandengan tangan sambil tertawa-tawa bersama seorang lelaki berpakaian casual."Itu memang dia," gumam Lila tak yakin.Tatapannya masih menyorot dua pria yang memasuki kafe di sayap kiri, bersebelahan dari tempat Lila berada. Meski terhalang beberapa meja, Lila dan Marsha masih dapat melihat dan memperhatikan dengan jelas.Kedua lelaki itu duduk bersebelahan, nyaris tak berjarak. Mereka terus berbincang dengan seru diiringi tawa. Sesekali saling tatap penuh arti. Sampai kemudian datang pramusaji membawa buku menu, keduanya tidak mengubah posisi."Lila!" seru Marsha, menepuk-nepuk punggung tangan sahabatnya, sementara pandangan matanya masih menyorot lelaki yang ia kenal sebagai kekasih perempuan yang duduk di depannya."Apaan?" tanya Lila, menolehkan kepala, menemukan wajah sahabatnya yang terl
"Mama! Sakit, Maa … !"Tangis Rayyan melengking di langit-langit ruang tamu Nadira. Wajah Zahra pucat pasi. Tubuhnya membeku di tempat. Sementara Nadira kepayahan hendak jongkok sebab terhalang oleh perut besarnya.Nadira berniat menolong keponakannya yang terus menjerit kesakitan. Tangannya baru saja terulur ketika akhirnya ia berhasil melipat kedua kaki, menumpukan kedua lutut di lantai. Namun, sebuah suara menghentikan gerakannya."Jangan sentuh anakku!"Zahra.Wanita itu bergegas menghampiri anaknya, memeriksa beberapa bagian tubuh kecil anaknya dengan perasaan was-was. Sementara Nadira, langsung beringsut mundur, tidak mengerti kenapa kakak iparnya bersuara sekeras itu, melarang menyentuh Rayyan. 'Kenapa? Bukankah hal wajar jika aku ingin melihat kondisi keponakanku yang jatuh?' Nadira bermonolog dalam diam."Kamu sengaja, ya, mau celakain anakku?!" sentak Zahra, menatap sengit pada adik iparnya dengan napas memburu. Nadira semakin tidak mengerti, kenapa mendapat tuduhan seperti
Nadira duduk termenung di depan kolam kecil berisi ikan koi yang berebut makanan. Bibir tipisnya sesekali melengkungkan senyum melihat gerakan mereka yang dirasa lucu. Berada di rumah seorang diri, membuat ia lebih suka menghabiskan waktu di tempat ini, menikmati gemericik air dan kecipak ikan yang sesekali melompat naik.Suara ponsel di atas meja, membuat ia bergegas meraih benda canggih itu. Melihat nama Rudy tertera di sana, membuat Nadira menarik kedua sudut bibirnya."Assalamu'alaikum, Ra, kamu di rumah, kan?" sapa Rudy begitu sambungan telepon terhubung."Wa'alaikumsalam. Iya, Mas. Aku di rumah. Gimana? Ibu nggak kenapa-kenapa, kan?" "Enggak, kok. Ini ada syukuran kecil-kecilan. Mau bagi ke kamu juga. Masa tetangga dikasih malah kamu enggak. Ini lagi istirahat dulu. Paling sepuluh menitan lagi sampai.""Lah, udah deket ternyata. Ya udah, hati-hati ya, Mas.""Oke, sampai ketemu," pamit Rudy, lantas mengakhiri panggilan.Melihat Rudy yang sedang berbicara di telepon, Zahra memand