Wanita hamil itu hanya bisa pergi dengan perasaan kesal. Mungkin Mila bisa saja menerobos masuk, tetapi dia khawatir kalau Raka akan benar-benar murka kepadanya dan semua perkataan pria itu menjadi kenyataan. Membayangkannya saja membuat Mila ketakutan, apalagi kalau benar Raka akan meninggalkannya dan anak yang ada di dalam kandungan. Akhirnya Mila tidak punya pilihan lain, kecuali mengalah terlebih dahulu. Dia akan mencoba kembali untuk membujuk Raka setelah 3 hari, berharap kalau pria itu benar-benar akan kembali kepadanya. Setelah kepergian Mila, Raka dan Bu Sinta pun sedang duduk berhadapan di meja makan, tepat di depannya tampak sekali makanan yang sudah terhidang dan aromanya begitu menggugah selera Raka. Kebetulan pria itu hanya makan ala kadarnya. Saat melihat semua ini, tentu rasa lapar pria itu menyeruak. Tetapi sebelumnya Raka harus memberitahukan kedatangan dirinya kepada Bu Sinta. "Ibu masak untukku?" "Tentu saja. Kamu pikir Ibu akan masak untuk siapa? Istrimu? Ibu
"Bagus, bagus! Ibu setuju dengan keputusanmu. Kan sudah Ibu bilang, Winda itu adalah istri yang baik untuk kamu. Dibandingkan dengan Mila, Ibu lebih setuju dengan Winda. Dia itu baik hati, tidak perhitungan dan juga mengerti keadaan kamu dan Ibu. Jadi, menurut Ibu kamu itu memang harus memilih Winda. Bagus-bagus," papar Bu Sinta dengan semangat. Dia bahkan terus-terusan tersenyum sembari membereskan piring bekas makan Raka. Pria itu belum berani untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi, kalau diam saja pun tidak akan mengubah situasi yang ada. Keadaan semakin kacau karena pasti Bu Sinta akan menyerang Mila atau malah melakukan sesuatu yang sangat membahayakan untuk rencana ke depannya."Iya, Bu. Tapi aku akan menjadikannya istri kedua."Bu Sinta hampir saja melepaskan piring yang ada di tangan saat Raka mengatakan hal tersebut. Wanita paruh baya itu langsung menyimpan piring kotor dan kembali ke hadapan anaknya dengan wajah kaget. "Apa kamu bilang tadi? Istri kedua? Maks
"Itulah masalahnya, Bu. Mila tidak sebodoh yang kita kira. Dia bisa saja mengantisipasi untuk mendapatkan hak asuh anak dengan cara menahanku. Dia pasti sudah melakukan berbagai cara agar aku bisa berada di sisinya, termasuk anak itu." "Lalu, bagaimana? Kalau memang kamu tidak mau terikat dengan Mila, lepaskan anak itu. Kalau misalkan kamu ingin anak itu, cari cara menyingkirkan Mila. Mudah, kan?" "Tidak semudah itu, Bu. Aku tahu Ibu benci Mila, tapi tolong jangan benci anakku. Dia tidak tahu apa-apa. Bukankah bayi yang ada di dalam kandungan setiap Ibu hamil itu tidak berdosa? Kalau pun memang harus disalahkan, Mila sendiri dan aku. Jadi, kumohon kali ini saja Ibu mau menuruti permintaanku." Bu Sinta menghela napas kasar. Dalam hatinya tidak mau mengurusi cucunya itu. Lagi pula menurutnya cucu yang baik itu hanya Alia. Walaupun dia tidak tahu bagaimana nanti anak Mila, tapi wanita paruh baya sudah menafsirkan kalau sifat Mila pasti akan turun kepada anaknya sendiri. "Ya, terserah
"Kamu sudah gila, ya? Apa yang baru saja kamu katakan?!" tanya Bu Sinta, kali ini wanita paruh baya itu marah karena anaknya malah merahasiakan pernikahan dengan Winda. Harusnya biarkan saja diberi tahu semua orang, termasuk Mila. Agar ketahuan bagaimana reaksi wanita hamil itu, berharap kalau Mila mau tahu diri dan memilih untuk pergi dari kehidupan Raka. Tetapi tampaknya Raka sama sekali enggan untuk mempublikasikan hubungannya dengan Winda. "Aku tidak gila, Bu. Karena aku waras, makanya merahasiakan semua ini.""Lalu, bagaimana dengan perasaan Winda?" "Aku yakin, Winda juga pasti akan mengerti dengan situasi ini. Kami sudah saling sepakat. Jadi, aku harap Ibu tidak merecoki rencana kami.""Apa yang sedang kamu rencanakan sebenarnya, Raka? Ibu kasihan kalau Winda statusnya disembunyikan dari siapa pun." "Bu, aku melakukan ini demi kebaikan bersama. Bahkan Winda juga berkata, dia tidak akan ikut campur urusan aku dan juga Mila. Sebaliknya, Mila juga tidak boleh ikut campur urusan
Suara dering ponsel membuat Mila terkesiap dan kontan menghentikan tangisannya. Ternyata dari karyawannya. Tampaknya wanita itu harus segera kembali ke butik, sebab pasti kerjaannya semakin banyak.Dia tidak mungkin terus-terusan larut dalam kesedihan karena menangisi Raka, sementara ada usaha yang harus terus dijalankan. Kalau tidak, dirinya akan jatuh miskin dan benar-benar kehilangan Raka. Pria itu tidak mungkin mau hidup susah dengannya, jadi cara satu-satunya mempertahankan Raka yaitu dengan banyak uang. Miris, bukan? Harusnya di sini seorang pria yang melakukan ini semua, tetapi Mila mau tidak mau harus menghasilkan banyak uang demi mempertahankan Raka.Ya, demi agar anaknya bisa merasakan kasih sayang seorang Ayah. Demi dirinya yang tidak lagi dijandakan oleh pria itu. Mila hanya bisa tersenyum miris, tetapi tak urung tetap kembali menjalankan mobilnya. Berusaha untuk tegar. Wanita hamil itu mengelus-elus perutnya yang mulai membesar. "Sabar ya, Nak. Ibu akan berusaha sebaik
"Bukan masalah itunya, Adiba. Mau perusahaan hebat atau tidak, bukan. Bukan itu yang lebih utamanya. Aku sudah punya usaha sendiri, hanya ingin mengisi waktu luang bukan menyibukkan diri dan tidak ada waktu untuk anakku," ujar Lusi menjelaskan. Dia tidak mau terlalu larut dalam dunia sendiri. Sementara ada anak yang harus diurus olehnya. "Ya, kalau gitu di rumah saja," ucap Adiba, akhirnya memberikan solusi. "Tetapi akan bosan kalau aku di sini terus. Kamu tahu kan, setiap hari aku biasanya itu punya kegiatan. Kalau misalkan hanya berdiam diri juga waktuku terbuang percuma.""Ya sudah, kalau begitu terima saja tawarannya," ujar Adiba lagi, lama-lama kesel sendiri dengan kelakuan sahabatnya ini. "Tapi, bagaimana dengan Alia?" Adiba berdecak sembari duduk di samping temannya itu. "Percaya deh sama aku, Alia juga pasti senang kalau kamu punya kegiatan. Yang penting kan kamu pasti punya waktu sama Alia, ditambah lagi sekarang ada ibuku. Bisa saja Alia main sama Ibu. Anggap dia main
Suara ketukan pintu di kamar Alia membuat gadis itu menoleh, ternyata Lusi sudah berdiri di ambang pintu dengan senyuman merekah. "Ibu boleh masuk?" tanya Lusi yang langsung diangguki oleh gadis kecil itu. Sang wanita ingin bercerita, meminta izin kepada anaknya untuk bekerja. Bagaimanapun saat ini yang tersisa hanyalah Alia. Satu-satunya keluarga yang bisa diandalkan dan alasan Lusi bisa bersemangat sampai hari ini."Apakah Ibu mengganggu kamu?" Alias tersenyum sembari menggelengkan kepala. "Enggak kok, Bu. Aku baru selesai mengerjakan PR." Lusi tersenyum sembari mengurus kepala anak itu. "Bagaimana sekolahnya? Apa sudah punya teman?""Iya, aku udah punya teman. Mereka pada baik kok, Bu." "Syukurlah kalau begitu. Tidak ada yang bertanya tentang Ibu atau Ayah?" Seketika Alia terdiam. Dia tidak memperlihatkan kesedihan atau kesenangan. "Enggak ada teman-teman Alia juga nggak pernah nanyain Ayah kerja di mana, Ibu kerja. Mereka semua baik," ungkap Alia, membuat Lusi menghela na
Pagi-pagi sekali Lusi sudah bersiap dengan pakaian rapi. Tampak sekali seperti akan menghadiri suatu acara. Adiba yang melihatnya pun keheranan. "Kamu mau ke mana?" tanya Adiba sambil menenteng cangkir berisi teh hangat dan duduk di depan Lusi yang ada di ruang makan.Belum juga menjawab, datanglah Alia dengan seragam sekolah. Lusi menyapa Alia dulu sebelum menjawab Adiba dan memilih untuk berbicara dengan Alia dulu. Wanita itu menyiapkan makanan untuk anak tercinta. "Sarapan, ya, Sayang."Alia tersenyum mendengar itu. Hanya ada mereka bertiga di sana. Bu Melati sedang di luar, menyapu halaman. Dia akan makan setelah ketiga wanita berbeda usia itu sarapan, karena menurutnya akan lebih tenang jika pekerjaan rumah selesai dan beres."Jadi, kamu mau kerja di tempat Pak David?" tanya Adiba lagi, yang membuat Lusi terdiam. Seperti sedang berpikir sejenak. "Mungkin di tempat lain aja kali, ya?" "Kok gitu? Kalau aku jadi kamu, pasti aku terima kerjaannya." "Masalahnya bisa itu pasti m
"Kamu pikir aku percaya begitu saja dengan sikap baikmu yang tiba-tiba? Tentu tidak! Kamu salah jika berurusan denganku atau mau menipuku. Aku tidak akan semudah itu dipermainkan," timpal Mila, setelah itu dia pun kembali menutup pintu membuat Maura terdiam. Tampaknya dia benar-benar salah sedang pura-pura baik kepada wanita ini. Maura hanya bisa berdiri di depan pintu dan memilih untuk pergi saja. Dia tidak akan berkata apa-apa lagi dan hanya akan memantau ke mana wanita itu pergi. Lagi pula dia sudah berusaha untuk berpura-pura baik agar rencananya mudah, tetapi sayangnya memang Mila tidak semudah itu dibohongi. Mila hanya terdiam diri di depan pintu sembari menatap lurus ke depan. Dia seperti orang stress yang kehilangan sesuatu, tetapi memang kenyataannya wanita itu merasa kalau saat ini dirinya lemah tanpa adanya Raka. Anaknya juga sering menendang di perut kalau sang suami tidak ada di sampingnya. Mila kembali meneteskan air mata, merasa hidupnya benar-benar tak berguna karen
Pagi-pagi sekali Maura sudah membereskan semua pekerjaan di rumah Mila. Hatinya merutuk, tetap saja kalau begini wanita itu seperti pembantu. Tetapi mengingat uang yang akan diberikan Raka, Maura merasa senang. Dia yakin pasti tidak sedikit, sebab ini akan sulit karena harus mengikuti Mila ke manapun dan mencegah wanita itu untuk pergi ke tempat Raka. Mila bangun dengan perasaan malas dan juga tak karuan. Ruang hatinya merasa aneh karena tidak ada Raka di sini. Kerinduan begitu menyeruak dalam dada, hingga wanita itu pun menangis. Dia mengelus perutnya yang sudah mulai membuncit, berbicara kepada anak yang ada di dalam kandungan kalau mereka berdua harus kuat menjalani semua ini. "Nggak apa-apa, ya, Nak. Kita pasti kuat menjalaninya. Kamu harus tenang, Ibu akan melakukan apa pun agar Ayah tetap di samping kita. Tenang saja. Ibu sudah terbiasa merasakan sakit hati dan kebal dengan semua keadaan. Ibu berjanji akan menyingkirkan semua orang yang berusaha untuk memisahkan kita bertiga.
"Iya, Mas. Katakan saja. Aku akan melakukan apa pun, sekiranya bisa membantumu," ucap Maura dengan semangat, membuat Raka merasa heran. Tetapi tak urung pria itu tetap memilih untuk mengatakan sesuatu secara rahasia. Pernikahan dia dan Winda tidak boleh diketahui oleh siapa pun, termasuk Maura. Tidak ada yang tahu kalau wanita itu bisa saja mengkhianatinya demi uang. Sekarang saja Maura pasti mau melakukan segalanya demi uang. Sebab dia juga ingin keluar dari rumah Mila dan mendapatkan tempat tinggal. Apalagi kalau bukan uang yang akan membeli rumah itu? "Maura, besok ada acara penting. Aku akan pergi dengan Ibu. Aku takut kalau Mila tiba-tiba saja mencariku ke rumah Ibu dan malah ngamuk-ngamuk tidak jelas. Jadi, bisakah kamu pastikan kalau Mila tidak pergi ke rumah ibuku?" pinta Raka, tiba-tiba saja membuat semangat Maura yang sebelumnya tinggi langsung meredup. Dia sangat kecewa sebab yang diberitakan oleh Raka itu berbeda jauh dengan harapannya, berarti pernikahan mereka bukan
Raka menatap ibunya sejenak. Setelah dipikir-pikir mungkin sebaiknya dia tidak menceritakan apa pun kepada Bu Sinta. Ini demi kebaikan bersama, karena selama beberapa kali mendapat masalah karena ibunya. Raka harus berpikir ulang, takut kalau Bu Sinta melakukan hal yang di luar batas dan akan mengacaukan segalanya. "Tidak, Bu. Aku hanya mengatakan itu saja, Ibu yang bilang sendiri kalau aku mau lepas dari Mila harus mengambil anak itu. Jadi, aku hanya akan berencana mengambil anaknya setelah Mila melahirkan," ungkap pria itu akhirnya memilih untuk berbohong. Memang sebaiknya diam saja dan tidak perlu mengatakan apa pun kepada Bu Sinta. Lebih sedikit yang diketahui wanita paruh baya itu lebih baik dibandingkan terjadi sesuatu nanti yang akan menghancurkan segalanya. Bu Sinta hanya menganggukkan kepala dan mereka berdua pun kembali melanjutkan makan. Tak ada yang bersuara sampai semuanya selesai. Raka istirahat di kamarnya yang dulu. Dia tiduran sembari menatap langit-langit kamar.
Amanda menatap amplop itu dengan diam. Sebenarnya dia ingin sekali mengambil gaji yang diberikan oleh Devan, tetapi ada hal yang membuatnya tertahan. "Aku tidak akan mengambil gajinya. Mas, simpan saja. Lagi pula kamu tidak percaya padaku, kan? Anggap saja itu kompensasi yang aku berikan kepadamu, karena kamu merasa tidak aman sebab kehadiranku," ujar wanita itu dan akhirnya pergi dari hadapan Devan. Pria itu diam saja. Dia menetap kepergian Amanda dengan perasaan gelisah. Sebenarnya sang pria ingin mempertahankan Amanda, setidaknya ada bantuan karena pegawai yang ada di sini hanya 2 koki dan dirinya saja. Beberapa mantan karyawan, enggan bergabung dengan restoran Devan lagi. Sebab yakin kalau restorannya tidak akan seramai dulu, tapi melihat Amanda yang sudah mendatangi seorang dukun membuat Devan juga ketakutan bila dirinya dicelakai oleh wanita itu. Tidak ada yang menjamin. Dia juga belum mengenal Amanda sepenuhnya, yang bisa dilakukan hanyalah membuat dirinya aman sampai benar-
"Tidak, aku tidak mau mengambil risiko apa pun. Amanda, sebenarnya sudah sejak tahu kamu pergi ke dukun, ingin sekali memecatmu. Tapi aku sudah menunggu waktu yang tepat, di saat kamu jujur barulah aku akan memecatmu," papar Devan membuat Amanda menghela napas pelan.Matanya berkaca-kaca. Padahal dia berniat untuk menyembuhkan Devan, tetapi pria itu malah mengira kalau dirinya yang sudah mengguna-guna."Mas, sampai segitunya ya kamu nggak percaya sama aku? Aku jujur, Mas. Aku bilang, ayo kita pergi ke orang pintar itu dan bertanya langsung! Aku janji tidak akan menelpon atau bekerja sama lagi dengannya. Apalagi sampai membohongi kamu, itu tidak akan pernah terjadi," ungkap Amanda berusaha untuk meyakinkan pria itu, tetapi sayangnya Devan tidak mau lagi mendengarkan. Dia sudah sakit hati, ditambah lagi pengkhianatan dari Arya, pria itu tidak mau lagi mendapatkan hal yang serupa, sebab dulu Amanda juga datang bersama Arya. Meskipun tidak terbukti, tapi pria itu merasa kalau Amanda puny
"Benarkah seperti itu? Tapi, kenapa aku meragukannya, ya? Ingat, kalau kamu itu yang mati-matian untuk mendekatiku. Bahkan menghalalkan segala cara atau jangan-jangan kamu juga punya sangkut pautnya dengan Arya? Iya, kan?!" Seketika tubuh Amanda menegang di tempat. Kalau sampai pria itu tahu apa yang sebenarnya terjadi, maka semua kesempatan untuk mendapatkan Devan akan sirna tanpa sisa. "Kenapa Mas berpikiran seperti itu?" tanya Amanda berusaha untuk tenang. Dia tidak boleh memperlihatkan ketakutannya atau Devan akan mencurigai dan malah semakin menjauhinya. "Ya, karena kamu yang dipekerjakan oleh Arya. Kamu yang dikenalkan oleh Arya dan aku berpikir, semua kebangkrutanku ini juga atas campur tangan kamu, kan?!" Amanda langsung menggelengkan kepala, berusaha untuk menepis semua tuduhan itu meskipun benar. "Tidak, Mas. Kamu jangan nuduh sembarangan, dong. Aku tidak tahu menahu perihal perilaku Mas Arya sama kamu. Lagi pula aku memang murni mendapatkan pekerjaan dari dia setelah
"Kenapa kamu berpikiran seperti itu?"Devan bukannya menjawab pertanyaan Amanda, malah balik bertanya. Membuat wanita itu menautkan kedua alisnya. "Kok kamu malah nanya, sih, Mas? Harusnya menjawab semua pertanyaanku tadi," ucap Amanda, heran dengan apa yang dilakukan oleh Devan barusan. Pria itu menganggukkan kepala sembari mengelus tangan kanannya yang berada di meja. "Oke, kalau begitu duduk saja. Aku akan menjelaskan semuanya," ucap Devan, tiba-tiba membuat Amanda kembali menautkan kedua alis. Wanita itu pun tetap duduk di depan pria itu dengan rasa penasaran yang tinggi. "Kamu ingin tahu kenapa aku menolak semua makanan dan minuman yang kamu berikan?" tanya Devan, membuat Amanda menganggukkan kepala dengan mata waspada. "Karena aku tahu apa yang kamu kerjakan," cetus pria itu, membuat Amanda tadi yang terlihat penasaran, wajahnya tiba-tiba saja pucat. Menandakan kalau dirinya sudah tahu apa yang dimaksud oleh pria itu. "Kenapa kamu diam saja? Tidak mau menjelaskan atau kam
Mila menatap adiknya dengan sinis. Dia benar-benar muak dengan semua yang dilakukan oleh Maura. Anak itu selalu saja menantang dan memojokkannya. "Baiklah kalau begitu. Lihat saja, aku akan pastikan kamu keluar dari sini sebelum minggu depan," ujar Mila, memilih untuk pergi ke kamarnya. Sementara Maura hanya bisa terdiam sembari memandangi kepada sang Kakak. Dia akan pastikan kalau dirinya keluar dari tempat ini sembari membawa uang 200 juta. Sekarang bagi Maura tidak masalah putus hubungan darah, yang penting dirinya bisa hidup dengan makmur di kota besar seperti ini. Tidak mau lagi dimanfaatkan oleh orang-orang atau dirinya akan menderita. Sementara itu di tempat lain, saat ini Devan sedang membuka kembali restorannya dibantu oleh Amanda. Sebelumnya wanita itu sudah mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi karena Devan tiba-tiba saja menginginkan Maura dan ternyata kata orang pintar yang didatangi oleh Amanda kalau Devan itu mendapatkan guna-guna.Awalnya Amanda tidak percaya. Ka