"Sa–saya dipecat, Bu? Tapi kenapa? Apa alasannya? Saya kan nggak pernah melakukan kesalahan apapun, tapi kenapa saya dipecat?" tanyaku dengan tergugup. "Nggak melakukan kesalahan anda bilang? Anda meminta izin cuti selama satu hari, tapi nyatanya sampai hari ketiga nggak kunjung bekerja. Tanpa alasan pula. Dan lebih parahnya, ternyata pekerjaan kamu sangat lah buruk, kamu memanfaatkan teman-teman kamu untuk menyelesaikan pekerjaan yang seharusnya kamu selesaikan," jelas Bu Widya. Apa-apaan ini? "Dan lebih parahnya kamu sempat berurusan dengan hukum. Mohon maaf sekali, perusahaan ini tidak ingin mempekerjakan orang yang sempat berurusan dengan hukum. Apa masih ada pertanyaan?" Aku berdecak kesal. "Saya masuk penjara cuma semalam dan itu pun hanya karena kesalahpahaman. Saya tidak melakukan kesalahan fatal lainnya. Nggak bisa dong, Bu, mecat saya begitu saja," protesku. "Sudah menjadi aturan perusahaan, ya. Jadi nggak bisa diganggu gugat. Silahkan bereskan semua berkas-berkasmu da
"Masuk!" Chandra mendorong tubuhku untuk masuk ke dalam mobil bagian depan. Setelahnya ia pun langsung melangkah dan duduk di balik kemudi. Hingga akhirnya Chandra melajukan kendaraanku dengan kecepatan kencang. Berkali-kali aku memprotes karena laju kendaraan yang terlalu cepat, Chandra tak menggubrisnya. Tak butuh waktu lama untuk sampai di tempat tujuan. Saat aku sudah keluar dari mobil, kulihat toko emas berjejeran. "Coba tanyakan sendiri, aku tunggu di sini," titah Chandra sembari menyandarkan punggungnya di kaca mobil tempat aku berdiri. Aku mendesah pelan, setelah aku melangkah ke salah satu gerai toko emas yang lumayan ramai itu. "Ada yang bisa dibantu?" tanya salah satu karyawan berjilbab abu-abu begitu aku berdiri tepat di depan meja kaca. "Mbak, saya mau jual ini." Aku memberikan kalung yang tadi diberikan oleh Chandra. "Baik, Mbak. Sebentar, ya." Pegawai itu mengambil kalung itu lalu melihatnya. Sesaat, kedua kening itu mengerut dengan alis yang saling bertautan. "
Aku mencebikkan bibir lalu memutar bola mata malas. Setelahnya aku melangkah kembali ke arah mobil di mana Chandra sudah menungguku. "Palsu kan? Ngeyel sih ....""Heh! Bilang aja kalau emas ini sudah kamu ganti, kan?! Jangan kau pikir aku itu bodoh! Kau sudah menjualnya terus mengembalikan kalung palsu itu padaku. Biar kamu bisa minta duit lagi, kan?!" teriakku tepat di depan wajahnya. "Tadi kudengar kamu bilang kalau kamu punya dua paket emas kan. Kalau nggak percaya, coba aja jual yang lainnya. Jangan banyak omong, siniin tasmu!" Chandra langsung menarik tas yang menggantung di lenganku."Heh! Balikin! Dasar sialan!" Chandra tak menggubris ucapanku. Ia mengeluarkan dompet yang ada di dalam lalu mengambil semua uang yang tertata rapi di dalam sana. Tak ada satu lembar pun yang tersisa. "Nih! Tengkyu ...." Chandra memberikan dompet beserta tas milikku itu lalu berlalu pergi. Ya, Tuhan ... kesal sekali rasanya. Aku menatap punggung Chandra yang semakin mengecil dengan tatapan ta
"Asal aku nggak sudi kalau disuruh urus rumah sendiri!" celetukku yang dibalas senyuman dan anggukan oleh Mas Yoga. Saat Mas Yoga ingin kembali bersuara, ponsel miliknya yang tergeletak di atas nakas itu berdering. Ada panggilan masuk. Mas Yoga menoleh, setelahnya ia mengambil benda pipih itu. "Siapa?""Ricko.""Oh ...."Terlihat jemari itu mengusap ke atas, setelahnya Mas Yoga menempelkan benda pipih ke daun telinganya. "Halo, Bro. Ada apa?" tanya Mas Yoga. Hening. Kening Mas Yoga berkerut. "Masa sih? Seharusnya sudah buka sekarang. Kamu masih di sana? Ok, aku akan ke sana sekarang." Mas Yoga menjauhkan ponselnya, sejenak menatapnya lalu menekan tombol merah. "Kenapa, Mas?" "Ricko datang ke rumah makan. Dia kira Mas ada di sana.""Lalu?" Aku menyela. "Katanya rumah makan dalam keadaan tertutup. Padahal hampir jam sebelas. Seharusnya udah buka," ucap Mas Yoga. Terlihat Mas Yoga mengutak-atik ponselnya. "Nggak ada pesan juga dari karyawan," celetuk Mas Yoga dengan pandanga
Pov Rena**Malam ini aku bersama ibu dan bapak dan tak lupa pula adik semata wayangku duduk di depan tv. Kata Bapak, akan ada pembahasan serius yang ingi dibicarakan malam ini. "Bagaimana kalau setelah ini kita pindah, Buk, Ren?" Bapak memberi usul sembari menatapku dan Ibu secara bergantian. Sesaat aku dan Ibu saling pandang lalu pandanganku kembali beralih ke arah Bapak yang menunggu jawaban. "Pindah? Memangnya kenapa, Pak?" tanya Ibu. Pertanyaan yang sama seperti yang ingin aku ucapkan. "Pertama, lingkungan ini benar-benar nggak baik untuk kehamilan Rena. Apalagi kita satu desa dengan keluarga mantan suami Rena. Pasti di saat Rena melahirkan, pasti sewaktu-waktu mereka akan mengambil cucu kita, Bu." Bapak menghela napas dalam-dalam lalu ia keluarkan secara perlahan. "Kedua, cepat atau lambat Yoga akan didatangi oleh para rentenir. Pasti dia akan ngamuk ke sini. Bukan karena Bapak takut atau gimana-gimana. Bapak hanya khawatir jika Yoga bertindak brutal pada Rena. Bapak juga
"Wah, uang sebanyak itu kok dibilang cuma?" seloroh Haji Rofik. Aku dan Bapak hanya tertawa lirih. Terjadi negoisasi di antara kami. Hingga akhirnya tanpa menunggu lama lagi, sudah mendapatkan harga kesepakatan. "Jadi deal 225juta untuk rumah dan enam puluh delapan juta untuk kebunnya ya, Pak Gun," ucap Haji Rofik. Sebenarnya aku tak menyangka sekali jika rumah ini akan terjual secepat itu. Kupikir, setidaknya butuh waktu lebih dari satu minggu untuk menemukan pembelinya. Ternyata tidak sama sekali. Sekali menawarkan, langsung oke. Sepertinya Tuhan benar-benar menginginkan aku untuk pergi dari kampung ini. "Iya, Pak Haji. Tapi, saya minta waktu satu minggu ya, Pak Haji. Setelah itu kami akan mengosongkan rumah itu. Mungkin paling lama tiga hari," ucap Bapak. Haji Rofik menganggukkan kepala. Menyetujui permintaan yang Bapak lontarkan. Terjadi perbincangan di antara kami. Yaitu mengenai pembayaran yang akan dilakukan. Dan sudah ditetapkan kalau pembayaran akan dilakukan tiga ha
"Cie ... cie yang malu karena hamil hasil dari ng*ngkangin lakik orang ...."Aku langsung menolehkan kepala ke arah mantan kakak iparku itu. Ingin sekali kuremas atau pun kusumpal mulut itu, akan tetapi Ibu sudah terlebih dahulu menarik lenganku saat baru saja aku akan melangkah. Ibu menggelengkan kepalanya, sebagai kode agar aku tak sampai emosi. Aku bersama keluargaku langsung kembali melangkah dan masuk ke dalam mobil. "Ibu kenapa sih tadi ngalangin Rena? Padahal tadi pengen sekali kuremas muncung Mbak Sumi," ucapku sembari memperagakan tangan seperti sedang meremas. "Abaikan saja, Ren. Buat apa buang-buang energi hanya untuk meladeni orang seperti itu?" Ya, memang benar yang dikatakan oleh Ibu. Tak ada gunanya juga, yang ada malah membuat emosi semakin tak stabil. Mobil travel yang kami pesan mulai melaju dan membelah jalan raya.****Pov Yoga**Semenjak seluruh pegawai rumah makanku keluar secara serempak, aku bersama Mutia mengurus usahaku. Mutia sebagai pelayan sekaligu
"Semua itu gara-gara kamu, Mas! Pakek akal-akalan nurutin persyaratan mantan istrimu segala! Seharusnya kemarin tinggal ceraikan saja beres!" rutuk Mutiara yang membuat otakku serasa tak mampu berpikir lagi. "Ada jalan yang mudah dan beraspal, malah nyari yang berkelok dan bebatuan!" Brak!"Stop! Kalau nggak bisa berikan solusi, diamlah," ucapku lirih. Menahan kuat-kuat diri ini agar tak termakan emosi. Mutiara langsung bangkit dari tempat duduknya lalu berlalu pergi begitu saja. Sejenak aku berpikir, kemana aku harus mencari uang yang nominalnya tak sedikit itu? Setidaknya aku membutuhkan uang tiga ratus lima puluh juta untuk sekalian bayar bunganya. Aku terus berpikir, memutar otak. Akan tetapi, semakin aku berusaha mencari solusi akan permasalahan yang sedang mengungkungku, kepala ini malah terasa berdenyut nyeri. Kuacak rambutku kasar. Meluapkan rasa kesal yang tiada terkira. Akhirnya aku memilih menghubungi Mbak Sumi– salah satu kakak kandungku yang hidupnya lumayan mapan
Rasanya masih seperti mimpi melihat makam Yoga. Rasanya suara hinaan, cacian, dan bentakan itu masih terdengar nyata di telinga Mutia. Tapi kini seseorang yang sudah menghina, menzolimi dirinya sudah tidak ada lagi. Entah Mutia harus merasa lega atau tidak. Mutia tidak tau. Sekarang yang terasa hanya ruang hampa.***Tak terasa 1 Minggu telah berlalu. Setiap harinya kesehatan ibu mertua Mutia berangsur membaik. Bahkan kata dokter, Ia sudah bisa pulang besok siang.…Keesokan harinya,Mutia tengah melipat pakaian dan memasukkannya ke dalam tas, ketika Ibu mertuanya membuka mata setelah tertidur cukup lama. Mutia yang menyadari ibu mertuanya telah sadar langsung menghampiri ibu mertuanya tersebut.“Bu, ibu sudah sadar?” tanya Mutia lembut.Sang ibu mertua hanya bisa menatap Mutia nanar, mulutnya yang setenga miring itu, hanya bisa terbuka tertutup tanpa mengeluarkan kata. Hanya sebuah suara samar yang menunjukkan penyakitnya.“Bu, makan dulu, ya, Mutia suapi Ibu,” ucap Mutia lembah lemb
Setelah melakukan serangkaian keagamaan, akhirnya Yoga pun dibawa ke liang kuburnya.Melihat Yoga dikubur, membuat perasaan Mutia sedikit tidak karuan. Tidak ada air mata, tapi tidak ada juga rasa bahagia suka cita.Mutia merasa mungkin ini pembalasan dari Tuhan, untuk semua kesakitan dan penderitaan yang telah ia terima dari suaminya yang selalu menyakiti dirinya. Tapi di satu sisi, Mutia juga kembali teringat akan masa lalunya, yang sempat bahagia bersama Yoga. Bagaimanapun juga Yoga pernah menjadi hal yang paling membuat Mutia bahagia dalam hidupnya.***Kabar Yoga sudah tidak ada akhirnya sampai ke telinga sang mantan istri, Rena. “Apa, Mas Yoga? … Innalilahi wa innalilahi rojiun,” ucap Rena yang masih tak percaya dengan kabar yang baru ia dengar.Ternyata seorang kerabat yang ikut hadir dalam pemakaman Yoga, mengetahui keberadaan Rena, dan memberitahukan kepada Rena tentang kondisi Yoga.“Terima kasih sudah memberitahu.” Rena menutup telepon nya.“Ada apa Ren,?” tanya Ibunya Re
Seketika suasana warung menjadi lebih ramai dan kacau akibat perkelahian Yoga dan Tono. Tapi jujur saja, walaupun keduanya sama-sama mabuk, tetap saja Yoga tampak jauh lebih unggul untuk memberikan hantaman demi hantaman kepada Tono. Tono semakin kehilangan kesadaran.Walaupun sudah mendapatkan serangan bertubi-tubi dari Yoga, tidak lantas membuat Tono menyerah dari Yoga. Tono justru semakin berniat untuk menghabisi Yoga. Dilihatnya oleh Tono sebuah pisau tergeletak bebas di atas meja, entah habis digunakan untuk apa, tapi ada pisau di sana. Tanpa ragu Tono segera meraih pisau tersebut.Dengan gelap mata, semuanya pun terjadi dengan cepat.JLEB!Pisau tersebut berpindah posisi. Tono berhasil menusukkan pisau tersebut menembus tubuh Yoga.Tidak puas dengan satu kali tusukan, Tono menusuk beberapa kali tubuh Yoga hingga Yoga akhirnya tak sadarkan diri.Suara teriakan para wanita yang melihat kejadian tersebut sontak membuat para warga sekitar yang berada di sana langsung berdatangan mel
“Apa, Stroke?” Mutia begitu terkejut setelah mendengar diagnosa dokter terhadap ibu mertuanya.“Iya, kemungkinan itu yang terjadi setelah kami memeriksa kesehatan Pasien tadi,” ucap sang dokter. “Tapi untuk mengetahui lebih dalam apa penyakitnya, kita memerlukan waktu lebih.”Mutia mulai tampak kebingungan. Kabar tidak enak ini terlalu mendadak untuk ia tanggung sendiri. “Tapi ibu mertua saya akan sembuh kan, Dokter?” tanya Mutia penuh harap.“Kemungkinan sembuh ada, tapi mungkin tidak sesehat sebelumnya,” jawab sang dokter. “Sebaiknya kita berdoa saja semoga Bu Leha cepat sadar dan pulih kembali.”Sudah kurang lebih dua jam Mutia menunggu mertua kejamnya itu di rumah sakit. Sudah berulang kali Mutia mencoba menghubungi suami dan iparnya, tapi tetap tidak ada yang menjawab. Lelah, capek, sakit hati, semua Mutia rasakan saat ini. Ingin rasanya Mutia berteriak sekencang mungkin mengeluarkan semua beban yang terasa di dalam dada. Tapi apa daya, Mutia tidak bisa melakukan semua itu. Mut
"Sialan! Kau sembunyikan dimana uangku, Mutia!" pekik wanita paruh baya itu saat tak menemukan apa yang ia cari di segala tempat. "Mutia nggak ambil uang milik Ibu ....""Halah! Nggak usah bohong kamu! Balikin uangku!" Sang ibu mertua melangkah mendekat ke arahnya dengan tatapan tajam. Seketika perasaan Mutia menjadi tak enak. Hingga jantung pun terasa seperti berdegup lebih kencang.Rasanya ingin melawan, tapi entah mengapa tenaga seperti sudah hilang. Apa ini karena Mutia masih menghormati orang tua suaminya itu? ataukah Mutia hanya berlarut dalam rasa bersalah, dan ini harga yang harus ia bayar?Mutia hanya bisa terus berusaha memberontak tanpa melawan. Air mata yang menetes pun seperti tidak akan membuat Ibu mertuanya iba akan kesakitannya. Kini semakin jelas Mutia merasa sebegitu hina dirinya di mata mertuanya, padahal setiap hari Mutia rasanya sudah cukup berkorban menahan hati melayani keluarga ini. Apa tidak sudah ada rasa kasihan, atau rasa iba kepada dirinya?“Bu, sakit Bu
Kedua telapak tangan Mutia terbuka dan terangkat sebatas dada. Dengan bibir bergetar, ia ucapkan permohonan ampun pada Sang Pemilik Kehidupan setelah ia lakukan beberapa rakaat shalat taubat. "Ampuni hamba, Ya Allah. Ampuni Hamba ...." Suara itu bergetar dengan tubuh yang terguncang. Air mata terus bergulir dengan begitu derasnya. Hingga menciptakan jejak-jejak air mata di wajahnya. Air mata itu terus keluar, sebagai bentuk penyesalan yang teramat dalam. Belasan menit ia memohon ampun, ada rasa kelegaan tersendiri yang dirasakan oleh Mutia."Ha ha ha, apa yang kau lakukan, Mutia?" Suara tawa terdengar begitu menggema. Suara yang berasal dari Yoga yang baru saja membuka pintu kamar lalu melihat sang istri sedang bersujud dengan balutan mukena di tubuhnya. Mutia langsung mengangkat kepalanya. Ia duduk lalu menolehkan kepala ke arah sang suami yang terus tertawa. Mutia tau, dia telah ditertawakan oleh sang suami. "Tumben sekali kau sholat? Apa kau sadar jika dirimu penuh dengan dos
Sinar matahari menerobos masuk melalui celah-celah jendela. Lelaki yang masih terbuai dengan mimpi itu menggeliat pelan, mengusap wajahnya lalu mengangkat kedua tangannya ke atas. Guna merenggangkan otot-otot di tubuhnya yang terasa begitu kaku. Setelahnya, pandangan Yoga beralih pada jam yang menggantung di dinding kamar, yang saat ini sedang menunjukkan pukul sembilan pagi. Wajar saja jika jam sembilan Yoga baru terbangun, sebab hampir setiap malam ia pulang dari warung janda genit hingga sampai pukul satu larut malam. Yoga melangkah menuju ke pintu. Meraih gagang pintu lalu menekannya dengan malas lalu mendorongnya perlahan. Lelaki itu melangkah menuju ke dapur tanpa ke kamar mandi terlebih dahulu. Walau hanya sekedar mencuci muka, Yoga enggan melakukannya. Dibukanya tudung saji. "Makanan macam apa ini?!" Yoga menghempaskan tudung saji dengan kasar. Hingga terpental di atas meja lalu terjatuh. Yoga merasa kesal, sebab hanya ada tempe goreng dan juga sambal bawang. Ya, hanya
KUGADAI HARTA SUAMI YANG BERSELINGKUHBAB 70Yoga mencebik tapi kemudian pria itu memberikan selembar uang berwarna hijau dengan nominal 20.000 rupiah pada Mutia. "Udah itu aja cukup. Jangan banyak-banyak kamu pegang duit biar gak ngelunjak!" Setelahnya, Yoga pun pergi meninggalkan Mutia yang sudah lemas karena di tangannya kini hanya tersisa uang dua puluh ribu saja. "Ya Allah, uang segini dapet apaan? Untuk beli beras buat makan orang satu rumah aja kurang," gumam Mutia yang menatap perih uang berwarna hijau di tangannya itu. Ia merutuki kebodohannya kenapa uang itu tidak ia masukkan saja ke dalam pakaian dalamnya atau seperti yang dikatakan Ira kalau ia meminta pak Sodik untuk menunda memberikan uang gajinya. Ah, tiba-tiba Mutia muncul sebuah ide. Dalam benaknya terlintas kalau dia akan meminta pak Sodik untuk mengurangi jumlah uang yang pak Sodik berikan padanya. Dan dari situ nanti Mutia akan mengaku saja dia sekarang hanya dibayar sebanyak tiga puluh ribu saja. Mau percay
KUGADAI HARTA SUAMI YANG BERSELINGKUHBAB 129Mutia memandang Ira dengan nanar. Bibirnya lantas kembali berkata, "Tapi kita kan gajiannya perhari gimana caranya aku kumpulin uang buat bayar kos kalau setiap aku pulang suamiku selalu nanya mana uang hasil kerja hari ini?"Senyuman pun terbit di kedua sudut bibir Ira. "Aku tahu caranya. Sini aku bisikin." "T-tapi gimana kalau Mas Yoga menanyakan soal uang gajiku yang setiap harinya diberikan sama Pak Sodik? Belum lagi sama Ibu mertua dan Kakak ipar pasti mereka semakin menyudutkanku." "Haduh Mutia ayolah, kalau bukan kamu yang merubah kondisimu lalu siapa lagi? Kamu harus keluar dari keluarga toxic seperti itu. Tidak mungkin kamu terus-terusan berada di sana yang ada mereka. Bukan semakin menghargaimu tapi malah semakin menginjak-injakmu." "Tapi, Ir, aku takut kalau Mas Yoga berlaku kasar padaku lagi." "Astaga Mutia. Kenapa mesti takut sih. Bukankah kamu ini orang kota? Seharusnya cara berpikirmu jauh lebih maju dong daripada aku.