"Semua itu gara-gara kamu, Mas! Pakek akal-akalan nurutin persyaratan mantan istrimu segala! Seharusnya kemarin tinggal ceraikan saja beres!" rutuk Mutiara yang membuat otakku serasa tak mampu berpikir lagi. "Ada jalan yang mudah dan beraspal, malah nyari yang berkelok dan bebatuan!" Brak!"Stop! Kalau nggak bisa berikan solusi, diamlah," ucapku lirih. Menahan kuat-kuat diri ini agar tak termakan emosi. Mutiara langsung bangkit dari tempat duduknya lalu berlalu pergi begitu saja. Sejenak aku berpikir, kemana aku harus mencari uang yang nominalnya tak sedikit itu? Setidaknya aku membutuhkan uang tiga ratus lima puluh juta untuk sekalian bayar bunganya. Aku terus berpikir, memutar otak. Akan tetapi, semakin aku berusaha mencari solusi akan permasalahan yang sedang mengungkungku, kepala ini malah terasa berdenyut nyeri. Kuacak rambutku kasar. Meluapkan rasa kesal yang tiada terkira. Akhirnya aku memilih menghubungi Mbak Sumi– salah satu kakak kandungku yang hidupnya lumayan mapan
Aku mulai membuka lemari yang kutahu letak penyimpanan perhiasan-perhiasan itu. Mataku berbinar saat melihat ada dua buah kotak perhiasan di dalam sana. Segera kuambil dan kubuka, dan benar saja, dua kotak itu berisi perhiasan semua. Hanya saja ada sebuah kalung yang tak ada. Tapi aku tahu, kalung itu dipakai oleh Mutiara. Meskipun ada yang nggak ada, aku menemukan kalung lama milik Mutia ada di sini. Di bawah perhiasan-perhiasan yang tertata itu ada sebuah nota pembelian. Lengkap!Hanya saja, letak tempat toko emas itu tak aku ketahui dimana tepatnya. Akhirnya aku memilih untuk mencari di google map. Tak perlu menunggu lama, ketemulah alamat itu. Segera aku keluar rumah dan masuk ke dalam mobil, setelahnya kupacu kendaraan dengan kecepatan sedang, sebab netraku yang sesekali harus mencuri pandang ke arah Ponsel yang menunjukkan arah ke tempat tujuan itu. Puluhan menit kemudian aku sudah sampai di toko yang terlihat ramai sekali. Aku kembali memastikan jika nama toko itu sama.
"Loh, Mas? Kok kotak perhiasanku ada di sini?" Aku mengalihkan pandanganku dari wajah Mutia. Aku menatap lurus ke arah depan. Berkali-kali aku menghela napas dalam-dalam lalu kukeluarkan secara kasar. "Jangan bilang kamu mau menjual perhiasan-perhiasan milikku itu, Mas?!" Saat aku melirikkan kedua netraku ke arah Mutia, tangan perempuan itu dengan cepat langsung mengambil dua kotak perhiasan lalu ia peluk erat-erat. "Sampai kapan pun aku nggak bakal jual perhiasan ini, Mas!" pekik Mutiara lagi. Aku kembali menolehkan kepala ke arah Mutia. Entah bagaimana reaksinya, terkejutnya ia saat mendapati kenyataan jika perhiasan itu palsu. "Itu bukan emas asli, tapi palsu," ucapku dengan lirih namun mampu membuat kedua bola mata milik Mutia membelalak sempurna. Sejenak bibir itu melongo, sepersekian detik kemudian, Mutia malah tertawa lebar. Apanya yang lucu?"Kamu ini ada-ada saja, Mas! Kamu pikir aku anak kecil yang bisa dibodohi? Kamu pikir aku ini mantan istrimu yang o'on itu? Kamu bi
"Rumah? Kenapa rumah kami disita? Kami menggadaikan mobil, bukan rumah," ucapku. "Anda Bu Rena kan? Jangan pura-pura lupa anda, Bu! Jangan mentang-mentang anda perempuan lalu bisa seenaknya saja. Ingat, ya, untuk urusan pekerjaan, kami tidak memandang laki-laki atau perempuan," ucapnya dengan tegas. "Bu–bukan. Saya Mutiara, bukan Rena!" Suara Mutia bergetar. Mungkin karena saking takutnya. Mutia pun menyembunyikan tubuhnya di belakang punggungku. Brak!"Jangan mempermainkan kami!" Lelaki itu kembali menendang pot tanaman. "Mohon maaf, Pak. Kami benar-benar tidak mengerti maksudnya. Hutang, hutang apa maksudnya? Kami berhutang hanya dengan menggadaikan mobil. Itu saja. Dan ini adalah istri saya Mutia. Kalau Rena adalah mantan istri saya," jelasku. "Mari, Pak, kita masuk ke dalam. Tolong jelaskan pada kami. Saya dan juga istri saya benar-benar tidak tahu apa maksud kedatangan bapak-bapak ini ke rumah kami." Aku bergegas meminta Mutia untuk segera membuka pintu. Maklum saja aku d
"Siapa dia, Mas? Jangan-jangan mereka mau begal kita?" tanya Mutia dengan gurat wajah yang ketakutan. Mutiara memegang lenganku, sesekali ia menggoyang-goyangkannya. "Mas, jangan-jangan dia begal?" "Aku juga nggak tau, Sayang ...."Dua orang lelaki berkepala plontos dengan menggunakan jaket kulit warna hitam itu bergegas turun dari motor, setelahnya, ia langsung berjalan menuju ke arah pintu mobil tepat di sampingku. Ingin sekali kulajukan kendaraanku, akan tetapi motor yang dipakai lelaki plontos itu dibiarkan berada di depan mobilku dengan posisi menghadang. Brok!Brok!Brok!"Buka!" teriak salah satu di antara mereka sembari menggebrok pintu kaca mobil. "Woy! Bukak! Atau kubunuh kalian berdua!" "Mas ... aku takut ...," rengek Mutiara. "Tenang, ya."Aku menurunkan kaca mobil. "Kami nyuruh buka pintunya! Bukan menurunkan kaca mobil!" pekiknya lagi d
Mutia memutar bola matanya malas, lalu ia mencebikkan bibirnya. Mutia melepaskan pegangan tanganku."kalau tau kayak gini jadinya, mending aku jadi wanita simpananmu saja," celetuk Mutia yang membuat dada ini berdesir. "Maksud kamu apa? Kamu pengen tinggalin aku dalam keadaan kayak gini?" Mutia mendesah pelan. "Sudahlah, Mas. Jangan banyak bicara. Sekarang pikirkan kita mau kemana."Untuk ke sekian kalinya aku hanya bisa menghembuskan napas berat. Entahlah, aku benar-benar dibuat kalut dengan kejadian yang menimpaku secara beruntun ini. "Aku pesen taksi online dulu untuk antar kita ke terminal, kita nanti bisa naik bus pulang ke rumah ibuku.""Apa?! Naik bus?! Ogah banget! Udah bau keringat, bau rokok, panas pula!" "Ayolah, Sayang. Sekali saja jangan mempersulit masalah kita," hibaku. Mutia lantas langsung menutup mulutnya rapat-rapat, aku bergegas memesan taksi online. Hingga belasan menit kemudian sebuah mobil berh
"Ah ... untung saja kemarin aku tidak memberikanmu pinjaman. Andai saja kemarin kuberikan, bisa rugi bandar aku ...," celetuk Mbak Sumi yang membuatku meremas gagang sendok yang ada di tanganku. Ada gemuruh yang mulai terasa di dalam sini begitu mendengar kalimat itu keluar dari mulut saudara kandungku. Mutia melirik sinis ke arah Mbak Sumi, sepertinya ia juga tak suka dengan apa yang dikatakan oleh kakak iparnya itu. Tangan Mbak Sumi terulur, mencomot tempe goreng yang terhidang di atas meja lalu memasukkannya langsung ke dalam mulutnya. "Jadi setelah ini kamu mau numpang tinggal di sini?" "Iya, Mbak," ucapku dengan nada setenang mungkin. Tak ingin ada perdebatan dan pertengkaran di antara kami. Walau sebenarnya rasa kesal terasa di dalam sini. Mbak Sumi mengangguk-anggukkan kepalanya sembari mulut yang terus mengunyah makanan yang baru saja ini masukkan lagi."Biasanya ibu aku kasih jatah seminggu dua ratus ribu untuk makan. Kalau kamu mau tinggal di sini, itu artinya semua ke
Dengan perasaan penasaran yang luar biasa, kuambil secarik kertas itu lalu kubuka kertas yang berlipat itu, hingga terpampanglah rangkaian kata yang membuat darah terasa berdesir dan memanas. [Assalamualaikum, Mas Yoga. Bagiamana kabarnya? Semoga masih sehat dan belum terkena serangan jantung apalagi ditinggalkan sang istri tercinta, ya. Xi xi xi. Surat ini aku buat tanpa paksaan dari siapapun. Rena meluangkan waktu untuk merangkai kata-kata hanya untuk Mas Yoga, loh. Baik kan mantan istrimu ini?Oh, ya, Rena mau tanya, bagaimana perasaan Mas Yoga saat membaca pesanku kali ini? Mas Yoga suka kan dengan kejutan yang aku berikan?Gimana Mas rasanya tiba-tiba kedatangan rentenir ke rumah untuk menyita semua harta? Deg-deg'an kan? Oh, ya, bagaimana juga rasanya keluar rumah hanya membawa baju yang hanya menempel di tubuh? Istimewa kan?Aha ... semoga saja kejadian itu bisa menjadi pengalaman yang tak terlupakan buat Mas Yoga dan sang istri tercintah, yah!Semoga, kejutan yang Rena berik
Rasanya masih seperti mimpi melihat makam Yoga. Rasanya suara hinaan, cacian, dan bentakan itu masih terdengar nyata di telinga Mutia. Tapi kini seseorang yang sudah menghina, menzolimi dirinya sudah tidak ada lagi. Entah Mutia harus merasa lega atau tidak. Mutia tidak tau. Sekarang yang terasa hanya ruang hampa.***Tak terasa 1 Minggu telah berlalu. Setiap harinya kesehatan ibu mertua Mutia berangsur membaik. Bahkan kata dokter, Ia sudah bisa pulang besok siang.…Keesokan harinya,Mutia tengah melipat pakaian dan memasukkannya ke dalam tas, ketika Ibu mertuanya membuka mata setelah tertidur cukup lama. Mutia yang menyadari ibu mertuanya telah sadar langsung menghampiri ibu mertuanya tersebut.“Bu, ibu sudah sadar?” tanya Mutia lembut.Sang ibu mertua hanya bisa menatap Mutia nanar, mulutnya yang setenga miring itu, hanya bisa terbuka tertutup tanpa mengeluarkan kata. Hanya sebuah suara samar yang menunjukkan penyakitnya.“Bu, makan dulu, ya, Mutia suapi Ibu,” ucap Mutia lembah lemb
Setelah melakukan serangkaian keagamaan, akhirnya Yoga pun dibawa ke liang kuburnya.Melihat Yoga dikubur, membuat perasaan Mutia sedikit tidak karuan. Tidak ada air mata, tapi tidak ada juga rasa bahagia suka cita.Mutia merasa mungkin ini pembalasan dari Tuhan, untuk semua kesakitan dan penderitaan yang telah ia terima dari suaminya yang selalu menyakiti dirinya. Tapi di satu sisi, Mutia juga kembali teringat akan masa lalunya, yang sempat bahagia bersama Yoga. Bagaimanapun juga Yoga pernah menjadi hal yang paling membuat Mutia bahagia dalam hidupnya.***Kabar Yoga sudah tidak ada akhirnya sampai ke telinga sang mantan istri, Rena. “Apa, Mas Yoga? … Innalilahi wa innalilahi rojiun,” ucap Rena yang masih tak percaya dengan kabar yang baru ia dengar.Ternyata seorang kerabat yang ikut hadir dalam pemakaman Yoga, mengetahui keberadaan Rena, dan memberitahukan kepada Rena tentang kondisi Yoga.“Terima kasih sudah memberitahu.” Rena menutup telepon nya.“Ada apa Ren,?” tanya Ibunya Re
Seketika suasana warung menjadi lebih ramai dan kacau akibat perkelahian Yoga dan Tono. Tapi jujur saja, walaupun keduanya sama-sama mabuk, tetap saja Yoga tampak jauh lebih unggul untuk memberikan hantaman demi hantaman kepada Tono. Tono semakin kehilangan kesadaran.Walaupun sudah mendapatkan serangan bertubi-tubi dari Yoga, tidak lantas membuat Tono menyerah dari Yoga. Tono justru semakin berniat untuk menghabisi Yoga. Dilihatnya oleh Tono sebuah pisau tergeletak bebas di atas meja, entah habis digunakan untuk apa, tapi ada pisau di sana. Tanpa ragu Tono segera meraih pisau tersebut.Dengan gelap mata, semuanya pun terjadi dengan cepat.JLEB!Pisau tersebut berpindah posisi. Tono berhasil menusukkan pisau tersebut menembus tubuh Yoga.Tidak puas dengan satu kali tusukan, Tono menusuk beberapa kali tubuh Yoga hingga Yoga akhirnya tak sadarkan diri.Suara teriakan para wanita yang melihat kejadian tersebut sontak membuat para warga sekitar yang berada di sana langsung berdatangan mel
“Apa, Stroke?” Mutia begitu terkejut setelah mendengar diagnosa dokter terhadap ibu mertuanya.“Iya, kemungkinan itu yang terjadi setelah kami memeriksa kesehatan Pasien tadi,” ucap sang dokter. “Tapi untuk mengetahui lebih dalam apa penyakitnya, kita memerlukan waktu lebih.”Mutia mulai tampak kebingungan. Kabar tidak enak ini terlalu mendadak untuk ia tanggung sendiri. “Tapi ibu mertua saya akan sembuh kan, Dokter?” tanya Mutia penuh harap.“Kemungkinan sembuh ada, tapi mungkin tidak sesehat sebelumnya,” jawab sang dokter. “Sebaiknya kita berdoa saja semoga Bu Leha cepat sadar dan pulih kembali.”Sudah kurang lebih dua jam Mutia menunggu mertua kejamnya itu di rumah sakit. Sudah berulang kali Mutia mencoba menghubungi suami dan iparnya, tapi tetap tidak ada yang menjawab. Lelah, capek, sakit hati, semua Mutia rasakan saat ini. Ingin rasanya Mutia berteriak sekencang mungkin mengeluarkan semua beban yang terasa di dalam dada. Tapi apa daya, Mutia tidak bisa melakukan semua itu. Mut
"Sialan! Kau sembunyikan dimana uangku, Mutia!" pekik wanita paruh baya itu saat tak menemukan apa yang ia cari di segala tempat. "Mutia nggak ambil uang milik Ibu ....""Halah! Nggak usah bohong kamu! Balikin uangku!" Sang ibu mertua melangkah mendekat ke arahnya dengan tatapan tajam. Seketika perasaan Mutia menjadi tak enak. Hingga jantung pun terasa seperti berdegup lebih kencang.Rasanya ingin melawan, tapi entah mengapa tenaga seperti sudah hilang. Apa ini karena Mutia masih menghormati orang tua suaminya itu? ataukah Mutia hanya berlarut dalam rasa bersalah, dan ini harga yang harus ia bayar?Mutia hanya bisa terus berusaha memberontak tanpa melawan. Air mata yang menetes pun seperti tidak akan membuat Ibu mertuanya iba akan kesakitannya. Kini semakin jelas Mutia merasa sebegitu hina dirinya di mata mertuanya, padahal setiap hari Mutia rasanya sudah cukup berkorban menahan hati melayani keluarga ini. Apa tidak sudah ada rasa kasihan, atau rasa iba kepada dirinya?“Bu, sakit Bu
Kedua telapak tangan Mutia terbuka dan terangkat sebatas dada. Dengan bibir bergetar, ia ucapkan permohonan ampun pada Sang Pemilik Kehidupan setelah ia lakukan beberapa rakaat shalat taubat. "Ampuni hamba, Ya Allah. Ampuni Hamba ...." Suara itu bergetar dengan tubuh yang terguncang. Air mata terus bergulir dengan begitu derasnya. Hingga menciptakan jejak-jejak air mata di wajahnya. Air mata itu terus keluar, sebagai bentuk penyesalan yang teramat dalam. Belasan menit ia memohon ampun, ada rasa kelegaan tersendiri yang dirasakan oleh Mutia."Ha ha ha, apa yang kau lakukan, Mutia?" Suara tawa terdengar begitu menggema. Suara yang berasal dari Yoga yang baru saja membuka pintu kamar lalu melihat sang istri sedang bersujud dengan balutan mukena di tubuhnya. Mutia langsung mengangkat kepalanya. Ia duduk lalu menolehkan kepala ke arah sang suami yang terus tertawa. Mutia tau, dia telah ditertawakan oleh sang suami. "Tumben sekali kau sholat? Apa kau sadar jika dirimu penuh dengan dos
Sinar matahari menerobos masuk melalui celah-celah jendela. Lelaki yang masih terbuai dengan mimpi itu menggeliat pelan, mengusap wajahnya lalu mengangkat kedua tangannya ke atas. Guna merenggangkan otot-otot di tubuhnya yang terasa begitu kaku. Setelahnya, pandangan Yoga beralih pada jam yang menggantung di dinding kamar, yang saat ini sedang menunjukkan pukul sembilan pagi. Wajar saja jika jam sembilan Yoga baru terbangun, sebab hampir setiap malam ia pulang dari warung janda genit hingga sampai pukul satu larut malam. Yoga melangkah menuju ke pintu. Meraih gagang pintu lalu menekannya dengan malas lalu mendorongnya perlahan. Lelaki itu melangkah menuju ke dapur tanpa ke kamar mandi terlebih dahulu. Walau hanya sekedar mencuci muka, Yoga enggan melakukannya. Dibukanya tudung saji. "Makanan macam apa ini?!" Yoga menghempaskan tudung saji dengan kasar. Hingga terpental di atas meja lalu terjatuh. Yoga merasa kesal, sebab hanya ada tempe goreng dan juga sambal bawang. Ya, hanya
KUGADAI HARTA SUAMI YANG BERSELINGKUHBAB 70Yoga mencebik tapi kemudian pria itu memberikan selembar uang berwarna hijau dengan nominal 20.000 rupiah pada Mutia. "Udah itu aja cukup. Jangan banyak-banyak kamu pegang duit biar gak ngelunjak!" Setelahnya, Yoga pun pergi meninggalkan Mutia yang sudah lemas karena di tangannya kini hanya tersisa uang dua puluh ribu saja. "Ya Allah, uang segini dapet apaan? Untuk beli beras buat makan orang satu rumah aja kurang," gumam Mutia yang menatap perih uang berwarna hijau di tangannya itu. Ia merutuki kebodohannya kenapa uang itu tidak ia masukkan saja ke dalam pakaian dalamnya atau seperti yang dikatakan Ira kalau ia meminta pak Sodik untuk menunda memberikan uang gajinya. Ah, tiba-tiba Mutia muncul sebuah ide. Dalam benaknya terlintas kalau dia akan meminta pak Sodik untuk mengurangi jumlah uang yang pak Sodik berikan padanya. Dan dari situ nanti Mutia akan mengaku saja dia sekarang hanya dibayar sebanyak tiga puluh ribu saja. Mau percay
KUGADAI HARTA SUAMI YANG BERSELINGKUHBAB 129Mutia memandang Ira dengan nanar. Bibirnya lantas kembali berkata, "Tapi kita kan gajiannya perhari gimana caranya aku kumpulin uang buat bayar kos kalau setiap aku pulang suamiku selalu nanya mana uang hasil kerja hari ini?"Senyuman pun terbit di kedua sudut bibir Ira. "Aku tahu caranya. Sini aku bisikin." "T-tapi gimana kalau Mas Yoga menanyakan soal uang gajiku yang setiap harinya diberikan sama Pak Sodik? Belum lagi sama Ibu mertua dan Kakak ipar pasti mereka semakin menyudutkanku." "Haduh Mutia ayolah, kalau bukan kamu yang merubah kondisimu lalu siapa lagi? Kamu harus keluar dari keluarga toxic seperti itu. Tidak mungkin kamu terus-terusan berada di sana yang ada mereka. Bukan semakin menghargaimu tapi malah semakin menginjak-injakmu." "Tapi, Ir, aku takut kalau Mas Yoga berlaku kasar padaku lagi." "Astaga Mutia. Kenapa mesti takut sih. Bukankah kamu ini orang kota? Seharusnya cara berpikirmu jauh lebih maju dong daripada aku.