Sore menyapa, aku yang sedang menyapu halaman rumah pun dikejutkan dengan kedatangan sebuah mobil yang sangat aku kenali.
Ya, mobil yang kutahu betul itu adalah milik Mas Yoga.
Setelah sejenak memastikan, aku langsung melangkah ingin masuk ke dalam rumah. Akan tetapi, saat baru saja kedua kakiku menapak di atas teras, terasa seseorang telah berhasil mencekal lenganku.
Sialan!
"Mau ngindar dari kami?!" Suara Mutia terdengar. Aku bergerak, memutar tubuh agar bisa menatap wajah yang terlihat begitu menggemaskan itu. Karena Sangking menggemaskannya, rasanya ingin kucekik batang leher itu.
"Lepaskan! Jangan sentuh kulitku dengan tanganmu yang kotor itu!"
Aku menepis cekalan tangan Mutiara dengan kasar, hingga terdengar dengkusan berat yang keluar dari dirinya.
Tertangkap dengan kedua netraku, Mas Yoga baru
Pov Yoga**Kubiarkan tubuh Rena terjatuh di lantai. Salah sendiri berani-beraninya dia mengambil harta yang kucari dengan jerih payahku. Sialan memang perempuan itu!Aku bersama Mutia pun lantas masuk ke dalam kamar milik mantan ibu mertuaku. Meskipun rumah ini telah direnovasi, tapi letak kamarnya atau ruangan lainnya pun tak berubah. Kamar kedua orangtua Rena letaknya di bagian belakang. "Pasti mantan istrimu itu sembunyikan di kamar ini, Mas!""Jangan banyak bicara, kita langsung cari. Mumpung rumah kosong. Kalau bapaknya Rena datang, bisa berabe nanti." Mutia pun menganggukkan kepala. Setelahnya, tanpa dikomando sekali pun kami langsung memilih bagian mana saja yang perlu digeledah. "Dasar maling!" Tiba-tiba suara itu kudengar seiring cengkraman di kerah bajuku bagian belakang. Aku menolehkan kepala. Ternyata mantan bapak mertuaku sudah ada di sini. Mampus!Gimana ini?Entah kekuatan dari mana lelaki itu tiba-tiba semakin memperkuat cengkramannya lalu menarik tubuhku hing
"Dasar lemah!" celetuk Mutia sembari melirik sinis ke arahku. Kedua orang itu langsung melangkah masuk. Aku pun bergegas bangkit dari lantai. Sayang sekali tak ada orang di rumah. Hanya ada aku seorang. Aku mengikuti kemana langkah mereka tertuju. Aku bisa menebaknya, Mas Yoga membawa istrinya itu ke kamarku. Aku yakin, ia masih ingat betul di mana letak kamarku. Sengaja aku membiarkan mereka, toh mereka tak akan menemukan apapun di sini. Dan untunglah, kemarin aku sudah menyimpan buku rekening di tempat yang sangat lah aman. Sebab aku yakin, mereka berdua pasti akan datang untuk mencari sertifikat-sertifikat itu di rumahku. Dan ternyata tebakanku tak salah. "Cih! Ini sih bukan kamar, atau sudah seperti kandang kambing!" hardik Mutia yang terdengar jelas di kedua telingaku. Terlihat mereka berdua masuk kamarku, sedangkan aku berdiri di ambang pintu dengan tubuh yang bersandar. "Kamu simpan di mana, Ren?" tanya Mas Yoga dengan nada ketusnya setelah ia memutar tubuhku dan m
Pov Yoga**Suara ayam terdengar berkokok. Pertanda pagi sudah tiba. Sepanjang malam, mata ini terus terjaga. Bukan tanpa sebab, aku memikirkan Rena yang saat ini sedang mengandung. Apakah mungkin kalau itu adalah darah dagingku?Terasa tubuh yang ada di sampingku bergerak, perempuan itu mengubah posisinya dengan menggunakan lenganku sebagai bantalannya. Kepala itu mendongak, menatapku."Semalam kamu nggak tidur, Mas? Wajah kamu kok lelah banget?" ucap Mutia sembari menelisik wajahku.Aku hembuskan napas kasar."Jangan bilang kamu mikirin mantan istrimu yang sedang hamil itu!" Mutia mendudukkan tubuhnya, akan tetapi, pandangannya terus tertuju padaku."Jawab, Mas!" pekik Mutia. Raut wajahnya terlihat begitu kesal sekali."Mas, harus aku jelaskan berapa kali biar kamu mengerti? Jika mantan istrimu itu mengandung anakmu, tentu dia a
"Itu! Itu! Di depan ada polisi nyari kamu," ucap Ibu dengan napas terengah-engah."Oalah, mungkin polisi mau minta keterangan, Bu. Kan tadi memang Yoga nglaporin Bapaknya si Rena itu." Aku berusaha bangkit dari tempat dudukku. Pun juga dengan Mutia."Bukan soal itu, Yoga! Ada yang lain! Coba deh kamu ke sana. Cepetan."Ibu ini ada-ada saja sih, sudah dijelasin masih saja terlihat khawatir.Aku berjalan terlebih dahulu, sedangkan Mutia dan juga Ibu ada di belakangku.Saat aku sudah sampai di ruang tamu, terlihat dua orang polisi duduk di sofa itu.Aku melempar senyum ke arah mereka lantas aku menyalimi satu per satu. Setelahnya, aku pun duduk di tempat yang kosong."Pasti ada sesuatu yang sangat penting hingga membuat bapak datang ke sini. Kenapa nggak menghubungi saja biar saya datan
Pov Rena**"Bapak kemana, Bu?" tanyaku pada Ibu yang sejak kemarin menungguku. .Saat ini, Ibu sedang duduk di kursi yang ada tepat di samping ranjang rumah sakit yang aku tempati saat ini. Entahlah, aku merasa kalau ada sesuatu yang tak beres. Sebab, raut wajah ibu terlihat begitu khawatir. Bahkan, semalam aku mendapati Ibu yang masih terjaga menemaniku di rumah sakit. Ya, karena dorongan yang dilakukan oleh Mas Yoga itu, aku dilarikan ke rumah sakit. Tapi syukurlah, kata dokter kandunganku baik-baik saja. Dan, Dokter yang tadi memeriksaku mengatakan kemungkinan hari ini aku bisa pulang. Yang terpenting selalu konsumsi obat yang diresepkannya. Terdengar Ibu menghembuskan napas beratnya. Lambat laun aku bisa melihat dengan jelas saat kedua netra itu mulai berkaca-kaca. "Bu? Ada apa?" Aku mengubah posisiku menjadi sedikit bersandar di bantal-bantal yang baru saja kutumpuk. "Bapak dibawa ke kantor polisi." "Apa?! Bapak di kantor polisi? Kenapa, Bu? Bapak melakukan kesalahan apa
"Gimana nggak sedih, Mbak? Aku takut kalau Bapak akan tinggal di penjara lama-lama." Aku pun bergegas keluar dari kamar adikku setelah melihat dirinya sedikit tenang."Mau kemana, Nduk?" tanya Ibu saat langkahku semakin dekat ke arahnya. "Mau ke kantor polisi, Buk. Mau bebasin Bapak," ucapku. Ibu yang semula duduk di kursi pun langsung bangkit, beliau melangkah mendekat ke arahku. "Kita ke kantor polisi besok saja. Sekarang istirahat lah dulu," ucap Ibu. "Jangan, Buk. Biar Bapak segera bebas. Rena nggak mau kalau Bapak sampai mendekam di penjara sana."Setelah sedikit berdebat, aku pun berhasil membujuk Ibu. Akan tetapi, Ibu selalu memintaku untuk berhati-hati. ****Laporan sudah kuberikan. Setelah memberikan laporan, aku menemui Bapak. Akan tetapi, sipir tak memberikanku banyak waktu. Hanya sebentar saja kami bercengkrama. "Nggak masalah Bapak di sini, Nduk, yang terpenting Bapak sudah puas menghajar Yoga karena telah menyakitimu dan calon cucu bapak. Untung saja kandungan ka
"Yakin nggak mau? Oke, aku bisa membebaskan Bapakku dengan uangku. Memberikan jaminan, misalnya. Lalu kamu?" Aku tersenyum sungging. "Bagaimana denganmu dan juga istrimu? Mau hidup di hotel prodeo ini? Kesalahanmu tak hanya satu. Selain mencelakaiku dan juga bayiku, kamu juga telah mengacak-acak rumahku, dan lebih parahnya lagi, kau ingkari janji yang sudah kau tandatangani di atas materai, bahwa kau tak akan mengusik kehidupanku pasca kita resmi bercerai. Bagaimana?" Rahang itu mengeras, kentara sekali saat ini emosi mulai menguasai lelaki itu. "Kalau emang nggak mau, yaudah."Aku segera bangkit dari tempat dudukku, mendorong kursi ke belakang dengan gerakan kakiku lalu melangkah keluar dari barisan kursi. Saat aku ingin melangkah, tiba-tiba suara Mas yoga mengehentikan langkahku. "Anak siapa yang kamu kandung?" Aku mengernyitkan dahiku, menolehkan kepala ke arahnya. "Masihkah kau mengatakan pertanyaan konyol itu? Kalau aku yang ngandung, berati ya anakku! Kenapa? Kau pikir ini
Pov Mutiara**Kupikir kedatanganku ke kediaman mantan istri suamiku akan mendapatkan sesuatu yang kita cari, tapi nyatanya? Zonk!Jangankan mendapatkan atau menemukan sertifikat itu, yang ada untuk pertama kalinya aku bermalam di penjara. Dan semua itu karena Rena– perempuan sialan yang merupakan mantan istri suamiku. "Kita pulang siang ini, Mas! Bisa sial aku lama-lama di sini!" ketusku sesaat sampai di rumah ibu mertuaku. "Mas ngantuk, Sayang. Semalam nggak bisa tidur.""Lah! Sama, Mas! Baru sehari tinggal di sini aja udah masuk penjara, apakabar kalau kita nginep di sini lagi?" celetukku memasang wajah kesal.Sungguh ... aku benar-benar dibuat emosi kali ini. "Berikan waktu satu jam atau dua jam untuk Mas istirahat ya. Setelah itu kita balik," pinta Mas Yoga sembari memasang raut wajah menghiba. Aku pun sebenarnya juga ngantuk, tapi aku nggak mau berlama-lama untuk tinggal di sini. Apalagi kejadian kemarin sampai saat ini masih menyisakan kenangan yang mengerikan. Bagaimana
Rasanya masih seperti mimpi melihat makam Yoga. Rasanya suara hinaan, cacian, dan bentakan itu masih terdengar nyata di telinga Mutia. Tapi kini seseorang yang sudah menghina, menzolimi dirinya sudah tidak ada lagi. Entah Mutia harus merasa lega atau tidak. Mutia tidak tau. Sekarang yang terasa hanya ruang hampa.***Tak terasa 1 Minggu telah berlalu. Setiap harinya kesehatan ibu mertua Mutia berangsur membaik. Bahkan kata dokter, Ia sudah bisa pulang besok siang.…Keesokan harinya,Mutia tengah melipat pakaian dan memasukkannya ke dalam tas, ketika Ibu mertuanya membuka mata setelah tertidur cukup lama. Mutia yang menyadari ibu mertuanya telah sadar langsung menghampiri ibu mertuanya tersebut.“Bu, ibu sudah sadar?” tanya Mutia lembut.Sang ibu mertua hanya bisa menatap Mutia nanar, mulutnya yang setenga miring itu, hanya bisa terbuka tertutup tanpa mengeluarkan kata. Hanya sebuah suara samar yang menunjukkan penyakitnya.“Bu, makan dulu, ya, Mutia suapi Ibu,” ucap Mutia lembah lemb
Setelah melakukan serangkaian keagamaan, akhirnya Yoga pun dibawa ke liang kuburnya.Melihat Yoga dikubur, membuat perasaan Mutia sedikit tidak karuan. Tidak ada air mata, tapi tidak ada juga rasa bahagia suka cita.Mutia merasa mungkin ini pembalasan dari Tuhan, untuk semua kesakitan dan penderitaan yang telah ia terima dari suaminya yang selalu menyakiti dirinya. Tapi di satu sisi, Mutia juga kembali teringat akan masa lalunya, yang sempat bahagia bersama Yoga. Bagaimanapun juga Yoga pernah menjadi hal yang paling membuat Mutia bahagia dalam hidupnya.***Kabar Yoga sudah tidak ada akhirnya sampai ke telinga sang mantan istri, Rena. “Apa, Mas Yoga? … Innalilahi wa innalilahi rojiun,” ucap Rena yang masih tak percaya dengan kabar yang baru ia dengar.Ternyata seorang kerabat yang ikut hadir dalam pemakaman Yoga, mengetahui keberadaan Rena, dan memberitahukan kepada Rena tentang kondisi Yoga.“Terima kasih sudah memberitahu.” Rena menutup telepon nya.“Ada apa Ren,?” tanya Ibunya Re
Seketika suasana warung menjadi lebih ramai dan kacau akibat perkelahian Yoga dan Tono. Tapi jujur saja, walaupun keduanya sama-sama mabuk, tetap saja Yoga tampak jauh lebih unggul untuk memberikan hantaman demi hantaman kepada Tono. Tono semakin kehilangan kesadaran.Walaupun sudah mendapatkan serangan bertubi-tubi dari Yoga, tidak lantas membuat Tono menyerah dari Yoga. Tono justru semakin berniat untuk menghabisi Yoga. Dilihatnya oleh Tono sebuah pisau tergeletak bebas di atas meja, entah habis digunakan untuk apa, tapi ada pisau di sana. Tanpa ragu Tono segera meraih pisau tersebut.Dengan gelap mata, semuanya pun terjadi dengan cepat.JLEB!Pisau tersebut berpindah posisi. Tono berhasil menusukkan pisau tersebut menembus tubuh Yoga.Tidak puas dengan satu kali tusukan, Tono menusuk beberapa kali tubuh Yoga hingga Yoga akhirnya tak sadarkan diri.Suara teriakan para wanita yang melihat kejadian tersebut sontak membuat para warga sekitar yang berada di sana langsung berdatangan mel
“Apa, Stroke?” Mutia begitu terkejut setelah mendengar diagnosa dokter terhadap ibu mertuanya.“Iya, kemungkinan itu yang terjadi setelah kami memeriksa kesehatan Pasien tadi,” ucap sang dokter. “Tapi untuk mengetahui lebih dalam apa penyakitnya, kita memerlukan waktu lebih.”Mutia mulai tampak kebingungan. Kabar tidak enak ini terlalu mendadak untuk ia tanggung sendiri. “Tapi ibu mertua saya akan sembuh kan, Dokter?” tanya Mutia penuh harap.“Kemungkinan sembuh ada, tapi mungkin tidak sesehat sebelumnya,” jawab sang dokter. “Sebaiknya kita berdoa saja semoga Bu Leha cepat sadar dan pulih kembali.”Sudah kurang lebih dua jam Mutia menunggu mertua kejamnya itu di rumah sakit. Sudah berulang kali Mutia mencoba menghubungi suami dan iparnya, tapi tetap tidak ada yang menjawab. Lelah, capek, sakit hati, semua Mutia rasakan saat ini. Ingin rasanya Mutia berteriak sekencang mungkin mengeluarkan semua beban yang terasa di dalam dada. Tapi apa daya, Mutia tidak bisa melakukan semua itu. Mut
"Sialan! Kau sembunyikan dimana uangku, Mutia!" pekik wanita paruh baya itu saat tak menemukan apa yang ia cari di segala tempat. "Mutia nggak ambil uang milik Ibu ....""Halah! Nggak usah bohong kamu! Balikin uangku!" Sang ibu mertua melangkah mendekat ke arahnya dengan tatapan tajam. Seketika perasaan Mutia menjadi tak enak. Hingga jantung pun terasa seperti berdegup lebih kencang.Rasanya ingin melawan, tapi entah mengapa tenaga seperti sudah hilang. Apa ini karena Mutia masih menghormati orang tua suaminya itu? ataukah Mutia hanya berlarut dalam rasa bersalah, dan ini harga yang harus ia bayar?Mutia hanya bisa terus berusaha memberontak tanpa melawan. Air mata yang menetes pun seperti tidak akan membuat Ibu mertuanya iba akan kesakitannya. Kini semakin jelas Mutia merasa sebegitu hina dirinya di mata mertuanya, padahal setiap hari Mutia rasanya sudah cukup berkorban menahan hati melayani keluarga ini. Apa tidak sudah ada rasa kasihan, atau rasa iba kepada dirinya?“Bu, sakit Bu
Kedua telapak tangan Mutia terbuka dan terangkat sebatas dada. Dengan bibir bergetar, ia ucapkan permohonan ampun pada Sang Pemilik Kehidupan setelah ia lakukan beberapa rakaat shalat taubat. "Ampuni hamba, Ya Allah. Ampuni Hamba ...." Suara itu bergetar dengan tubuh yang terguncang. Air mata terus bergulir dengan begitu derasnya. Hingga menciptakan jejak-jejak air mata di wajahnya. Air mata itu terus keluar, sebagai bentuk penyesalan yang teramat dalam. Belasan menit ia memohon ampun, ada rasa kelegaan tersendiri yang dirasakan oleh Mutia."Ha ha ha, apa yang kau lakukan, Mutia?" Suara tawa terdengar begitu menggema. Suara yang berasal dari Yoga yang baru saja membuka pintu kamar lalu melihat sang istri sedang bersujud dengan balutan mukena di tubuhnya. Mutia langsung mengangkat kepalanya. Ia duduk lalu menolehkan kepala ke arah sang suami yang terus tertawa. Mutia tau, dia telah ditertawakan oleh sang suami. "Tumben sekali kau sholat? Apa kau sadar jika dirimu penuh dengan dos
Sinar matahari menerobos masuk melalui celah-celah jendela. Lelaki yang masih terbuai dengan mimpi itu menggeliat pelan, mengusap wajahnya lalu mengangkat kedua tangannya ke atas. Guna merenggangkan otot-otot di tubuhnya yang terasa begitu kaku. Setelahnya, pandangan Yoga beralih pada jam yang menggantung di dinding kamar, yang saat ini sedang menunjukkan pukul sembilan pagi. Wajar saja jika jam sembilan Yoga baru terbangun, sebab hampir setiap malam ia pulang dari warung janda genit hingga sampai pukul satu larut malam. Yoga melangkah menuju ke pintu. Meraih gagang pintu lalu menekannya dengan malas lalu mendorongnya perlahan. Lelaki itu melangkah menuju ke dapur tanpa ke kamar mandi terlebih dahulu. Walau hanya sekedar mencuci muka, Yoga enggan melakukannya. Dibukanya tudung saji. "Makanan macam apa ini?!" Yoga menghempaskan tudung saji dengan kasar. Hingga terpental di atas meja lalu terjatuh. Yoga merasa kesal, sebab hanya ada tempe goreng dan juga sambal bawang. Ya, hanya
KUGADAI HARTA SUAMI YANG BERSELINGKUHBAB 70Yoga mencebik tapi kemudian pria itu memberikan selembar uang berwarna hijau dengan nominal 20.000 rupiah pada Mutia. "Udah itu aja cukup. Jangan banyak-banyak kamu pegang duit biar gak ngelunjak!" Setelahnya, Yoga pun pergi meninggalkan Mutia yang sudah lemas karena di tangannya kini hanya tersisa uang dua puluh ribu saja. "Ya Allah, uang segini dapet apaan? Untuk beli beras buat makan orang satu rumah aja kurang," gumam Mutia yang menatap perih uang berwarna hijau di tangannya itu. Ia merutuki kebodohannya kenapa uang itu tidak ia masukkan saja ke dalam pakaian dalamnya atau seperti yang dikatakan Ira kalau ia meminta pak Sodik untuk menunda memberikan uang gajinya. Ah, tiba-tiba Mutia muncul sebuah ide. Dalam benaknya terlintas kalau dia akan meminta pak Sodik untuk mengurangi jumlah uang yang pak Sodik berikan padanya. Dan dari situ nanti Mutia akan mengaku saja dia sekarang hanya dibayar sebanyak tiga puluh ribu saja. Mau percay
KUGADAI HARTA SUAMI YANG BERSELINGKUHBAB 129Mutia memandang Ira dengan nanar. Bibirnya lantas kembali berkata, "Tapi kita kan gajiannya perhari gimana caranya aku kumpulin uang buat bayar kos kalau setiap aku pulang suamiku selalu nanya mana uang hasil kerja hari ini?"Senyuman pun terbit di kedua sudut bibir Ira. "Aku tahu caranya. Sini aku bisikin." "T-tapi gimana kalau Mas Yoga menanyakan soal uang gajiku yang setiap harinya diberikan sama Pak Sodik? Belum lagi sama Ibu mertua dan Kakak ipar pasti mereka semakin menyudutkanku." "Haduh Mutia ayolah, kalau bukan kamu yang merubah kondisimu lalu siapa lagi? Kamu harus keluar dari keluarga toxic seperti itu. Tidak mungkin kamu terus-terusan berada di sana yang ada mereka. Bukan semakin menghargaimu tapi malah semakin menginjak-injakmu." "Tapi, Ir, aku takut kalau Mas Yoga berlaku kasar padaku lagi." "Astaga Mutia. Kenapa mesti takut sih. Bukankah kamu ini orang kota? Seharusnya cara berpikirmu jauh lebih maju dong daripada aku.