Pov Yoga(5 bulan pasca perceraian)**"Mas, kenapa akhir-akhir ini uang yang kamu kirim ke rekeningku berkurang drastis?" tanya Mutia dengan nada yang mulai terdengar ketus. Aku menghela napas dalam-dalam dan kukeluarkan secara perlahan. Setelahnya aku pun mengulas senyum ke arah Mutia yang sedang memasang wajah kecut."Maaf, ya, Sayang. Sebulan ini memang rumah makan sepi sekali. Bahkan, omsetnya tak sampai setengah dari bulan-bulan sebelumnya." Mendengar penjelasanku, Mutia berdecak kesal lalu tersenyum sinis ke arahku. Mutia pun bangkit dari sofa, menatapku dengan wajah bengis. "Halah ... hanya alasan kan?! Jangan kau pikir aku tak tahu, Mas! Aku tahu, kau simpan sebagian uang-uang itu untuk wanita simpanannmu!"Deg!Jantung ini berdetak lebih kencang. "Astaga, Sayang ... sekali pun, Mas, tak pernah menyembunyikan uang-uang itu. Kan Mas kemarin sudah bilang, setoran Mas kurangi hanya untuk gaji karyawan dan beli bahan-bahan di rumah makan. Selebihnya, uang itu Mas transfer sem
Aku keluar dari mobilku yang terparkir di depan rumah makanku. Pemandangan yang langsung terpampang di hadapanku lagi-lagi membuatku menghembuskan napas kasar. Bagaimana bisa, satu pun tak kulihat kendaraan yang terparkir di depan rumah makanku? Padahal jam makan siang sudah tiba. Lagi-lagi aku menghembuskan napas berat, sebab rasa sesak terasa begitu menyeruak. Aku pun melangkah mendekat ke arah bangunan itu, dan langkahku terhenti di ambang pintu. Kedua netraku menyusuri meja-meja berjejer. Masih terlihat begitu rapi dan tak ada satu pun pengunjung yang duduk di tempat yang disediakan.Jika terus seperti ini, yang ada aku bisa bangkrut!"Hendry! Ini kenapa rumah makan jadi seperti ini?!" teriakku yang membuat Hendry yang saat itu sedang mengutak-atik komputer yang ada di atas meja kasir itu langsung melangkah mendekat ke arahku. Langkahnya terhenti tepat di hadapanku. Kepalanya menunduk dalam."Maaf, Pak. Akhir-akhir ini memang semakin sepi," ucapku dengan kepala masih menunduk
Pov Mutiara. **Tring!Ponsel di atas meja itu berbunyi. Ada satu pesan masuk. Saat kulihat, nama Chandra terpampang sebagai pengirim pesannya. Seketika perasaan tak enak menyergap begitu saja. Tring!Belum sempat kubaca, pesan kedua masuk dengan pengirim yang sama. Belum sampai kubuka pesan itu, ponsel yang saat ini sudah ada di tanganku itu berdering. Dan lagi-lagi nomor Chandra. Aku menghembuskan napas kasar. Hidupku terasa begitu tak tenang sekali. Rasanya seperti buronan yang setiap saat diintai oleh p*lisi. Akhirnya kuangkat panggilan itu. "Halo," ucapku dengan ketus. "Aku sudah ada di depan tempatmu bekerja. Keluarlah dan beri aku uang." Dengan entengnya Chandra berucap. Sudah pikun kah dia? Padahal baru satu minggu yang lalu ia meminta uangku lagi. "Apa kau keberatan? Ok, baiklah. Biar kukirim video itu ke nomor suami kamu," ancam Chandra. Ancaman yang terdengar begitu memuakkan. Sebab, itu lah yang menjadi senjatanya jika meminta sesuatu padaku tapi tak kunjung ku
"Kenapa belum ke sini juga? Tak mau memberikan apa yang aku minta?"Sial!Ternyata Chandra lah yang menghubungiku. Bercerai darinya, bukannya ketenangan yang kudapat, tapi malah menjadikanku sebagai bonekanya."Cepat ke sini!" "Hm ...."Panggilan kumatikan begitu saja lalu kumasukkan ponsel ke dalam tas milikku. Aku pun melangkah ke luar kantor tanpa membawa apapun. Berjalan menuju ke arah toko yang letaknya tak jauh dari kantor. Di sepanjang perjalanan aku hanya bisa menggerutu kesal. "Mana uang yang kuminta?" Baru saja aku tiba, ia langsung membuka telapak tangannya dengan begitu enaknya. Aku menatap tajam ke arah lelaki. Sungguh, lama-lama aku juga tak betah jika dimanfaatkan terus seperti ini. "Ngapain lihat-lihat? Mana uangnya?! Apa mau kuhubungi suamimu?" ucapnya bernada ancaman. "Aku udah nggak ada duit sama sekali!" "Minta sama suamimu itu!" pekiknya sembari melotot ke arahku."Dia nggak mau kasih," ketusku. Tanpa diduga, tiba-tiba tangan Chandra langsung menarik kalu
"Kenapa, Sayang? Kalau Mas bangkrut dan jatuh miskin, kamu akan tetap menemani suamimu ini kan?" Aku kembali menoleh ke arahnya. Kutunjukkan seuntai senyum penuh keterpaksaan itu, setelahnya, aku pun mengangguk. "Tapi nggak mungkin juga kalau kita jatuh miskin. Andai kata rumah makan itu sepi, kita bisa menjualnya. Kita bisa buka usaha yang lain lagi," ucap Mas Yoga. Memang benar yang dikatakan olehnya, akan tetapi, sedikit pun aku tak merasa lega. Rasa ketakutan jika Mas Yoga akan jatuh miskin menghantui pikiranku. "Yuk kita tidur. Atau ... mau main lagi?" Mas Yoga mengerlingkan matanya. "Tidur aja, Mas. Capek ini." Aku pun bergegas merebahkan tubuhku kembali.****Dering ponsel milik Mas Yoga yang tergeletak di bawah bantal berbunyi, membuat tidurku terasa begitu terganggu. "Mas, ponselmu bunyi," ucapku dengan kedua mata yang masih terpejam. Akan tetapi, tak ada jawaban dari Mas Yoga. Masih terdengar dengan jelas suara dengkuran halus yang keluar dari mulutnya. "Mas! Ponselm
Pov Rena(Pov ini 1 bulan pasca bercerai)**Entah aku harus bahagia atau sedih, di saat aku sudah resmi bercerai, Tuhan malah menitipkan aku janin di dalam rahimku. Dan betapa tak sadarnya aku, ternyata usia kehamilanku sudah berjalan sepuluh minggu, yang artinya saat aku keluar dari rumah itu, aku sudah dalam keadaan mengandung. Hamil lima minggu. Mungkin karena masalah yang kulalui kemarin begitu pelik, hingga membuatku tak sadar kalau aku sudah telat datang bulan. "Nduk ...." Suara Ibu terdengar membuatku mendongakkan kepala, menatap ke arah Ibu yang melangkah mendekat ke arahku. Kutampilkan seutas senyum ke arahnya, tak ingin beliau melihat kesedihanku. Langkah ibu semakin mendekat, hingga akhirnya ia pun menghenyakkan tubuhnya di sampingku. "Apa kamu sedih dengan kehadiran janin itu?" tanya Ibu yang sepertinya tahu akan kegundahan hatiku. Aku menghela napas dalam-dalam lalu kukeluarkan secara perlahan. "Bukannya sedih, Bu. Apa kata orang nanti, Rena yang seorang janda m
Usaha yang aku geluti benar-benar membuahkan hasil. Bagaimana tidak, baru empat bulan aku gabung di dunia literasi, setiap bulannya aku berhasil mendapatkan gaji hingga belasan juta rupiah!Kini, usia kandunganku sudah empat bulan. Dan kabar itu belum tercium oleh siapapun. Aku berdiri di depan rumah sembari kedua tangan berkacak pinggang. Kedua netraku menyusuri rumah kedua orangtuaku yang sudah berhasil kurenovasi sedemikian rupa. Nggak mewah, masih terbilang sederhana saja. Hanya mengganti atap rumah dan memasang keramik di bagian lantainya yang sebelumnya hanya berlantai semen. Tak hanya itu, aku juga membangun toko di depan rumah. Semua itu tentu menggunakan uang tiga ratus juta dari Mas Yoga sebagai syarat menikah lagi kemarin. Sebenarnya Bapak dan Ibu melarang, tapi aku terus bersikeras. Dan masih teringat ucapannya sebelum aku mulai membeli bahan bangunan. "Ya udah, Nduk. Terserah kamu saja. Uang tiga ratus juta itu memang lah hak kamu. Tapi ingat, uang-uang hasil menggada
Pov Yoga**"Mas, bangun!" Suara teriakan Mutia terdengar memekakkan di kedua gendang telingaku. Apalagi sembari menggerak-gerakkan tubuhku. Bukan menggerakkan, lebih tepatnya mengguncang tubuhku. "Bangun, Mas!" Suara pekikan kedua membuatku mengerjapkan kedua netraku. "Ada apa, Sayang?" tanyaku dengan nada suara yang serak dan kedua bola mata yang enggan terbuka. Rasa kantuk masih benar-benar menguasai diriku saat ini. "Mas, kamu masih berikan uang ke mantan istrimu?!" pekik Mutiara sembari memelototkan kedua bola matanya ke arahku. Mata yang semula terpejam, kini terbuka. "Maksud kamu apa, sih? Kamu mimpi?" Mendengar pertanyaanku, Mutia malah mencebikkan bibirnya. "Nggak usah banyak tanya deh, Mas. Jawab aja apa susahnya sih," ketus Mutiara. "Kamu berikan uang ke mantan istrimu kan?! Sebenarnya rumah makan itu nggak sepi, tapi uang itu kamu kasih ke mantan istrimu kan?!" Rentetan tuduhan itu keluar dari mulutnya begitu saja. Aku mengubah posisiku menjadi duduk. Menyandarkan
Rasanya masih seperti mimpi melihat makam Yoga. Rasanya suara hinaan, cacian, dan bentakan itu masih terdengar nyata di telinga Mutia. Tapi kini seseorang yang sudah menghina, menzolimi dirinya sudah tidak ada lagi. Entah Mutia harus merasa lega atau tidak. Mutia tidak tau. Sekarang yang terasa hanya ruang hampa.***Tak terasa 1 Minggu telah berlalu. Setiap harinya kesehatan ibu mertua Mutia berangsur membaik. Bahkan kata dokter, Ia sudah bisa pulang besok siang.…Keesokan harinya,Mutia tengah melipat pakaian dan memasukkannya ke dalam tas, ketika Ibu mertuanya membuka mata setelah tertidur cukup lama. Mutia yang menyadari ibu mertuanya telah sadar langsung menghampiri ibu mertuanya tersebut.“Bu, ibu sudah sadar?” tanya Mutia lembut.Sang ibu mertua hanya bisa menatap Mutia nanar, mulutnya yang setenga miring itu, hanya bisa terbuka tertutup tanpa mengeluarkan kata. Hanya sebuah suara samar yang menunjukkan penyakitnya.“Bu, makan dulu, ya, Mutia suapi Ibu,” ucap Mutia lembah lemb
Setelah melakukan serangkaian keagamaan, akhirnya Yoga pun dibawa ke liang kuburnya.Melihat Yoga dikubur, membuat perasaan Mutia sedikit tidak karuan. Tidak ada air mata, tapi tidak ada juga rasa bahagia suka cita.Mutia merasa mungkin ini pembalasan dari Tuhan, untuk semua kesakitan dan penderitaan yang telah ia terima dari suaminya yang selalu menyakiti dirinya. Tapi di satu sisi, Mutia juga kembali teringat akan masa lalunya, yang sempat bahagia bersama Yoga. Bagaimanapun juga Yoga pernah menjadi hal yang paling membuat Mutia bahagia dalam hidupnya.***Kabar Yoga sudah tidak ada akhirnya sampai ke telinga sang mantan istri, Rena. “Apa, Mas Yoga? … Innalilahi wa innalilahi rojiun,” ucap Rena yang masih tak percaya dengan kabar yang baru ia dengar.Ternyata seorang kerabat yang ikut hadir dalam pemakaman Yoga, mengetahui keberadaan Rena, dan memberitahukan kepada Rena tentang kondisi Yoga.“Terima kasih sudah memberitahu.” Rena menutup telepon nya.“Ada apa Ren,?” tanya Ibunya Re
Seketika suasana warung menjadi lebih ramai dan kacau akibat perkelahian Yoga dan Tono. Tapi jujur saja, walaupun keduanya sama-sama mabuk, tetap saja Yoga tampak jauh lebih unggul untuk memberikan hantaman demi hantaman kepada Tono. Tono semakin kehilangan kesadaran.Walaupun sudah mendapatkan serangan bertubi-tubi dari Yoga, tidak lantas membuat Tono menyerah dari Yoga. Tono justru semakin berniat untuk menghabisi Yoga. Dilihatnya oleh Tono sebuah pisau tergeletak bebas di atas meja, entah habis digunakan untuk apa, tapi ada pisau di sana. Tanpa ragu Tono segera meraih pisau tersebut.Dengan gelap mata, semuanya pun terjadi dengan cepat.JLEB!Pisau tersebut berpindah posisi. Tono berhasil menusukkan pisau tersebut menembus tubuh Yoga.Tidak puas dengan satu kali tusukan, Tono menusuk beberapa kali tubuh Yoga hingga Yoga akhirnya tak sadarkan diri.Suara teriakan para wanita yang melihat kejadian tersebut sontak membuat para warga sekitar yang berada di sana langsung berdatangan mel
“Apa, Stroke?” Mutia begitu terkejut setelah mendengar diagnosa dokter terhadap ibu mertuanya.“Iya, kemungkinan itu yang terjadi setelah kami memeriksa kesehatan Pasien tadi,” ucap sang dokter. “Tapi untuk mengetahui lebih dalam apa penyakitnya, kita memerlukan waktu lebih.”Mutia mulai tampak kebingungan. Kabar tidak enak ini terlalu mendadak untuk ia tanggung sendiri. “Tapi ibu mertua saya akan sembuh kan, Dokter?” tanya Mutia penuh harap.“Kemungkinan sembuh ada, tapi mungkin tidak sesehat sebelumnya,” jawab sang dokter. “Sebaiknya kita berdoa saja semoga Bu Leha cepat sadar dan pulih kembali.”Sudah kurang lebih dua jam Mutia menunggu mertua kejamnya itu di rumah sakit. Sudah berulang kali Mutia mencoba menghubungi suami dan iparnya, tapi tetap tidak ada yang menjawab. Lelah, capek, sakit hati, semua Mutia rasakan saat ini. Ingin rasanya Mutia berteriak sekencang mungkin mengeluarkan semua beban yang terasa di dalam dada. Tapi apa daya, Mutia tidak bisa melakukan semua itu. Mut
"Sialan! Kau sembunyikan dimana uangku, Mutia!" pekik wanita paruh baya itu saat tak menemukan apa yang ia cari di segala tempat. "Mutia nggak ambil uang milik Ibu ....""Halah! Nggak usah bohong kamu! Balikin uangku!" Sang ibu mertua melangkah mendekat ke arahnya dengan tatapan tajam. Seketika perasaan Mutia menjadi tak enak. Hingga jantung pun terasa seperti berdegup lebih kencang.Rasanya ingin melawan, tapi entah mengapa tenaga seperti sudah hilang. Apa ini karena Mutia masih menghormati orang tua suaminya itu? ataukah Mutia hanya berlarut dalam rasa bersalah, dan ini harga yang harus ia bayar?Mutia hanya bisa terus berusaha memberontak tanpa melawan. Air mata yang menetes pun seperti tidak akan membuat Ibu mertuanya iba akan kesakitannya. Kini semakin jelas Mutia merasa sebegitu hina dirinya di mata mertuanya, padahal setiap hari Mutia rasanya sudah cukup berkorban menahan hati melayani keluarga ini. Apa tidak sudah ada rasa kasihan, atau rasa iba kepada dirinya?“Bu, sakit Bu
Kedua telapak tangan Mutia terbuka dan terangkat sebatas dada. Dengan bibir bergetar, ia ucapkan permohonan ampun pada Sang Pemilik Kehidupan setelah ia lakukan beberapa rakaat shalat taubat. "Ampuni hamba, Ya Allah. Ampuni Hamba ...." Suara itu bergetar dengan tubuh yang terguncang. Air mata terus bergulir dengan begitu derasnya. Hingga menciptakan jejak-jejak air mata di wajahnya. Air mata itu terus keluar, sebagai bentuk penyesalan yang teramat dalam. Belasan menit ia memohon ampun, ada rasa kelegaan tersendiri yang dirasakan oleh Mutia."Ha ha ha, apa yang kau lakukan, Mutia?" Suara tawa terdengar begitu menggema. Suara yang berasal dari Yoga yang baru saja membuka pintu kamar lalu melihat sang istri sedang bersujud dengan balutan mukena di tubuhnya. Mutia langsung mengangkat kepalanya. Ia duduk lalu menolehkan kepala ke arah sang suami yang terus tertawa. Mutia tau, dia telah ditertawakan oleh sang suami. "Tumben sekali kau sholat? Apa kau sadar jika dirimu penuh dengan dos
Sinar matahari menerobos masuk melalui celah-celah jendela. Lelaki yang masih terbuai dengan mimpi itu menggeliat pelan, mengusap wajahnya lalu mengangkat kedua tangannya ke atas. Guna merenggangkan otot-otot di tubuhnya yang terasa begitu kaku. Setelahnya, pandangan Yoga beralih pada jam yang menggantung di dinding kamar, yang saat ini sedang menunjukkan pukul sembilan pagi. Wajar saja jika jam sembilan Yoga baru terbangun, sebab hampir setiap malam ia pulang dari warung janda genit hingga sampai pukul satu larut malam. Yoga melangkah menuju ke pintu. Meraih gagang pintu lalu menekannya dengan malas lalu mendorongnya perlahan. Lelaki itu melangkah menuju ke dapur tanpa ke kamar mandi terlebih dahulu. Walau hanya sekedar mencuci muka, Yoga enggan melakukannya. Dibukanya tudung saji. "Makanan macam apa ini?!" Yoga menghempaskan tudung saji dengan kasar. Hingga terpental di atas meja lalu terjatuh. Yoga merasa kesal, sebab hanya ada tempe goreng dan juga sambal bawang. Ya, hanya
KUGADAI HARTA SUAMI YANG BERSELINGKUHBAB 70Yoga mencebik tapi kemudian pria itu memberikan selembar uang berwarna hijau dengan nominal 20.000 rupiah pada Mutia. "Udah itu aja cukup. Jangan banyak-banyak kamu pegang duit biar gak ngelunjak!" Setelahnya, Yoga pun pergi meninggalkan Mutia yang sudah lemas karena di tangannya kini hanya tersisa uang dua puluh ribu saja. "Ya Allah, uang segini dapet apaan? Untuk beli beras buat makan orang satu rumah aja kurang," gumam Mutia yang menatap perih uang berwarna hijau di tangannya itu. Ia merutuki kebodohannya kenapa uang itu tidak ia masukkan saja ke dalam pakaian dalamnya atau seperti yang dikatakan Ira kalau ia meminta pak Sodik untuk menunda memberikan uang gajinya. Ah, tiba-tiba Mutia muncul sebuah ide. Dalam benaknya terlintas kalau dia akan meminta pak Sodik untuk mengurangi jumlah uang yang pak Sodik berikan padanya. Dan dari situ nanti Mutia akan mengaku saja dia sekarang hanya dibayar sebanyak tiga puluh ribu saja. Mau percay
KUGADAI HARTA SUAMI YANG BERSELINGKUHBAB 129Mutia memandang Ira dengan nanar. Bibirnya lantas kembali berkata, "Tapi kita kan gajiannya perhari gimana caranya aku kumpulin uang buat bayar kos kalau setiap aku pulang suamiku selalu nanya mana uang hasil kerja hari ini?"Senyuman pun terbit di kedua sudut bibir Ira. "Aku tahu caranya. Sini aku bisikin." "T-tapi gimana kalau Mas Yoga menanyakan soal uang gajiku yang setiap harinya diberikan sama Pak Sodik? Belum lagi sama Ibu mertua dan Kakak ipar pasti mereka semakin menyudutkanku." "Haduh Mutia ayolah, kalau bukan kamu yang merubah kondisimu lalu siapa lagi? Kamu harus keluar dari keluarga toxic seperti itu. Tidak mungkin kamu terus-terusan berada di sana yang ada mereka. Bukan semakin menghargaimu tapi malah semakin menginjak-injakmu." "Tapi, Ir, aku takut kalau Mas Yoga berlaku kasar padaku lagi." "Astaga Mutia. Kenapa mesti takut sih. Bukankah kamu ini orang kota? Seharusnya cara berpikirmu jauh lebih maju dong daripada aku.