Pov Rena(Pov ini 1 bulan pasca bercerai)**Entah aku harus bahagia atau sedih, di saat aku sudah resmi bercerai, Tuhan malah menitipkan aku janin di dalam rahimku. Dan betapa tak sadarnya aku, ternyata usia kehamilanku sudah berjalan sepuluh minggu, yang artinya saat aku keluar dari rumah itu, aku sudah dalam keadaan mengandung. Hamil lima minggu. Mungkin karena masalah yang kulalui kemarin begitu pelik, hingga membuatku tak sadar kalau aku sudah telat datang bulan. "Nduk ...." Suara Ibu terdengar membuatku mendongakkan kepala, menatap ke arah Ibu yang melangkah mendekat ke arahku. Kutampilkan seutas senyum ke arahnya, tak ingin beliau melihat kesedihanku. Langkah ibu semakin mendekat, hingga akhirnya ia pun menghenyakkan tubuhnya di sampingku. "Apa kamu sedih dengan kehadiran janin itu?" tanya Ibu yang sepertinya tahu akan kegundahan hatiku. Aku menghela napas dalam-dalam lalu kukeluarkan secara perlahan. "Bukannya sedih, Bu. Apa kata orang nanti, Rena yang seorang janda m
Usaha yang aku geluti benar-benar membuahkan hasil. Bagaimana tidak, baru empat bulan aku gabung di dunia literasi, setiap bulannya aku berhasil mendapatkan gaji hingga belasan juta rupiah!Kini, usia kandunganku sudah empat bulan. Dan kabar itu belum tercium oleh siapapun. Aku berdiri di depan rumah sembari kedua tangan berkacak pinggang. Kedua netraku menyusuri rumah kedua orangtuaku yang sudah berhasil kurenovasi sedemikian rupa. Nggak mewah, masih terbilang sederhana saja. Hanya mengganti atap rumah dan memasang keramik di bagian lantainya yang sebelumnya hanya berlantai semen. Tak hanya itu, aku juga membangun toko di depan rumah. Semua itu tentu menggunakan uang tiga ratus juta dari Mas Yoga sebagai syarat menikah lagi kemarin. Sebenarnya Bapak dan Ibu melarang, tapi aku terus bersikeras. Dan masih teringat ucapannya sebelum aku mulai membeli bahan bangunan. "Ya udah, Nduk. Terserah kamu saja. Uang tiga ratus juta itu memang lah hak kamu. Tapi ingat, uang-uang hasil menggada
Pov Yoga**"Mas, bangun!" Suara teriakan Mutia terdengar memekakkan di kedua gendang telingaku. Apalagi sembari menggerak-gerakkan tubuhku. Bukan menggerakkan, lebih tepatnya mengguncang tubuhku. "Bangun, Mas!" Suara pekikan kedua membuatku mengerjapkan kedua netraku. "Ada apa, Sayang?" tanyaku dengan nada suara yang serak dan kedua bola mata yang enggan terbuka. Rasa kantuk masih benar-benar menguasai diriku saat ini. "Mas, kamu masih berikan uang ke mantan istrimu?!" pekik Mutiara sembari memelototkan kedua bola matanya ke arahku. Mata yang semula terpejam, kini terbuka. "Maksud kamu apa, sih? Kamu mimpi?" Mendengar pertanyaanku, Mutia malah mencebikkan bibirnya. "Nggak usah banyak tanya deh, Mas. Jawab aja apa susahnya sih," ketus Mutiara. "Kamu berikan uang ke mantan istrimu kan?! Sebenarnya rumah makan itu nggak sepi, tapi uang itu kamu kasih ke mantan istrimu kan?!" Rentetan tuduhan itu keluar dari mulutnya begitu saja. Aku mengubah posisiku menjadi duduk. Menyandarkan
"Kita gadaikan aja rumah ini atau rumah makan. Pasti dapat lah kalau hanya tiga ratus juta." "Gila kamu?! Kita menggadaikan rumah hanya untuk membayar hutang?! Nggak! Nggak mau! Itu sama saja artinya kita gali lubang tutup lubang," jelasku sembari menggelengkan kepala. Sama sekali tak setuju aku jika menggadaikan bangunan itu. Terdengar Mutia menghembuskan napas berat. "Mau gimana lagi?! Jangan egois gitu dong, Mas! Toh hutang di bank bisa dicicil tiap bulannya," celetuk Mutiara dengan begitu entengnya. Dia menyebutku egois, padahal dia sendiri yang egois. Padahal hutang itu bisa tertutupi hanya dengan menjual perhiasan-perhiasan itu. Akan tetapi, ia enggan sekali melakukannya. Gimana nggak egois, coba?Untung cinta. "Sudahlah, Mas. Kita bisa ambil uang di bank. Kita nanti tinggal angsur per bulannya. Nggak bakalan berat kok. Tagihannya juga nggak bakalan sepuluh juta per bulan. Kalau nggak gitu, gimana kamu bisa ambil mobil itu? Katanya sayang kan kalau mobil disita? Ya menuru
Pov Author**Rena pun mengeluarkan semua benda yang ada di dalam tasnya. Berharap buku kehamilan itu ada di dalam sana, namun sayang, ia masih tak kunjung menemukannya juga. Sedangkan di tempat lain, Selly yang saat itu sedang berjalan kaki– sepulang dari tempat ia membeli keperluan dapur– menyusuri jalanan beraspal mengernyitkan dahi saat ia lihat ada sebuah buku tergeletak di jalanan. Selly pun menghentikan langkahnya lalu menjongkokkan tubuh dan mengambil buku panduan kehamilan yang saat itu dalam posisi berbalik. "Wah, ternyata di kampung ada yang hamil," celetuk Selly.Setelahnya, ia pun membalik buku tersebut. Betapa terkejutnya Selly saat melihat nama Rena terpampang di bagian bawahnya. "What? Janda gatal itu hamil?" Masih dalam mode tak menyangka Selly berucap. "Wah ... bisa bikin heboh ini. Lihatlah, Rena. Aku memiliki senjata untuk menyerangmu! Setelah ini, hanya untuk menampakkan batang hidungmu pun kau akan terasa malu. Selly pun terus tersenyum licik. Ia pun mema
"Baiklah, Mas. Semoga saja ketemu." Mutia lantas melangkah ke arah lemari, dibukanya pintu itu lalu ia mulai menyingkap satu per satu barang yang ada di dalam sana. Beberapa menit menunggu, Mutia masih sibuk mencarinya. Belum membuahkan hasil."Sudah ketemu, Sayang?" tanyaku sembari melangkah mendekat ke arahnya. "Belum, Mas.""Coba keluarin semua." Mutia menganggukkan kepalanya, hingga beberapa detik kemudian, barang yang ada di dalam sana keluar semuanya. Belasan menit mencari, tak kunjung kutemukan barang yang kucari. Bahkan aku sudah mengulanginya beberapa kali. Mulai mencari di baju-baju yang berserakan, hingga kembali memastikan mencarinya di laci itu. Aku mendaratkan tubuhku di tepi ranjang, Mutia mengikuti gerakan tubuhku. "Kemana ya, Mas?" "Kita cari lagi, barangkali Rena menyimpannya di tempat lain." "Mas, sepertinya benda-benda berharga itu dibawa oleh mantan istrimu itu! Buktinya nggak kita temukan apapun." Mutia kembali berprasangka buruk.Aku mend*sah pelan."Re
Pov Author**Kepala Rena berdenyut nyeri. Ia sampai tak sadar kalau dirinya berjalan kesana-kemari menunggu kepulangan sang adik. Ya, Rena meminta pada sang adik untuk kembali menyusuri jalanan yang tadi ia lalui. Barangkali buku panduan kehamilan itu terjatuh di jalanan. Rena yang saat itu sedang berdiri pun langsung menolehkan kepalanya ke arah luar. Menatap ke arah sang adik yang saat ini masih terduduk di atas kendaraan roda dua yang baru saja terhenti. Cepat Rena melangkah menghampiri sang adik. "Ada nggak?" Harap-harap cemas Rena saat ini. "Nggak ada, Mbak. Bahkan aku sampai mendatangi tempat periksa tadi, tapi tetep nggak ada juga." Rena menghembuskan napas berat. Rasa sesak terasa begitu menyeruak di dalam batinnya. "Yaudah, nggak apa-apa," ucap Rena.Setelah puluhan menit menanti kembalinya sang adik yang ternyata membawa hasil yang tak ia harapkan, Rena melangkah menuju ke arah kamar. Dihenyakkannya tubuh itu di tepi ranjang. "Bukannya Ibu malu karena kehadiran kam
"Hm ... iya. Aku baik-baik saja. Terima kasih ya atas informasinya," ucap Rena dengan lesu."Ren, memang benar kalau kamu hamil?" Ratna sebenarnya merasa ragu untuk menanyakan hal itu, akan tetapi rasa penasaran yang begitu mencekik, membuat mulutnya tak bisa menahan agar pertanyaan itu terlontarkan."Iya. Entahlah, Rat. Setelah resmi sidah perceraian itu, aku baru tahu kalau aku sedang mengandung," jawab Rena.Beberapa menit saling berbincang, panggilan itu akhirnya dimatikan.Rena pun bergegas menatap layar pons. Kedua manik hitam itu terpusat pada sebuah aplikasi berlogo telepon dan berwarna hijau.Ada ratusan pesan yang tertera di sana.Setelah Rena berhasil mengatur ritme degup jantungnya, ia pun membuka aplikasi pesan tersebut. Dan benar saja, sebuah grup RT tempat tinggalnya itu kini tengah ramai.
Rasanya masih seperti mimpi melihat makam Yoga. Rasanya suara hinaan, cacian, dan bentakan itu masih terdengar nyata di telinga Mutia. Tapi kini seseorang yang sudah menghina, menzolimi dirinya sudah tidak ada lagi. Entah Mutia harus merasa lega atau tidak. Mutia tidak tau. Sekarang yang terasa hanya ruang hampa.***Tak terasa 1 Minggu telah berlalu. Setiap harinya kesehatan ibu mertua Mutia berangsur membaik. Bahkan kata dokter, Ia sudah bisa pulang besok siang.…Keesokan harinya,Mutia tengah melipat pakaian dan memasukkannya ke dalam tas, ketika Ibu mertuanya membuka mata setelah tertidur cukup lama. Mutia yang menyadari ibu mertuanya telah sadar langsung menghampiri ibu mertuanya tersebut.“Bu, ibu sudah sadar?” tanya Mutia lembut.Sang ibu mertua hanya bisa menatap Mutia nanar, mulutnya yang setenga miring itu, hanya bisa terbuka tertutup tanpa mengeluarkan kata. Hanya sebuah suara samar yang menunjukkan penyakitnya.“Bu, makan dulu, ya, Mutia suapi Ibu,” ucap Mutia lembah lemb
Setelah melakukan serangkaian keagamaan, akhirnya Yoga pun dibawa ke liang kuburnya.Melihat Yoga dikubur, membuat perasaan Mutia sedikit tidak karuan. Tidak ada air mata, tapi tidak ada juga rasa bahagia suka cita.Mutia merasa mungkin ini pembalasan dari Tuhan, untuk semua kesakitan dan penderitaan yang telah ia terima dari suaminya yang selalu menyakiti dirinya. Tapi di satu sisi, Mutia juga kembali teringat akan masa lalunya, yang sempat bahagia bersama Yoga. Bagaimanapun juga Yoga pernah menjadi hal yang paling membuat Mutia bahagia dalam hidupnya.***Kabar Yoga sudah tidak ada akhirnya sampai ke telinga sang mantan istri, Rena. “Apa, Mas Yoga? … Innalilahi wa innalilahi rojiun,” ucap Rena yang masih tak percaya dengan kabar yang baru ia dengar.Ternyata seorang kerabat yang ikut hadir dalam pemakaman Yoga, mengetahui keberadaan Rena, dan memberitahukan kepada Rena tentang kondisi Yoga.“Terima kasih sudah memberitahu.” Rena menutup telepon nya.“Ada apa Ren,?” tanya Ibunya Re
Seketika suasana warung menjadi lebih ramai dan kacau akibat perkelahian Yoga dan Tono. Tapi jujur saja, walaupun keduanya sama-sama mabuk, tetap saja Yoga tampak jauh lebih unggul untuk memberikan hantaman demi hantaman kepada Tono. Tono semakin kehilangan kesadaran.Walaupun sudah mendapatkan serangan bertubi-tubi dari Yoga, tidak lantas membuat Tono menyerah dari Yoga. Tono justru semakin berniat untuk menghabisi Yoga. Dilihatnya oleh Tono sebuah pisau tergeletak bebas di atas meja, entah habis digunakan untuk apa, tapi ada pisau di sana. Tanpa ragu Tono segera meraih pisau tersebut.Dengan gelap mata, semuanya pun terjadi dengan cepat.JLEB!Pisau tersebut berpindah posisi. Tono berhasil menusukkan pisau tersebut menembus tubuh Yoga.Tidak puas dengan satu kali tusukan, Tono menusuk beberapa kali tubuh Yoga hingga Yoga akhirnya tak sadarkan diri.Suara teriakan para wanita yang melihat kejadian tersebut sontak membuat para warga sekitar yang berada di sana langsung berdatangan mel
“Apa, Stroke?” Mutia begitu terkejut setelah mendengar diagnosa dokter terhadap ibu mertuanya.“Iya, kemungkinan itu yang terjadi setelah kami memeriksa kesehatan Pasien tadi,” ucap sang dokter. “Tapi untuk mengetahui lebih dalam apa penyakitnya, kita memerlukan waktu lebih.”Mutia mulai tampak kebingungan. Kabar tidak enak ini terlalu mendadak untuk ia tanggung sendiri. “Tapi ibu mertua saya akan sembuh kan, Dokter?” tanya Mutia penuh harap.“Kemungkinan sembuh ada, tapi mungkin tidak sesehat sebelumnya,” jawab sang dokter. “Sebaiknya kita berdoa saja semoga Bu Leha cepat sadar dan pulih kembali.”Sudah kurang lebih dua jam Mutia menunggu mertua kejamnya itu di rumah sakit. Sudah berulang kali Mutia mencoba menghubungi suami dan iparnya, tapi tetap tidak ada yang menjawab. Lelah, capek, sakit hati, semua Mutia rasakan saat ini. Ingin rasanya Mutia berteriak sekencang mungkin mengeluarkan semua beban yang terasa di dalam dada. Tapi apa daya, Mutia tidak bisa melakukan semua itu. Mut
"Sialan! Kau sembunyikan dimana uangku, Mutia!" pekik wanita paruh baya itu saat tak menemukan apa yang ia cari di segala tempat. "Mutia nggak ambil uang milik Ibu ....""Halah! Nggak usah bohong kamu! Balikin uangku!" Sang ibu mertua melangkah mendekat ke arahnya dengan tatapan tajam. Seketika perasaan Mutia menjadi tak enak. Hingga jantung pun terasa seperti berdegup lebih kencang.Rasanya ingin melawan, tapi entah mengapa tenaga seperti sudah hilang. Apa ini karena Mutia masih menghormati orang tua suaminya itu? ataukah Mutia hanya berlarut dalam rasa bersalah, dan ini harga yang harus ia bayar?Mutia hanya bisa terus berusaha memberontak tanpa melawan. Air mata yang menetes pun seperti tidak akan membuat Ibu mertuanya iba akan kesakitannya. Kini semakin jelas Mutia merasa sebegitu hina dirinya di mata mertuanya, padahal setiap hari Mutia rasanya sudah cukup berkorban menahan hati melayani keluarga ini. Apa tidak sudah ada rasa kasihan, atau rasa iba kepada dirinya?“Bu, sakit Bu
Kedua telapak tangan Mutia terbuka dan terangkat sebatas dada. Dengan bibir bergetar, ia ucapkan permohonan ampun pada Sang Pemilik Kehidupan setelah ia lakukan beberapa rakaat shalat taubat. "Ampuni hamba, Ya Allah. Ampuni Hamba ...." Suara itu bergetar dengan tubuh yang terguncang. Air mata terus bergulir dengan begitu derasnya. Hingga menciptakan jejak-jejak air mata di wajahnya. Air mata itu terus keluar, sebagai bentuk penyesalan yang teramat dalam. Belasan menit ia memohon ampun, ada rasa kelegaan tersendiri yang dirasakan oleh Mutia."Ha ha ha, apa yang kau lakukan, Mutia?" Suara tawa terdengar begitu menggema. Suara yang berasal dari Yoga yang baru saja membuka pintu kamar lalu melihat sang istri sedang bersujud dengan balutan mukena di tubuhnya. Mutia langsung mengangkat kepalanya. Ia duduk lalu menolehkan kepala ke arah sang suami yang terus tertawa. Mutia tau, dia telah ditertawakan oleh sang suami. "Tumben sekali kau sholat? Apa kau sadar jika dirimu penuh dengan dos
Sinar matahari menerobos masuk melalui celah-celah jendela. Lelaki yang masih terbuai dengan mimpi itu menggeliat pelan, mengusap wajahnya lalu mengangkat kedua tangannya ke atas. Guna merenggangkan otot-otot di tubuhnya yang terasa begitu kaku. Setelahnya, pandangan Yoga beralih pada jam yang menggantung di dinding kamar, yang saat ini sedang menunjukkan pukul sembilan pagi. Wajar saja jika jam sembilan Yoga baru terbangun, sebab hampir setiap malam ia pulang dari warung janda genit hingga sampai pukul satu larut malam. Yoga melangkah menuju ke pintu. Meraih gagang pintu lalu menekannya dengan malas lalu mendorongnya perlahan. Lelaki itu melangkah menuju ke dapur tanpa ke kamar mandi terlebih dahulu. Walau hanya sekedar mencuci muka, Yoga enggan melakukannya. Dibukanya tudung saji. "Makanan macam apa ini?!" Yoga menghempaskan tudung saji dengan kasar. Hingga terpental di atas meja lalu terjatuh. Yoga merasa kesal, sebab hanya ada tempe goreng dan juga sambal bawang. Ya, hanya
KUGADAI HARTA SUAMI YANG BERSELINGKUHBAB 70Yoga mencebik tapi kemudian pria itu memberikan selembar uang berwarna hijau dengan nominal 20.000 rupiah pada Mutia. "Udah itu aja cukup. Jangan banyak-banyak kamu pegang duit biar gak ngelunjak!" Setelahnya, Yoga pun pergi meninggalkan Mutia yang sudah lemas karena di tangannya kini hanya tersisa uang dua puluh ribu saja. "Ya Allah, uang segini dapet apaan? Untuk beli beras buat makan orang satu rumah aja kurang," gumam Mutia yang menatap perih uang berwarna hijau di tangannya itu. Ia merutuki kebodohannya kenapa uang itu tidak ia masukkan saja ke dalam pakaian dalamnya atau seperti yang dikatakan Ira kalau ia meminta pak Sodik untuk menunda memberikan uang gajinya. Ah, tiba-tiba Mutia muncul sebuah ide. Dalam benaknya terlintas kalau dia akan meminta pak Sodik untuk mengurangi jumlah uang yang pak Sodik berikan padanya. Dan dari situ nanti Mutia akan mengaku saja dia sekarang hanya dibayar sebanyak tiga puluh ribu saja. Mau percay
KUGADAI HARTA SUAMI YANG BERSELINGKUHBAB 129Mutia memandang Ira dengan nanar. Bibirnya lantas kembali berkata, "Tapi kita kan gajiannya perhari gimana caranya aku kumpulin uang buat bayar kos kalau setiap aku pulang suamiku selalu nanya mana uang hasil kerja hari ini?"Senyuman pun terbit di kedua sudut bibir Ira. "Aku tahu caranya. Sini aku bisikin." "T-tapi gimana kalau Mas Yoga menanyakan soal uang gajiku yang setiap harinya diberikan sama Pak Sodik? Belum lagi sama Ibu mertua dan Kakak ipar pasti mereka semakin menyudutkanku." "Haduh Mutia ayolah, kalau bukan kamu yang merubah kondisimu lalu siapa lagi? Kamu harus keluar dari keluarga toxic seperti itu. Tidak mungkin kamu terus-terusan berada di sana yang ada mereka. Bukan semakin menghargaimu tapi malah semakin menginjak-injakmu." "Tapi, Ir, aku takut kalau Mas Yoga berlaku kasar padaku lagi." "Astaga Mutia. Kenapa mesti takut sih. Bukankah kamu ini orang kota? Seharusnya cara berpikirmu jauh lebih maju dong daripada aku.