Ponsel yang kuletakkan di atas meja makan berdering. Sepertinya ada pesan masuk. Akan tetapi, tak kupedulikan benda pipih itu. Aku masih berkutat dengan makanan yang baru saja kuolah. Tak macam-macam. Aku hanya membuat roti bakar untuk kuhidangkan saat bersama Mutia nanti. Setelah selesai, tak lupa kuletakkan di atas piring dan kubawa menuju ke meja makan. Kuletakkan makanan hasil tanganku itu lalu kuhenyakkan tubuhku di kursi. Ponsel itu kembali berdering. Hanya saja kali ini ada panggilan masuk. Nama Reno terpampang dengan jelas di layar tersebut. Reno adalah sahabat dekatku. Dengan dia juga aku menjalankan bisnis sampinganku. Ya, selain memiliki rumah makan, aku juga memiliki usaha jual beli motor bekas. Meskipun belum berkembang dengan pesat, meskipun belum memberikan penghasilan seperti yang diharapkan, kami tetap menekuninya. Aku pun meriah benda pipih tersebut, setelahnya kuusap ke atas layar itu dan kutempelkan ke telinga. "Halo, Ren. Apa ada pesanan sepuluh motor h
Setelah selesai, aku pun langsung kembali ke kamar. Dan saat kubuka daun pintu, terlihat lah Mutia yang sudah berbaring dengan kedua mata yang terpejam dengan sempurna. Aku melangkah mendekat lalu dengan perlahan naik ke atas ranjang. Aku tak ingin tidur Mutia terganggu karena gerakan tubuhku. Setelah kunaikkan kedua kakiku, lantas kutarik selimut dan kutenggerkan di atas tubuh Mutia. Memang begitu lah istriku itu, kalau tidur, enggan sekali menggunakan selimut. Dan menyelimutinya adalah tugasku setiap malam. Tubuh itu menggeliat pelan saat selimut telah menutupi seluruh tubuhnya hingga sebatas dada. Aku pun membaringkan tubuhku dengan posisi saling membelakangi. Belasan menit aku berusaha untuk memejamkan kedua mataku, tapi sia-sia. Kedua netra ini masih tetap saja terjaga. Akhirnya, kuraih ponsel yang tadi sempat kuletakkan kembali di atas nakas. Aku membuka aplikasi Whats*pp dan mulai melihat-lihat story yang baru saja diunggah oleh nomor kontak yang kusimpan di ponselku. A
Ponsel milik Mutia berdering hingga membuatku terkejut bukan main. Bagaimana tidak, aku yang saat itu masih terbuai di alam mimpi, tiba-tiba suara ponsel itu berbunyi dengan volume yang sangat tinggi. Aku meraih ponsel milik Mutia, dan ternyata hanya lah alarm yang mungkin saja semalam diatur oleh Mutia.Aku mengusap wajahku, setelahnya kudekatkan wajahku dengan Mutia. Beberapa detik kulit bibirku mendarat pada kening itu. Mungkin karena menyadari sentuhan itu, kedua mata Mutia pun terbuka dan bibir itu mengulas senyum."Sudah jam tujuh, katanya kerja," ucapku dengan halus sembari mengelus pucuk kepala Mutia. Tangan itu langsung melingkar erat di punggungku dengan kakinya yang juga membelit pahaku. Seakan-akan ia enggan sekali untuk terbangun."Aku masih ngantuk, Mas ....""Udah jam tujuh loh. Kamu kan berangkat kerja jam delapan. Buruan mandi, nanti Mas anterin," ucapku. Mutia pun berdecak kesal. Dengan malas, ia pun menyibak selimut yang semalam menghangatkan tubuhnya, dan deng
Pov Rena**"Masak apa, Bu?" tanyaku saat aku berjalan menuju dapur, ternyata ibu sudah ada di sana. Padahal jam masih menunjukkan pukul setengah lima pagi, tetapi ibuku sudah berkutat di dapur untuk menyiapkan menu sarapan untuk kami. Sudah tiga hari aku pulang ke rumah ini. Keberadaan keluargaku, mampu membuatku merasa lupa akan sakit hadi dan kecewa karena pengkhinatan itu. Orang-orang di sekelilingku, terkusus bapak ibuku selalu berusaha mengajakku bicara. Tak akan membiarkanku duduk sendiri, apalagi sampai melamun dan termenung.Bahkan, sekali pun mereka bertanya soal Mas Yoga dan masalah pengkhianatan itu setelah kubilang pada bapak ibuku kalau aku akan menggugat cerai dirinya. Aku tahu maksud mereka bukan karena tak perhatian, akan tetapi, mereka tak ingin mengingatkanku pada masalah itu. Tak bisa dipungkiri, ada yang berbeda setelah perpisahan kami. Ada rasa sakit dan kecewa di relung hati ini. Pengkhianatan itu benar-benar menorehkan luka pada cinta yang suci. "Lagi gor
"Iya! Sudah ingkar janji, pelit bin kikir pula. Padahal kerjaannya cuma minta duit lakik. Secara tidak langsung kan kamar, rumah dan bekakas lainnya dibeli pakek duit Yoga. Lakik mana yang betah hidup dengan wanita kayak gitu? Idih ... amit-amit deh!"Pletak!"Apa-apaan kamu, Ren!" pekik Mbak Sumi yang tak terima saat tepat di mulutnya kulempari wortel yang masih terlihat begitu segar. Aku terkikik saat melihat bibir itu sedikit dower.Harusnya tadi kulempar mulut itu menggunakan kayu yang dipakai Mas Udin untuk menahan gerobak yang berhenti sekalian. Biar nyonyor, nyonyor deh tuh mulut.Kok gemes aku jadinya."Mbak Sumi yang apa-apaan. Jangan bikin fitnah kayak gitu!""Fitnah apa?! Yang kukatakan itu memang fakta! Bahkan, Yoga sendiri yang mengatakannya!"Tuh, kan. Benar apa yang aku katakan. Pasti yang Mas
"Udah, Mbak? Ini saja?" tanya Mang Udin setelah kuserahkan dua ikat kangkung, satu kantong toge dan satu bungkus telur yang berisi empat butir. "Iya, Mang. Rencana mau masak tumis kangkung dicampur toge. Nanti tinggal goreng telur saja," ucapku. "Totalnya lima belas ribu, Mbak," ucap Mang Udin setelah selesai memasukkan belanjaanku lalu menyerahkannya padaku. Kukeluarkan satu lembar uang pecahan dua puluh ribuan. "Kembaliannya, Mbak." "Terima kasih, Mang," jawabku sembari kuterima kembalian dari Mang Udin. Aku pun bergegas masuk ke dalam rumah dan langsung menuju ke dapur. Dan ternyata Ibu sudah menungguku di sana. "Tadi kok Ibu denger-denger di depan ada keributan, Nduk?" tanya Ibu setelah menyadari kehadiranku yang telah duduk di kursi panjang yang terbuat dari bambu. "Biasalah, Bu. Mbak Sumi," jawabku yang sebenarnya malas sekali menyebut nama itu. Terdengar Ibu menghembuskan napas berat. "Mbok ya dibiarin saja toh, Nduk. Nggak usah digubris. Buang-buang tenaga," protes I
"Kalau enam bulan lagi, Mas Yoga sudah jatuh miskin! Kan seru tuh kalau misal dia miskin, pulang kampung, eh, mantan istrinya ini malah bisa buka usaha," lanjutku. Bahkan, aku sampai senyum-senyum sendiri membayangkan jika apa yang aku ucapkan itu menjadi kenyataan. Pasti seru dan lucu kan?Apalagi nanti akan ada adegan Mas Yoga yang ngamuk-ngamuk kayak orang gila karena hartanya sudah kugadaikan. Belum lagi kalau si perempuan murahan itu meninggalkannya dalam keadaan miskin. Aku yakin, nanti pasti keluarga Mas Yoga akan demo ke sini, tak terima dengan apa yang aku lakukan. Sedangkan aku, akan berdiri di depan mereka sambil mengibas-ibaskan lembaran merah pada wajahku. Euhm ... harum uangnya saja rasanya aku sudah bisa menciumnya. "Heh, Nduk! Itu kenapa senyum-senyum sendiri sambil kipas-kipas pakek seikat kangkung gitu?!" pekikan Ibu seketika menyadarkan aku dari lamunan. Aku menoleh ke arah tanganku, benar saja, kangkung itu kugunakan untuk mengipasi wajahku. Aku tersenyum nyeng
Jam yang menggantung di dinding di dalam kamarku menunjukkan pukul delapan pagi. Bergegas aku kembali berkaca, memastikan jika penampilanku saat ini tidak terlihat begitu memalukan. Hanya pakaian gamis berwarna abu-abu dengan jilbab pashmina berwarna senada yang membalut tubuhku ini. Setelah selesai memastikan penampilanku, aku pun bergegas menuju ke arah ranjang. Di mana aku menumpuk berkas-berkas keperluanku untuk menggugat cerai Mas Yoga. Ya, pagi ini aku akan pergi ke pengadilan. Tentu ditemani oleh seseorang. Seorang perempuan yang dulu adalah teman sekelasku. Sudah berumah tangga akan tetapi nasibnya sama seperti diriku. Belum dikarunia keturunan oleh Sang Maha Pemberi Rejeki. Bedanya, kehidupan rumah tangganya begitu harmonis. Apalagi ia memiliki mertua dan ipar yang sabar dan begitu menyayanginya. Menurutku, dia perempuan yang beruntung. Meskipun keadaan ekonominya tergolong pas-pasan.Namanya Laila. Dia seumuran denganku. Pekerjaannya setiap hari akan menemani orang
Rasanya masih seperti mimpi melihat makam Yoga. Rasanya suara hinaan, cacian, dan bentakan itu masih terdengar nyata di telinga Mutia. Tapi kini seseorang yang sudah menghina, menzolimi dirinya sudah tidak ada lagi. Entah Mutia harus merasa lega atau tidak. Mutia tidak tau. Sekarang yang terasa hanya ruang hampa.***Tak terasa 1 Minggu telah berlalu. Setiap harinya kesehatan ibu mertua Mutia berangsur membaik. Bahkan kata dokter, Ia sudah bisa pulang besok siang.…Keesokan harinya,Mutia tengah melipat pakaian dan memasukkannya ke dalam tas, ketika Ibu mertuanya membuka mata setelah tertidur cukup lama. Mutia yang menyadari ibu mertuanya telah sadar langsung menghampiri ibu mertuanya tersebut.“Bu, ibu sudah sadar?” tanya Mutia lembut.Sang ibu mertua hanya bisa menatap Mutia nanar, mulutnya yang setenga miring itu, hanya bisa terbuka tertutup tanpa mengeluarkan kata. Hanya sebuah suara samar yang menunjukkan penyakitnya.“Bu, makan dulu, ya, Mutia suapi Ibu,” ucap Mutia lembah lemb
Setelah melakukan serangkaian keagamaan, akhirnya Yoga pun dibawa ke liang kuburnya.Melihat Yoga dikubur, membuat perasaan Mutia sedikit tidak karuan. Tidak ada air mata, tapi tidak ada juga rasa bahagia suka cita.Mutia merasa mungkin ini pembalasan dari Tuhan, untuk semua kesakitan dan penderitaan yang telah ia terima dari suaminya yang selalu menyakiti dirinya. Tapi di satu sisi, Mutia juga kembali teringat akan masa lalunya, yang sempat bahagia bersama Yoga. Bagaimanapun juga Yoga pernah menjadi hal yang paling membuat Mutia bahagia dalam hidupnya.***Kabar Yoga sudah tidak ada akhirnya sampai ke telinga sang mantan istri, Rena. “Apa, Mas Yoga? … Innalilahi wa innalilahi rojiun,” ucap Rena yang masih tak percaya dengan kabar yang baru ia dengar.Ternyata seorang kerabat yang ikut hadir dalam pemakaman Yoga, mengetahui keberadaan Rena, dan memberitahukan kepada Rena tentang kondisi Yoga.“Terima kasih sudah memberitahu.” Rena menutup telepon nya.“Ada apa Ren,?” tanya Ibunya Re
Seketika suasana warung menjadi lebih ramai dan kacau akibat perkelahian Yoga dan Tono. Tapi jujur saja, walaupun keduanya sama-sama mabuk, tetap saja Yoga tampak jauh lebih unggul untuk memberikan hantaman demi hantaman kepada Tono. Tono semakin kehilangan kesadaran.Walaupun sudah mendapatkan serangan bertubi-tubi dari Yoga, tidak lantas membuat Tono menyerah dari Yoga. Tono justru semakin berniat untuk menghabisi Yoga. Dilihatnya oleh Tono sebuah pisau tergeletak bebas di atas meja, entah habis digunakan untuk apa, tapi ada pisau di sana. Tanpa ragu Tono segera meraih pisau tersebut.Dengan gelap mata, semuanya pun terjadi dengan cepat.JLEB!Pisau tersebut berpindah posisi. Tono berhasil menusukkan pisau tersebut menembus tubuh Yoga.Tidak puas dengan satu kali tusukan, Tono menusuk beberapa kali tubuh Yoga hingga Yoga akhirnya tak sadarkan diri.Suara teriakan para wanita yang melihat kejadian tersebut sontak membuat para warga sekitar yang berada di sana langsung berdatangan mel
“Apa, Stroke?” Mutia begitu terkejut setelah mendengar diagnosa dokter terhadap ibu mertuanya.“Iya, kemungkinan itu yang terjadi setelah kami memeriksa kesehatan Pasien tadi,” ucap sang dokter. “Tapi untuk mengetahui lebih dalam apa penyakitnya, kita memerlukan waktu lebih.”Mutia mulai tampak kebingungan. Kabar tidak enak ini terlalu mendadak untuk ia tanggung sendiri. “Tapi ibu mertua saya akan sembuh kan, Dokter?” tanya Mutia penuh harap.“Kemungkinan sembuh ada, tapi mungkin tidak sesehat sebelumnya,” jawab sang dokter. “Sebaiknya kita berdoa saja semoga Bu Leha cepat sadar dan pulih kembali.”Sudah kurang lebih dua jam Mutia menunggu mertua kejamnya itu di rumah sakit. Sudah berulang kali Mutia mencoba menghubungi suami dan iparnya, tapi tetap tidak ada yang menjawab. Lelah, capek, sakit hati, semua Mutia rasakan saat ini. Ingin rasanya Mutia berteriak sekencang mungkin mengeluarkan semua beban yang terasa di dalam dada. Tapi apa daya, Mutia tidak bisa melakukan semua itu. Mut
"Sialan! Kau sembunyikan dimana uangku, Mutia!" pekik wanita paruh baya itu saat tak menemukan apa yang ia cari di segala tempat. "Mutia nggak ambil uang milik Ibu ....""Halah! Nggak usah bohong kamu! Balikin uangku!" Sang ibu mertua melangkah mendekat ke arahnya dengan tatapan tajam. Seketika perasaan Mutia menjadi tak enak. Hingga jantung pun terasa seperti berdegup lebih kencang.Rasanya ingin melawan, tapi entah mengapa tenaga seperti sudah hilang. Apa ini karena Mutia masih menghormati orang tua suaminya itu? ataukah Mutia hanya berlarut dalam rasa bersalah, dan ini harga yang harus ia bayar?Mutia hanya bisa terus berusaha memberontak tanpa melawan. Air mata yang menetes pun seperti tidak akan membuat Ibu mertuanya iba akan kesakitannya. Kini semakin jelas Mutia merasa sebegitu hina dirinya di mata mertuanya, padahal setiap hari Mutia rasanya sudah cukup berkorban menahan hati melayani keluarga ini. Apa tidak sudah ada rasa kasihan, atau rasa iba kepada dirinya?“Bu, sakit Bu
Kedua telapak tangan Mutia terbuka dan terangkat sebatas dada. Dengan bibir bergetar, ia ucapkan permohonan ampun pada Sang Pemilik Kehidupan setelah ia lakukan beberapa rakaat shalat taubat. "Ampuni hamba, Ya Allah. Ampuni Hamba ...." Suara itu bergetar dengan tubuh yang terguncang. Air mata terus bergulir dengan begitu derasnya. Hingga menciptakan jejak-jejak air mata di wajahnya. Air mata itu terus keluar, sebagai bentuk penyesalan yang teramat dalam. Belasan menit ia memohon ampun, ada rasa kelegaan tersendiri yang dirasakan oleh Mutia."Ha ha ha, apa yang kau lakukan, Mutia?" Suara tawa terdengar begitu menggema. Suara yang berasal dari Yoga yang baru saja membuka pintu kamar lalu melihat sang istri sedang bersujud dengan balutan mukena di tubuhnya. Mutia langsung mengangkat kepalanya. Ia duduk lalu menolehkan kepala ke arah sang suami yang terus tertawa. Mutia tau, dia telah ditertawakan oleh sang suami. "Tumben sekali kau sholat? Apa kau sadar jika dirimu penuh dengan dos
Sinar matahari menerobos masuk melalui celah-celah jendela. Lelaki yang masih terbuai dengan mimpi itu menggeliat pelan, mengusap wajahnya lalu mengangkat kedua tangannya ke atas. Guna merenggangkan otot-otot di tubuhnya yang terasa begitu kaku. Setelahnya, pandangan Yoga beralih pada jam yang menggantung di dinding kamar, yang saat ini sedang menunjukkan pukul sembilan pagi. Wajar saja jika jam sembilan Yoga baru terbangun, sebab hampir setiap malam ia pulang dari warung janda genit hingga sampai pukul satu larut malam. Yoga melangkah menuju ke pintu. Meraih gagang pintu lalu menekannya dengan malas lalu mendorongnya perlahan. Lelaki itu melangkah menuju ke dapur tanpa ke kamar mandi terlebih dahulu. Walau hanya sekedar mencuci muka, Yoga enggan melakukannya. Dibukanya tudung saji. "Makanan macam apa ini?!" Yoga menghempaskan tudung saji dengan kasar. Hingga terpental di atas meja lalu terjatuh. Yoga merasa kesal, sebab hanya ada tempe goreng dan juga sambal bawang. Ya, hanya
KUGADAI HARTA SUAMI YANG BERSELINGKUHBAB 70Yoga mencebik tapi kemudian pria itu memberikan selembar uang berwarna hijau dengan nominal 20.000 rupiah pada Mutia. "Udah itu aja cukup. Jangan banyak-banyak kamu pegang duit biar gak ngelunjak!" Setelahnya, Yoga pun pergi meninggalkan Mutia yang sudah lemas karena di tangannya kini hanya tersisa uang dua puluh ribu saja. "Ya Allah, uang segini dapet apaan? Untuk beli beras buat makan orang satu rumah aja kurang," gumam Mutia yang menatap perih uang berwarna hijau di tangannya itu. Ia merutuki kebodohannya kenapa uang itu tidak ia masukkan saja ke dalam pakaian dalamnya atau seperti yang dikatakan Ira kalau ia meminta pak Sodik untuk menunda memberikan uang gajinya. Ah, tiba-tiba Mutia muncul sebuah ide. Dalam benaknya terlintas kalau dia akan meminta pak Sodik untuk mengurangi jumlah uang yang pak Sodik berikan padanya. Dan dari situ nanti Mutia akan mengaku saja dia sekarang hanya dibayar sebanyak tiga puluh ribu saja. Mau percay
KUGADAI HARTA SUAMI YANG BERSELINGKUHBAB 129Mutia memandang Ira dengan nanar. Bibirnya lantas kembali berkata, "Tapi kita kan gajiannya perhari gimana caranya aku kumpulin uang buat bayar kos kalau setiap aku pulang suamiku selalu nanya mana uang hasil kerja hari ini?"Senyuman pun terbit di kedua sudut bibir Ira. "Aku tahu caranya. Sini aku bisikin." "T-tapi gimana kalau Mas Yoga menanyakan soal uang gajiku yang setiap harinya diberikan sama Pak Sodik? Belum lagi sama Ibu mertua dan Kakak ipar pasti mereka semakin menyudutkanku." "Haduh Mutia ayolah, kalau bukan kamu yang merubah kondisimu lalu siapa lagi? Kamu harus keluar dari keluarga toxic seperti itu. Tidak mungkin kamu terus-terusan berada di sana yang ada mereka. Bukan semakin menghargaimu tapi malah semakin menginjak-injakmu." "Tapi, Ir, aku takut kalau Mas Yoga berlaku kasar padaku lagi." "Astaga Mutia. Kenapa mesti takut sih. Bukankah kamu ini orang kota? Seharusnya cara berpikirmu jauh lebih maju dong daripada aku.