"Iya, Mbak. Tadi Laila? Kenapa, Mbak? Mbak mau minta nomornya? Mbak mau suruh temenin dia buat antarin ke pengadilan?""Kamu ini timbang ditanyain gitu aja jawabnya malah nyumpahin!" sungut Mbak Seli yang sepertinya mengerti maksud dari ucapanku. Aku hanya terkikik. "Kamu serius mau gugat suamimu? Sah jadi janda dong nanti?" ucap Mbak Seli. "Memangnya kenapa, Mbak, kalau saya jadi janda? Mbak mau nyari madu? Wah ... boleh juga tuh, Mbak. Apalagi Mas Rifai bekerja sebagai mandor di pabrik besar. Tentu bisa lah ya kalau nafkahin kita berdua?" Kedua bola mata Mbak Seli melotot sempurna ke arahku. "Siapa yang sudi punya madu?! Ogah lah, ya! Dasar gatel! Belum juga cere udah nawarin jadi madu!" sungut Mbak Seli yang tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Sedangkan kulihat sekilas, Mas Rifai yang merupakan suaminya itu hanya tertawa sembari geleng-geleng kepala. "Loh, Mbak. Siapa tahu kan Mbak butuh madu. Biar kerjaan Mbak Seli ada yang bantuin. Termasuk urus Mas Rifai. Gimana, Mbak?
Sayup-sayup kudengar suara adzan berkumandang dari arah masjid yang tak jauh dari tempat tinggalku. Kurenggangkan otot-otot di tubuhku dengan kuangkat kedua tanganku ke atas. Setelahnya, kusibak selimut tipis yang masih bertengger di atas tubuhku sebatas dada dengan sempurna. Aku mengubah posisi menjadi duduk, menunggu kesadaran kembali dengan sepenuhnya. Kuturunkan kedua kakiku, setelahnya aku pun berjalan menuju ke arah kamar mandi yang ada di belakang rumah setelah menyambar handuk yang menggantung di tempatnya. Kuguyur seluruh tubuhku, dan cepat-cepat kuselesaikan ritual mandiku, sebab udara dingin terasa menusuk hingga ke tulang. ****Ponsel yang ada di atas ranjang berdering, membuat tanganku yang sedang mengumpulkan pakaian kotor seketika terhenti. Kutolehkan kepalaku ke arah sumber suara, setelahnya aku pun melangkah ke arah sana. Saat aku meraih ponsel tersebut, ada nomor asing yang menghubungiku. Nomor itu tak tersimpan di ponselku. Bahkan, saat foto profil yang terpa
"Heh, janda gatel! Apa maksudmu goda suamiku, ha?!" Tanpa diduga dan dengan gerakan yang cepat, Mbak Seli langsung menarik rambutku yang berkuncir kuda itu ke belakang. Tentu hal itu membuat kepalaku mendongak ke atas. "Apa sih, Mbak, maksudnya?" Aku berusaha melepaskan jambakan Mbak Seli. Akan tetapi, semakin aku berusaha melepaskan, semakin dia memperkuat cengkraman. Rasa nyeri begitu terasa di kulit kepalaku hingga membuatku meringis kesakitan. "Jangan bersikap seperti itu, Sel. Semua bisa dibicarakan baik-baik," ucap ibu sembari berusaha melepaskan jambakan tangan Mbak seli di rambutku. "Mbak, lepaskan dong!" pekikku saat rasa nyeri semakin terasa. "Apanya yang bisa dibicarakan baik-baik?! Anakmu ini perempuan gatel! Dia goda suamiku! Dia menawarkan diri untuk dijadikan istri simpanan! Apa maksudnya seperti itu?! Apa hal itu bisa dibicarakan baik-baik?!""Mbak! Lepaskan! Fitnah macam apa lagi yang Mbak ciptakan ini?!"Bugh!"Auw!""Lepaskan jambakanmu itu! Aku yang ibunya saj
Tok!Tok!Tok!Suara ketukan pintu terdengar dari pintu utama. Aku yang sedang melipat pakaian pun lantas bangkit dari tempat dudukku, meletakkan sehelai kain di tanganku lalu melangkah keluar kamar. "Assalamualaikum, Mbak Rena," ucap seseorang yang saat ini berada di hadapanku setelah pintu kubuka. "Waalaikumsalam, Bu RT. Silahkan masuk, Bu RT," ucapku dengan lembut sembari membuka lebar pintu rumah. "Nggak usah, Mbak. Saya ke sini cuma mau samperin pesan Bapak, katanya Mbak Rena nanti sore diminta datang ke rumah." Aku mengernyitkan dahi saat mendengar penuturan Bu RT. "Ada apa ya, Bu? Sepertinya ada sesuatu yang sangat penting," ucapku dengan segudang rasa penasaran. "Saya juga kurang tahu, Mbak. Nanti jam tiga langsung datang saja ke rumah.""Oh, baik, Bu. Nanti saya akan ke sana.""Ya sudah, Mbak. Hanya ingin menyampaikan itu saja. Saya permisi dulu. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawabku. Bu RT pun melangkah pergi dari rumahku. Setelah langkahnya sudah lumayan jauh,
"Baiklah, biar aku saja yang bicara." Aku menghela napas dalam-dalam lalu kukeluarkan secara perlahan."Begini, Pak Rt, memang saya akui saya bersalah ....""Tuh, kan, Pak RT! Dia ngaku salah! Saya mau dia dipermalukan ke seluruh kampung ini, Pak Rt!" "Diamlah, Mbak! Aku belum selesai berbicara! Jangan potong atau pun menyela!" ucapku sedikit membentak Mbak Seli karena menyela ucapanku. Mbak Seli melirikku sinis sembari memainkan bibirnya. Tak suka. "Kemarin, sewaktu teman saya yang mengantarkan saya ke pengadilan untuk mengurus gugatan perceraian saya pulang dari rumah. Dan di situ berpapasan dengan Mbak Seli." Aku menjeda ucapanku. Menghela napas dalam untuk ke sekian kali. Pak RT mendengarkan kalimat demi kalimat yang meluncur dari bibirku dengan seksama. "Mbak Seli beserta suaminya berhenti tepat di depan rumah saya bersama suaminya. Waktu itu, Mbak Seli malah menghinaku karena status janda yang akan aku sandang. Di situ saya bercanda untuk memberikan tawaran Mas Rifai untuk
Pov Yoga (2 Minggu Kemudian)**Tok!Tok!Tok!"Bik! Ada tamu tuh," teriak Mutia yang saat ini sedang duduk di sofa tepat di sampingku dengan kedua pahaku digunakan sebagai bantalnya. "Bibik lagi cuci piring kayaknya, Sayang. Mas buka dulu pintunya." "Nggak mau!" ucap Mutia menahan tanganku yang ingin memindahkan kepalanya dari kedua pahaku. "Udah enakan gini, Mas!" ucap Mutia. "Bibik!" teriak Mutia lagi. Tak berselang lama, terlihat lah seorang wanita berusia empat puluh lima tahun berjalan dengan tergopoh-gopoh sembari menyincingkan daster bermotif bunga yang saat ini ia kenakan. "Budek banget, sih, Bik!" "Maaf, Bu. Bibik tadi lagi nyuci piring nggak kedengeran," ucap Bibik lalu melanjutkan langkahnya menuju ke arah pintu. "Alasan!" lirih Mutiara. Ya, semenjak aku dan Mutia sudah sama-sama bekerja, aku mencari seseorang yang siap bekerja sebagai ART di rumahku. Belum lama, kurang lebih baru dua minggu, berjalan tiga minggu. Seorang janda dengan satu anak yang masih duduk d
"Tentu." Seulas senyum aku perlihatkan. Beberapa menit kemudian, terlihat dari seberang sana sosok yang amat aku kenali berjalan ke arah kami. Dia adalah kedua orangtua Rena dan juga seorang wanita yang dulu teman sekolah Rena yang kuketahui menjual jasa sebagai pengantar orang yang ingin melakukan proses perceraian. Keempat orang itu pun duduk di kursi yang ada di sebelah kursi yang kami tempati. Seperti orang asing. Tak ada tegur sapa atau pun percakapan walau hanya sekedar basi-basi. Hingga tak berselang lama, nomor tibalah nomor urut kami. Aku bersama Mutia pun bangkit dari tempat dudukku, gerombolan keluarga mantan istriku itu pun berjalan melewatiku begitu saja. "Heh, Rena! Berhenti!" Ucapan Mutia seketika membuat langkah beberapa orang yang baru saja mendahuluiku itu pun berhenti. Mutia mempercepat langkahnya setelah Rena memutar tubuhnya. Hingga membuat kedua orang perempuan itu saling bersitatap. Aku berdiri tepat di samping Mutia. Saat kutelisik wajah Rena, tak kulih
Waktu berjalan dengan begitu cepatnya. Hingga tak terasa hari ini adalah sidang kedua kasus perceraianku dan juga Rena. Seperti biasa, aku datang ditemani oleh sang istri tercinta. Ya, istri tercinta. Semakin bertambahnya usia pernikahan kami, semakin besar pula rasa cintaku padanya. Seolah-olah cinta itu diberikan pupuk hingga bisa bertumbuh dengan begitu suburnya. Sidang kedua kembali dibuka oleh sang hakim. Jika sidang pertama kemarin adalah upaya perdamaian, berbeda dengan sidang kedua kali ini. Hakim mulai membacakan beberapa perkara. Salah satunya adalah pembacaan bukti dari penggugat. Hingga pada akhirnya terjadilah musyawarah yang dilakukan oleh majelis hingga tak berselang lama, musyawarah itu pun berakhir dan hakim pun kembali melakukan tugasnya. Yaitu pembacaan putusan atau penetapan.Ada yang berdesir di dalam sini saat kedua telingaku mendengar dengan jelas saat hakim menetapkan jika aku dan Rena sudah resmi berpisah. Bukan hanya secara agama, tapi juga secara agam
Rasanya masih seperti mimpi melihat makam Yoga. Rasanya suara hinaan, cacian, dan bentakan itu masih terdengar nyata di telinga Mutia. Tapi kini seseorang yang sudah menghina, menzolimi dirinya sudah tidak ada lagi. Entah Mutia harus merasa lega atau tidak. Mutia tidak tau. Sekarang yang terasa hanya ruang hampa.***Tak terasa 1 Minggu telah berlalu. Setiap harinya kesehatan ibu mertua Mutia berangsur membaik. Bahkan kata dokter, Ia sudah bisa pulang besok siang.…Keesokan harinya,Mutia tengah melipat pakaian dan memasukkannya ke dalam tas, ketika Ibu mertuanya membuka mata setelah tertidur cukup lama. Mutia yang menyadari ibu mertuanya telah sadar langsung menghampiri ibu mertuanya tersebut.“Bu, ibu sudah sadar?” tanya Mutia lembut.Sang ibu mertua hanya bisa menatap Mutia nanar, mulutnya yang setenga miring itu, hanya bisa terbuka tertutup tanpa mengeluarkan kata. Hanya sebuah suara samar yang menunjukkan penyakitnya.“Bu, makan dulu, ya, Mutia suapi Ibu,” ucap Mutia lembah lemb
Setelah melakukan serangkaian keagamaan, akhirnya Yoga pun dibawa ke liang kuburnya.Melihat Yoga dikubur, membuat perasaan Mutia sedikit tidak karuan. Tidak ada air mata, tapi tidak ada juga rasa bahagia suka cita.Mutia merasa mungkin ini pembalasan dari Tuhan, untuk semua kesakitan dan penderitaan yang telah ia terima dari suaminya yang selalu menyakiti dirinya. Tapi di satu sisi, Mutia juga kembali teringat akan masa lalunya, yang sempat bahagia bersama Yoga. Bagaimanapun juga Yoga pernah menjadi hal yang paling membuat Mutia bahagia dalam hidupnya.***Kabar Yoga sudah tidak ada akhirnya sampai ke telinga sang mantan istri, Rena. “Apa, Mas Yoga? … Innalilahi wa innalilahi rojiun,” ucap Rena yang masih tak percaya dengan kabar yang baru ia dengar.Ternyata seorang kerabat yang ikut hadir dalam pemakaman Yoga, mengetahui keberadaan Rena, dan memberitahukan kepada Rena tentang kondisi Yoga.“Terima kasih sudah memberitahu.” Rena menutup telepon nya.“Ada apa Ren,?” tanya Ibunya Re
Seketika suasana warung menjadi lebih ramai dan kacau akibat perkelahian Yoga dan Tono. Tapi jujur saja, walaupun keduanya sama-sama mabuk, tetap saja Yoga tampak jauh lebih unggul untuk memberikan hantaman demi hantaman kepada Tono. Tono semakin kehilangan kesadaran.Walaupun sudah mendapatkan serangan bertubi-tubi dari Yoga, tidak lantas membuat Tono menyerah dari Yoga. Tono justru semakin berniat untuk menghabisi Yoga. Dilihatnya oleh Tono sebuah pisau tergeletak bebas di atas meja, entah habis digunakan untuk apa, tapi ada pisau di sana. Tanpa ragu Tono segera meraih pisau tersebut.Dengan gelap mata, semuanya pun terjadi dengan cepat.JLEB!Pisau tersebut berpindah posisi. Tono berhasil menusukkan pisau tersebut menembus tubuh Yoga.Tidak puas dengan satu kali tusukan, Tono menusuk beberapa kali tubuh Yoga hingga Yoga akhirnya tak sadarkan diri.Suara teriakan para wanita yang melihat kejadian tersebut sontak membuat para warga sekitar yang berada di sana langsung berdatangan mel
“Apa, Stroke?” Mutia begitu terkejut setelah mendengar diagnosa dokter terhadap ibu mertuanya.“Iya, kemungkinan itu yang terjadi setelah kami memeriksa kesehatan Pasien tadi,” ucap sang dokter. “Tapi untuk mengetahui lebih dalam apa penyakitnya, kita memerlukan waktu lebih.”Mutia mulai tampak kebingungan. Kabar tidak enak ini terlalu mendadak untuk ia tanggung sendiri. “Tapi ibu mertua saya akan sembuh kan, Dokter?” tanya Mutia penuh harap.“Kemungkinan sembuh ada, tapi mungkin tidak sesehat sebelumnya,” jawab sang dokter. “Sebaiknya kita berdoa saja semoga Bu Leha cepat sadar dan pulih kembali.”Sudah kurang lebih dua jam Mutia menunggu mertua kejamnya itu di rumah sakit. Sudah berulang kali Mutia mencoba menghubungi suami dan iparnya, tapi tetap tidak ada yang menjawab. Lelah, capek, sakit hati, semua Mutia rasakan saat ini. Ingin rasanya Mutia berteriak sekencang mungkin mengeluarkan semua beban yang terasa di dalam dada. Tapi apa daya, Mutia tidak bisa melakukan semua itu. Mut
"Sialan! Kau sembunyikan dimana uangku, Mutia!" pekik wanita paruh baya itu saat tak menemukan apa yang ia cari di segala tempat. "Mutia nggak ambil uang milik Ibu ....""Halah! Nggak usah bohong kamu! Balikin uangku!" Sang ibu mertua melangkah mendekat ke arahnya dengan tatapan tajam. Seketika perasaan Mutia menjadi tak enak. Hingga jantung pun terasa seperti berdegup lebih kencang.Rasanya ingin melawan, tapi entah mengapa tenaga seperti sudah hilang. Apa ini karena Mutia masih menghormati orang tua suaminya itu? ataukah Mutia hanya berlarut dalam rasa bersalah, dan ini harga yang harus ia bayar?Mutia hanya bisa terus berusaha memberontak tanpa melawan. Air mata yang menetes pun seperti tidak akan membuat Ibu mertuanya iba akan kesakitannya. Kini semakin jelas Mutia merasa sebegitu hina dirinya di mata mertuanya, padahal setiap hari Mutia rasanya sudah cukup berkorban menahan hati melayani keluarga ini. Apa tidak sudah ada rasa kasihan, atau rasa iba kepada dirinya?“Bu, sakit Bu
Kedua telapak tangan Mutia terbuka dan terangkat sebatas dada. Dengan bibir bergetar, ia ucapkan permohonan ampun pada Sang Pemilik Kehidupan setelah ia lakukan beberapa rakaat shalat taubat. "Ampuni hamba, Ya Allah. Ampuni Hamba ...." Suara itu bergetar dengan tubuh yang terguncang. Air mata terus bergulir dengan begitu derasnya. Hingga menciptakan jejak-jejak air mata di wajahnya. Air mata itu terus keluar, sebagai bentuk penyesalan yang teramat dalam. Belasan menit ia memohon ampun, ada rasa kelegaan tersendiri yang dirasakan oleh Mutia."Ha ha ha, apa yang kau lakukan, Mutia?" Suara tawa terdengar begitu menggema. Suara yang berasal dari Yoga yang baru saja membuka pintu kamar lalu melihat sang istri sedang bersujud dengan balutan mukena di tubuhnya. Mutia langsung mengangkat kepalanya. Ia duduk lalu menolehkan kepala ke arah sang suami yang terus tertawa. Mutia tau, dia telah ditertawakan oleh sang suami. "Tumben sekali kau sholat? Apa kau sadar jika dirimu penuh dengan dos
Sinar matahari menerobos masuk melalui celah-celah jendela. Lelaki yang masih terbuai dengan mimpi itu menggeliat pelan, mengusap wajahnya lalu mengangkat kedua tangannya ke atas. Guna merenggangkan otot-otot di tubuhnya yang terasa begitu kaku. Setelahnya, pandangan Yoga beralih pada jam yang menggantung di dinding kamar, yang saat ini sedang menunjukkan pukul sembilan pagi. Wajar saja jika jam sembilan Yoga baru terbangun, sebab hampir setiap malam ia pulang dari warung janda genit hingga sampai pukul satu larut malam. Yoga melangkah menuju ke pintu. Meraih gagang pintu lalu menekannya dengan malas lalu mendorongnya perlahan. Lelaki itu melangkah menuju ke dapur tanpa ke kamar mandi terlebih dahulu. Walau hanya sekedar mencuci muka, Yoga enggan melakukannya. Dibukanya tudung saji. "Makanan macam apa ini?!" Yoga menghempaskan tudung saji dengan kasar. Hingga terpental di atas meja lalu terjatuh. Yoga merasa kesal, sebab hanya ada tempe goreng dan juga sambal bawang. Ya, hanya
KUGADAI HARTA SUAMI YANG BERSELINGKUHBAB 70Yoga mencebik tapi kemudian pria itu memberikan selembar uang berwarna hijau dengan nominal 20.000 rupiah pada Mutia. "Udah itu aja cukup. Jangan banyak-banyak kamu pegang duit biar gak ngelunjak!" Setelahnya, Yoga pun pergi meninggalkan Mutia yang sudah lemas karena di tangannya kini hanya tersisa uang dua puluh ribu saja. "Ya Allah, uang segini dapet apaan? Untuk beli beras buat makan orang satu rumah aja kurang," gumam Mutia yang menatap perih uang berwarna hijau di tangannya itu. Ia merutuki kebodohannya kenapa uang itu tidak ia masukkan saja ke dalam pakaian dalamnya atau seperti yang dikatakan Ira kalau ia meminta pak Sodik untuk menunda memberikan uang gajinya. Ah, tiba-tiba Mutia muncul sebuah ide. Dalam benaknya terlintas kalau dia akan meminta pak Sodik untuk mengurangi jumlah uang yang pak Sodik berikan padanya. Dan dari situ nanti Mutia akan mengaku saja dia sekarang hanya dibayar sebanyak tiga puluh ribu saja. Mau percay
KUGADAI HARTA SUAMI YANG BERSELINGKUHBAB 129Mutia memandang Ira dengan nanar. Bibirnya lantas kembali berkata, "Tapi kita kan gajiannya perhari gimana caranya aku kumpulin uang buat bayar kos kalau setiap aku pulang suamiku selalu nanya mana uang hasil kerja hari ini?"Senyuman pun terbit di kedua sudut bibir Ira. "Aku tahu caranya. Sini aku bisikin." "T-tapi gimana kalau Mas Yoga menanyakan soal uang gajiku yang setiap harinya diberikan sama Pak Sodik? Belum lagi sama Ibu mertua dan Kakak ipar pasti mereka semakin menyudutkanku." "Haduh Mutia ayolah, kalau bukan kamu yang merubah kondisimu lalu siapa lagi? Kamu harus keluar dari keluarga toxic seperti itu. Tidak mungkin kamu terus-terusan berada di sana yang ada mereka. Bukan semakin menghargaimu tapi malah semakin menginjak-injakmu." "Tapi, Ir, aku takut kalau Mas Yoga berlaku kasar padaku lagi." "Astaga Mutia. Kenapa mesti takut sih. Bukankah kamu ini orang kota? Seharusnya cara berpikirmu jauh lebih maju dong daripada aku.