“Na, ada apa?” tanya Bella memberanikan diri. Dayana masih menggeleng lemah, ia hanya diam seraya menatap layar ponselnya. Dayana hendak berlari namun Sagara sigap menangkap lengan Dayana.
“Tenang dulu, jangan panik.” Dayana menghela napas berat, pelupuk matanya sudah menunggu bulir bening yang siap menetes kapan pun. “Di antara kalian ada yang bisa membawaku ke manager atau hrd hotel ini?” tanya Sagara seraya menatap tiga wanita yang sedari tadi hanya diam di tempat.
“Saya bisa,” jawab Bella seraya berdiri.
Pria itu mengangguk. Pandangan matanya tetap tertuju pada Dayana. “Day, kamu tunggu di sini dulu. Biar aku menghadap ke hrd dulu.”
“Mas, tapi … aku mau sekarang,” lirih Dayana menatap Sagara, sebelah tangannya meraih lengan kekar Sagara.
Pria itu berjongkok menyamakan tingginya dengan Dayana.
Sagara tersenyum dan menggeleng sebagai jawaban tawaran Dayana. “Mas harus coba ini enak sekali. Mas juga belum makan, ‘kan? Soalnya bekal aku tertinggal di mobil hitam.”Tanpa menunggu persetujuan dari Sagara, Dayana mengulurkan tangan yang menggenggam burger berukuran besar itu. “Aaa mas,” perintah Dayana dengan nada suara berusaha untuk tegas.Sagara tersenyum dan menggeleng pria itu lantas menggigit sebagian burger yang justru terdapat bekas gigitan Dayana. Wanita di sampingnya terkejut namun detik selanjutnya ia menetralkan kembali air mukanya. “Enak ‘kan?” tanya Dayana. Sagara pria itu mengangguk dan tersenyum dengan mulut yang masih mengunyah.Dayana kembali melanjutkan makannya, sesekali ia mengulurkan burger itu ke arah Sagara dan membiarkan pria itu mengganjal perutnya juga. Perjalanan Dayana masih separuh jalan, ia baru saja keluar dari tol cipali dan saat
“Mas kapan kita ketemu Ayah?” tanya Dayana lirih ia bahkan tak berani menatap mata Sagara.Pria itu tersenyum menunjukkan lesung pipi di wajah tampannya. “Sekarang juga bisa.”“Sungguh? Mas ngak capek?”“Tidak sama sekali, ayok. Kamu pamit dulu sama Rai. Mas tunggu di depan ya.” Sagara agak terkejut dengan kalimat terakhirnya, ia menyebut dirinya dengan sebutan ‘mas’ sebutan yang tak pernah ia gunakan.Dayana mengukir senyum dan mengangguk, ia berjalan menghampiri adiknya yang masih sibuk dengan dus dan isolasi. Setelah berpamitan Dayana pun segera berjalan menuju teras rumah. “Kunci pintunya yah. Jika ada tamu siapapun itu jangan dibukakan. Mbak gak akan lama, mba hanya mengantar ambulance.” Rai dan Rara mengangguk serta menjalankan perintah dan pesan Dayana.Sagara kembali mengemudikan mobilnya menuju rumah
Seakan mengerti apa yang sedang terjadi, Dayana sudah menutup mulutnya dan tubuhnya terhuyung ke belakang. Sagara dengan sigap menangkap tubuh wanita itu dan mendekapnya erat. Dayana menangis dan meraung-raung memanggil nama ayahnya. Hati Sagara teriris iya tak sanggup melihat wanita menangis. Tubuh wanita itu limbung dan jatuh dalam dekapan Sagara.“Sus, tetap bawa ke rumah sakit.” Perawat itu mengangguk dan kembali masuk ke dalam ambulance.Sedangkan Sagara, ia membawa tubuh Dayana dalam gendongannya masuk ke dalam mobil. Sagara mengolesi minyak angin ke arah hidung Dayana. Ia memijit lembut punggung tangan Dayana.Perlahan Dayana pun tersadar, wajahnya datar dan tatapan matanya kosong. Hanya bulir bening dan dada yang naik turun menandakan jika Dayana sedang dalam keadaan tak baik-baik saja. Berulang kali ia memejamkan matanya menetralkan segala rasa yang sedang berkecamuk di dalam benaknya.
Dayana hanya diam, ia menatap wajah keriput wanita yang melahirkannya. Berulang kali ia menghela napas berat, lidahnya kelu dan tak sanggup menjawab pertanyaan ibunya. Tak lama pandangan wanita itu mengabur, ia pun merasa kunang-kunang berputar di kepalanya. Dan setiap orang yang ia lihat bak memiliki kembaran.“Nduk?” panggil ibunya sekali lagi.Dayana mendongak dan seketika pandangan matanya menggelap. Tubuh wanita itu terhuyung ke samping dan nyaris menyentuh kerasnya lantai ubin rumah masa kecilnya jika saja Sagara tak sigap menangkap tubuh itu.“Dayana!” pekik siapa saja yang ada di sana.“Bu, maaf saya izin membawa Dayana masuk,” pamit Sagara dengan tangan menggendong tubuh Dayana ala bridal style. Sebelum masuk ia memanggil salah seorang perawat dan dokter untuk memeriksa keadaan Dayana.Ibu Dayana mengikuti langkah perawat itu, ia khawa
"Maksudnya Bude?” tanya Dayana bingung.“Kalian bukannya pacaran?” Pertanyaan istri Pakde Waryu mengundang kerutan di kening Dayana semakin dalam.“Sudah-sudah ini bukan saat yang tepat untuk membicarakan hal ini. Lebih baik kita fokus pada proses pemakaman Mas Sandi,” lerai Bude Murni, wanita itu mengajak Ratih juga istri Pak Waryo ke ruang tamu untuk menyambut para pelayat yang datang.Dayana tak ikut serta, karena wanita itu harus memberikan kabar pada pihak hotel untuk memperpanjang masa cutinya. Ia juga memilih untuk menunggu di kamar Rai bersama dengan adiknya.Di lain tempat, Aidan baru saja melenguh panjang sebagai pelepasan terakhirnya malam itu. Sedangkan wanita di bawahnya justru menatapnya dengan senyum yang mengembang. “Kamu memang selalu luar biasa, Mas. Kamu buat aku candu,” puji wanita itu seraya memainkan jemarinya di dada bidang Aidan
“Maksudnya?”“Sikapmu seperti seorang istri.”Dayana hanya tersenyum tipis dan berlalu dari hadapan sepupunya. Dayana sebenarnya tak mengerti kenapa pria itu bisa menyimpulkan begitu namun, Dayana tak mau ambil pusing. Wanita itu berjalan mendekati jasad ayahnya, ia menghela napas berat sebelah tangannya menyentuh tubuh kaku pria pertama di hidupnya.“Ayah, Dayana sudah ikhlas. Semoga kita bisa kembali berkumpul di surga nanti,” ujar wanita itu pada sosok yang terbaring tanpa napas. Mendengar iqomah berkumandang, Dayana bergegas mengambil air wudhu sekaligus membersihkan tubuhnya. Ia memutuskan untuk langsung mandi, agar nanti ia bisa bergantian dengan ibunya menjaga jasad pahlawan di hatinya.Selepas salat shubuh, beberapa warga mulai datang silih berganti. Mereka mengucapkan turut berduka cita serta mengulurkan bantuan untuk mempersiapkan pemakaman Ayah Dayana. I
“Dayana?” panggil suara perempuan yang mengalun di indranya.Dengan gerakan lamban, dua insan itu memutar tubunya dan menatap bingung pada empat perempuan yang ada di depannya. “Kalian kok bisa ada di sini?”“Kita turut berduka cita ya, Day. Kamu kenapa gak kirim kabar ke kita?” tanya Lala berjalan menghampiri Dayana.Dayana tersenyum tipis, terdapat kantung mata di bawah matanya, hidung mancungnya memerah bekas tangisannya kemarin. Dayana tak menjawab pertanyaan Lala ia hanya mengulas senyum dan menganggukkan kepalanya. Pandangan keempat temannya itu teralihkan pada genggaman tangan yang masih betah bertaut.“Mas langsung ke surau saja,” tutur Sagara mengurai genggaman mereka. Dayana mengangguk lirih. Ia pun membiarkan pria itu berangkat ke surau bersama dengan Pakde Waryo yang baru saja keluar dari rumah.“Ayo masuk,”
“Dayana‼” pekik Lala menyadari tubuh wanita itu terjatuh di atas pusara ayahnya.Tanpa banyak kata, satu-satunya pria yang berada di sana, Sagara menggendong tubuh Dayana. Ia bahkan melepas sarungnya untuk melindungi dan menutup bentuk tubuh Dayana yang tercetak jelas karena basah air hujan. Beruntung pria itu memakai celana selutut yang menjadi lapisan sarungnya.Sagara mengabaikan kehadiran empat sahabat Dayana yang berjalan di belakangnya. Langkah lebar disertai lari kecil itu sulit terkejar untuk empat wanita di belakangnya. Beruntung jarak pemakaman dengan rumah Dayana tak terlalu jauh sehingga pria itu tak perlu waktu lama untuk tiba di sana.Setibanya di kediaman Dayana, Sagara pun melasak masuk ke dalam rumah dan membawa Dayana ke dalam kamarnya. “Astagfirullah, Mba!” pekik Ratih terkejut.Tanpa dipinta, wanita paruh baya itu mencarikan baju ganti untuk Sagara. Ia juga
2 tahun kemudian“Lama banget sih Gar! Bini lo sudah jerit-jerit buk –““Berisik!” sahut Sagara berlari menuju pintu berkaca yang terdapat seorang wanita paruh baya tengah berdiri di sana. “Bu,” sapa Sagara mengecup punggung tangan ibu mertuanya.“Langsung masuk saja, Nak. Dayana sudah menunggumu.” Sagara mengangguk dan bergegas masuk bersama seorang perawat.Ia melihat seorang wanita tengah berbaring di atas ranjang dengan wajah penuh peluh. Pria itu segera melepas jasnya dan menggantikan dengan pakaian serba hijau. Ia mendekati wanita yang berbaring menatapnya dengan senyum dan mata yang sayu.“Sayang, maaf aku terlambat,” ujar Sagara penuh sesal. Pria itu bergerak mengusap kening Dayana yang banjir bulir keringat.Dayana hanya tersenyum lemah dan menggerakkan tangan
Hari terus berjalan, Aidan mulai mendengar kabar jika perusahaannya tengah didemo oleh karyawan yang tak kunjung mendapatkan gaji. Wajahnya terpampang di seluruh media massa, jika dulu ia diberitakan sebagai pengusaha termuda dan sukses, kini ia harus menerima kenyataan pahit jika pemberitaannya tentang kemunduran perusahaan serta kasus yang sedang dihadapinya.“Sepertinya aku tak punya pilihan lain,” ujar pria itu seraya menatap tisu yang tengah digenggamnya.Aidan segera bangkit dan memanggil petugas lapas. “Pak saya mau menghubungi pengacara saya.”Petugas lapas itu mengangguk dan membukakan pintu sel, ia lantas memerintah Aidan menggunakan telepon kantor dan tak boleh lebih dari sepuluh menit.Setelah menekan tuts angka pria itu segera meletakkan gagang telepon di telinganya. “Hallo, bisa kau datang ke mari?”“….”
“Ehh iya? Kenapa sayang?” tanya Sagara menyimpan ponselnya cepat.Dayana mengulas senyum dan mengusap bahu pria yang kemarin meminangnya. “Mas kenapa? Ada masalah?”Sagara membalas senyuman Dayana, ia merengkuh bahu istrinya lantas mengajak wanita itu masuk ke dalam rumah. Menapaki lantai granit menuju ke lantai dua, ia lantas menuntun sang Istri masuk ke dalam kamar utama yang sudah berganti nuansa berwarna peach.“Mas mau ngomong serius sama kamu.” Ucapan pria itu membuat detak jantung Dayana berhenti berdetak, ia bahkan kesulitan menelan salivanya sendiri. “Ini bukan tentang kita kok, bernapaslah sayang.”Dayana menghela napas hingga bahunya bergerak turun. Sagara tertawa kecil melihat sikap istrinya yang terlihat menggemaskan. Ia melepas dekapannya dan berlutut di depan sang Istri yang duduk di tepi ranjang.“Sayang, maaf
“Mas aku yakin!” ujar Dayana dengan penuh keyakinan. Ia memberanikan diri untuk menyerahkan segenap dirinya pada pria yang meminangnya hari kemarin. Sagara hanya tersenyum, ia kembali mengecup bibir Dayana dengan lembut dan penuh kasih sayang. Satu persatu pakaian wanita itu mulai terlucuti begitu juga dengan sarung yang dipakai Sagara. Di pagi yang indah nan cerah itu, sepasang suami istri menunaikan nafkah batin. Suara desahan dan lenguhan tertahan menggema ke seluruh penjuru kamar, tanpa paksaan namun penuh dengan cinta dan kasih sayang. “Aaahh‼” lenguh panjang keduanya menandakan jika mereka sudah mencapai puncak kenikmatan. Tepat pukul 7 pagi, sepasang pengantin yang baru saja menunaikan nafkah batin itu selesai membasuh diri di dalam kamar mandi. Seperti pasangan pengantin sewajarnya, merkea masih asik menikmati hari-hari setelah melepas status lajangnya. Dayana dan Sagara menapaki anak tangga turun menuju ke ruang keluarga. Di sana ternyata masih ramai berkumpul keluarga Day
“Insya allah mas, aku pengin dia bertanggung jawab dan tahu konsekuensinya. Kalau dia terus menerus bebas dan ditolong mungkin ke depannya dia akan melakukan hal yang sama lagi, bahkan mungkin lebih parah.”Sagara mengangguk, ia lantas merengkuh tubuh istrinya. “Sudah sah, ‘kan?”Dayana tersenyum dan membalas pelukan hangat sang Suami. “Mandi mas, sudah mau malam. Gak bagus buat kesehatan loh.” Dayana menguraikan dekapannya dan bergerak mendekati almari pakaian.Sagara tertawa dan berjalan menuju kamar mandi dengan membawa sebuah handuk. Tak lama, Dayana mulai mendengar suara gemercik air yang berpadu dengan aroma sabun khas dirinya.Dayana bergegas mengganti pakaian tidurnya, ia terlihat gelisah di atas kasur. Duh kenapa jadi kepikiran malam pertama sih, lirih Dayana dalam hati seraya memikirkan cara untuk menghindar dari kegiatan malam pertama.Dayana pun bergegas membaringkan tubuhnya di atas kasur dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut tebal. Dayana mencoba memejamkan mata ra
“Datang‼! Pak Sagara datang‼” pekik Diyas yang mengintip dari jendela kamar Dayana.“Alhamdullillah,” ujar mereka menghela napas lega. Dayana memejamkan mata seraya mengucap syukur dan berterima kasih karena pria itu benar-benar membuktikan ucapannya.Dayana berdiri, ia merapikan pakaian dan melihat sekali lagi wajahnya. Terdengar bunyi ketukan di pintu kamar wanita itu. “Mba, mari turun,” ujar seorang wanita paruh baya yang biasa disebut sebagai dukun manten alias orang yang memang mengerti tata cara pernikahan adat jawa.Dayana turun dibantu Lala dan Bella di samping kanan kiri, sedangkan di depannya berjalan ibu Dayana didampingi Diyas dan Nabila, di barisan paling depan Rai dan Rara berjalan membawa buket bunga. Seluruh pandangan tamu undangan menatap Dayana dengan sorot kagum.Riasan dan tata rambutnya membuat dirinya terlihat berbeda, dibalut dengan kebaya hitam berbahan beludru menambah kecantikan dan pesona wanita itu. Langkahnya berhenti di depan meja akad, ia lantas berdiri
Aidan semakin tak berkutik, ia memikirkan jawaban apa yang sekiranya tak memberatkan posisinya. “Ganeswari Rahayu, putri dari Brahma Setyawijaya. Apa anda mengenalnya?”“Iya saya mengenalnya.”“Apa hubungan anda dengan korban?” tanya petugas itu lagi.Aidan berpikir sejenak lantas mengatakan, “Kami pernah menjalin hubungan saat Sma dulu, setelah itu kami berpisah.”“Kapan terakhir kali anda bertemy dengan Korban?”“Pagi tadi.” Petugas yang sedang mengetik di laptop pun menganggukkan kepala. “Maaf kalau boleh tahu apa kaitannya ya?”“Ganeswari Rahayu hilang sejak pagi tadi, pihak keluarga sudah mencoba menghubunginya tetapi ponsel korban tidak aktif. Beberapa jam yang lalu, petugas menemukan mobil korban di tepi jurang.”“Jurang?”
“Aku itu gak kenal sama Mba Dayana, cuman salah satu teman kosku satu kerjaan dengan Mba Dayana, ya aku tahu cerita itu dari dia. Sudah malah bahas Mba Dayana, ayo mas makan,” bujuk Tasha dengan nada manja dan menarik lengan Aidan menggeretnya ke arah meja makan.Aidan pun duduk di kursi makan, wanita berusia 20an tahun itu bergerak menyendokkan nasi dan lauk pauk ke dalam sebuah piring. Aroma makanan yang lezat menggoda Aidan. Mirip masakan Dayana, batin pria itu. Dari aroma yang ia hirup Aidan tentu sudah tahu jika masakan wanita itu memang mirip dengan masakan Dayana yang tak pernah ia sentuh. “Mas kok melamun?” tanya Tasha duduk di kursi depannya.“Ah tidak.” Pria itu bergegas menyuapkan sendok demi sendok ke dalam mulutnya. Mereka berdua menikmati makan siangnya dengan hening hanya suara denting sendok dan garpu yang beradu mengisi rumah berukuran besar itu.Tingg nongg … tingg nonggg!Tak lama Mang Ujang masuk ke dalam rumah dan menghampiri Aidan dari arah belakang. “Siapa Pak?
“Meminta maaf mungkin, meminta maaf bukan berarti kita kalah kok Mas, hal itu justru menunjukkan jika kita jauh lebih baik dari ia.” Aidan terdiam mendengar usulannya. “Mas gengsi gak selamanya baik kok.”“Tidurlah, hari sudah malam,” ujar Aidan tak menanggapi usulan Tasha, ia merapatkan tubuhnya pada wanita itu dan mendekapnya erat-erat.Kicau burung dan sinar matahari menghiasi pagi di sebuah komplek, Dayana sudah bangun sejak subuh tadi. Ia sibuk membantu persiapan pengajian 100 hari mendiang ayahnya dan juga pengajian menyambut hari h pernikahannya yang akan diadakan besuk siang.“Mba gak usah capek-capek, biar ibu saja. Ini ‘kan sudah banyak bantuan. Kamu istirahat saja nggih.” Dayana mengangguk dan berjalan menuju ruang keluarga, ia melihat beberapa souvernir belum selesai dikemas. Wanita itu bergerak mengemasi souvernir untuk pengajian esok.Saat sedang asyik mengemasi souvernir terdengar bunyi klakson di depan rumahnya, Dayana pun bangkit dari posisinya berjalan ke arah teras