Home / Romansa / Kucari Jodoh Yang Biasa Saja / Bab 1- Dia Datang Lagi

Share

Kucari Jodoh Yang Biasa Saja
Kucari Jodoh Yang Biasa Saja
Author: asihmukti62

Bab 1- Dia Datang Lagi

Author: asihmukti62
last update Last Updated: 2022-01-27 06:09:35

Hidup dengan ibu semua seperti bukan masalah, tidak masalah, semua baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Selalu ada senyum di bibirnya, disertai untaian kata lemah lembut mengalir bak aliran sungai, gemericik tapi menenangkan. Sampai usiaku menginjak 27 tahunpun tak ada yang berubah dari Ibu. Ibu tak pernah berubah, aku lah yang berubah.

 

Senyumnya masih sama, hanya sekarang aku tau, senyum Ibu menyimpan banyak luka. Kilasan masa lalu sering muncul dalam alam pikirku. Dulu Ibu bisa menutupi dariku, tapi sekarang aku mengerti sendiri tanpa beliau memberi tahu. Perlakuan Yangti, Ibu dari Ayahku, yang tak ada manis-manisnya pada Ibu. Atau sikap saudara-saudara Ayah, yang selalu sinis dan merendahkan Ibu. Semua terekam dengan sangat baik di otakku.

 

20 tahun aku merasa hidup tenang. Hidup bersama Ibu, dan adik laki-lakiku. Jauh dari hingar bingar ibu kota. Tak ada rumah mewah, atau fasilitas mewah lainnya, kami hidup sederhana tapi bahagia. Tak ada kata-kata kasar yang masuk di telinga kami. Hanya alunan kata-kata Ibu yang selalu setia menyapa gendang telinga kami.

 

Entah apa yang terjadi dua puluh tahun yang lalu, karena setelah itu aku hidup hanya dengan ibu. Yang kutahu adalah, dulu kami diusir, namun tak pernah tahu apa masalahnya, karena sepertinya Ibu juga tak pernah berniat memberi tahu. Yang kutahu hanya akhirnya kami pergi, meninggalkan ibu kota, dan menetap di Kota Wali, kabupaten kecil di timur Semarang. Hidup berdua, memulai lembaran baru tanpa ayah dan keluarga kayanya. 

 

Awal menetap di Kudus, ibu langsung bekerja di konveksi temannya. Ibu mengontrak rumah kecil untuk kami tempati. Setiap pagi ibu mengambil jahitan, lalu dijahit di rumah menggunakan mesin pinjaman dari Tante Rini teman Ibu. Allah maha baik, karena ditengah kesulitan, kami dipertemukan dengan orang-orang baik, yang dengan suka rela meringankan beban ibu saat itu. 

 

Tiga bulan menetap di Kudus, ibu diketahui hamil. Usia kandungannya sudah menginjak empat bulan saat itu. Cibiran mulai berdatangan, hamil tanpa suami kata mereka. Namun lambat laun cibiran-cibiran itu berhenti, dan berganti simpati. Dan dari gosip tetangga itulah aku tahu ibuku diusir oleh mertuanya, orang yang biasa kupanggil yangti.  Tante Rini lah yang menjelaskan pada mereka, meskipun aku yakin ibu tak pernah minta. Karena seingatku Tante Rini sering gemas pada ibu karena hanya diam ketika jadi bahan gosip.

 

Tante Rini adalah teman SMA ibu, teman rasa saudara lebih tepatnya. Entah apa yang terjadi dengan kami jika tidak bertemu Tante Rini. Ibu pergi tanpa membawa apa-apa, Tante Rinilah yang mencarikan kontrakan, memberi lapangan pekerjaan buat ibu, bahkan ikut menyokong kehidupan kami sehari-hari. Aku masih ingat sekali, setiap kali Tante Rini ke rumah tak sekalipun Tante Rini datang dengan tangan kosong, dari kebutuhan dapur sampai jajan untukku selalu ditentengnya. 

 

Pekerjaan yang diberikan Tante Rini lambat laun merubah kondisi ekonomi keluarga kecil kami. Apalagi ibu cukup lincah dalam usaha, dari yang awalnya hanya menerima jahitan dengan upah yang tak seberapa, akhirnya ibu bisa mendirikan konveksi sendiri, tentu tetap ada peran Tante Rini disitu.

 

Melihat ibu yang pontang panting bekerja siang malam, membuatku semangat belajar. Usahaku membuahkan hasil, dari SMP beasiswa selalu di tangan sehingga dapat meringankan beban Ibu. Saat kuliah pun aku sengaja mengambil yang ikatan dinas, supaya tamat kuliah bisa langsung kerja tentunya. Dan akhirnya aku sekarang menjadi PNS di Pemprov Jawa Tengah. Sementara adikku pun berpikir sama, sekarang adikku sedang mengikuti pendidikan di Akmil. Hanya kebahagian ibu tujuan kami saat ini. 

 

Kumatikan leptopku, waktu pulang telah tiba. Hari ini hari Jumat saatnya aku pulang ke Kudus. 

 

" Mudik, Wid?" tanya Mba Mira teman sekantorku. Mba Mira seorang ibu dengan dua anak. Usianya hampir 40 tahun, tapi gayanya masih dua puluhan.

 

"Iya Mba Mir, kangen ibu," jawabku sambil memasukan leptop ke dalam tas punggungku.

 

"Kenapa ibumu nggak kamu ajak tinggal di sini aja to, Wid?"

 

"Sudah pernah tak ajak Mba, nggak mau orangnya."

 

"Ya sudah lah, senyamannya ibumu aja ya, Wid?" kata Mba Mira sambil menyamai langkahku yang mulai beranjak keluar ruangan.

 

"Pulang Kudus, Beb?" tanya Mas Dika salah satu taman kantor yang sering modus padaku.

 

"Iya Mas, biasa."

 

"Abang anterin ya Beb?" Entah kelilipan apa Mas Dika bicara sambil mengedip-kedipkan matanya.

 

"Koe kelilipen, Dik?" tanya Mba Mira usil.

 

"Yuuuu yuuu ora pengerten sampean, namanya juga usaha, Yuuu."

 

"Eh yang ada Widuri geli kali Dik, lihat kelakuanmu kaya pria setengah mateng gitu."

 

"Asem Mba Mira loooh," protes Mas Dika.

 

"Ojo gelem karo sing model ngene, Wid! Aku kok sangsi sih kualitasnya." Mba Mira masih menggoda Mas Dika. 

 

"Eeits jangan salah Mba, apa maksudnya meragukan kualitasku? Mau reyen opo piye? Tes drive gitu?"

 

"Halah emoh," cibir Mba Mira.

 

"Atau kamu beb, mau tes drive?"

 

"Gundulmu!" kata Mba Mira sambil menoyor kepala Mas Dika. Aku hanya senyum-senyum saja melihat kelakuan dua rekan kerjaku itu.

 

Tanpa terasa kami telah sampai di parkiran kantor. Kuambil helm yang teronggok di atas spion motor. Mbak Mira dan Mas Dika masih setia menemaniku. Mobil Mas Dika memang terparkir tak jauh dari motorku, sementara Mbak Mira masih menunggu jemputan sepertinya.

 

"Hati-hati jangan ngebut-ngebut!" pesan Mba Mira saat aku sedang mengenakan helm.

 

"Siiiaaap." Kuacungkan ibu jariku ke arahnya. 

 

Naik motor Semarang-Kudus adalah rutinitasku seminggu sekali. Meskipun lelah tapi kucoba menikmatinya. Pulang ke rumah ketemu Ibu menjadi penyemangatku 

 

"Salam buat Ibu ya, Beb, dari calon mantu ngono!" kata Mas Dika, yang hanya kujawab dengan senyuman saja. Sementara Mba Mira tampak mencibir mendengar ucapan Mas Dika. 

 

Mba Mira sudah seperti saudara bagiku. Dia selalu ada saat senang maupun susah. Kisah hidupku Mba Mira tau semua. Ada banyak hal yang bisa aku bicarakan dengan Mba Mira, tapi tidak bisa aku bicarakan dengan Ibu. Bukan karena aku tak sayang ibu, tapi karena takut membuatnya sedih. 

 

Di jalan kusempatkan mampir ke salah satu toko yang menjual lumpia, jajanan khas Semarang favorit ibuku. Sudah terbayang binar mata ibu setiap kali kubawakan makanan kesukaannya itu.

 

Selesai membeli satu besek lumpia, segera kuarahkan motorku untuk pulang. 

 

*****

 

Menjelang adan Maghrib aku sampai di rumah. Tampak ibu menyambut di teras rumah. Masih ada beberapa pekerja ibu di rumah. Ibuku sekarang membuka konveksi sendiri, beliau memproduksi tas buat hantaran. Ada sekitar 10 orang yang setiap hari datang ke rumah untuk menjahit dan mengepak pesana tas. Hal ini juga yang cukup menenangkanku, paling tidak ibu tidak terlalu kesepian. 

 

"Perjalanan lancar, Nduk?" tanya Ibu sambil menyabut uluran tanganku. 

 

"Alhamdulillah lancar, Bu." kulirik sepasang sepatu pria yang terletak di depan teras. Nggak mungkin sepatu salah satu pekerja ibu, karena aku tau merek sepatu itu tidak semua orang sanggup beli, lagian pekerja ibu tidak ada yang laki-laki, semuanya wanita. 

 

Ibu merangkulku masuk ke dalam rumah. Entah aku merasa ada yang yang beda dengan rangkulan ibu saat ini, seperti sedang menyalurkan kekuatan padaku. Saat memasuki ruang tamu, pandanganku langsung tertuju pada sesosok pria yang sedang duduk di sofa. Seorang pria duplikat Toya adik laki-lakiku. Tanpa ibu kenalkan pun aku langsung mengenalinya, laki-laki yang ku panggil ayah dua puluh tahun yang lalu. 

 

Laki-laki itu berdiri tapi tak berusaha untuk mendekat. Akupun sama, kakiku seolah terpaku ke bumi, tak bisa digerakkan. Hanya sayup-sayup ku dengar dia menyebut namaku. Dua puluh tahun ternyata dia masih ingat namaku, dan aku tidak tahu harus senang atau sedih, semua terasa buram.

 

****

 

Setelah salat maghrib kami bertiga duduk bersama di sofa ruang tamu. Kami salat berjamaah, ayah lah yang mengimami, ada rasa tak rela menjadi makmum di belakang ayah, egoku begitu tinggi jika berdekatan dengannya. Namun usapan tangan ibu di rambutku meluruhkan sedikit egoku. 

 

Lama tak ada yang memulai obrolan. Ku palingkan pandangan ini, tak berniat untuk menatap laki-laki yang telah membuatku hadir di dunia ini. Tangan kanan ibu masih setia menggengam tanganku, dan tangan kirinya merangkul pinggangku dari belakang. Ibu seolah sedang menyalurkan kekuatannya kepadaku.

 

"Widuri." Lirih kudengar dia menyebut namaku, namun aku tetap tak bergeming tak berniat menyapanya balik. 

 

"Maafkan ayah, Nak!" Akhirnya Ayah bersuara, terdengar suaranya bergetar.

 

Tangan Ibu selalu otomatis mengelus-elus punggungku setiap kali Ayah bicara. Mungkin Ibu takut kalau aku terbawa emosi. Lidahku kelu, banyak yang ingin ku tanyakan, tapi tak sepatah katapun keluar dari bibirku. 

 

"Kenapa kesini?" Kutatap wajah Ayahku, masih gagah hanya wajahnya yang mulai berhias kerutan. 

 

"Ayah..." 

 

"Mengapa Ayah masih berani menemui kami, padahal dulu membiarkan kami terusir?" kupotong ucapan Ayah. 

 

"Naaak, Ay..."

 

"Ayah tidak mencari kami, apa Ayah tau kami hidup susah? Buat makan aja sulit, rumah aja nggak punya, harus ngontrak-ngontrak, Ayah kemana aja saat itu?"

 

"Maafkan Ayah!" Ayahku tergugu, air mata perlahan menetes di pipinya.

 

"Lalu buat apa sekarang Ayah di sini? Bukankah Ayah sudah bahagia dengan keluarga Ayah? Kami juga sudah terbiasa hidup tanpa Ayah."

 

"Naaak." Kali ini suara Ibu yang terdengar. Aku hampir lupa jika ada Ibu disampingku, yang masih setia mengelus-elus punggungku. Hanya saja kali ini air matanya turut urun peran.

 

"Ibu yang meninggalkan Ayahmu, Nduuuk." Isakan Ibu perlahan meredakan amarahku.

 

"Ibu yang selama ini sembunyi, maafkan Ibu telah memisahkan kalian." 

 

Aku hanya terdiam melihat Ibu yang masih menangis. Sebegitu cintanyakah Ibu sehingga masih saja membela laki-laki yang telah membuatnya sengsara. Ayahku pun sama, air matanya semakin deras menganak sungai. 

 

"Widuri tau seperti apa dulu, Bu." setelah terdiam saja akhirnya kubuka suara.

 

"Perlakuan mereka pada Ibu, Ibu seperti pembantu di sana. Setiap hari Ibu menyembunyikan tangisnya, Widuri waktu itu masih kecil aja tau kalau Ibu habis nangis. Masa Ayah nggak tau? Ibu juga, kenapa masih menutup-nutupi?"

 

"Nduuuk..."

 

"Mereka membuat Ibu menangis setiap hari, menghina Ibu, Ibu selalu salah di mata mereka , dulu Ibu bisa bohong, sekarang Widuri tahu Bu, tanpa Ibu kasih tahu juga Widuri mengerti, jadi tolong tidak usah menutup-nutupi lagi!"

 

"Sayaaag ibu...." ibu masih berusaha memotong omonganku. 

 

"Ayah kemana saat itu, kenapa tidak membela Ibu waktu Ibu dihina? Dimana Ayah saat Ibu disuruh ini itu, seperti pembantu? Kenapa Ayah biarkan Ibu menderita sendirian?" 

 

"Cah ayuuu, Ayahmu nggak salah naak..." 

 

"Terus saja Ibu membelanya!" 

 

"Bukan begitu naaak..." 

 

"Apa tidak cukup kita bertiga saja bu, aku merasa selama ini tidak ada yang kurang meski hidup tanpa Ayah." 

 

"Maafkan Ayah, Naaak..." Suara ayah kembali lirih terdengar. 

 

Sejenak kami terdiam, tak ada yang berusaha mengeluarkan suara. Aku pun sedang berusaha menekan amarahku. Melihat Ibu begitu sedih aku jadi merasa bersalah. 

 

Beberapa saat kemudian Ibu membuka keheningan di antara kami." Ibu yang memutuskan pergi, Nduk." aku hanya diam tak lagi berusaha menyanggah Ibu. 

 

"Ibu tidak ingin membuat Ayahmu menjadi anak durhaka. Bukan Ayahmu tak tau Ibu sering menangis, tapi ibu sendiri yang meminta ayahmu untuk bersabar," ucapnya mencoba meyakinkanku. 

 

"Ibu yang salah, karena akhirnya Ibu yang menyerah memilih pergi." 

 

Untaian masa lalu terus keluar dari bibir Ibu. Aku sedikit memahami posisi Ayahku. Hanya aku masih tetap tidak terima dengan perlakuan keluarga Ayah pada Ibuku. 

 

"Bertahun-tahun Ayah mencari kalian, Ayah hancur ketika pulang ke rumah kalian tidak ada." kenang Ayah. 

 

Kudengarkan dengan seksama, kisah masa lalu fersi ayah. Tak sekalipun kucoba membantahnya. Mendengar cerita Ayah sedikit banyak mengikis amarah di hatiku. Ternyata Ayah juga korban disini. 

 

Ibu akhirnya berhasil membuatku dan ayah berpelukan. Perasaan sakitku pada Ayah yang bertahun-tahun bercokol di hatiku bukannya hilang tak berbekas, tapi perlahan rasa rindu dan sayang mulai kembali bertahta disana, mengikis amarah yang selama ini terpedam.

 

Kami akhirnya makan bersama. Menu sederhana masakan ibuku tersaji di meja makan. Oseng tempe teri lombok ijo, sayur sop, ayam goreng, dan sambel benar-benar menggugah selera. Mungkin rindu yang terobati, ayah makan dengan begitu lahapnya. Ibu pun sigap mengambilkan nasi dan lauk saat melihat piring ayah hampir kosong. Melihat interaksi ayah dan ibu yang tak kaku meski berpisah puluhan tahun, ada rasa bahagia muncul di sanubariku. Aku hanya berharap ini awal kebahagiaan, bukan sekedar selingan hidup yang mampir sebentar lalu pergi lagi. 

 

Sedikit obrolan di meja makan, membuatku mengetahui, jika selama ini ibu dan ayah tak pernah bercerai. Pantas saja ibu tak mau menikah lagi. Bukan ku tak tahu, dari dulu banyak laki-laki yang mendekati ibu, tapi ibu seolah membentengi diri. Merekapun mundur teratur ketika ibu tak juga membuka diri untuk mereka. 

 

"Naaak, kenapa makanmu sedikit sekali, diet?" tanya ayah melihat isi piringku yang tak seberapa tapi tak habis-habis.

 

 

"Widuri kenyang lihat ayah makan," jawabku sekenanya. 

 

Ayah tergelak hingga tersedak, ibu langsung mengambilkan air putih dan menepuk-nepuk punggung ayah. 

 

"Makanya kalau lagi makan jangan sambil ngobrol, telan dulu," kata ibu masih sambil menepuk punggung ayah. 

 

Interaksi ayah dan ibu tak luput dari pandanganku. Ibu benar-benar bahagia, ternyata hanya ayah yang bisa membuat binar mata ibu kembali terlihat. 

 

Andai Toya adikku ada disini lengkaplah sudah kebahagian kami. Aku tak tahu apa yang ada di depan nanti, kunikmati saja apa yang terjadi hari ini. 

 

Setelah selasai makan, ayah duduk di depan TV. Ku cuci piring bekas makan kami. Selesai berberes di dapur, kupotong buah apel untuk dibawa ke ruang keluarga. Ayah dan ibu duduk berdampingan, tak ada kecanggungan diantara mereka. Mereka seperti muda-mudi yang sedang kasmaran nempel terus kaya perangko. Saat aku datang ibu terlihat sedikit bergeser memberi jarak. Namun ternyata ayah tak rela, ditariknya kembali ibu mendekat. Aku hanya tersenyum sinis melihatnya. Benar-benar tah tahu malu Ayahku ini.

 

Kami kembali ngobrol sambil menikmati buah apel yang telah kupotong-potong. Basa-basi kutanyakan kabar keluarga ayah di Jakarta. Sampai akhirnya kutanyakan hal yang selama ini menjadi ganjalan di hatiku. Aku ingin kali ini semua terang benderang, sehingga tidak lagi ada prasangka. 

 

"Mengapa dulu ayah menikah lagi dengan Tante Vina?" 

 

Ayah memang memiliki dua istri, Ibuku istri pertama, dan Tante Vina istri keduanya. Meskipun sama-sama menantu tapi beda nasib. Jika Ibu jadi menantu yang teraniaya, maka Tante Vina adalah menantu kesayangan. Ayah dengan Tante Vina dikaruniai dua orang anak, Elvira dan Aldo. 

 

Mendengar pertanyaanku ibu hanya terdiam, sementara ayah tampak beberapa kali menarik napas panjang. 

 

"Supaya ayah boleh menikah dengan ibumu, maka ayah harus bersedia menikah dengan Tante Vina." akhirnya ayah membuka suaranya. 

 

"Ayah pikir saat itu yang penting ayah dan ibu bersatu, toh cinta ayah hanya untuk ibumu. Tapi ternyata itu tak cukup, ayah hanya menabur luka di hati ibumu. Kalau akan seperti ini jadinya, ayah lebih baik kawin lari saja saat itu." 

 

"Kenapa tidak? Kenapa tidak kawin lari saja?" ayah terdiam. 

 

"Ibu yang tidak mau." ibu yang menjawab pertanyaanku. "Ibu tidak mau ayahmu menjadi anak durhaka." sambung ibu. 

 

"Dua puluh tahun lebih, kenapa ayah baru datang?" 

 

"Ayah benar-benar tidak tahu kalian di mana."

 

"Kok sekarang bisa ketemu?" entah mengapa rasa penasaranku terus bersambung tak ada habisnya. 

 

"Yangtimu yang memberi tahu." 

 

"Yangti tahu kami menetap di Kudus?" ayah mengangguk menjawab pertanyaanku. 

 

"Yangti akan memberi tahu keberadaan kalian, jika Ayah bersedia membawa kalian kembali." 

 

"Yangti minta kami kembali?? Ada apa?" 

 

"Toya sekarang menjadi cucu laki-laki satu-satunya menyandang nama Sudarmo." Apel yang sekiranya meluncur ke mulutku, urung kumakan, terlalu terkejut mendengar penjelas ayah. 

 

Yangti memiliki tiga anak, Ayahku dan dua adiknya, Tante Cyntia dan Tante Celia. Tante Cyntia memiliki seorang anak perempuan bernama Selina, sementara Tante Celia memiliki seorang dua anak, Refan dan Yasmin. Meskipun Tante Celia memiliki anak laki-laki tapi Refan menyandang nama Prasetyo ikut nama ayahnya. Bagi keluarga Yangti yang memang masih ada keturunan Tionghoa, cucu laki-laki dalam memang sangat berarti. 

 

"Kemana Aldo?" 

 

"Aldo bukan anak kandung Ayah," jawab Ayah lirih. Kenapa keluarga ayah harus selalu sedrama ini. 

 

"Kenapa yangti yakin kalau Toya darah daging ayah?" tanyaku yang langsung mendapat tatapan terkejut dari ibuku

 

"Yangti sudah punya tes DNA Toya, 98,9% cocok." Orang kaya memang bisa berbuat seenaknya. 

 

"Ayah ingin membawa kalian ke Jakarta, bekumpul lagi hanya ada ibumu kali ini." Kata ayah sambil melirik ibu. 

 

"Aku tidak mau kembali ke rumah itu, aku juga nggak mau ibu kembali kesana" jawabku,aku benat-benar tidak ingin bertemu dengan Yangti dan keluarga ayah yang lain. 

 

"Yangti akan kembali memisahkan ayah dan ibu jika kalian tidak ikut ke Jakarta." 

 

Apa lagi ini??

Related chapters

  • Kucari Jodoh Yang Biasa Saja   Bab 2 - Ayah Bucin

    Apa yang layak untuk menggambarkan sosok Ibuku, Miranti Rahayu. Wanita yang tak hanya cantik wajah tapi juga cantik hatinya. Selama dua puluh tujuh tahun usiaku, tak sekalipun Ibu pernah berkata kasar, apa lagi berbuat kasar padaku. Pun dalam pergaulan dengan lingkungan sekitar, Ibu bukan tipe yang sukabergibah, membicarakan kejelekan orang lain. Sesekali ketika ada yang mengajaknya bergibah, beliau lebih sering diam, atau menghindar.Kemunculan Ayah di rumah kami pun tak luput dari gibah tetanggaku."Ibu nggak berniat menjelaskan pada mereka."Jujur aku mulai risih dengan pergunjingan tetangga. Ibuhanya tersenyum sambil terus mengaduk santan yang baru saja dimasukannya ke dalam wajan."Hadeeeh ditanya malah senyum doang, mentang-mentang lagi kasmaran.""Biarkan saja nanti juga diam sendiri, kamu kaya n

    Last Updated : 2022-01-29
  • Kucari Jodoh Yang Biasa Saja   Bab 3-Ibu Berhak Bahagia

    Teh di gelas Ayah masih setengah cangkir, sementara 3 biji lumpia di atas piring yang ku hidangkan sudah habis tak tersisa. Belum ada pembicaraan yang serius antara kami. Sesekali Ayah menanyakan nama tetangga yang melintas di depan rumah."Ayah mau lagi, lumpianya? Biar Widuri gorengin lagi," tawarku."Cukup lah Wid, nanti malah kekenyangan, sebentar lagi juga makan siang."Suasana sedikit canggung, mungkin karena aku merasa belum terbiasa dengan kehadiran Ayah di tengah-tengah kami. Kemungkinan Ayah pun sama."Eeemmm...sejak kapan Ayah tau keberadaan kami?" Untuk memecah kesunyian aku mencoba untuk mulai bicara sesuatu yang lebih pribadi."Sudah hampir satu bulanan," jawab Ayah sambil menyesap tehnya."Kok baru muncul sekarang.""Karena Ayah pengecut." Pandangan

    Last Updated : 2022-01-29
  • Kucari Jodoh Yang Biasa Saja   Bab 4- Dunia Milik Berdua

    Melihat Ayah dan Ibu kembali bersama benar-benar seperti mimpi. Aku bahkan sudah sempat menganggap Ayahku sudah meninggal. Rasa kecewa dan sakit hati memaksaku untuk melupakan Ayah dan keluarga kayanya. Tapi Tuhan ternyata berkehendak lain, Ayah sekarang ada di tengah kami.Ayah dan Ibu bak dua sejoli yang baru jatuh cinta. dimana ada Ibu di situ ada Ayah. Terlebih Ayah yang kelihatan sekalibucintingkat akut.Seperti pagi tadi mereka berdua pergi ke pasar. Berhubung letaknya tidak jauh dari rumah Ayah mengajak Ibu untuk jalan kaki. Ayah bahkan tak sungkan membawakan tas belanjaan Ibu.Aku bahkan melihat bagaimana tatapan tetangga saat Ayah dan Ibu lewat depan rumah mereka. Jelas sekali kecanggungan di wajah Ibu, tapi tidak bagi Ayah, laki-laki pemilik wajah blasteran Indonesia Jerman itu bahkan tidak sungkan menggandeng tangan Ibu, sementara tangan satunya membawa tas belanjaan. Sesek

    Last Updated : 2022-01-30
  • Kucari Jodoh Yang Biasa Saja   Bab5-Yang Biasa Saja

    Kupuaskan dua hari ini libur di rumah dengan tidak kemana-mana, benar-benar di rumah saja, menikmati kebersamaan dengan Ayah dan Ibu. Banyak kegiatan yang kami lakukan, dari beberes rumah, mengurus bunga, atau mencoba menu baru.Di setiap kegiatan kami Ayah tanpa sungkan ikut membantu, meskipun ada beberapa bantuannya yang bukannya meringankan tapi malah mengacaukan kata ibu. Tak jarang Ibu ngomel-ngomel karena Ayah hanya menambah pekerjaan saja."Udah lah, duduk saja kamu, Mas! Nggak selesai-selesai kalau begini caranya," protes Ibu saat melihat Ayah salah menyiram bunga anggrek koleksinya."Aduh maaf. Emang anggrek nggak boleh disiram apa gimana? Mas nggak tahu." Ayah mencoba membela diri."Bukannya nggak boleh disiram, Yah. Tapi nggak boleh berlebihan airnya nanti bisa busuk." Aku mencoba menerangkan pada Ayah."Astaghfirullah, maaf ya, yang! Nanti deh Mas belikan bunga anggrek. Mau yang macam apa, tinggal pilih aja.""Bukan m

    Last Updated : 2022-02-01
  • Kucari Jodoh Yang Biasa Saja   Bab 6- Mencoba Berdamai

    Jadwal keberangkatan kereta Ayah dan Ibu ke Jakarta pukul sepuluh malam ini. Setengah jam sebelum waktu keberangkatan kami telah sampai di Stasiun Tawang. Dari pada terburu-buru kata Ibu, jadi lebih baik berangkat lebih awal.Meskipun malam namun suasana stasiun cukup ramai. Beberapa calon penumpang juga tampak diantar oleh keluarganya. Para pedagang juga masih menjajakan dagangannya."Nggak ada yang kelupaan kan, Yang? Tiket sudah di cek?" tanya Ayah pada Ibu."Sudah tak masukan tas kok, ini..." jawab ibu sambil menunjukan dua lembar tiket kereta yang diambilnya dari dalam tas."Jangan kebanyakan makan mie instan!" Celetuk Ayah tiba-tiba pindah haluan topik."Apa sih, Yah?" tanyaku pura-pura tidak tahu."Ayah tadi lihat, lengkap bener koleksi mie instanmu. Koleksi itu perhiasan kek, ini koleksi kok mie instan," ejeknya sambil terkekeh."Susah dibilangi anakmu ini kok." Ibu turut memojokanku. Aku sendiri cuek bebek, lah gi

    Last Updated : 2022-02-28
  • Kucari Jodoh Yang Biasa Saja   Bab 7-Beby Siter Dadakan

    I luv u ols😍😍😍 Selamat membaca yaaaa...semoga kelen suka🥰🥰 ***** Akhir pekan tiba, tepat sesuai dugaanku, aku tidak jadi pergi mengunjungi Ayah dan Ibu di Jakarta. Kebiasaan mudik ke Kudus di akhir pekan pun kali ini tidak kulakukan. Mau mudik juga nggak ada ibu, pikirku. Akhirnya ku habiskan akhir pekanku di kos saja, beberes dan membaca novel. Menjelang sore, Mba Mira menghubungiku, dia mengajakku untuk menemaninya pergi ke suatu acara pada Minggu pagi, besok. Aku sudah mencium aroma-aroma tidak enak, palingan diajak juga untuk membantunya menjaga si kembar, anak mereka yang memang super aktif, intinya aku jadi babysister. Tapi dari pada bosen di kost sendirian, aku pun menerima ajakan Mbak Mira. Tidak masalah menjaga duo krucil gemoy. Toh mereka berdua selalu bisa jadi sekutuku. Keesokan harinya sekitar pukul sembilan, Mba Mira dan Mas Radit datang menjemputku. Aku yang telah siap bergegas keluar saa

    Last Updated : 2022-02-28
  • Kucari Jodoh Yang Biasa Saja   Bab 8 - Dia Yangti

    Hai Bestie, up lagi yaa, semoga kalian suka🥰🥰*****Setelah melayangkan banyak protes pada pasutri resek, yang masih saja cengangas-cengenges menanggapi kekesalanku, aku memutuskan langsung pulang ke kosan. Kekesalanku sedikit berkurang karena Mas Radit berbaik hati mengantarku dulu ke kost sebelum mereka pulang ke rumah."Ate Ui pulang dulu ya, Bos," pamitku pada Zaiden sebelum turun."Ate besok main lagi ya!" pinta si Bos kecil."Siap Bos," kataku sambil hormat."Tuan Putri nanti video call Ate Ui ya! Nanti ate kasih tau make up apa saja yang dibutuhkan seorang putri." Genderang perang siap ditabuh, Syanum kujadikan media untuk membalas keisengan pasutri kurang gawean yang sedang duduk di kursi depan."Wid awas ya, jangan coba-coba merusak kepolosan anakku, dengan hobi nggak jelasmu!" Tak perlu waktu lama Mba Mira langsung bereaksi."Wanita itu harus memiliki wawasan lua

    Last Updated : 2022-02-28
  • Kucari Jodoh Yang Biasa Saja   Bab 9-Menginap

    Yuuhuuu guys jangan lupa follow dan komentnya yaa, biar tambah semangat akunya😘😘😘****Tiga hari sudah tidak ada lagi kiriman sarapan untukku. Mas Dika benar-benar menepati janjinya untuk berhenti memperjuangkan cintanya. Selama tiga hari ini Mas Dika juga seperti menghindariku, tak sekalipun kami bertemu lagi setelah obrolan empat mata kami.Ada sedikit rasa kehilangan, ketika ada rutinitas yang tiba-tiba berhenti. Biasanya setiap pagi Mas Dika akan menyempatkan mampir ke ruanganku, selain memberikan sarapan pagi, juga untuk melayangkan gombalan-gombalan garingnya padaku.Yang kuinginkan bukanlah seperti ini. Aku ingin tetap menjalin perteman dengan Mas Dika. Mengesampingkan kisah yang memang sebenarnya belum dimulai, namun tapaknya Mas Dika tidak sependapat denganku. Karena jelas sekali dia benar-benar menghindariku."Melamun aja kamu, Wid." Mba Mira tiba-tiba d

    Last Updated : 2022-03-04

Latest chapter

  • Kucari Jodoh Yang Biasa Saja   Bab 13-Pagi yang Heboh

    Suasana pagi di rumah Mba Mira cukup membuat rooming di telinga. Mba Mira yang biasanya memang sudah cerewet, saat pagi hari kadar cerewetnya meningkat berkali-kali lipat. Seolah-oleh kalau berhenti bicara, maka berhenti pula bumi berputar. Ditambah dengan kelakuan si kembar yang tak mau diam, seolah memang sengaja untuk memancing emosi ibunya. Hanya Mas Radit yang tidak terpengaruh oleh kehebohan anak istrinya."Zaidan, letakkan mainannya!" teriak Mbak Mira yang kesekian kalinya."Zaidan, denger Bunda ngga? Letakan mainannya! Mandi dulu!" Mba Mira kembali mengulang titahnya dengan lebih keras."Iya iyaa, Idan mau mandi sama Ate Ui aja," jawab Si Bos kecil sambil mendekat ke arahku."Ate Ui sudah pakai baju kerja nanti basah, mandi sama Bunda saja!" Sang ibu menolak ide sang anak."Nggak mau!" tolak Zaidan dengan cepat."Yah, bantuin to ah! Kebiasaan nggak peka banget lihat istri repot." Kali ini Mba Mira mulai melebarkan g

  • Kucari Jodoh Yang Biasa Saja   Bab 12- Guling Hidup

    Mba Mira kubuat terbengong-bengong dengan pernyataanku yang tak ingin menikah. Sementara Aku masih menyelimuti seluruh tubuhku, tak berniat membukanya, lebih ketakut melihat tampang Mba Mira saat ini. Setelah saling terdiam beberapa saat, tiba-tiba selimut yang kupakai ditarik paksa oleh Mba Mira."Bocah edan! Maksudmu opo dengan tidak usah menikah?" tanya Mba Mira sambil melotot."Ya ora opo-opo, Mbak. Aku merasa nyaman sendiri begini," jawabku sambil kembali memakai selimut yang tadi ditarik Mba Mira."Kamu jangan egois to, Wid. Bagaimana perasaan ibumu kalau kamu tidak menikah? Ibumu kan sudah lama kepengin nimang cucu, Wid," cicit Mbak Mira sedikit menekan suaranya takut membangunkan seisi rumah.Kutarik napasku, lalu kuhembuskan dengan kasar. Ibuku? Mana mungkin aku melupakan perasaan Ibuku. Bagiku hal terpenting di dunia ini adalah Ibuku. Aku akan rela melakukan apapun asalkan beliau bahagia."Naah kan, nggak bisa jawab kan

  • Kucari Jodoh Yang Biasa Saja   Bab 11-Pillow Talk

    Hai kamu iya kamu selamat malam. Pak sendok up nieh. Semoga klen suka yaaa. Btw, ada yang nungguin pak sendok nggak nih? kalu sudah baca boleh loh tinggalin jejak, jangan lupa ulasannya yaa bintang lima dooong. i lup u ols🥰🥰*****Malam semakin larut, anak-anak Mba Mira sudah terlelap, setelah kubacakan mereka dongeng. Mba Mira sendiri biasanya akan tidur dengan Mas Radit dulu, namun akan bergabung denganku saat Mas Radit telah tidur. Pernah aku keberatan, nggak enak rasanya kalau kehadiranku mengganggu kebersamaan mereka, namun Mba Mira tidak peduli, dengan alasan sudah minta ijin Mas Radit, dan Mas Radit juga tidak keberatan.Pukul 21.15 kuputuskan untuk mengirim pesan pada ibuku, mengecek sudah tidur atau belum. Saat pesan yang kukirim langsung centang biru, segera saja ku-video call nomor Ibu."Assalamualaikum bu," sapaku ketika wajah Ibu telah mun

  • Kucari Jodoh Yang Biasa Saja   Bab 10-Sendok dan Garpu

    Hai Bestie bab 10 up yaa. Semoga kaian suka deh, pokoknya masih ada si bucin Satria sama si eneng cantik Widuri.*****Ketika waktu maghrib tiba, sudah menjadi kebiasaan di keluarga Mba Mira, untuk laki-laki biasanya salat di masjid, sementara yang perempuan akan salat berjamaah di musala rumah. Hari ini Mas Radit ke masjid bersama bos dan temannya yang baru kutahu bernama Bayu. Sementara kaum hawa yang telah selesai berjamaah, mulai berkutat dengan persiapan makan malam."Sambelnya mana, Lik Sur?" tanya Mba Rima setelah tak melihat sambel ikut tersaji di meja makan."Tadi kan Mba Widuri yang ngulek to, Mba. Di taruh mana aku kok nggak lihat, yo?" tanya Lik Sur padaku.Aku langsung teringat sambal yang tadi kutaruh di dekat rice cooker. "Owalah iya, tadi tak taruh di dekat rice cooker, malah lupa, tak ambil dulu ya." Aku segera melesat kembali ke dapur mengambil sambel.Saat kembali ke ruang makan, para pria telah duduk m

  • Kucari Jodoh Yang Biasa Saja   Bab 9-Menginap

    Yuuhuuu guys jangan lupa follow dan komentnya yaa, biar tambah semangat akunya😘😘😘****Tiga hari sudah tidak ada lagi kiriman sarapan untukku. Mas Dika benar-benar menepati janjinya untuk berhenti memperjuangkan cintanya. Selama tiga hari ini Mas Dika juga seperti menghindariku, tak sekalipun kami bertemu lagi setelah obrolan empat mata kami.Ada sedikit rasa kehilangan, ketika ada rutinitas yang tiba-tiba berhenti. Biasanya setiap pagi Mas Dika akan menyempatkan mampir ke ruanganku, selain memberikan sarapan pagi, juga untuk melayangkan gombalan-gombalan garingnya padaku.Yang kuinginkan bukanlah seperti ini. Aku ingin tetap menjalin perteman dengan Mas Dika. Mengesampingkan kisah yang memang sebenarnya belum dimulai, namun tapaknya Mas Dika tidak sependapat denganku. Karena jelas sekali dia benar-benar menghindariku."Melamun aja kamu, Wid." Mba Mira tiba-tiba d

  • Kucari Jodoh Yang Biasa Saja   Bab 8 - Dia Yangti

    Hai Bestie, up lagi yaa, semoga kalian suka🥰🥰*****Setelah melayangkan banyak protes pada pasutri resek, yang masih saja cengangas-cengenges menanggapi kekesalanku, aku memutuskan langsung pulang ke kosan. Kekesalanku sedikit berkurang karena Mas Radit berbaik hati mengantarku dulu ke kost sebelum mereka pulang ke rumah."Ate Ui pulang dulu ya, Bos," pamitku pada Zaiden sebelum turun."Ate besok main lagi ya!" pinta si Bos kecil."Siap Bos," kataku sambil hormat."Tuan Putri nanti video call Ate Ui ya! Nanti ate kasih tau make up apa saja yang dibutuhkan seorang putri." Genderang perang siap ditabuh, Syanum kujadikan media untuk membalas keisengan pasutri kurang gawean yang sedang duduk di kursi depan."Wid awas ya, jangan coba-coba merusak kepolosan anakku, dengan hobi nggak jelasmu!" Tak perlu waktu lama Mba Mira langsung bereaksi."Wanita itu harus memiliki wawasan lua

  • Kucari Jodoh Yang Biasa Saja   Bab 7-Beby Siter Dadakan

    I luv u ols😍😍😍 Selamat membaca yaaaa...semoga kelen suka🥰🥰 ***** Akhir pekan tiba, tepat sesuai dugaanku, aku tidak jadi pergi mengunjungi Ayah dan Ibu di Jakarta. Kebiasaan mudik ke Kudus di akhir pekan pun kali ini tidak kulakukan. Mau mudik juga nggak ada ibu, pikirku. Akhirnya ku habiskan akhir pekanku di kos saja, beberes dan membaca novel. Menjelang sore, Mba Mira menghubungiku, dia mengajakku untuk menemaninya pergi ke suatu acara pada Minggu pagi, besok. Aku sudah mencium aroma-aroma tidak enak, palingan diajak juga untuk membantunya menjaga si kembar, anak mereka yang memang super aktif, intinya aku jadi babysister. Tapi dari pada bosen di kost sendirian, aku pun menerima ajakan Mbak Mira. Tidak masalah menjaga duo krucil gemoy. Toh mereka berdua selalu bisa jadi sekutuku. Keesokan harinya sekitar pukul sembilan, Mba Mira dan Mas Radit datang menjemputku. Aku yang telah siap bergegas keluar saa

  • Kucari Jodoh Yang Biasa Saja   Bab 6- Mencoba Berdamai

    Jadwal keberangkatan kereta Ayah dan Ibu ke Jakarta pukul sepuluh malam ini. Setengah jam sebelum waktu keberangkatan kami telah sampai di Stasiun Tawang. Dari pada terburu-buru kata Ibu, jadi lebih baik berangkat lebih awal.Meskipun malam namun suasana stasiun cukup ramai. Beberapa calon penumpang juga tampak diantar oleh keluarganya. Para pedagang juga masih menjajakan dagangannya."Nggak ada yang kelupaan kan, Yang? Tiket sudah di cek?" tanya Ayah pada Ibu."Sudah tak masukan tas kok, ini..." jawab ibu sambil menunjukan dua lembar tiket kereta yang diambilnya dari dalam tas."Jangan kebanyakan makan mie instan!" Celetuk Ayah tiba-tiba pindah haluan topik."Apa sih, Yah?" tanyaku pura-pura tidak tahu."Ayah tadi lihat, lengkap bener koleksi mie instanmu. Koleksi itu perhiasan kek, ini koleksi kok mie instan," ejeknya sambil terkekeh."Susah dibilangi anakmu ini kok." Ibu turut memojokanku. Aku sendiri cuek bebek, lah gi

  • Kucari Jodoh Yang Biasa Saja   Bab5-Yang Biasa Saja

    Kupuaskan dua hari ini libur di rumah dengan tidak kemana-mana, benar-benar di rumah saja, menikmati kebersamaan dengan Ayah dan Ibu. Banyak kegiatan yang kami lakukan, dari beberes rumah, mengurus bunga, atau mencoba menu baru.Di setiap kegiatan kami Ayah tanpa sungkan ikut membantu, meskipun ada beberapa bantuannya yang bukannya meringankan tapi malah mengacaukan kata ibu. Tak jarang Ibu ngomel-ngomel karena Ayah hanya menambah pekerjaan saja."Udah lah, duduk saja kamu, Mas! Nggak selesai-selesai kalau begini caranya," protes Ibu saat melihat Ayah salah menyiram bunga anggrek koleksinya."Aduh maaf. Emang anggrek nggak boleh disiram apa gimana? Mas nggak tahu." Ayah mencoba membela diri."Bukannya nggak boleh disiram, Yah. Tapi nggak boleh berlebihan airnya nanti bisa busuk." Aku mencoba menerangkan pada Ayah."Astaghfirullah, maaf ya, yang! Nanti deh Mas belikan bunga anggrek. Mau yang macam apa, tinggal pilih aja.""Bukan m

DMCA.com Protection Status