Aku terdiam sejenak mengurai amarah yang hendak meledak."Tak usah ikut campur antara urusanku dan Mas Ferdi, urus saja klub malammu itu, agar polisi tak menggerebek tempat itu." Aku tersenyum sinis.Lalu berdiam menghampiri Hana yang baru datang dari kantin rumah sakit ini."Aku pulang sekarang, Han. Semoga ibu cepat pulih ya, kalau ada apa-apa kamu kabari aku.""Ok, terima kasih ya sudah datang, dan hati-hati."lalu keesokan harinya tepat pukul sebelas siang aku kembali menerima telpon dari Hana."Mbak, ibu meninggal."Jantungku seolah berhenti berdetak beberapa detik, rasanya baru kemarin kami bertemu dan bertukar cerita, oh ibu kenapa secepat ini."Mbak, datang ke sini ya bantu aku urus-urus pemakan ibu," ujar Hana sambil menangis."Iya baiklah, sekarang Mbak langsung ke rumah ya, jenazahnya sudah siap dipulangkan?" "Iya sebentar lagi, aku baru selesai urus administrasi, dan tolong hubungi temannya Mas Ferdi ya, Mbak, aku ga tahu dia di mana karena nomernya tidak aktif," jawabnya
(POV FERDI)Seperti orang gila aku berlarian di koridor rumah sakit menuju ruang ICU, karena jarak rumah sakit lebih dekat maka aku putuskan untuk ke tempat ini dahulu sebelum pulang ke rumah ibu, dengan harap aku akan memangku tubuhnya menuju ambulans.Yuli kurang aj*r sekali tak memberitahuku di mana ibu sekarang, tenggorokanku terasa kering saat petugas administrasi mengatakan jika ibu sudah pulang ke rumah.Saat itu juga aku tancap gas menuju rumah ibu, tak terasa air mataku menitik dengan sendirinya, teringat kenangan-kenangan manis bersama ibu di masa kecil.Aku menekan klakson dengan keras saat mobil di depan sana tak juga melaju, rasanya ingin berteriak sekencang mungkin agar mereka tahu apa yang menimpaku.Jemariku merogoh saku celana kiri dan kanan, ah aku lupa, jika sejak semalam ponselku sedang diisi daya dan belum sempat mencabutnya.Aku mengacak rambut lalu mengusap wajah sambil menangis bagaikan anak kecil, hampir saja aku menyerempet pedagang kaki lima karena kedua tan
Sejahat apapun manusia tetap akan merasa hancur dikala melihat ibunya tak bernyawa, sekarang saja ibunya masih ada, Susan masih bisa berkata begitu.Setiap hari Yuli, ibunya dan ketiga putriku datang menemui Hana, memberikan banyak makanan dan uang untuk disedekahkan atas nama ibu Tetapi tak pernah satu kata pun terucap dari mulutku untuk menyapa mereka, alhasil ketiga putriku pun menjadi acuh kepadaku."Berhenti caper dan sadar dirilah, Mbak.""Hei, apa Mbak budek? Ini rumah mertuaku dan aku menantunya lalu Mbak Siapa Hem?"Saat akan ke kamar mandi kudengar Susan bicara di dapur, sudah pasti dengan Yuli."Aku anaknya Ibu, sejak dulu dia tak pernah menganggapku menantu, dia selalu menganggap aku seperti putri kandungnya sendiri, apa kamu paham?" balas Yuli.Setelah itu Susan tak lagi bicara dan saat akan melangkah ternyata kami berpapasan di lorong yang menghubungkan ruang tengah dan kamar mandi, jelas sekali wajahnya terlihat emosi.Yuli memang selalu memiliki jawaban telak saat a
"Hahahaha.""Sejak dulu kamu selalu memiliki rencana yang tak terduga, Yul," ucap David"Kamu juga, ga sia-sia kuliah tinggi-tinggi, bisa jadi pengacara hebat dan membela semua kalangan," balasku lalu tergelak."Kalangan yang benar dan salah, hahahaha," timpal Budi.Lalu kami tergelak bersama, tiba-tiba saja ada yang menarik kasar sebelah pundakku dari belakang."Jelaskan sama aku, Yul!" tegas Mas Ferdi.Aku langsung memalingkan wajah dengan sinis, tanganku sedikit bergetar, tapi aku harus memperlihatkan raut wajah setenang mungkin."Apa yang harus kujelaskan hem?" tanyaku dengan tatapan menantang."Budi, ada hubungan apa diantara kalian? Dan apa yang kalian tertawakan?"Aku melirik ke sekeliling, saat ini kami menjadi pusat perhatian pengunjung lain akibat keributan yang diciptakan Mas Ferdi."Tidak ada hubungan apa-apa, kita saling kenal cukup lama, memangnya kamu ada masalah apa sih?" Mas Ferdi menyeringai sinis, mungkin sudah muak dengan sandiwara yang kulakukan, tapi bukankah a
"Mbak, apakah benar restoran itu kini menjadi milik Desti?" tanya Hana.Seperti biasa aku selalu datang ke rumah ibu membawa banyak makanan, kini Hana tinggal sendiri di sini karena anaknya tinggal dengan mantan mertuanya."Iya, Han, Mas Ferdi cerita ya?" "Iya dia menceritakan semuanya, kok bisa ya Mbak gerak cepat gitu, laki selingkuh masih aja bisa berpikir panjang, kalau aku mungkin udah ...." Ia tak lagi melanjutkan perkataannya.."Sudah apa, Han?""Tahulah, Mbak, pokoknya pasti sakit 'kan?""Sakit tapi tak berdarah, Han." Kami pun tergelak bersama."Mbak, bolehkah aku kerja di restomu, tempat kerjaku sekarang jaraknya jauh, kalau ke resto Mbak 'kan deket jadi bisa ketemu anakku kalau pulang kerja," pintanya dengan wajah memelas.Aku menatap wajahnya mencari keseriusan di sana."Baiklah, datang saja besok pagi ke restoran ya, masuk ke ruang staf dan temui Caca, dia yang akan memberi arahan pekerjaan apa yang harus kamu lakukan."Mata Hana mendadak berbinar, ia merangkul kedua pu
"Apa? Kebakaran, Pak?"Napasku tak beraturan dengan tatapan menerawang, jiwaku seakan mengawang ke udara bersama embusan angin."Sebaiknya Ibu ikut kami ke lokasi sekarang ya."Aku masih diam terpaku dengan tatapan kosong dan punggung bersandar ke kusen pintu, memegangi dada dengan sebelah tangan karena merasa sesak."Ya Allah, ya Allah, ya Allah ....""Tenang ya, Bu, ya. Sabar, tim pemadam kebakaran sedang di perjalanan saat ini."Mataku membulat, membayangkan api sudah membumbung tinggi di tempatku mencari sesuap nasi itu."Kenapa baru datang? Bukannya dari tadi!" Sedikit membentak aku bicara pada pria berseragam coklat itu "Sebaiknya Ibu bersiap ikut kami ya."Aku masuk ke dalam rumah dengan sempoyongan, masuk ke kamar Desti yang terlihat gelap dan membangunkannya."Kak.""Kak.""Hem." Anak sulungku itu menggeliat."Bangun, Sayang.""Ada apa, Ma?" Akhirnya mata anakku itu terbuka."Resto kebakaran, Sayang. Mama mau ke sana sekarang, pindah bobonya ke kamar Mama ya kasian Dara send
CCTV yang terpasang d restoran mendadak mati sebelum kebakaran itu terjadi, tetapi dari CCTV gedung sebelah yang merupakan toko kue cukup terkenal di kota ini menunjukkan ada seseorang yang berbaju serba hitam keluar dari restoranku sebelum kobaran api terlihat."Sudah jelas kebakaran ini akibat ulah seseorang, Pak," ucap Andre.Mengetahui ada masalah dalam bisnis kami, ia yang sedang berada di Bogor mendadak pulang menemuiku."Kami akan terus menyelidiki kasus ini, Pak, jika ada perkembangan saya akan hubungi Bu Yuli."Aku membuang pandangan, merasa muak karena selalu tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan dari aparat kepolisian.Kami berjalan bersisian dalam keheningan menuju parkiran, hatiku benar-benar kacau saat ini, komentar Susan kerap melintas memenuhi isi kepala.Benarkah ini karma untukku? Karena aku sudah membuat suamiku sendiri sakit?Lalu bagaimana dirinya yang sudah membawa perempuan lain ke rumah kami hingga rumah tangga ini hancur dibuatnya."Tenanglah, Yul, kita ak
Aku tertegun melihat Hana ada di rumah ini, entah kapan ia datang, dari penampilannya yang sedikit berantakan sepertinya ia baru selesai memasak."Iya, sejak kapan kamu datang, Han?" tanyaku."Belum sampai satu jam lah, kebetulan di rumah ada Desti. Dita sama Dara kapan pulang?""Emmh entahlah, mungkin nanti."Aku masih ingin sendiri dan berpikir tenang di rumah, tak ingin mendengar keributan antara Dita dan Dara yang selalu bertengkar, maka dari itu mereka kutitipkan ke ibu, hanya Desti yang menemaniku di rumah."Aku sudah masak, Mbak mau makan sekarang?" tanya Hana yang membuntutiku di belakang hingga ia pun ikut masuk ke dalam kamarku."Masak apa?""Banyak, Mbak, ada sop sate sama udang crispi, rasanya sangat enak aku yak ....""Aku sudah makan di luar, Han, kamu ajak Desti saja ya," selaku memotong ucapannya.Aku melirik sekilas, wajah Hana nampak kecewa sambil manggut-manggut kecil."Baiklah, aku akan ajak Desti saja, Mbak bisa makan nanti malam.""Hemm," jawabku jutek.Entah ken
Setelah ditelusuri lebih dalam aku menemukan sebuah situs web khusus para pria hidung belang, di sana mereka bisa membahas para organ intim wanita yang pernah mereka cicipi berikut dengan Poto b*gilnya.Yang membuat otakku panas ialah poto Desti juga ada di sana, beberapa pria berkomentar tentang bentuk tubuh anakku, bahkan diantara mereka dengan terang-terangan mengincar tubuh putriku itu."Bagaimana ini, Lira?"Gadis itu langsung meluncur ke restoran begitu mengetahui Poto sy*r Desti tersebar."Apa Poto itu diambil ketika Desti diculik kemarin ya?" tanya Lira."Aku tak mau tahu Poto itu diambil kapan, yang kumau poto-poto anakku terhapus, apa kamu bisa membantuku?"Digulung emosi aku sampai membentak adik sendiri, beruntung Lira tak membalas gertakanku, ia hanya melirikku sekilas lalu kembali fokus pada laptopnya.Sebagai seorang ibu tentu hatiku sakit melihat poto-poto Desti tersebar luas apalagi dengan busana tidak pantas, selama ini aku selalu menjaganya, memastikan jika ia baik-
Aku pun meninggalkannya di luar rumah karena masih banyak yang harus kupersiapkan di dalam.Benar saja rambut Dara belum disisir, sedangkan Dita teriak-teriak mencari seragamnya, dan Desti gadis itu sedang makan sambil melamun, insiden penculikan itu benar-benar telah merenggut keceriaannya."Dara, cepat sisir rambutmu ya, Kak Haikal sudah datang itu.""Ya, Ma, bentar ini balesin chat Amina dulu." Aku geleng-geleng kepala, seperti biasa ponsel telah menyibukkan anak-anakku."Dita! Coba cari seragam olahraganya di keranjang, siapa tahu belum di setrika sama Mbak Ani!" teriakku dengan suara memekik."Duuh Mbak Ani gimana sih, kok seragam aku belum disetrika, mau dipake sekarang, Ma, gimana dong?!" teriak Dita yang menyalahkan asisten rumah tangga kami.Aku terpaksa naik ke lantai atas padahal ingin sekali bicara dengan Desti."Sini Mama setrikain, kamu cepetan keringin dulu itu rambutnya." "Gitu dong dari tadi."Aku berdecak kesal, setiap pagi pasti ada saja yang diributkan, kukira se
"Aku sudah bicara dengan Haikal, dia bersedia jadi supir anak-anakmu, Yul," ujar AndreSedikit tak percaya dengan apa yang diucapkannya, karena kulihat Haikal adalah lelaki gagah dan masih muda, bahkan terakhir kudengar ia memiliki pekerjaan."Masa sih dia mau, Dre, bukankah dia memiliki pekerjaan?" tanyaku."Ya dia mau, karena dia tak hanya mendapatkan gaji darimu tapi dariku juga, lalu dia bisa melanjutkan kuliahnya yang sempat tertunda sambil bekerja," jawab Andre."Memangnya anak itu putus kuliah?""Ya, semenjak keadaan ekonomi kakakku melemah, Haikal memilih berhenti kuliah dan membantu orang tuanya mencari nafkah.""Oh begitu, tapi kamu tak perlu ikut-ikutan menggajinya, Dre, aku sanggup kok memberikan gaji yang besar untuknya."Aku merasa tak enak saja pada Andre, sudah mobil ia yang carikan bahkan ia ikut andil dalam pembelian mobil ini, Andre terlalu banyak membantu kehidupanku, sementara aku tidak bisa melakukan apa-apa untuknya."Ga apa-apa, Yul, itung-itung aku bantu dia s
(POV Susan)"Ya makanya dicoba dulu, dan ingat jika dia ke sini kamu harus memelas dan memohon, juga jangan coba-coba memancing amarahnya."Ia berdecak sambil memalingkan wajah, aku tahu ia paling anti kalah dengan mantan istrinya itu, tapi bagaimana lagi saat ini posisi kami memang lemah, tak memiliki jabatan dan juga uang, sementara Mbak Yuli memiliki segalanya, dengan uangnya itu ia bisa membeli nyawa dan hidup seseorang."Aku pulang dulu, Mas, semoga saja Mbak Yuli mau membebaskanmu."Tak ada kata yang terucap darinya sebelum kepergianku.Di depan rumah bercat abu tua ini aku berdiri, rumah minimalis dua lantai itu sudah banyak mengalami perubahan, Mbak Yuli sudah banyak merenovasi bagian-bagian tertentu hingga terlihat nyaman.Mengesampingkan rasa malu aku mengetuk pintu, semoga saja wanita itu masih ada di rumahnya pagi ini.Pintu rumah terbuka nampaklah Mbak Yuli dengan setelan kerjanya, mata kami sempat bersitatap dalam diam beberapa detik."Susan?"Aku mengukir senyum tipis d
(POV SUSAN)"Apa, Dokter? Perempuan lagi?" Dokter Lia itu tersenyum sambil menganggukkan kepala."Iya, Bu, semuanya normal ya, Ibu harus banyak gerak biar persalinannya lancar nanti."Aku tak percaya setelah beberapa kali melakukan USG ternyata benar bayi yang kukandung berjenis kelamin perempuan lagi.Entah bagaimana reaksi Mas Ferdi nanti jika tahu anak yang ia harapkan laki-laki ternyata lahir perempuan lagi."Mau laki-laki atau perempuan yang penting sehat dan selamat, Bu," ujar Dokter Lia.Ia tak mengerti saja bagaimana keadaan rumah tanggaku, aku sangat takut Mas Ferdi tak tahan lalu pergi meninggalkan kami seperti dulu ia meninggalkan Mbak Yuli.Dulu saat si kembar masih kecil aku tak terlalu risau ditinggalkannya, karena aku merasa bisa mandiri, tetapi sekarang aku bergantung seratus persen padanya setelah mengandung anak ini dan tak lagi bekerja di club malam."Apa kamu bilang?! Perempuan lagi, bener ga itu hasilnya jangan-jangan salah lagi kayak yang udah-udah."Benar saja
(PoV Ferdi) Yuli sudah melapor maka lambat laun aku akan dipanggil polisi, sekarang keadaannya sudah berbeda, aku tak bisa menggunakan uang untuk membebaskan diri dari tuduhan seperti beberapa tahun silam.Aku mengacak rambut, kenapa hidup dengan Susan banyak sekali masalah, bahkan di usia pernikahan yang ketujuh masih juga belum mendapatkan kedamaian.*"Yang datang semalam siapa?" tanya Susan saat merapikan baju di kamar."Anak buah Vincen, mereka menghajarku semalam, mereka juga bilang kalau Vincen mecat aku."Susan menghentikan aktivitasnya, dengan mulut menganga ia menatapku."Kok menghajar kamu bukannya hutangmu sudah lunas? Terus sekarang kita gimana kalau kamu dipecat?"Susan memang mengetahui semua rencanaku pada Desti, dan dia mendukungnya, katanya yang penting hutang kami lunas dan beban kami hilang.Tak mudah untuk melakukan hal itu, aku harus melakukan penyelidikan terlebih dahulu agar mudah menyerahkan Desti pada Vincen."Yuli berhasil membawa kabur Desti sebelum anak i
(POV FERDI)Tengah malam pintu rumahku ada yang mengetuk beberapa kali, Susan terus saja menepuk pundakku menyuruh membuka pintu."Apaan sih ah, kamu aja sana yang buka!" Aku menepis kasar tangannya."Ya ampun, Mas! Aku tuh lagi hamil besar mau istirahat, aku capek ngurusin kedua anak kamu dari pagi, bisa ga sih ngertiin aku!" bentaknya.Sudah tujuh tahun kami membina rumah tangga ini, bukan semakin harmonis malah semakin sering cekcok setiap hari Setiap hari selalu saja ada hal yang membuat kami ribut, entah itu anak-anak, masalah keuangan dan yang lainnya.Sampai saat ini aku masih berharap anak yang ada di rahim Susan itu perempuan, aku melarang Susan bertanya soal jenis kelamin anak itu ketika di USG, aku takut saja jika bayi dalam perutnya itu perempuan lagi."Ya udah iya aku yang buka!" tegasku sambil menyibak selimut.Aku berjalan menghidupkan lampu menuju pintu, saat pintu terbuka nampaklah lima orang lelaki bertubuh tinggi besar, aku tahu dia anak buah Vincen.Vincen adalah
Pemuda bernama Haikal itu bersalaman denganku dan ibu, lalu kami masuk ke dalam.Setelah ganti baju aku menceritakan kejadian sebenarnya pada ibu, termasuk keterlibatan Mas Ferdi dengan penculikan Desti.Jelas saja ibu dan Lira murka mendengar lelaki itu dalang dari masalah ini."Dasar laki berotak batu," ujar Lira."Ini ga bisa dibiarkan, Yul, si Ferdi itu harus dipenjara," ujar ibu."Iya sebaiknya kamu segera melapor ke polisi, Yul," ujar Andre "Baiklah, aku ambil hape dulu ya."Menelpon seorang penyidik yang menangani kasus penculikan Desti, mereka menyuruhku datang ke kantor siang ini dengan Desti untuk memberi keterangan."Gimana? Udah di telpon?" tanya Andre."Sudah, aku sama Desti disuruh ke kantor nantisiang.""Baiklah, aku pulang dulu ya, nanti siang aku kemari lagi nemenin kalian.""Terima kasih ya." Lagi-lagi hanya sebuah senyuman yang kuberikan untuk membalas jasanya.Jika Andre bukan orang kaya sudah pasti aku memberikan sejumlah uang besar padanya, tetapi tentu saja And
"Bagaimana ini?" tanyaku dengan napas terengah-engah menatap Andre "Mana pistolmu, Yul?"Aku langsung memberikan benda itu padanya dan entah apa yang ingin ia lakukan, lalu kaca mobil di sampingnya terbuka setengah, seorang lelaki langsung menodongkan pedang ke leher Andre."Serahkan harta berharga kalian!" tegas laki-laki yang mengenakan penutup kepala tersebut.Perlahan Andre mulai menodongkan pistol ke orang tersebut, dapat kulihat mata lelaki itu membeliak."Jangan halangi jalanku kalau tidak kepalamu akan pecah saat ini juga," ancam Andre.Lalu di belakang mobilku terdengar seorang berteriak lantang."Mundur! Mereka membawa pistol!"Hingga akhirnya segerombolan orang itu kembali mundur dan masuk kembali ke semak-semak, aku bernapas lega ternyata tidak ada pertumpahan darah lagi.Orang-orang itu ketakutan melihat senjata api di tangan Andre dan sepupunya di mobil belakang, jika pun melawan mereka sudah pasti kalah.Mobil kembali melaju membelah jalanan malam tanpa arah tujuan."M