(POV FERDI)"Coba kamu pikir, Mas. Tiba-tiba aja tensi darahmu naik lalu terkena stroke, padahal sebelumnya kamu baik-baik aja 'kan?""Lalu sekarang, Mba Yuli ga bawa kamu terapi. Aku curiga jangan-jangan dia ga menginginkan kamu sembuh, karena dia juga yang buat kamu sakit."Celoteh Susan membuatku berpikir jika Yuli memang meracuniku dengan daging kambing, saat malam pertama aku membawa Susan ke rumah ini.Dua kali tak dibawa terapi olehnya membuat prasangka buruk ini menguat, terlebih ia sering memperhatikanku sambil menyeringai puas.Aku sudah kenal lama dengan Yuli, yang kutahu perempuan itu memang bermuka dua, selalu memperhatikan expresi lain dari isi hatinya.Masih kuingat saat lima tahun usia pernikahan kami, saat itu kucing tetangga kerap masuk dan mencuri ikan ataupun ayam di rumah kami.Yuli merasa jengkel dan terganggu dengan kucing itu, terlebih saat ia menemukan kucing tersebut makan ikan goreng jatah untuk Desti di kolong meja makan.Dengan lemah lembut ia membawa kuci
Di depan Yuli yang tersenyum puas Susan marah-marah, tak bisakah ia meredam amarahnya itu sebentar sebelum Yuli benar-benar pergi? Aku benar-benar malu."Hadeuuh! Ini belum dua puluh empat jam, jadi kemungkinan hapenya ga aktif karena alasan lain, misal hapenya kehabisan baterai, kamu terlalu berlebihan menanggapi sesuatu," ujarku sambil terus memandangi Yuli yang kini masuk ke dalam mobil hitam itu.Hatiku sedikit panas saat mendengar jika mobil hitam mengkilap itu miliknya, ia tak boleh selangkah di depanku, lagi pula dari mana ia memiliki uang sebanyak itu, apa jangan-jangan?"Tapi, Mas, setelah aku cari di mesin pencarian nomor identitas orang itu tidak ada, aku yakin dia pasti mau nipu kita, ini gara-gara kamu tahu ga." Pusing dengan omelan Susan aku beranjak masuk meninggalkannya tanpa banyak berkata.*Sudah lebih dari dua puluh empat jam tapi orang yang menyewa mobilku belum juga kembali, berkali-kali menghubunginya tapi tetap tak bisa."Nomornya masih tidak aktif, Mas, aku y
Langkah kakiku terhenti saat melihat seorang lelaki memandang rumah kami tanpa berkedip, dia Mas Ferdi."Ehhmm!"Lelaki itu terperanjat lalu berbalik badan hingga tubuh kami saling berhadapan, kutatap matanya tetapi ia seperti berusaha berpaling."Kenapa, Mas? Untuk apa kemari? Apa kamu menyesal?" tanyaku diiringi senyum tipis.Aku menghela napas sambil menukar posisi kantung belanjaan, dari tangan kanan ke tangan kiri."Menyesal?" Mas Ferdi menyeringai sinis."Ga usah mimpi, aku kemari tadi karena lihat Desti naik ojek online, dan ternyata kalian tinggal di rumah ini."Ia menunjuk rumah yang baru saja kubeli beberapa bulan lalu, rencananya rumah itu adalah kado untuk anniversary pernikahan kami yang ke empat belas.Sejak satu tahun lalu aku berencana untuk membeli rumah baru, setelah Mas Ferdi benar-benar sembuh kami semua akan menempati rumah ini, tetapi Tuhan berkehendak lain."Oh gitu, ya sudah aku mau masuk, anak-anak pasti sudah nunggu."Aku mengayunkan langkah kembali tak acuh
"Tentu saja aku tahu, karena waktu itu aku membantu Mama mencincang daging kambing buat makan Ayah sama Tante Susan," jawab Desti membuatku menganga tak percaya."Dan, jika saat itu aku sudah besar mungkin bukan hanya daging kambing yang kusajikan, tapi sekalian dengan racun tikus," lanjutnya lagi.Aku menutup mulut dengan sebelah tangan, Mas Ferdi benar, Desti memang sama sepertiku, memiliki kepribadian penuh misteri.Wajah Mas Ferdi terlihat merah menahan emosi."Kak, ga boleh gitu dong, gimana pun juga dia 'kan ayah Kakak." Aku menghampirinya lalu mengelus rambut hitamnya."Halah, banyak drama kamu, Yul. Mulai sekarang urus saja anakmu ini aku ga mau peduli lagi apapun tentang dia, aku hanya peduli pada Dita dan Dara!" bentak Mas Ferdi."Mas, Desti juga anakmu, dia kaya gini ya karena kamu juga, semua anak akan merasakan sakit hati kalau ibunya disakiti, apa kamu ga sadar?""Jika Dita dan Dara sudah dewasa dia juga pasti akan bersikap yang sama, sekarang aja mereka masih kecil."Ma
"Kamu mempermainkan aku, Yul!" tegasnya dengan rahang mengeras dan mata membeliak, tapi aku menghadapi lelaki itu dengan tenang dan senyuman.Aku tak suka marah-marah, aku lebih suka bersikap tenang tapi diam-diam menghanyutkan."Ini adil untuk kita, Mas. Kamu dapat yang kamu mau 'kan? Rumah, mobil, dan sejumlah uang yang ada dalam tabungan rahasiamu itu," ujarku Matanya mengerejap saat aku mengatakan uang tabungan rahasia, padahal aku sudah tahu semuanya sejak dulu, jika Mas Ferdi menyerahkan tabungan rahasia itu pada SusanAwalnya aku memang marah. Namun, melihat sikapnya yang sangat sayang padaku dan anak-anak, amarahku kembali reda, dan aku menganggap jika uang tersebut hanya sekedar uang perpisahan, atau untuk menebus rasa bersalah Mas Ferdi pada Susan."Restoran ini berkembang karena aku, Mas, karena aku pintar masak. Sudahlah ikhlaskan saja, sekarang tempat ini menjadi milik anak kita, aku hanya mengelolanya sebentar sampai ia dewasa."Ia melirikku lagi dengan tatapan tak teri
Aku terdiam sejenak mengurai amarah yang hendak meledak."Tak usah ikut campur antara urusanku dan Mas Ferdi, urus saja klub malammu itu, agar polisi tak menggerebek tempat itu." Aku tersenyum sinis.Lalu berdiam menghampiri Hana yang baru datang dari kantin rumah sakit ini."Aku pulang sekarang, Han. Semoga ibu cepat pulih ya, kalau ada apa-apa kamu kabari aku.""Ok, terima kasih ya sudah datang, dan hati-hati."lalu keesokan harinya tepat pukul sebelas siang aku kembali menerima telpon dari Hana."Mbak, ibu meninggal."Jantungku seolah berhenti berdetak beberapa detik, rasanya baru kemarin kami bertemu dan bertukar cerita, oh ibu kenapa secepat ini."Mbak, datang ke sini ya bantu aku urus-urus pemakan ibu," ujar Hana sambil menangis."Iya baiklah, sekarang Mbak langsung ke rumah ya, jenazahnya sudah siap dipulangkan?" "Iya sebentar lagi, aku baru selesai urus administrasi, dan tolong hubungi temannya Mas Ferdi ya, Mbak, aku ga tahu dia di mana karena nomernya tidak aktif," jawabnya
(POV FERDI)Seperti orang gila aku berlarian di koridor rumah sakit menuju ruang ICU, karena jarak rumah sakit lebih dekat maka aku putuskan untuk ke tempat ini dahulu sebelum pulang ke rumah ibu, dengan harap aku akan memangku tubuhnya menuju ambulans.Yuli kurang aj*r sekali tak memberitahuku di mana ibu sekarang, tenggorokanku terasa kering saat petugas administrasi mengatakan jika ibu sudah pulang ke rumah.Saat itu juga aku tancap gas menuju rumah ibu, tak terasa air mataku menitik dengan sendirinya, teringat kenangan-kenangan manis bersama ibu di masa kecil.Aku menekan klakson dengan keras saat mobil di depan sana tak juga melaju, rasanya ingin berteriak sekencang mungkin agar mereka tahu apa yang menimpaku.Jemariku merogoh saku celana kiri dan kanan, ah aku lupa, jika sejak semalam ponselku sedang diisi daya dan belum sempat mencabutnya.Aku mengacak rambut lalu mengusap wajah sambil menangis bagaikan anak kecil, hampir saja aku menyerempet pedagang kaki lima karena kedua tan
Sejahat apapun manusia tetap akan merasa hancur dikala melihat ibunya tak bernyawa, sekarang saja ibunya masih ada, Susan masih bisa berkata begitu.Setiap hari Yuli, ibunya dan ketiga putriku datang menemui Hana, memberikan banyak makanan dan uang untuk disedekahkan atas nama ibu Tetapi tak pernah satu kata pun terucap dari mulutku untuk menyapa mereka, alhasil ketiga putriku pun menjadi acuh kepadaku."Berhenti caper dan sadar dirilah, Mbak.""Hei, apa Mbak budek? Ini rumah mertuaku dan aku menantunya lalu Mbak Siapa Hem?"Saat akan ke kamar mandi kudengar Susan bicara di dapur, sudah pasti dengan Yuli."Aku anaknya Ibu, sejak dulu dia tak pernah menganggapku menantu, dia selalu menganggap aku seperti putri kandungnya sendiri, apa kamu paham?" balas Yuli.Setelah itu Susan tak lagi bicara dan saat akan melangkah ternyata kami berpapasan di lorong yang menghubungkan ruang tengah dan kamar mandi, jelas sekali wajahnya terlihat emosi.Yuli memang selalu memiliki jawaban telak saat a
Setelah ditelusuri lebih dalam aku menemukan sebuah situs web khusus para pria hidung belang, di sana mereka bisa membahas para organ intim wanita yang pernah mereka cicipi berikut dengan Poto b*gilnya.Yang membuat otakku panas ialah poto Desti juga ada di sana, beberapa pria berkomentar tentang bentuk tubuh anakku, bahkan diantara mereka dengan terang-terangan mengincar tubuh putriku itu."Bagaimana ini, Lira?"Gadis itu langsung meluncur ke restoran begitu mengetahui Poto sy*r Desti tersebar."Apa Poto itu diambil ketika Desti diculik kemarin ya?" tanya Lira."Aku tak mau tahu Poto itu diambil kapan, yang kumau poto-poto anakku terhapus, apa kamu bisa membantuku?"Digulung emosi aku sampai membentak adik sendiri, beruntung Lira tak membalas gertakanku, ia hanya melirikku sekilas lalu kembali fokus pada laptopnya.Sebagai seorang ibu tentu hatiku sakit melihat poto-poto Desti tersebar luas apalagi dengan busana tidak pantas, selama ini aku selalu menjaganya, memastikan jika ia baik-
Aku pun meninggalkannya di luar rumah karena masih banyak yang harus kupersiapkan di dalam.Benar saja rambut Dara belum disisir, sedangkan Dita teriak-teriak mencari seragamnya, dan Desti gadis itu sedang makan sambil melamun, insiden penculikan itu benar-benar telah merenggut keceriaannya."Dara, cepat sisir rambutmu ya, Kak Haikal sudah datang itu.""Ya, Ma, bentar ini balesin chat Amina dulu." Aku geleng-geleng kepala, seperti biasa ponsel telah menyibukkan anak-anakku."Dita! Coba cari seragam olahraganya di keranjang, siapa tahu belum di setrika sama Mbak Ani!" teriakku dengan suara memekik."Duuh Mbak Ani gimana sih, kok seragam aku belum disetrika, mau dipake sekarang, Ma, gimana dong?!" teriak Dita yang menyalahkan asisten rumah tangga kami.Aku terpaksa naik ke lantai atas padahal ingin sekali bicara dengan Desti."Sini Mama setrikain, kamu cepetan keringin dulu itu rambutnya." "Gitu dong dari tadi."Aku berdecak kesal, setiap pagi pasti ada saja yang diributkan, kukira se
"Aku sudah bicara dengan Haikal, dia bersedia jadi supir anak-anakmu, Yul," ujar AndreSedikit tak percaya dengan apa yang diucapkannya, karena kulihat Haikal adalah lelaki gagah dan masih muda, bahkan terakhir kudengar ia memiliki pekerjaan."Masa sih dia mau, Dre, bukankah dia memiliki pekerjaan?" tanyaku."Ya dia mau, karena dia tak hanya mendapatkan gaji darimu tapi dariku juga, lalu dia bisa melanjutkan kuliahnya yang sempat tertunda sambil bekerja," jawab Andre."Memangnya anak itu putus kuliah?""Ya, semenjak keadaan ekonomi kakakku melemah, Haikal memilih berhenti kuliah dan membantu orang tuanya mencari nafkah.""Oh begitu, tapi kamu tak perlu ikut-ikutan menggajinya, Dre, aku sanggup kok memberikan gaji yang besar untuknya."Aku merasa tak enak saja pada Andre, sudah mobil ia yang carikan bahkan ia ikut andil dalam pembelian mobil ini, Andre terlalu banyak membantu kehidupanku, sementara aku tidak bisa melakukan apa-apa untuknya."Ga apa-apa, Yul, itung-itung aku bantu dia s
(POV Susan)"Ya makanya dicoba dulu, dan ingat jika dia ke sini kamu harus memelas dan memohon, juga jangan coba-coba memancing amarahnya."Ia berdecak sambil memalingkan wajah, aku tahu ia paling anti kalah dengan mantan istrinya itu, tapi bagaimana lagi saat ini posisi kami memang lemah, tak memiliki jabatan dan juga uang, sementara Mbak Yuli memiliki segalanya, dengan uangnya itu ia bisa membeli nyawa dan hidup seseorang."Aku pulang dulu, Mas, semoga saja Mbak Yuli mau membebaskanmu."Tak ada kata yang terucap darinya sebelum kepergianku.Di depan rumah bercat abu tua ini aku berdiri, rumah minimalis dua lantai itu sudah banyak mengalami perubahan, Mbak Yuli sudah banyak merenovasi bagian-bagian tertentu hingga terlihat nyaman.Mengesampingkan rasa malu aku mengetuk pintu, semoga saja wanita itu masih ada di rumahnya pagi ini.Pintu rumah terbuka nampaklah Mbak Yuli dengan setelan kerjanya, mata kami sempat bersitatap dalam diam beberapa detik."Susan?"Aku mengukir senyum tipis d
(POV SUSAN)"Apa, Dokter? Perempuan lagi?" Dokter Lia itu tersenyum sambil menganggukkan kepala."Iya, Bu, semuanya normal ya, Ibu harus banyak gerak biar persalinannya lancar nanti."Aku tak percaya setelah beberapa kali melakukan USG ternyata benar bayi yang kukandung berjenis kelamin perempuan lagi.Entah bagaimana reaksi Mas Ferdi nanti jika tahu anak yang ia harapkan laki-laki ternyata lahir perempuan lagi."Mau laki-laki atau perempuan yang penting sehat dan selamat, Bu," ujar Dokter Lia.Ia tak mengerti saja bagaimana keadaan rumah tanggaku, aku sangat takut Mas Ferdi tak tahan lalu pergi meninggalkan kami seperti dulu ia meninggalkan Mbak Yuli.Dulu saat si kembar masih kecil aku tak terlalu risau ditinggalkannya, karena aku merasa bisa mandiri, tetapi sekarang aku bergantung seratus persen padanya setelah mengandung anak ini dan tak lagi bekerja di club malam."Apa kamu bilang?! Perempuan lagi, bener ga itu hasilnya jangan-jangan salah lagi kayak yang udah-udah."Benar saja
(PoV Ferdi) Yuli sudah melapor maka lambat laun aku akan dipanggil polisi, sekarang keadaannya sudah berbeda, aku tak bisa menggunakan uang untuk membebaskan diri dari tuduhan seperti beberapa tahun silam.Aku mengacak rambut, kenapa hidup dengan Susan banyak sekali masalah, bahkan di usia pernikahan yang ketujuh masih juga belum mendapatkan kedamaian.*"Yang datang semalam siapa?" tanya Susan saat merapikan baju di kamar."Anak buah Vincen, mereka menghajarku semalam, mereka juga bilang kalau Vincen mecat aku."Susan menghentikan aktivitasnya, dengan mulut menganga ia menatapku."Kok menghajar kamu bukannya hutangmu sudah lunas? Terus sekarang kita gimana kalau kamu dipecat?"Susan memang mengetahui semua rencanaku pada Desti, dan dia mendukungnya, katanya yang penting hutang kami lunas dan beban kami hilang.Tak mudah untuk melakukan hal itu, aku harus melakukan penyelidikan terlebih dahulu agar mudah menyerahkan Desti pada Vincen."Yuli berhasil membawa kabur Desti sebelum anak i
(POV FERDI)Tengah malam pintu rumahku ada yang mengetuk beberapa kali, Susan terus saja menepuk pundakku menyuruh membuka pintu."Apaan sih ah, kamu aja sana yang buka!" Aku menepis kasar tangannya."Ya ampun, Mas! Aku tuh lagi hamil besar mau istirahat, aku capek ngurusin kedua anak kamu dari pagi, bisa ga sih ngertiin aku!" bentaknya.Sudah tujuh tahun kami membina rumah tangga ini, bukan semakin harmonis malah semakin sering cekcok setiap hari Setiap hari selalu saja ada hal yang membuat kami ribut, entah itu anak-anak, masalah keuangan dan yang lainnya.Sampai saat ini aku masih berharap anak yang ada di rahim Susan itu perempuan, aku melarang Susan bertanya soal jenis kelamin anak itu ketika di USG, aku takut saja jika bayi dalam perutnya itu perempuan lagi."Ya udah iya aku yang buka!" tegasku sambil menyibak selimut.Aku berjalan menghidupkan lampu menuju pintu, saat pintu terbuka nampaklah lima orang lelaki bertubuh tinggi besar, aku tahu dia anak buah Vincen.Vincen adalah
Pemuda bernama Haikal itu bersalaman denganku dan ibu, lalu kami masuk ke dalam.Setelah ganti baju aku menceritakan kejadian sebenarnya pada ibu, termasuk keterlibatan Mas Ferdi dengan penculikan Desti.Jelas saja ibu dan Lira murka mendengar lelaki itu dalang dari masalah ini."Dasar laki berotak batu," ujar Lira."Ini ga bisa dibiarkan, Yul, si Ferdi itu harus dipenjara," ujar ibu."Iya sebaiknya kamu segera melapor ke polisi, Yul," ujar Andre "Baiklah, aku ambil hape dulu ya."Menelpon seorang penyidik yang menangani kasus penculikan Desti, mereka menyuruhku datang ke kantor siang ini dengan Desti untuk memberi keterangan."Gimana? Udah di telpon?" tanya Andre."Sudah, aku sama Desti disuruh ke kantor nantisiang.""Baiklah, aku pulang dulu ya, nanti siang aku kemari lagi nemenin kalian.""Terima kasih ya." Lagi-lagi hanya sebuah senyuman yang kuberikan untuk membalas jasanya.Jika Andre bukan orang kaya sudah pasti aku memberikan sejumlah uang besar padanya, tetapi tentu saja And
"Bagaimana ini?" tanyaku dengan napas terengah-engah menatap Andre "Mana pistolmu, Yul?"Aku langsung memberikan benda itu padanya dan entah apa yang ingin ia lakukan, lalu kaca mobil di sampingnya terbuka setengah, seorang lelaki langsung menodongkan pedang ke leher Andre."Serahkan harta berharga kalian!" tegas laki-laki yang mengenakan penutup kepala tersebut.Perlahan Andre mulai menodongkan pistol ke orang tersebut, dapat kulihat mata lelaki itu membeliak."Jangan halangi jalanku kalau tidak kepalamu akan pecah saat ini juga," ancam Andre.Lalu di belakang mobilku terdengar seorang berteriak lantang."Mundur! Mereka membawa pistol!"Hingga akhirnya segerombolan orang itu kembali mundur dan masuk kembali ke semak-semak, aku bernapas lega ternyata tidak ada pertumpahan darah lagi.Orang-orang itu ketakutan melihat senjata api di tangan Andre dan sepupunya di mobil belakang, jika pun melawan mereka sudah pasti kalah.Mobil kembali melaju membelah jalanan malam tanpa arah tujuan."M