"Apa maksudmu? Dan kamu ini siapa kok mengacau di acara pernikahan anakku dan menantuku ini," ucap si Ibu dari jalang. "Apakah kalian tidak tahu jika menantu baru kalian itu suami orang? " tanyaku pada kedua orang tua si gundik, dan benar saja mereka terkejut dengan penuturanku barusan. "Risa! Katakan apakah itu benar! " hardik sang Ayah pada gundik yang ternyata bernama Risa itu. Risa masih bergeming sembari menunduk. "Jawab! Jangan jadi orang bisu! " hardik sang Ayah lagi. "I, Iya, Yah, " jawab Risa dengan terbata. Hemmm, pemandangan yang menarik untuk aku lihat. "Dasar anak tak tahu diri! Kalau tahu dia suami orang tak sudi aku mengijabkan kalian! ""Maafkan aku, Yah, aku terpaksa membohongi kalian, aku sudah hamil. ""Apa! Dasar kau memang benar-benar jalang! Kurang apa aku mendidik dan membesarkanmu selama ini ha! Tak bisakah kau mencari pria yang benar bukan pria bajingan yang sekarang ini! " ucap Ayah Risa setelah puas menampar Risa beberapa kali hingga membu
"Ini semua karenamu! Kalau saja kau becus menjadi seorang istri, maka suamimu tak akan pernah berpindah ke lain hati seperti ini! " hardik Ibu Risa padaku sebelum akhirnya dia memutuskan untuk menyusul suaminya yang lebih dahulu pergi. Apa katanya? Aku tak becus jadi istri? Kenapa dia malah menyalahkanku? Apakah ini definisi darah tetaplah darah tak bisa berubah menjadi air. Sesalah apapun jika itu anak sendiri maka akan tetap dibenarkan perbuatannya. "Kalian juga kenapa masih disini? Bubar semuanya bubar! " pekik Ibu mertuaku pada para tetangga yang masih menyaksikan keributan ini. [Huuu! Dasar keluarga gila, usir aja mereka, Mbak Nia! Benalu kok dikasih tempat ya begitu menggerogoti] cibir tetangga sebelum mereka meninggalkan rumahku. "Nia, please jangan minta cerai dari, Mas, Mas masih cinta padamu, " ucap Mas Indra saat para tetangga sudah bubar. Perlahan ia berjalan ke arahku lalu meraih tanganku untuk dia genggam, sengaja kubiarkan karena aku ingin tahu apa mau
Untuk apa dia memanggil Ibuku? Apakah dia mau menghentikan kami dan meminta kami kembali tinggal disini? Yah semoga saja, tapi ternyata harapan tak sesuai kenyataan, Nia menghentikan kami bukan karena menginginkan kami kembali melainkan ia ingin memeriksa koper yang kami bawa.Tunggu-tunggu, apa-apaan ini? Apa dia kira kami ini maling, sehingga harus memeriksa koper kami layaknya kami sudah mencuri sesuatu miliknya?"Ada apa, Nia? Apa kau mau meminta maaf? " ucapku padanya."Cih, siapa juga yang mau minta maaf. Aku cuma mau periksa apa yang kalian bawa di dalam koper itu, bisa saja kan kalian membawa sesuatu yang bukan hak kalian, " ucap Nia sinis.
Susah payah aku menelan saliva ku, aku tahu Nia tidak sedang main-main, lagian Ibu ngapain sih pake ambil perhiasan mendiang Ibu Nia segala, aku sangat tahu, Nia sudah pernah mengultimatum ku, saat aku kekurangan uang, aku pernah meminta Nia menjual salah satu perhiasan mendiang Ibunya, Nia berkata jangan sekalipun sentuh apa-apa milik mendiang orangtuanya, karena itu adalah peninggalan satu-satunya, jadilah saat itu Nia meminjamkan sejumlah uang, yang bahkan hingga sampai saat ini uang iru belum aku kembalikan. Tak masalah kan, toh uang istri juga uang suami, tapi kalau soal perhiasan yah anggap saja aku berbaik hati mengerti perasaannya soal peninggalan orang tuanya."Nia, tolonglah jangan begitu, dia juga Ibu mertua kamu, masa tega mau penjarakan Ibu? " ucapku mencoba mengiba pada Nia.
Tidak terasa akhirnya kami sudah sampai di kediaman orangtua Risa, kuedarkan pandanganku ke sekeliling, memang sih rumah orangtua Risa masuk di daerah perkampungan, tapi semenjak tadi aku tak melihat adanya rumah sebesar rumah orangtua Risa, jadi aku asumsikan jika orangtua Risa yang paling kaya di kampung ini. Ah, aku memang pintar dalam memilih istri, mereka ternyata orang kaya, yah meskipun Risa tak sekaya Nia, tapi tak apa, seperti ini juga sudah cukup, daripada tidak sama sekali, iy kan readers?"Kalian tunggu disini, biar aku masuk dan minta ijin dulu sama Ayah dan Ibu, " ucap Risa pada kami."Kenapa tak kau biarkan kami masuk Risa? Setidaknya di teras, disini panas, dasar menantu tak tahu diri? " hardik Ibu pada Risa.&nb
"Janji ya, jangan diulangi lagi kesalahan yang sama, Ayah sangat kecewa anak yang Ayah besarkan dengan kasih sayang berbuat hal memalukan seperti itu," ucap Ayahku mengelus rambutku."Iya, Yah, Risa janji.""Lalu apa kau mau terus melanjutkan pernikahanmu dengan suamimu itu? ""Tentu tidak, Yah, begitu aku tahu belangnya aku berniat menceraikannya nanti setelah anak yang Risa kandung lahir.""Baguslah, Ayah dan Ibu juga tak bisa berlama-lama menampung mereka. ""Iya
Setelah cukup berbasa basi akhirnya Risa dan Indra berpamitan pada orang tua mereka masing-masing menuju kosan Risa."Bu, Yah, kami pergi dulu ya, Ibu sama Mimi jangan bikin ulah ya, nanti kalau ada waktu aku sama Risa akan jenguk kalian disini, " ucap Indra pada kedua mertua dan Ibu juga adiknya.***Pagi telah tiba, matahari pun sudah merangkak naik menunjukkan dirinya pada semua umat. Disaat semua orang sudah terbangun untuk melakukan aktivitas rutinnya. Masih ada sebagian orang yang bergelung dan meringkuk di atas kasur dengan mata terpejam. Siapa lagi kalau bukan Bu Nita dan juga Mimi. Perjanjian awal mereka akan bekerja sebagai art di rumah orang tua Risa, tapi pada kenyataannya h
"Kenapa? Mau protes? Resiko hidup numpang ya kayak gitu, kalau nggak mau ya jangan numpang, simpel kan, kami ini bukan menanti kalian yang bodoh dan kelewat baik itu, menantu baik aja masih kalian bohongi dan curangi, kalian pikir kalian ini siapa, raja? Ratu? Hidup numpang aja sok belagu, sudah cepat kerjakan, aku tak mau tau kalau tak selesai gak ada makanan untuk kalian! " hardik Bu Rodiyah pada Bu Nita dan Mimi. Dengan sangat terpaksa mereka melakukan apa yang diperintahkan oleh Bu Rodiyah.Bu Nita dan Mimi memang merasa kesal dengan sikap yang ditunjukkan oleh Bu Rodiyah, mereka kira mereka akan kembali hidup enak bersama keluarga Risa, faktanya keadaan mereka tak jauh lebih baik daripada tinggal di rumah Nia.***
Saat itu juga darah mengalir dari kedua pangkal pahaku hingga aku berteriak kesakitan. Saat itulah para penjaga bergegas membawaku ke rumah sakit.Sesampainya di rumah sakit aku segera dibawa ke ugd, tapi karena aku merasa sudah tidak kuat menahan sakit yang menjalar di sekitar tubuhku tiba-tiba saja pandanganku berubah menjadi gelap.Saat aku terbangun, aku sudah mendapati diriku di ruangan perawatan dan ada dua orang penjaga yang menungguku disana. Waktu kuraba perutku aku mulai gusar karena mendapati perut yang sudah rata."Bu, bayiku mana?" ucapku kala itu pada penjaga yang belum menyadari kalau aku sudah sadar."Bu Risa sudah sadar? Tunggu sebentar ya, biar saya panggilkan do
Selama ini pun aku tak pernah mencari dimana keberadaan Risa, jujur hingga saat ini apa yang Risa perbuat masih belum bisa kumaafkan, saat ini aku hanya fokus untuk kerja dan mencari uang, rencananya aku ingin meminta Mimi untuk kembali melanjutkan kuliahnya yang sempat terputus karena keterbatasan biaya."Ndra, ini surat apa?" ucapan Ibu membuyarkan lamunanku tentang kehidupan masa laluku. Saat ini aku baru saja pulang dari tempatku bekerja."Oh, ini undangan pernikahan Nia dengan Pak Angga, Bu.""Maksud kamu Nia mantan istri kamu?" ucap Ibu sembari meletakkan teh hangat di depanku, Ibu memang selalu membuatkanku teh atau kopi setiap aku baru pulang kerja."Iya, Bu, Nia mantan istriku
Flashback onSeperti biasa jika pagi sudah menyapa, seorang penjaga yang ditugaskan Tedi untuk bersih-bersih rumah atau markas Tedi dan teman-temannya akan datang untuk membersihkan rumah tersebut, mulai dari menyapu, mengepel, serta mencabuti rumput jika dirasa sudah panjang. Tapi pagi itu si penjaga rumah dikejutkan dengan sosok Tedi yang sudah terbujur kaku tanpa mengenakan busana, dengan mata melotot bibir mengeluarkan busa putih, serta warna kulit yang sudah mulai membiru pucat."Allahu Akbar! Mas Tedi, kenapa, Mas!" pekik si penjaga tersebut. Usahanya membangunkan Tedi sia-sia, karena Tedi sudah tak lagi bernyawa.Tak mau dijadikan salah tuduhan si penjaga itu pun bergegas untuk menghubungi pihak kepolisian. Tak berselang lama, para polisi yang di tel
Sebelum memutuskan untuk benar-benar pergi, aku bergegas memakai pakaian ku, lalu dengan setengah berlari aku masuk kedalam mobil Tedi dan menghidupkan mesinnya lantas segera pergi dari rumah terkutuk itu.***Aku berhenti di jalanan yang lengang, aku melihat kanan, kiri dan sekitarnya, saat kurasa aman ku matikan mesin mobil lalu aku keluar dari mobil, kubuka penutup tangki bensin mobil lalu aku menghidupkan korek api yang terbuat dari kayu, lantas aku memasukkannya ke dalam tangki bensin. Dengan cepat aku berlari menjauh dari mobil Tedi sebelum mobil itu meledak, meskipun dengan susah payah aku berlari karena perutku yang buncit ini, hingga akhirnya...Duar....Mobil meledak dan terbakar, a
"Oke deh, aku tunggu," ucapku dengan sumringah. Mataku berbinar membayangkan aku kembali akan menikmati barang itu, entah kenapa hari ini aku hanya ingin ditemani oleh Tedi saja, mungkin ini bawaan si utun di dalam rahimku.Bergegas aku mengganti pakaianku, aku tak terbiasa memakai pakaian seksi jika sedang keluar maupun di rumah. Itu sengaja kulakukan agar orang lain tidak tahu sepak terjangku. Terkadang aku merutuki kebodohan orang-orang yang dengan berani live di sosmednya saat mereka tengah berpesta sabu, justru mereka membuat lubang neraka untuk hidup mereka sendiri, itulah aku katakan mereka itu bodoh bin tolol. Kalau mau bersenang-senang ya sah-sah saja, tapi tak perlu juga di umbar seperti itu hingga seluruh dunia tau kebodohan mereka.Ah, kenapa aku jadi mikirin hal gak jelas kayak tadi sih, inilah akibat k
"Nia? Kamu tak apa?" tanyaku khawatir."Yang kamu lihat gimana?""Maaf, aku gak sengaja, sini aku bantu," ucapku mencoba membantu Nia berdiri tapi tanganku ditepis oleh Nia."Gak usah, aku bisa sendiri!"Kutarik kembali tanganku dari depan Nia, Nia kini sudah berdiri dihadapanku, ah, betapa indah makhluk ciptaan Tuhan yang satu ini."Mas, minggir aku mau lewat!" suara Nia membuyarkan pikiranku yang entah lagi kemana. Kumiringkan tubuh ku agar Nia bisa lewat, hingga saat tubuh Nia berada didekatku tanpa sengaja aku mencium aroma shampo dari rambut Nia yang tergerai indah. Dan refleks aku memeluk Nia dan membenamkan kepalak
"Tanya pada Risa kenapa aku bisa memanggilnya murahan! Aku tak mau memperlihatkan bukti pada Ibu yang akan membuat Ibu shock lantas pingsan nantinya, sudah ya, aku mau ajk Ibu dan Mimi keluar sekarang jug, terimakasih sebelumnya sudah mau menampung keluargaku selama tiga bulan ini."Aku bergegas menuju belakang rumah dan menghampiri Ibu dan Mimi yang juga sudah siap dengan barang bawaan mereka yang tak banyak."Bu, Mi, sudah siap?" tanyaku pada Ibu dan Mimi."Sudah, Nak, ayo kita keluar." aku, Ibu dan Mimi melangkahkan kaki hingga sampai di ruang tamu, masih kulihat Bu Rodiyah menatapku dan keluargaku dengan tatapan yang seakan siap menerkam kami, tapi itu tak membuatku gentar, cukup sudah keluargaku diperlakukan tak layak oleh mereka.
Hari ini tepat aku sudah menerima gajiku, rencananya uang ini akan aku pergunakan untuk menyewa rumah petak untuk Ibu dan Mimi, untungnya beberapa bulan ini aku selalu mendapatkan uang tambahan karena aku sering masuk hingga malam. Jadi Pak Angga dengan murah hati menambah uang gajiku. Tentunya uang lemburan ini Risa tak mengetahuinya, dan saat ini uang bonusan yang aku kumpulkan ditambah dengan uang gajiku plus lemburan ku bulan ini ada sekitar Rp. 7.000.000,- kurasa ini cukup untuk menyewa rumah petak tiga bulan dan sisanya aku akan meminta Ibu dan Mimi membuka usaha untuk biaya hidup mereka, toh aku masih bekerja jadi aku masih punya gaji, dan rencananya aku juga akan tinggal bersama Ibu dan Mimi, cukup sudah aku hidup seatap dengan manusia iblis macam Risa."Mas, hari ini kamu gajian kan? Mana uangnya bawa sini, ada baju yang mau
"Bang, tunggu disini dulu ya, saya mau masuk kesana dulu, pokoknya jangan tinggalin saya, nanti saya bayar lebih," ucap Indra pada tukang ojek."Siap, Pak, kalau soal duit pokoknya beres. "Setelah meminta tukang ojek untuk menunggunya, Indra pun berjalan perlahan menuju rumah yang dimasuki Risa dan Tedi itu. Indra berjalan sembari mengendap-endap, Indra berjalan menuju teras depan, ia mengintip dari celah-celah jendela yang tak tertutupi hordeng, tampak sepi didalam, Indra kembali melanjutkan langkah kakinya, ia melewati garasi dan ternyata di garasi sudah terparkir tiga buah mobil selain mobil yang dipakai Risa dan Tedi. Sayup Indra mendengar suara dari ruangan sebelah garasi, lantas Indra mendekati jendela di ruangan itu. Beruntung jendela ti