Bab 19 Tak Akan Rapuh Karena Dikhianati
Sepulangnya dari kantor, Seperti biasa aku akan menjemput anak-anak terlebih dahulu. Dan juga karena sudah menjadi kebiasaan pulang bersama Davin dan Divan.
Dalam perjalanan pulang aku menyempatkan diri membeli makanan kesukaan anak-anak. Bukan karena apa, namun karena aku harus lebih berhati-hati untuk makan di rumah. karena di rumah kami dikelilingi oleh orang-orang licik dan pendusta.
Sesampainya di rumah,aku tidak menjumpai keberadaan satu orang pun. Entah ke mana orang-orang di rumah ini?
Oh iya aku baru ingat, kemungkinan besar Arza menemani Zorah untuk shopping. Seperti yang mereka percakapkan pagi tadi.
Untuk memperkuat dugaanku, aku memeriksa rekaman CCTV di laptop. Fyuuuuh, dugaanku ternyata benar, rupa
Bab 20 Suara Gaduh Di Kamar Mandi *** Hari menjelang sore aku pulang sekaligus sambil menjemput anak-anakku dari rumah mbok Jum. Dalam perjalanan pulang, aku membeli makanan kesukaan kami buat makan malam nanti. Jadi tidak perlu repot buat memasak. Sesampainya dirumah, syukur Mbak Zorah maupun Arza belum ada di rumah. Kemana dua orang itu menghilang. Aku tahu, pasti mereka sedang berduaan. Sebuah pikiran nakal terbersit di benakku buat mengerjai mereka malam nanti. "Nak ibu keluar sebentar ya. Pengen minum ke dapur." Aku meninggalkan anak-anak yang sedang sibuk di dalam ruang bermain mereka. Tujuan langkah ku kali ini adalah dapur. Mengambil ekstrak cabai yang masih tersisa. Lalu menaruhnya ke
Bab 21 Bencana Di Ujung Aktivitas Ranjang "Pa, saya ingin masuk kamar mandi sekarang. Minggir....!" Aku berdiri berkacak pinggang di depannya dengan menatap kedua mata Arza dengan serius. "Jangan, Ma...." Sergah Arza. "Kenapa jangan....?" Aku masih berusaha masuk. "Jangan sekarang, Ma. Tolong... Please dong... Mama kok emosi banget. Tolong jangan marah-marah gini Ma. Nggak kasihan nih sama Papa?" Mata Arza nampak penuh permohonan. Sambil tangannya masih gelisah mengipasi bagian vitalnya. Sedangkan aku ingin tertawa melihat ulahnya. Itu saja masih kurang buat mengerjai b*rung nakalmu itu Arza. Untung saja tidak ku potong tuh barang.
Bab 22 Misi Pertama Berhasil Ponsel dalam kantong lelaki berdasi itu bergetar. "Halooo...!" "Ya halo, selamat pagi " suara luwes seorang wanita dari seberang telepon. "Pagi juga, sama siapa ini,?" "Ini saya karyawan baru di kantor perusahaan, bapak Manajernya kan?" Suara lembut seorang wanita mbuat pria tadi tersanjung dengan sebutan kata "manajer". "Ya benar, saya adalah manajernya." "Begini, Pak. Saya punya beberapa berkas kantor yang harus bapak tandatangani." "Oh ya... Tapi nanti saya bakalan tidak masuk nih. Soalnya masih ada urusan keluarga yang harus saya urusi."
Bab 23 Usaha Yang Memuaskan Aku masih tertidur bersama anak-anak tatkala hari telah menjelang pagi. Sudah beberapa hari, Arza dan Ibu maupun Mbak Zorah tidak pulang kerumah. Bergegas aku membangunkan anak-anak menyuruh mereka bersiap-siap. Drrrrt... Drrtt... Panggilan masuk di layar ponsel. Perasaan mulai tidak menentu ini pasti dari Arza atau Ibu. Ku cek ternyata bukan. Tertera nama di sana. Pak Ricardo. "Halo selamat pagi Mbak Nadine. Bisa saya bicara sekarang?" "Ya silakan saya sendiri." "Dengan ini saya mengabarkan bahwa Semua proses pengalihan nama rumah Mbak sudah selesai. Bisa kita bertemu sebentar nanti."
Bab 24 Keputusan Bulat Nadine Sebelum memulai berkata-kata ke inti masalah berikutnya, Nadine kembali berpikir, bawa apa yang akan dia lakukan ini adalah sebuah keputusan yang kuat dan tidak bisa lagi untuk diganggu gugat. "Pak, saya ingin kembali meminta pertolongan dari Bapak." Ucap Nadine. "Ya, mudah-mudahan saya bisa membantu, pertolongan seperti apa yang mbak Nadine butuhkan?" Nadine berpikir untuk beberapa saat. Kepalanya sedikit merunduk dengan jari-jemari yang saling menggenggam, ia menghembuskan helaan nafas kasar. "Pak Richardo, saya mohon Bapak bersedia untuk mengurus perceraian saya dan Arza." Kata-kata tersebut terucap lantang tanpa adanya keraguan. Walaupun di hati perempuan itu terbersit rasa nyeri karena telah mengambil keputusan itu.
Bab 25 Sebuah Rahasia "Halo, Pa. Apa kabar? Papa masih nginep ya?" Suara Debbie menyapa Arza dengan sebutan Papa. "Iya, sayang." "Mama mana ya?" Lanjutnya. "Mama lagi dandan sayang. Mama sama Papa hari ini pengen weekend. Debbie punya acara nggak? Kalau nggak , yuk ikut bareng kita mau nggak?" Tawar Arza. "Wah Debbie punya acara sama temen-temen." Jawab Gadis berambut pendek sebahu tersebut. "Kalau begitu Debbie butuh uang berapa?" "Mmm berapa ya." Debbie menekan-nekan telunjuk kanannya ke dagu dengan mata mengerling-ngerling ke atas, seperti sedang berpikir. "Ya sudah nih P
Bab 26 Cengkerama Dua Insan Biadab Malam harinya, Di kamar sebuah hotel, Arza duduk dengan tatapan mata menerawang jauh ke arah jendela. Lelaki itu sedang melamun Seorang wanita memperhatikan tindak-tanduknya. Wanita itu mendekati secara perlahan. Rupanya lamunan pria itu sedang serius sekali. Sehingga dia sama sekali tidak menyadari kehadiran seseorang yang mendekatinya. "Mas, ada apa? Mengapa melamun?" Zorah merangkul pundak Arza lembut. Arza kaget melihat Zorah telah berada di sampingnya. "Maaf, Mas Nggak apa-apa kok, Sayang. Cuma sedang memikirkan masalah pekerjaan saja." Arza memandang kekasihnya dengan tersenyum. "Mas mau minum?" Zorah menyodorkan sebotol minuman
Suara deru mobil Arza memasuki halaman rumah. Suara anak-anak bersorak kegirangan. Ya karena mereka mengenali suara mobil papa mereka dengan baik. Melihat itu, ada rasa nyeri menusuk di ulu hati. "Papa Pulang, horeeee...." Lihatlah Anak-anak amat mencintai Papa mereka. Namun memasuki rumah, Arza cuma diam membisu. Mulutnya seolah terbungkam. Padahal apa susahnya cuma sekedar membuat mereka senang dengan menanggapi ocehan konyol mereka. "Papa udah pulang, masuk yuk." Sambut Nadine. Namun suaminya tidak menjawab ajakan yang terdengar hangat tersebut Berada di ambang pintu, Arza sejenak berdiri memperhatikan Nadine dengan sedikit rasa heran. Entah dalam benaknya wanita itu terlihat berbeda dari biasanya. Namun ah sudahlah, lelaki tersebut berusa
Selamat sejahtera untuk semua pembaca Novel KKBS (Kubiarkan Kau Bersama Selingkuhanmu) 🤚🤚🤚 Author mau kasih info terbaru nih buat teman-teman pembaca semua. Author kasih tahu kalau sekarang udah update sekuel novel KKBS ya. Dengan judul : Ketika Istriku Mulai Membangkang Pembaca boleh kepoin novelnya sekarang ya, hehee. Othor usahain akan update rutin setiap hari. Jadi para pembaca semua tidak usah khawatir kalo nanti Author jarang update, jarang nongol, apalagi sampai novelnya nggak tamat. Oh iya, Author boleh minta dukungannya ya, dukung Author dengan rate bintang lima, terus tambahkan novelnya ke pustaka. Hehee ... Makaciih semua pembacaku... Semoga novel "Ketika Istriku Mulai Membangkang" ini bisa menghibur para pembaca semua. Amiiin Suksesnya seorang Author tak lepas dari dukungan para pembaca setianya. peluk jauh dari Author....😘😘😘😘😘
Bab 162 "Aduuuh!" Zea menengadahkan kepala. Menahan sakit. Sekarang sakit itu kian naik ke ubun-ubun. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Di tengah malam sepi ini ia sendiri berbaring di ranjang rumah sakit. "Ya Tuhan tolong aku!" dalam kegelisahannya, Zea mengadu dan memohon kepada Tuhan. Karena kesakitan yang ia rasakan, sejenak ia melupakan derita masalah ekonomi yang tengah ia hadapi. Ya, malam ini adalah malam terakhir Zea dirawat di rumah sakit ini. Sebenarnya masih panjang riwayat perawatan yang harus ia kalani, namun karena semua biaya yang mengalir benar-benar telah menguras kering semua isi tabungan. sekaligus kendaraan dan apapun yang dimiliki telah hangus terjual tanpa tersisa. Tidak ada lagi yang bisa ia gunakan untuk menjalani prosedur kesehatan. Untuk selan
Bab 161 "Ibu!" Arza tergagap. Arza kembali mencoba menyentuh telapak tangan sang Bunda. Lagi lagi hanya dingin terasa. Mendadak Arza jatuh lunglai. "Ibu ...!" gumamnya lirih. Air matanya menetes. Namun sebanyak apapun tetesan air mata yang meleleh di pipinya, semua itu tidak akan pernah mengembalikan nyawa ke raga sang ibu yang kini telah terbaring dingin dan kaku. Arza menangis sendiri. Memperhatikan keadaan orang tuanya yang terbaring sendirian sejak malam menjelang. Arza menyesal. Setelah menemui ibunya yang telah terbujur dengan kaku. Sepertinya nyawa telah lama melayang meninggalkan raga si ibu. Sedangkan Arza baru saja menyadari bahwa ibunya telah tiada sejak semalam.***  
Bab 160 "Silakan kamu bayar dulu uang tunggakan kontrakan selama 2 bulan belakangan ini Arza!" suara Bu Dian terdengar kasar. Muka Arza memerah menahan rasa malu sebab suara Bu Dian menggema dan didengar oleh orang-orang yang menguping pertengkaran mereka. "Tuh orang kaya, bayar dulu kontrakanmu! Katanya kaya, tapi kontrakan nunggak, mana selama dua bulan lagi. Aduh, kaya dari mana? Aku saja yang merasa orang miskin tidak pernah Tunggak menunggak. Nggak malu tuh ngaku-ngaku sebagai orang kaya?" suara laki-laki yang tadi bertengkar dengannya membuat kuping Arza memanas. Dengan bergegas ArzaMelangkah mendekati Bu Dian. "Iya Bu, saya pasti bayar kok tapi tolong bicaranya jangan terlalu keras. Bisa malu saya kalau didengar sama tetangga." Arza berusaha untuk merayu. "Kalau mau
Bab 159"Kau pasti sudah dengar kalau aku bilang apa?" pria tua tersebut memandang tajam. "Jangan pernah kau merendahkan aku seperti tadi, Pria tua busuk!" sergah Arza. "Nah jika kau tidak ingin dibilangi tak baik, seharusnya kau juga jangan keterlaluan bicara kotor dan menyinggung perasaan lawan bicaramu. Bagaimana kau sakit hati mendengar ucapan buruk orang terhadapmu, maka begitu juga perasaan orang lain ketika menerima ucapanmu!" Arza menghela nafas panjang. Kekesalan nampak jelas pada raut wajahnya. Arza sungguh tidak terima akan ucapan laki-laki tersebut. "Tapi kau tidak bisa balik mengatakan aku seperti itu" Arza menunjuk muka lelaki itu."Mengapa tidak? Nukankah aku juga bisa bicara, Arza?" "Tapi aku tidak bisa terima kau bilang aku miskin." sergah Arza. "Lhoo, kenapa nggak bi
Bab 158Arza duduk dan menikmati secangkir kopi di teras kontrakan. menyeruput kopi hangat sambil memperhatikan gadis-gadis remaja berlalu lalang di depan kontrakan. Mereka sedang berjalan menuju ke sekolah terdekat. Sesekali nampak bibir Aeza tersenyum nakal.Deretan kontrakan tersebut memang terlihat kumuh. Di tambah dengan ketersediaan air bersih yang kurang memadai. keadaan itu membuat sebagian besar penduduk pergi kesungai yang tidak bisa di bilang bersih untuk mencuci pakaian dan sebagainya. Untuk minum, mereka menggantungkan kebutuhan air minum pada saluran pdam yang kecil dan hanya tersedia di siang hari saja. Itupun terkadang tidak menentu. Oleh sebab itulah mereka terpaksa menggantungkan kebutuhan selain untuk minun pada air sungai yang jauh dari standar kesehatan. Karena nampak jelas jika aliran sungai tersebut menghitam dan bau. namun karena keterpaksaan, mereka terpaksa melakukan itu. Apalagi pada cuaca panas kala ini.
Bab 157 "Pak Arza, saya punya kabar besar buat Bapak." Farid datang tergopoh-gopoh menghampiri Arza yang tengah duduk beristirahat. "Kabar apa?" Arza tak terlalu mempedulikan pria yang baru saja datang padanya. Sebenarnya ia tak terlalu suka terhadap sosok Farid yang beberapa waktu lalu Arza anggap taelah merendahkan harga diri Arza. "Pak, ini kabar sangaat penting. Apa Bapak ingin dengar?" Farid memainkam sebelah mata "Jangan bertele-tele. Katakan saja terus terang." sergah Arza. "Pak Arza ... tidak bisa asal memberitahu doang, dong. Kita perlu ini .." Farid terkekeh seraya mengisyaratkan jarinya. Bermaksud mengatakan jika Arza harus membayar. "Kau ingin meminta bayaran hanya untuk sebuah berita yang kau bawa?" "Tentu saja!" Pak Farid tersenyum. &n
Bab 156 "Ada apa ini, Pak? Apa-apaan ini?" Zea bertanya kaget.Tentu saja ua kaget melihat orang-orang itu datang secara tiba-tiba. "Kami membawa surat perintah penangkapan terhadap Ibu Zea Marlinda. Atas dugaan tersangka kasus percobaan pembunuhan." Seorang lelaki menyodorkan selembar kertas surat perintah. Zea menyipitkan mata. Merasa aneh dan bingung.Dalam kebingungannya, Zea memperhatikan durat perintah itu dengan seksama. Mata Zea menelisik huruf demi huruf, poin demi poin yang tertera di sana. Tak terasa air mata Zea meleleh. "Apaaa?" Zea terkesiap melihat data dirinya memang tertera dengan jelas di sana. "Ini tidak mungkin." Zea menggelengkan kepala. "Ini semua sudah berdasarkan fakta se
Bab 155 Zea duduk di sisi sofa menghadap televisi yang tengah menyala. Namun perhatian perempuan itu bukanlah tertuju pada layar televisi. Melainkan kembali teringat pada ucapan-ucapan dokter spesialis yang ia datangi tadi siang. "Aku akan ikuti semua saran dokter. Tak peduli jika aku harus mengeringkan isi rekening." Zea bertekad dalam hati. Untuk melakukan semua prosedur pengobatan, Zea sadar jika ia harus menguras banyak uang.Sekarang, yang menjadi masalahnya adalah, ia mempertanyakan apakah seluruh isi rekeningnya cukup untuk melakukan seluruh biaya pengobatan tersebut Atau tidak?Zea sadar, ia harus segera mencari bantuan. sebab uang di rekening yang telah jauh menipis akibat hidup foya-foyayang ia lakukan sebelumnya.Untuk mencoba mencari jalan keluar buat menghadapi kemungkinan tersebut, Zea menghubungi beberapa teman seperjuangan yang ia mili