Bab 136
Zia termenung. Kata-kata terakhir Bagas sedikit menyentuh hatinya. "Hidup Roni tidak akan lama lagi. Mari kita temani hidupnya bersama-sama sebelum dia meninggalkan kita untuk selama-lamanya, Zea. Di dunia ini aku hanya punya Roni. Dokter yang menanganinya sendiri yang memprediksikan bahwa hidup Roni tidak akan bertahan lebih lama dari perkiraan. Kau tahu bagaimana perasaanku sekarang, Zea? Aku hancur, Zea! Hancur! Di dunia ini hanya Roni yang paling kucintai. Dia adalah nyawaku, penyemangat hidupku. Tapi ... tapi .. takdir berkata lain. Penyakit yang ia derita akan memaksa kita untuk berpisah dengannya."Hiks ... hiks ...!
Bagas benar-benar menangis. Berat benar sepertinya beban yang ia pikul. Zea diam. "Zea, sejahat-jahat apapun seorang wanita. Aku amat yakin, sedikit banyak mereka mempunyai naluri keibuan yang kuat. Aku yakin kBab 137"Debbie, Bagaimana rencana kita selanjutnya?" Zea bertanya. "Sabar dulu. Masih dalam proses." jawab Debbie. "Proses apalagi? perasaan udah berapa hari. Tapi kok belum terlihat ada tanda-tanda apapun." sungut Zea. Debbie menyeruput minuman dingin di tangannya. "Mbak pikir semuanya akan berjalan cepat sesuai keinginan apa?" Debbie balik bertanya sengit. "Bukan begitu, tetapi ya setidaknya udah ada sesuatu yang menandakan usahamu membuahkan hasil kan?" Zea coba kembali bicara.Debbie semakin tak suka mendengarnya. "Mbak, selama ini yang melakukan semuanya siapa?" tanya Debbie. "Apa Mbak turut membantu usahaku selama ini? Apakah ada hal besar yang telah Mbak lakukan? Adakah Mbak sadar akan hal itu?" Debbie bicara kesal.
Bab 138"Wanita tidak tahu malu! Ternyata kau sudah punya suami. Kok bisa-bisanya selama ini kamu mengaku masih lajang?" gertak Arza. Zea mendengus kesal. Tak rela rasanya hatinya di bentak-bentak. "Lalu apa pedulimu? Apapun yang berkaitan denganku tidak ada urusannya sama kamu. Kau tidak usah terlalu turut serta mencampuri hidupku, Arza!" Balas Zea.Arza menatap Zea dengan kebencian. "Pokoknya aku tidak mau tahu, sekarang kembalikan semua uang uangku!" kembali Arza berucap. Seperti kesetanan, sorot pandangan Arza demikian menakutkan. Kekesalan Zea semakin menjadi-jadi dengan sikap Arza yang dianggapnya terlalu bar bar. "Uang mana yang kau maksud!" tanya Zea. "Hei jangan pura-pura tidak tahu kau!" lagi-lagi suara Arza lebih terdengar seperti gertakan. Kedua m
Bab 139 "Aku akan tetap melaporkanmu tidak usah membujuk bojoku. Karena itu tidak akan berhasil. Tidak akan, Arza!" Zea mengambil langkah menjauh untuk meninggalkan Arza. "Tunggu ..." Secepatnya, Arza cepat-cepat berlari mengejar Zea dan menarik tangan wanita tersebut. Tak urung Arza merasa kian terbalut masalah jika wanita itu nekat melakukan laporan. "Ada apa lagi ini? Nggak usah main tarik-tarik dong!" Zea berusaha melepaskan tangannya. "Tolonglah! Tidak usah terlalu mudah mengambil keputusan ingin lapor-melaporkan. Ingat! Ini adalah masalah kita berdua. Hanya kita yang tahu akan hal ini. Apa kau ingin menjerumuskan diri sendiri?" Zea melengos. "Memangnya kamu takut? Aku saja merasa penjara itu tidak terlalu
Bab 140 "Ah tidak. Dia cuma orang biasa. Tapi kau tidak boleh bicara sembarangan di hadapannya. Bisa fatal akibatnya nanti!" ucap Arza memperingatkan. "Kamu melarang, tapi seperti enggan menjelaskan siapa dia itu sebenarnya? Setidaknya bisa kau kelaskan dong apa alasan di balik laranganmu!" Zea protes. "Haduh bukannya aku tidak mau menjelaskan sama kamu. Tapi kamu tidak bakalan bisa mengerti." Arza menyela. "Mengapa kamu bilang aku tidak bisa mengerti? Emangnya kamu pikir aku ini tidak punya otak?" Arza terdiam beberapa saat lamanya. "Jujur saja Arza, aku tak suka apabila ada seseorang yang suka memporak-porandakan pikiranku. Aku tak suka memikirkan sesuatu yang tidak penting seperti kamu dan rencana ini, Arza! Bisa dibilang kalau aku amat menyesal telah bekerjasama dengan seseorang yang t
Bab 141 "Assalamualaikum, Ma!" George mengucapkan salam. "Ya, waalaikumsalam, Pa." Nadine bergegas ke depan dan membuka pintu buat suaminya. Dengan segera Nadine meraih koper di tangan George dan mempersilahkan George untuk masuk.Nadine bisa melihat George berada dalam kondisi setengah menggigil. Musim hujan yang tengah mendera, mengundang hadirnya cuaca dingin. Nadine melepas kan jaket George."Ayo ganti baju dulu, Pa!"Nadine masuk ke dalam diikuti oleh langkah George di belakangnya. Dengan terampil Nadine menyiapkan pakaian ganti buat sang suami."Dingin ya, Pa? Sebentar, Mama buatin teh hangat dulu?" Tanpa menunggu jawaban George, Nadine menuju ke belakang dan berniat untuk menyiapkan segelas teh hangat buat sang suami.
Bab 142 "Ini tehnya, Pa. Silakan diminum!" Nadine menyodorkan sebuah nampan ke hadapan suaminya."Makasih, Ma."Nadine mengambil posisi temlat duduk di samping George."Pa!""Ya, Ma." George melirik istrinya. "Beneran Papa ingin menangguhkan laporan ke polisi?Tunggu apalagi, Pa? Perbuatan orang-orang jahat itu semakin menjadi-jadi. Apalagi salah satu diantara mereka berada dalam rumah ini aku takut dan khawatir, Pa." Nadine mengutarakan kekhawatirannya. "Tenang saja, Ma. Aku sudah bicarakan ini pada Richardo. Mama tenang saja tidak usah terlalu bingung karena masalah ini Papa yang akan mengatasinya." "Iya, Pa. Tapi pertanyaannya, mau sampai kapan?" "Ma, Mama harus tenang. Semuanya sedang dalam proses. Hmm ... apa Mama melihat Bik Lasmi bertingkah aneh lagi?" George menyelidiki.&nb
Bab 143 Waktu terus berlalu, hari ini George beserta anak-anak sedang berkumpul di ruang keluarga. "Nih kan asik kalau seluruh keluarga tengah berkumpul. Bibik ikut senang dengan kebahagiaan kalian." Bik Lasmi tiba-tiba datang tergopoh-gopoh. Senyum wanita itu mengembang. "Iya, Bik. Alhamdulillah meskipun kesempatan seperti ini tidak cukup sering, Tuhan masih memberi kesempatan kepada kami untuk berkumpul." tutur Davin. "Bibi siapkan makanan duli ya untuk kalian." Bik Lasmi melangkah cepat menuju ke dapur. "Bik Lasmi! Nggak usah repot-repot, Bik. Biar Mama sama Alea saja yang nyiapin segalanya. Kebetulan aku sama Mama pengen masak bareng hari ini." Alea mencegah langkah Bik Lasmi. Nadine tersenyum manis dengan ucapan Alea. Anak itu cukup pintar menyusun kata beralasan tanpa beresiko menyinggung.
Bab 144 Bik Lasmi diam membisu. Pertanyaan Nadine benar-benar menusuk dada. Entah mengapa Bik Lasmi merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan pertanyaan Nadine. Seolah ada sesuatu semacam sindiran terselip di sana. "Maaf, Nyonya. Saya masih belum mengerti apa maksud dari pertanyaan Nyonya?" Bik Lasmi merasa bingung harus berucap seperti apa.Nadine menatap Bik Lasmi tajam. Membuat gemetar sang penerima tatapan. "Bik Lasmi, kurasa pertanyaan yang kuajukan tadi cukuplah jelas. Aku merasa Bibik sedang menyembunyikan sesuatu. Jujur saja, Bik!" Nadine kembali membuat Bik Lasmi tergagap."Maaf Nyonya, sungguh aku tidak pernah menyimpan apapun, apalagi rahasia-rahasiaan di rumah ini. Aku ... aku cuma kaget atas pertanyaan Nyonya yang seperti menyudutkan aku. itu yang membuatku bingung." Bik Lasmi terlihat ketakutan.