POV LUNA Kulihat Arga menatapku nanar penuh harap. Aku masih bergeming, mematung dari tempatku berdiri. Posisiku benar-benar dilematis, ikut dengannya yang sudah melangkah ke luar atau menetap di dalam rumah ini bersama ibu dan yang lainnya. Arga, jangan kau buat aku harus memilih seperti ini. Aku tak kuat hidup sendiri di sini dengan bayang-bayang mereka, gumamku sambil berusaha menahan air yang hendak keluar dari ekor mataku. Sungguh sakit! Otakku seakan ingin pecah dihadapkan dua pilihan seperti ini. Aku bingung harus memutuskan pilihan yang mana. Lututku makin lemas menopang tubuhku, mungkin sebentar lagi akan rubuh. Pilihan yang sangat sulit sekali kuputuskan. Memilih ibu - keluarganyalah yang merawat dan membesarkanku dari kecil. Hingga aku bisa menikmati kuliah berkat kebaikan keluarga mereka. Dan akhirnya, di kampuslah aku bertemu Arga, lelaki yang memiliki sejuta pesona, tetapi memilihku menjadi pendampingnya. Membiarkan Arga pergi sendiri, tak mungkin, aku tak mungkin bi
"Silakan diisi berapa biaya yang anda keluarkan untuk membiayainya selama ini. Dan ingat, jangan pernah mengganggu kehidupan Luna lagi."Setelah kuserahkan sebuah cek padanya, kini ia mulai berulah lagi. Sepertinya, yang tadi belum cukup baginya."Apa kau pikir setelah ini semuanya berakhir begitu saja?" ujar ibu.Aku mulai mengendus ketidakberesan. Gelagatnya mulai mencurigakan. Sepertinya, wanita tua di depanku ini akan memerasku karena telah melihat sebuah cek yang sudah kuberikan. Dasar! Dia pikir aku orang yang mudah ditipu daya. Apalagi yang ia inginkan wanita tua ini. Rasanya ingin sekali kumenghardiknya kalau dia bukan seseorang yang dituakan di rumah ini. Aku dan Luna menanti ucapan berikutnya. "Apa lagi yang anda inginkan dari kami?" tanyaku penasaran."Pertanyaan yang bagus! Kembalikan nama baik anak saya setelah kau mempermalukan di depan umum. Kau tahu berapa kerugian yang ditimbulkan karena ulahmu?""Maaf, itu bukan urusan saya. Jangan mengajak saya bernegosiasi dengan
Kami segera meluncur menuju lokasi kebakaran tersebut. Hatiku benar-benar gundah dan tidak bisa fokus mengingat foto tadi. Apa yang sebenarnya Luna sembunyikan dariku. Arghhh, aku menggenggam kedua kepalaku dengan kuat. Ada apa ini. Kenapa aku tidak mencurigai dari awal gelagat Luna saat bertemu Fisal. Aku bisa merasakannya dulu, tapi aku pikir hal wajar bagi wanita. Sial! Kenapa aku kurang peka. Kusandarkan kepala di jok mobil, mencoba menerawang masa-masa dulu bersama Luna. Tak terasa senyum mengembang dari bibirku. Namun, kini hatiku sangat hancur setelah tahu kenyataan tadi. Aku bertekad akan menanyakannya kembali setelah kunjunganku selesai. Di sebelahku Iwan yang sedang mengendarai mobil. Aku menyuruhnya pergi bersamaku. Sedangkan, mobil miliknya ditinggal di rumah tadi. Ada suruhannya yang akan menjemput.Perjalanan menuju perusahaan cabang yang terletak di kota Bandung cukup jauh, waktu yang ditempuh sekitar dua setengah jam. Belum lagi kalau jalanan macet - apalagi pagi
"Oh, Ka Arga, Bisa tolong ...." Eka melihatku bersama Luna melewati mereka."Maaf, tidak, bisa," jawabku memotong ucapannya. Aku tahu Eka akan memintaku untuk melunasinya. "Sebaiknya, kalian jual kembali tas-tas dan perhiasan yang telah kalian beli itu. Tuh, kalung, cincin, dan gelang di tangan ibu, Rita dan juga kamu, kalau dijual bisa melunasi semua utang kalian," sindirku kemudian melangkah, diikuti Luna."Tunggu, Arga!" seru ibu.Kuhentikan langkahku dan berbalik ke arahnya. "Ada apa lagi, Bu?"Ibu menoleh ke Luna, "Luna, kau juga akan pergi dari sini?""Iya, Ma. Saya harus mengikuti suamiku.""Kau yakin? Bagaimana dengan fotomu, apa kau tidak ...." "Aku sudah jelaskan ke Ka Arga. Akan kami selesaikan sendiri masalah itu nantinya."Senyumku tersimpul dengan jawaban Luna. Setidaknya, aku suka keberaniannya kali ini menjawab pertanyaan ibu dengan tegas."Kamu serius? Apa kau tidak khawatir foto itu akan menyebar?" Ibu mulai memainkan kartunya lagi tapi sayang, aku tak sebodoh yang
"Lun, kita ke rumah ibu dulu ya!""Mau ngapain?""Ada beberapa dokumen penting saya yang kutinggalkan di sana. Takutnya, mereka membuangnya!"**"Ini barang-barang siapa?" tanya Luna.Aku dan Luna keheranan melihat banyak barang yang sudah berhamburan di depan rumah setelah kami tiba. Mataku mencoba menerawang ke dalam. Semua terlihat sangat berantakan. Ada apa ini?"Eka ... Rita! Ini tas dan barang-barang kenapa di luar?"Eka dan Rita belum menjawab dan tidak menoleh sedikitpun ke arah kami. Mereka masih tergugu dengan wajah memilukan. Kami menatap mereka bergantian.Aku dan Luna langsung melangkah ke dalam rumah, ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi. "Maaf, Pak. Ini ada apa, ya?" tanyaku pada seorang lelaki dengan seragam lengkap berwarna cokelat."Maaf, Pak. Rumah ini disita sementara," jawabnya."Disita?""Ya, terlilit utang yang sangat banyak." Aku dan Luna saling berpandangan."Ma, apa sebenarnya yang terjadi?" Luna menanyai Bu Mega yang baru keluar dari kamar."Ini semua
"Sepertinya, aku pernah lihat ibu, tapi di mana?" Lama aku menatapnya hingga membuatnya salah tingkah."Kayaknya salah orang, deh! Mungkin di pesta malam itu kita pernah berpapasan," jawabnya."Mmm ... Iya juga, tapi ... Aku ingat sekarang! Kalau tidak salah, ibunya Adit kan, salah satu karyawan saya?""Kok, Mas, bisa ingat?""Kan kita satu kompleks tempat tinggalnya. Kalau tidak salah, saya sering melihat ibu diantar Adit lewat di depan rumah.""Hihi ... Iya." Ia tersenyum hingga gigi depannya terlihat.Aku berjalan menghampiri Luna yang lebih dulu meninggalkanku. Kuperhatikan dari sini bagaimana Luna mengajari adik-adiknya menata dan menyiapkan makanan. Aku tak menyangka, ia masih mengingat mereka.Kuurungkan niatku menghampiri mereka. Aku mencari tempat yang aman kemudian duduk- memerhatikan mereka dari sini - tak ingin merusak suasana."Aku tak bisa, tak biasa seperti ini." Rita mengeluh dan melepaskan kembali beberapa bahan yang ia pegang."Gak boleh gitu, Rit. Kau harus bisa. U
"Tapi, Ma. Eka gak suka diperlakukan kayak tadi. Apalagi tadi si Arga, lagaknya kayak Bos. Ka Luna juga ikut-ikutan memerintah segala. Ih, nyebelin!" gerutu Eka. "Ehmm ... Sepertinya, aku mendengar namaku disebut atau aku salah dengar?" Aku menuruni anak tangga. "Ka Ar-ga!" Mereka terperangah dengan kedatanganku. Bisa kulihat jelas wajah mereka menegang. "Ingat waktu kalian hanya sebulan. Kalau kalian tidak siap, ya sudah. Saya melepaskannya kembali rumah ini. Semua pilihan ada di tangan kalian. Saya tidak ingin memaksa, tapi kalian sendiri yang meminta," ucapku, hendak berlalu dari mereka. "Ini hanya salah paham, Ga. Ibu akan lebih tegas lagi sama mereka nanti." "Baiklah!" Aku mendengar suara mobil masuk pekarangan rumah. Kulihat sebentar, dua mobil sedang terparkir. Beberapa wanita keluar dari mobil tersebut dengan dandanan yang sungguh menyilaukan mata. Bila kutaksir usia mereka sekitar hampir lima dan empat puluhan tahun. "Samlaikum ... Sore!" "Iya, sebentar!" Bu Mega memb
Fisal!"Di sini anda rupanya! Ke mana saja selama ini?""Lumayan, banyak urusan." Tatapan tajam itu mulai berubah sayu seperti orang yang sedang putus asa. Ia pun bangkit dan berlalu dari kami."Ke mana, kau tak membantu mereka?" Tak ada jawaban dari Fisal. "Kau harus ikut bertanggungjawab tentang penyitaan rumah itu." Ia hanya berlalu dari kami hingga hilang dari pandangan. Kenapa setiap bertemu dengannya, perasaanku selalu tak enak karena matanya selalu melihat ke Luna. Wajah Luna selalu menoleh ke tempat lain atau menunduk tak pernah melirik ke lelaki tadi. Apa yang sebenarnya terjadi. Atau mungkin perasaanku saja karena melihat foto yang lalu. Entahlah, mengingat foto itu membuat darah ini mendidih dan wajah ini memerah. Luna sudah lebih dulu berjalan meninggalkanku sendiri. Aku pun berjalan menghampiri Rita dan Eka. Wajah mereka terlihat kisut. Tadi kulihat cukup banyak pengunjung yang datang mungkin membuat mereka sedikit kewalahan atau karena tak suka ada kami di sini. Kulihat
POV ArgaButik milik Luna semakin laris dan menjadi buah bibir warga internet.Butik tersebut baru berjalan sekitar lima bulan, tetapi sudah meningkat pesat. Peminatnya sudah sangat banyak dari berbagai pelosok. Promosinya sangat masif dilakukan reseller secara langsung, maupun secara tidak langsung oleh customer sendiri."Nyonya, semua undangan sudah berdatangan." Suara seseorang di balik sambungan telepon."Tolong beritahu Lastri untuk mengkoordinir penerima tamu," titah Luna di balik sambungan telepon. "Baik, Nyonya. Ada kabar buruk, Non!""Kabar buruk apa?""Be-berapa pieces baju sebagai contoh yang akan ditayangkan nanti, basah terkena air hujan." Suara dibalik telepon terdengar cemas."Masih ada contoh gambar desainnya 'kan?""Mohon maaf, Non, tidak ada. Saya sudah menanyakan ke teman yang lain, tapi tidak ada." "Sherly! Kenapa kau tidak menyimpan file-nya sebagai arsip?""Saya mo-hon maaf, Non." Sherly terdengar putus asa.""Acaranya sebentar lagi! Aduh ....""Kenapa tidak ka
POV ArgaPagi ini aku sudah siap dengan pakaian yang rapi. Jariku masih sibuk mengetik sebuah pesan sambil menunggu jemputan. Tak butuh waktu lama, sebuah mobil memasuki pekarangan rumah kemudian berhenti di depan pintu. "Silakan masuk Tuan!""Terima kasih, Pak Iwan." Aku beranjak dari tempat duduk dan menuju mobil."Sama-sama, Pak. Pesawat akan berangkat sejam lagi. Kita masih memiliki waktu untuk boarding pass." Aku mengangguk dan masuk ke dalam mobil. Selama dua hari Luna pergi dari rumah, aku sangat gelisah. Selalu memikirkan keadaannya dan bagaimana dia menghabiskan harinya di sana. Mobil memasuki Bandara kemudian berhenti. Setelah penerbangan dari Surabaya ke Jakarta sekitar satu setengah jam lebih, kami pun tiba. Kami langsung menuju mobil hitam yang menunggu kami. Mobil hitam tersebut sudah kami pesan sebelumnya. Pak Iwan mengendarai mobil dan membawaku ke hotel, tempat Luna menginap. "Tuan, silakan! Di sini kamarnya!" Andry menunggu kami dan menunjukkan kamar Luna. "
POV Arga"Bi Minah, lihat Non Luna, Gak?" Dadaku memompa tidak menentu sambil menuruni anak tangga. "Maaf, Tuan, saya hanya melihatnya pagi tadi. Dia sangat rapi, mungkin dia pergi kerja ke kantor!" "Bi Minah tidak melihatnya membawa koper?""Koper! Tidak Tuan. Dia tidak membawa apa-apa, Tuan. Aku hanya melihatnya berpakaian rapi saja seperti biasa." "Dia mengatakan apa-apa sebelum pergi?""Tidak, Tuan. Ada apa sebenarnya Tuan?"Bi Minah terlihat bingung, tidak mengerti dengan pertanyaanku. Apa Luna pergi tanpa sepengetahuan Bi Minah?Argh!Oh, aku ingat Pak Yanto. Dia pasti melihat Luna. Aku bergegas keluar dan memanggil Pak Yanto agar segera mendekat padaku."Pak, lihat Non Luna keluar?" "Iya, Pak. Pagi tadi, ia keluar seperti biasanya.""Pak Yanto tidak melihat Non Luna membawa koper?" "Saya tidak memperhatikannya, Pak. Soalnya Non Luna menyuruh taksi masuk ke dalam dan saya tidak melihat jelas saat dia masuk ke dalam taksi.""Argh! Kenapa kalian tidak bisa membantu! Info ap
POV Luna"Arga, semua tamu undangan telah hadir. Apakah sebaiknya kita duduk dulu? Setelah itu, baru kita pergi." Aku berbisik pelan ke Arga dengan harapan dia mau menghentikan langkahnya dan mengikuti saranku. Aku tahu seperti apa temperamen Arga. Kalau dia sudah bertekad dan memutuskan sesuatu, ia tidak akan pernah menarik lagi apa yang telah ia katakan sebelumnya. "Pa-k Arga, mohon maaf atas kelalaian saya karena tidak memberi peringatan ke pasangan saya sebelumnya. Saya akan melakukan apapun yang anda minta untuk aku lakukan terhadap wanita itu."Air muka Pak Peter berubah pucat. Ia sangat gelisah, bagaimana meyakinkan Arga agar mendengarnya. Aku juga kasihan melihatnya yang entah seperti apa acara ini akan berlangsung. Ternyata tujuan utama pelaksanaan acara ini untuk menarik banyak investor yang akan bekerjasama dengan mereka. Itulah mengapa, Pak Peter sudah tidak mempertimbangkan lagi image-nya di depan tamu undangan yang hadir dengan memohon kepada Arga.Arga merupakan sala
POV LunaDi saat kami tiba, beberapa mobil sudah terparkir. Kami membuka pintu mobil kemudian keluar."Ayo!" Arga mengulurkan tangannya padaku. Aku pun meraihnya."Kok, tanganmu berkeringat? Kau gugup?""Iya, kan ini pertama kali bagiku!""Selamat datang, Tuan!" Kami disambut oleh seseorang yang ditugaskan untuk menerima tamu. "Mari ikuti saya, Tuan dan Nyonya, aku akan menunjukkan tempat duduk untuk kalian."Kami pun mengikutinya. Sepertinya acaranya belum dimulai karena para tamu mulai berdatangan. Beberapa wajah tidak aku kenal sama sekali."Bapak dan Ibu, silakan duduk di sini!" Tempat kami Sepertinya sangat istimewa di bagian depan sekali. Aku melirik ke kanan dan kiri, beberapa wajah yang tidak asing. Mereka ialah dewan direksi yang baru saja melakukan rapat bersama Arga siang tadi. Beberapa pasang mata memerhatikan kami. Semua berdiri menyalami kami. Sepertinya sekitar kurang lebih lima belas menit lagi akan dimulai bila mengikuti waktu sesuai undangan. "Baik, terima kasih.
POV Luna"Kau mau ikut denganku ke perusahaan?" Aku pun mengangguk.Arga telah rapi dengan kemeja dan celananya. Ia akan segera keluar dari kamar. Ia mengajakku ke kantornya. Karena aku tidak memiliki kesibukan maka aku memutuskan mengikutinya. "Kalau kau tidak betah, kau boleh berhenti saja dari pekerjaanmu." Arga berbicara padaku sambil menyetir mobil.Kalau dipikir-pikir lagi, saran Arga memang benar. Sepertinya, aku tidak mungkin akan bertahan lama lagi bekerja di pekerjaanku sekarang."Kau kenapa? Kau masih diam dari tadi," tanyanya lagi."Tidak, kok. Aku suka dengan pekerjaan ini.""Tapi, lingkungannya tidak membuatmu nyaman." "Hanya masalah kecil, kok. Aku pasti bisa melewatinya.""Kau bisa mencari tempat lain, kalau kau ingin ...." Arga berbicara lagi setelah keheningan beberapa lama."Aku sudah mencoba, tidak ada lagi. Di daerah ini kan hanya dua saja. Yang satu, sedang tidak membuka lowongan pekerjaan.""Atau aku membantumu berbicara dengan direkturnya?""Arga!" tatapku pa
Dia terlihat sangat jauh berbeda, tidak terlihat seperti anak gadis yang kukenal dulu. Bila ditaksir, dress yang dipakainya berkisar jutaan, tidak kurang sedikit pun nilainya dari mata siapa saja yang melihat."Rita!" "Panggil aku Nyonya Peter!" ucapnya sambil berkacak pinggang. "Dia Tuan Peter, calon suamiku dan juga salah seorang pemilik saham di perusahaan ini."Dahiku berkerut saat mendengar ucapannya. "Kau yang bernama Luna?""Iya, benar, Tuan." Lelaki itu menatapku dengan tatapan penuh hasrat. "Saya banyak mendengar tentangmu dari Rita!" Aku sedikit merinding ditatap seperti itu dan matanya masih terpaku menatapku. Matanya tidak berkedip sedikit pun. Aku tidak berani menatap padanya, aku mengalihkan pandangan ke arah lain.Aku sudah menduga bahwa Rita telah membicarakan sesuatu yang buruk tentangku. Mungkin dibumbui dengan cerita-cerita fiksi buatannya agar terdengar dramatis.Ia dari dulu tidak pernah suka padaku, bahkan tidak menganggapku sebagai kakak atau apapun namanya.
POV Luna"Selamat sore, Tuan. Tadi, ada seorang wanita yang mencari Non Luna." Pak Yanto mendatangi kami ketika Arga akan memarkirkan mobil.Aku saling pandang dengan Arga karena bingung. Kalau wanita yang dimaksud adalah salah seorang klien di perusahaan Arga, mungkin Pak Iwan yang akan menghubungi Arga. Namun, Wanita tersebut mencariku."Bapak tidak mempersilakan dia untuk masuk dulu?""Dia tidak mau, Non. Setelah aku bilang Non Luna masih kerja, dia langsung pergi.""Apakah ada yang ingin dia sampaikan, Pak?""Sepertinya, tidak ada, Non.""Pak Yanto ingat ciri-cirinya seperti apa?""Rambutnya ikal, tingginya sebahu, dan kulitnya kuning langsat, dan mungkin usianya sekitar 20-an."Arga menoleh padaku dan mengucapkan, "Apakah mungkin itu Rita?"Dari ciri-ciri yang disebutkan oleh Pak Yanto, Rita yang sangat memenuhi. "Apakah Pak Yanto lihat tanda di keningnya?""Oh, iya. Aku baru ingat! Ada tanda bintil hitam.""Baik, Pak. Terima kasih.""Sama-sama, Non."Aku hampir saja tidak mengi
POV Arga"Dasar wanita jalang tidak tahu malu! Kau memanggil tuan ini dengan menyebut namanya. Apakah kau tidak tahu tata krama?" Mataku melirik sekilas ke mejanya. Dia yang tadi mengenalkan diri dengan nama Celine. "Dasar wanita jalang! Kau memang wanita bermuka tebal. Hanya karena kau membaca nama yang tersemat di dadanya, kau seolah mengenalnya untuk menarik perhatiannya!" "Kau memang pelacur yang berpengalaman!"Tiba-tiba bunyi tamparan keras melekat ke pipi wanita di depanku. Kalau aku tidak salah dialah yang bernama Lusi. Aku masih mengingatnya ketika dia mengejek Luna."Aku punya nama. Apakah kau tidak tahu membaca papan nama yang ada di meja kerjaku?" Luna menatapnya tajam. Bibirnya bergetar. Mataku membulat saat melihat Luna yang cukup berani menampar pipi wanita di sampingnya."Kau ... Wanita jalang! Berani sekali menamparku. Apa kau bisa keluar hidup-hidup dari tempat ini?" Wanita itu histeris. Matanya seakan melompat dari tempatnya.Saat tangannya akan mendarat di pipi L