Anne masih menunggu dalam kecemasan dan bimbang. Wanita itu sedikit tidak percaya dengan keaslian cek. Secara Sarita begitu dia lukai sedemikian rupa, andaikata cek itu resmi dan asli ini adalah hal yang luar biasa. Namun, jika semua palsu maka semakin peninglah otak wanita paruh baya itu."Bagaimana Siska?" "Ini Asli, Anne. Namun, ada batas waktu jam untuk mencairkan dan juga hanya bank yang dia tunjuk yang bisa mencairkan uang sebanyak itu," jawab Siska."Lalu, berapa jam yang aku butuhkan untuk mencairkan uang itu?" tanya Anne."4jam kedepan, tetapi ini sudah berjalan 30 menit. Bukan hanya itu saja, Anne. Bank yang dia tunjuk tempatnya cukup jauh dari lokasi rumah kamu itu," ungkap Siska."Sialan, pandai juga dia berpolitik denganku. Awas saja jika cek ini sampai di bank itu kosong." Anne mencengkeram ujung meja kerjanya, "Beri aku lokasi bank itu, Sis! Mumpung masih ada waktu!"Anne menutup panggilan itu, lalu menunggu beberapa detik hingga sebuah notif pesan masuk yang berisi al
Anne membolakan kedua mata kala dilihatnya pada layar ponselnya ada nama pria yang selama ini menjadi target penyuntik dana perusahaannya."Tolonglah perusahaan saya, Pak Saga?" "Aku hanya ingin manarik semua sahamku pada perusahaan tekstil milikmu, Madam. Aku tidak ingin sahamku ikut turun hanya kerena sikapmu!""Jangan lakukan itu, Pak. Pada siapa lagi aku meminta pertolongan jika tidak pada Anda!" rengek Anne.Namun, hening. Diseberang Saga hanya bungkam, napasnya turun naik seirama terdengar tanpa ada pergolakan. Sedangkan napas Anne tercekat pada temggorokan. Wanita paruh baya itu begitu bingung, apa sebab awal kehancurannya."Saya mohon, apapun yang Bapak inginkan pasti saya penuhi," rayu Anne untuk mendapatkan empati dari Saga.Anne tidak mengerti saja siapa sosok Saga yang menghubunginya itu. Andai dia tahu mungkin segera perempuan itu bersujud meminta maaf. Yang dia tahu Saga ini dan Saga Waluyo orangnya berbeda, padahal mereka berdua sama."Aku tidak bisa, Madam. Dalam satu
Anne mencemgkeram ujung meja, kedua matanya menajam. Dia tidak terima dengan kekalahannya ini. Yang ada di otaknya hanya bagaimana cara untuk mangaji karyawannya jika semua saham sudha ditarik oleh Saga. Dia benar-benar tidak menyangka semua ini."Bagaimana jika kaiin di gudang kita lelang saja, Madam?" ide Kemal.Anne menatap pada Kemal, wanita itu mendengkus lalu pandangannya beralih pada Cintya. Cintya terlihat serius menatap layar laptopnya, sesekali dia menyeka keringat yang keluar. Lalu kepalanya terangkat dan tatapannya langsung terkunci oleh tatapan Anne."Semya sudah saya revisi, Madam. Jika untuk menggaji karyawan bulan ini, keuangan pabrik masih mencukupi dan hanya menyisakan 50 juta rupiah saja," ungkap Cintya. "Ini berlum gaji kepala bagian," lanjut Cintya.Anne tampak berpikir, dia begitu menyesali atas tindakannya yang menyinggung hati pembisnis muda itu. "Sungguh tidak pernah aku kira semua ini, dasar Bagas kurang ajar. Dia tidak segera bertindak!" umpat Anne dalam ha
Hening, tidak ada suara dari seberang. Hanya deru napas Bagas yang terdengar teratur. Anne menunggu jawaban dari putranya, tetapi hingga sepuluh detik belum ada jawaban."Bagas, kau masih di sana?" tanya Anne."Iya, Mah. Maaf sepertinya itu sulit setelah perbuatan mama beberapa waktu tadi. Rencana Mama yang memasung simbok membuat luka Sarita semakin melebar.""Aku pikir dengan jalan itu, wanita sundel itu melunak," kilah Anne."Tapi lihat hasilnya, Ma! Semua rencanaku hancur. Kini aku harus ulang dari awal lagi, atau mencari jalan yang beda untuk dapatkan putraku," kata Bagas datar."Apa rencana kamu, Bagas?"Belum juga Anne mendengar jawaban dari seberang, panggilan itu terputus secara sepihak dari Bagaskara. Rupanya pria itu sudah malas membahas masalahnya dengan sang ibu. Dia lebih memilih berjalan melalui pikirannya sendiri.Saat ini Bagas sedang berada di sebuah perusahaan kayu terbesar di Jepara milik orang tua Ni Luh Ayu. Pria itu mencoba melobi kerjasama dengan PT. Kayu Abadi
"Hai Sayang, kita masuk dulu yuuk! Nanti mama jelaskan siapa nenek ini," kata Sarita.Alifian pun mengangguk lalu berjalan mendahului tiga wanita dewasa itu. Kemudian anak kecil itu mempersilakan pada mereka untuk duduk dan dia pamit undur diri ke belakang guna memberitahukan pada simbok agar buatkan minum."Wah, Aden pinter deh!" puji Aulia.Alifian hanya mengacungkan jempol lalu berjalan masuk ke dalam. Beberapa saat pria kecil itu sudah masuk bersama seorang wanita muda yang membawa nampan berisi tiga gelas minuman hangat dan juga susu tidak lupa ada cemilan."Silakan di nikmati, Nyonya. Saya permisi!" "Terima kasih Siti!" ucap Sarita.Wanita itu yang bernama Siti mengangguk dan balik badan, dia masuk ke dalam untuk melanjutkan pekerjaannya. Setelah kepergian Siti, Sarita menatap simboknya. Marni masih diam, pandangannya menyapu sekitarnya lalu terbitlah sebuah senyuman lebar dengan mata mengerjab. Perlahan bulir bening turun dari kedua sudut matanya."Kok Simbok nangis, Sarita mi
Alifian terdiam sejenak, pria kecil itu berulang kali menghirup napas seolah dia takut kehabisan stok oksigen di udara bebas. Setelah merasa yakin, anak itu mulai bercerita mengenai awal jumpa dengan wanita itu. Marni mendengarkan dengan seksama dan terkadang membola kedua matanya. Dia merasa ikut sedih mengingat semua kekejaman majikannya itu."Setega itukah, Nak? Sungguh kejam," keluh Marni."Iya, Nek. Kejadiannya juga masih baru kok, sekitar dua atau tiga hari yang lalu."Marni mengernyitkan dahi, dia mencoba ingat kejadian yang dia alami tiga atau dua hari yang lalu. Iya, saat itu Anne terlihat begitu bahagia hingga Marni diberi buah segar dalam bentuk kupasana. Hari yang tidak biasa, rupanya kebahagian ini."Jadi seperti itu kisahnya, lalu sekarang bagaimana persaan Alif?""Alif saat ini tidak diperbolehkan oleh Paman Saga keluar sendiri, Nek. Kata paman berbahaya," ungkap Alifian.Marni memeluk lagi tubuh cucunya itu. Dia merasa semakin bersalah telah membawa Sarita ke kota saat
"Tidak, aku tidak miliki kembaran. Hanya saja wajahku ini begitu mirip dengan ayahku. Mungkin yang Nenek lihat saat itu adalah ayahku," jelas Sagara. "Dia sudah meninggal sesaat setelah bercerita telah berhasil menyelamatkan Bibi Alinsky yang sedang hamil tua."Marni akhirnya mengangguk mengerti, lalu suaranya pun keluar. Wanita itu bercerita asal mula adanya Sarita. Namun, Marni tidak mengerti mengapa ibunya Sarita ditinggalkan begitu saja tanpa pengawasan dan percaya pada orang asing seperti dirinya. Saga mendengar semua cerita yang mengalir lancar dari mulut Marni.Pria itu mengernyitkan dahi, dia terlihat sedang berpikir menyamakan kisah itu dengan kisah dari ayahnya saat dia masih remaja. Saat itu keluarga Waluyo sedang mengalami krisis kepercayaan sehingga terjadi perang saudara. Mereka saling menjatuhkan satu sama lainnya, hanya Alinsky dan ayahnya lah yang masih selamat.Saat kejadian Sagara sedang berada di luar negeri ikut ibunya yang sedang plesir. Ketika pulang semua sudah
Sore yang cerah, Sarita membawa Alifian bermain ke taman kota. Di sana terlihat ramai anak kecil seusia anaknya, Sarita sengaja membawa Alifian agar anak itu bisa berinteraksi dengan sekitarnya."Wah ramai sekali, Ma!" decak kagum Alifian."Iya, Sayang. Tidak biasanya," jawab Sarita sambil mengeluarkan sepeda mini untuk Alifian.Setelah sepeda itu bisa keluar seutuhnya, Sarita menutup pintu bagasi. Selanjutnya wanita itu membawa sepeda roda tiga tanpa alat kayuh itu di tempat landai."Ini cara mainnya gimana, Ma?""Iya pakai kaki Sayang, nah itu ada temannya!"Alifian pun melihat arah tunjuk mamanya, lalu dengan cepat Alifian meniru cara main sepeda tanpa pedal. Gadis kecil yang ditunjuk Sarita lah tujuan Alifian. Maka dia pun meminta ijin."Asyik ini, Ma. Alifian ke sana dulu!" pinta Alifian sambil mendekatkan sepedanya pada anak perempuan."Hai, boleh aki gabung?" tanya alifian pada seorang gadis kecil seusia dirinya."Boleh, aku Almayra. Kamu?" jawab gadis kecil itu sambil sebutkan
Sarita terbangun masih dalam pelukan Sagara, bahkan sinar mentari pagi sudah menyapa lembut kulitnya. Dia sedikit terkejut saat ujung kakinya tersentuh oleh buih air. "Dimana aku?""Sudah bangun? Lihatlah, sinar jingga menghiasi langit timur!"Sarita bangkit dari posisinya, dia berdiri menatap sinar jingga sambil merentangkan kedua lengannya. Dadanya terlihat naik perlahan menandakan sedang menghirup udara. Sagara ikut berdiri dan berjalan mengikis jarak, lalu dipeluknya tubuh Sarita dan berbisik, "Bagaimana dengan tawaranku semalam, Sayang?"Sagara meletakkan kepalanya pada ceruk lerer Sarita dan mulai menghidu aroma yang sudah membuatnya candu. Telapak tangan Sarita pun bergerak mengusap kepala Sagara. Wanita itu menyunggar surai rambut sang lelaki, kemudian menekannya lembut. Sarita merasa nyaman dengan setiap sentuhan Sagara, tetapi sisi hatinya yang lain masih enggan untuk menyambut cinta yang ditawarkan. "Akankah kau selalu ada untukku?" tanya Sarita lembut. Tidak ada jawaba
Di antaranya bukti keterlibatan Madam Anne atas kematian Alinsky Waluyo. Meskipun dari hasil pemeriksaan, Alinsky dinyatakan meninggal karena kecelakaan tunggal.Akan tetapi, pada fakta yang ditemukan, Alinsky meninggal karena luka parah yang dideritanya setelah kecelakaan yang dialaminya, dan yang lebih mengejutkan ternyata kecelakaan tersebut dipicu karena rem blong sebab tali rem mobil Alinsky telah dipotong. Tidak hanya itu saha, Madam Anne bahkan memerintahkan seseorang untuk membuat sebuah rekaman palsu yang menceritakan bahwa Alinsky pergi dari rumah Pradipta dengan seorang pria. Kemudian dengan segala tipu daya dan rayuan, Madam Anne pun mendekati Pradipta yang tengah terluka dan kehilangan Alinsky serta calon anak yang masih berada di kandungan Alinsky untuk selamanya. Pradipta yang merasa kecewa dengan sikap Alinsky pun perlahan mulai termakan omongan Madam Anne muda dan bersedia menikahi Madam Anne beberapa bulan setelah kepergian Alinsky yang tanpa kabar tersebut.Yang
Sarita terdiam, wanita itu menatap pada Sagara begitu juga sebaliknya. Hanya Alifian yang terlihat asyik sendiri tanpa beban. Kemudian dia beranjak meninggalkan kedua orang dewasa menuju ke teras rumah. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang guna memastikan apakah keduanya sudah berjalan. Namun, hingga kaki kecil sampai di ambang pintu kedua orang dewasa belum juga terlihat membuat Alifian berteriak memanggil bundanya. "Sebaiknya kita antar dulu putra kamu itu, Sari. Setelahnya baru ke butik bahas lebih lanjut," kata Sagara sambil meraih jemari Sarita dan menautkan pada jemarinya. Sarita terdiam mengikuti semua pergerakan Sagara wanita itu sama sekali tidak menolak ataupun menghindar. Hingga sampai di depan Alifian pun tautan jemari mereka tidak terlepas. "Masuklah bersama Alif di belakang, Sari!"Sarita segera masuk menyusul putranya dan duduk di samping Alifian. Pria kecil menatap bundanya sekilas lalu berpaling ke samping melihat jalanan yang mulai padat. Mobil berjalan perlaha
Tangan kanan Sagara mengepal erat, sebuah bogem mentah sudah hendak dihadiahkannya untuk Bagaskara. Namun, diurungkan karena ada jemari lentik yang menghentikan niatan tersebut. Sagara memalingkan wajah ke samping. Tampak pemilik jari tersebut menggelengkan kepala sambil menyuguhkan senyum lembut yang mampu melelehkan hatinya. Emosi Sagara seketika menguap begitu saja, sementara Bagaskara semakin merasa geram karena mantan istri malah memberikan senyum terbaik pada laki-laki selain dirinya. Gelap mata! Itu yang dirasakan Bagaskara saat ini. Penuh emosi, Bagas menarik bahu pria yang lima tahun lebih tua tersebut. Giginya gemeretuk, rahangnya mengencang, mata pun sudah memerah, dan detik berikutnya ... Bugh! Bagas meninju rahang Sagara yang langsung terhuyung. Sungguh beruntung, pengendalian keseimbangan pria itu cukup baik sehingga dia tidak sampai terjatuh hanya sedikit oleng saja. Sagara ingin membalas Bagas, tetapi Sarita dengan cepat menarik tangan Sagara. Sambil memberikan s
Aknat dan Bagas refleks saling bertukar pandang saat mendengar pertanyaan hakim ketua. Apa maksud hakim ketua dengan mempermainkan? Kenapa lelaki jelang senja itu bisa berkata demikian? Jangan-jangan .... Didorong oleh rasa penasaran, Aknat pun bermaksud kembali maju untuk memeriksa ulang apakah ada kesalahan yang tidak disengajanya saat menyerahkan bukti ketidakberesan Sarita sebagai ibu. Akan tetapi, baru saja mengangkat tubuhnya dari kursi, ketua majelis hakim yang terhormat sudah mengangkat tangan -- melarangnya untuk maju. Akhirnya, dengan penuh kebingungan, Aknat menuruti perintah ketua majelis sidang. Sambil bertanya-tanya, Aknat menatap hakim ketua dan Bagaskara bergantian. Pemuda itu bahkan hanya bisa mengedikkan bahu ketika Bagaskara menanyakan hal tersebut padanya. Ketua majelis hakim yang terhormat masih menatap Aknat dan Bagaskara dengan tatapan tajam penuh kemarahan. Pria yang sudah berprofesi menjadi hakim selama dua puluh tahun tersebut merasa terhina. "Apa maksud
Keesokkan paginya tidak jauh dari sebuah rumah mewah bercat putih, tampak sebuah city car berwarna hitam. Pengemudi city car tersebut tampak serius mengamati rumah mewah yang dijaga ketat oleh seorang petugas keamanan. "Aku harus bisa masuk ke rumah itu untuk mencari berkas-berkas penting yang mereka sebutkan kemarin. Hanya saja bagaimana ya caranya?"Pemuda tersebut memutar otaknya -- mencari cara agar dia bisa masuk ke dalam rumah mewah dan menjalankan misinya tanpa ketahuan oleh penghuni rumah. Dia pun memeriksa seluruh penjuru mobilnya. Elfrada mengobrak-abrik seluruh isi dashboard mobil dan menemukan dua buah benda yang diyakini bisa membantu meloloskan niatnya masuk ke dalam rumah target. Dengan keyakinan penuh, lelaki tersebut mempersiapkan diri. Setelah semua siap, dia kembali mengawasi rumah mewah yang hanya selisih dua rumah dari tempatnya. Beberapa menit kemudian, tampaklah sebuah mobil mewah dan elegan berwarna silver metalik keluar dari halaman rumah tersebut. Dengan
Pria muda berkaca mata hitam itu segera meluncur pergi dari depan rumah Bagaskara, dengan kecepatan tinggi pemuda tersebut memacu kendaraan roda empat yang dikemudikannya. Di tengah perjalanan pria itu menelepon seseorang, "Bos, tadi saya sempat mencuri dengar pembicaraan antara Bagaskara, istrinya, dan kedua pengacara mereka melalui sebuah penyadap. Saya mendengar mereka mempunyai sebuah bukti yang akan bisa dipakai menekan dan mengalahkan Nyonya Sarita di pengadilan.""Bukti apa dan siapa yang membawa bukti tersebut?" tanya lawan bicara pria muda yang ditugaskan menjadi kata-kata tersebut. "Saya masih belum mendapatkan informasi bukti seperti apa yang dimaksud, hanya saja saya tahu siapa yang sudah menyimpan bukti tersebut." Info pemuda tersebut sambil terus mengemudikan kendaraan roda empatnya. Sementara itu, di tempat lain lawan bicara pria muda tersebut tampak sedang memikirkan strategi apa yang akan diambilnya untuk menghancurkan Bagaskara dan istrinya, Ni Luh. Sosok tersebu
"Tenang, Tuan Bagas. Bersantailah sedikit, tidak perlu seemosi itu. Saya hanya bertanya saja pada Anda. Apakah Anda yakin dengan keinginan Anda mengenai hak asuh anak?" Ulang Aknat pada Bagaskara yang menatapnya lekat dan tajam."Apa perlu saya ulang jawaban saya agar Anda yakin pada apa yang menjadi keinginan saya?" Kini giliran Bagaskara membalik pertanyaan Aknat. Nada suaranya rendah dan dalam, terlihat sekali jika dia sedang menahan amarah pada pemuda yang duduk di samping Ni Luh.Mendengar jawaban Bagaskara yang begitu penuh kemarahan yang tertahan, Ni Luh mengerutkan dahinya. Wanita itu merasa sedikit aneh dengan sikap suaminya ketika mendengar pertanyaan Aknat.Ni Luh mengamati manik tegas suaminya lekat-lekat. Dia merasa penasaran dengan jawaban dan sikap Bagaskara selanjutnya. Sementara itu, sikap Aknat tampak berbanding terbalik dengan Bagaskara yang tampak begitu emosi.Pria matang yang dikenalkan dengan nama Arswendo merasa tidak enak melihat situasi yang mulai tidak kondu
Saat hendak menikmati madu alami pintu dibuka oleh pelayan dengan membawa makanan yang sesuai pesanan juga dua orang tamu. Bagas dan Ni Luh segera memperbaiki cara duduknya. "Silakan saja dilanjut, kami dengan sabar menunggu, Tuan dan Nyonya!" ujar Aknat pengacara pribadi Ni Luh. "Kau jangan bikin malu, Nat. Usiamu masih jauh," dengus Ni Luh. Aknat hanya mengulas senyum tipis, lalu mengambil duduk di depan Ni Luh sedangkan pria yang berusia matang ikut duduk di samping Aknat. Ni Luh menatap suaminya penuh tanya. Bagaskara tersenyum dan mempersilakan kedua tamunya untuk menyantap menu yang ada. Menu sederhana tetapi mewah. "Silakan makan, Tuan Berdua!""Apakah tidak lebih baik kita saling kenal dulu, Kak!" Pinta Ni Luh. "Saya Bagaskara sebagai suami dari Ibu Ni Luh Ayu. Ini pengacara saya, Bapak Arswendo!" ujar Bagaskara. Bagas mengenalkan diri dan pengacaranya pada pria muda di depan istrinya. Aknat yang sejak tadi terlihat santai segera menerima uluran tangan Bagas dengan itika