Sarita menatap sendu pada Aulia, kemudian berpaling pada dinding yang tergantung jam. Kedua bola matanya membeliak kaget dengan lirih bibirnya bersuara, "Sudah cukup larut sebaiknya istirahat saja di sini!""Tidak perlu, aku masih ada janji dengan Elfrada satu jam ke depan," jawab Aulia. Sarita menganggukkan kepala, "Habiskan dulu jus kamu, Aul!*Setelah berkata, Sarita beranjak dari duduknya dan mulai melangkah mengikis jaraknya dengan Aulia. Sampai di depan wanita muda, Sarita menaruh amplop cokelat sedang dan berkata, " Ini ada bonus atas kerja kerasmu selama ini!"Aulia mendongak menatap tidak percaya dengan semua yang ada, sesungguhnya selama ini dia bekerja tidak mengharap bonus. Dengan penuh sopan dia pun bertanya, "Apa ini tidak salah, Bu?""Pakai saja, ini hak kamu. Apalagi kudengar ibu sedang dirawat karena gagal ginjal. Benar 'Kan?*Aulia tidak bisa berkata lagi, bibirnya bungkam lalu anggukan kecil terlihat oleh Sarita. Perempuan itu menepuk pundak bawahannya lembut kemud
Napas lega keluar dari mulut Bagaskara, dengan senyum tipis lelaki itu mulai beranjak dari duduknya. Disambarnya jas yang ada di sandaran kursi, tanpa memakainya lebih dulu dia melangkah keluar. Pintu ruang kerjanya terbuka, pandangan pertama langsung tertuju pada sekertarisnya. Tanpa berkata di meletakkan selembar memo kecil pada meja kerja bawahannya itu. Sekertarisnya seketika mendongak melihat pimpinannya. Penampilan yang sangat kacau tampak jelas di raut wajah tampan Bagaskara. Setelah bayangan pimpinan hilang masuk lift khusus baru wanita itu mengambil memo dan membacanya. "Rupanya dia lembur 24 jam untuk membereskan kekacauan."Dengan cekatan sekertaris perusahaan itu melaksanakan semua yang tertulis di memo. Tidak butuh waktu lama, telepon di mejanya tidak berhenti berbunyi. Ini adalah resiko di sebagai sekertaris, berbagai omelan dan cacian dari para customer mengalun di telinganya."Inilah akibatnya siapa yang berulah tetap bawahan yang kerja keras. Huft, sungguh melelahka
Malam yang begitu dinantikan oleh Sagara pun akhirnya tiba, lelaki itu segera menyiapkan segala keperluan untuk memenjarakan hati Sarita. Semua persiapan sudah tersedia dalam waktu sekejab. Kini tinggal menjemput wanita impiannya. Mobil Maybech hitam legam meluncur membelah kota Semarang yang sedang hujan rintik. Kendaraan melaju dengan kecepatan yang akurat hingga tiba di kediaman Sarita tepat waktu. Terlihat sosok wanita yang sudah meluluhlantahkan jiwanya berdiri dengan anggun. Gaunnya yang berwarna pastel sangat pas dengan warna kulit. Rambut hitam panjang dibiarkan tergerai dengan sedikit dibuat curly pada samping menambah kesan menawan. Mobil berhenti tepat di depan Sarita, wanita itu menatap penuh tanya saat Sagara turun dengan warna pakaian yang senada. "Hendak kemana hingga harus senada seperti ini, Saga? Tidakkah kau sedang ada kerjaan?""Tenang saja, semua aman terkendali. Aku hanya menghiburmu untuk menikmati malam indah hanya bersamaku. Bagaimana?"Sarita hanya diam me
Ni Luh bangun pagi sekali, area vitalnya terasa perih. Dengan tertatih dia berjalan menuju ke kamar mandi dengan berbalut kain selimut. Wanita itu tidak memedulikan lagi keadaan suaminya yang masih sama saat awal pergumulan semalam. Air mata Ni Luh masih terus keluar bersamaan derasnya shower yang mengguyur tubuh telanjangnya, "Mengapa semua ini kau torehkan padaku, Kak. Apa salahku padamu?"Dalam tangisnya, Ni Luh masih mampu berpikir jernih. Dia menyatukan puzzle yang melingkari hidupnya hingga pernikahan itu terjadi. Namun, menyesal pun rasanya sudah tidak ada guna. "Aku harus bertahan dan membuat Bagaskara tunduk dengan cintaku!"Tekad Ni Luh sudah bulat, apapun yang akan terjadi dia tidak akan mundur dan mengalah sebelum perang. "Kau akan melihat tangis darah wanitamu, Kak. Lihat saja!"Rasa dendam sudah menguasai jiwa dan pikir wanita yang sudah terobsesi dengan Bagaskara. Ni Luh sungguh tidak rela jika suaminya masih ada hati pada perempuan lain. Baginya Bagaskara sepenuhnya h
"Saga, apa yang kau katakan ini tidak masuk akal!" desis Sarita, " Kita masih saudara."Sagara tidak memedulikan apa yang dikatakan Sarita bahkan dia mempererat pelukannya di saat wanita itu meronta ingin lepas. Akhirnya dengan terpaksa Sarita mengalah. Sarita memutar tubuhnya yang masih dalam pelukan Sagara untuk menghadap lelaki itu. Kepalanya tengadah agar bisa melihat jelas mimik wajah sang lelaki. Sarita tersenyum sambil membelai lembut dagu hingga leher kokoh Sagara. Mendapat sentuhan langsung seketika membuat Sagara memejam menikmati. "Apa yang kau inginkan, Hem?""Tidak ada," jawab singkat Sarita yang masih membelai leher tersebut. Sagara yang sudah tidak tahan lagi disentuh tangan lembut makin menunduk dan tangan yang lain sedikit mengangkat tubuh mungil Sarita. Telapak yang lain sudah meremat bulatan tubuh belakang bawah. "Kau menggodaku?""Apa kau sedang tergoda?"Tidak menjawab, dengan lembut bibir ranum itu pun di pagut mesra dan disesap begitu dalam oleh Sagara. Sarit
Ni Luh yang sudah siap segera berjalan meninggalkan Bagaskara di meja makan. Lelaki itu tidak berniat tujuan istrinya pergi mendahului dia, justru dengan perginya sang istri dia bisa leluasa menghubungi pengacara pribadinya. Saat melakukan panggilan pertama, pengacara itu sedang dalam panggilan lain. Hal ini membuat Bagaskara mendengus lirih. Lalu dicobanya lagi dan kali ini tersambung. "Ada yang bisa paman bantu, Gas?" tanya Pak Rahadi dari seberang. "Tolong siapkan berkas untuk perebutan hal asuh anak!" Pinta Bagaskara. "Perebutan hak asuh anak, tunggu anak siapa?"Bagaskara tidak segera menjawab pertanyaan Pak Rahadi tetapi justru menutup panggilan itu. Sikap Bagaskara ini yang membuat pria berusia senja di seberang hanya menggelengkan kepala, "Anak dan bapak memiliki kelakuan yang sama. Untuk bapaknya sudah almarhum." Apa yang dilakukan oleh Pak Rahadi sama sekali tidak bisa dilihat oleh Bagaskara. Namun, senyum masam terukir di bibir pria itu membayangkan wajah kesal pengac
Suasan pagi yang sedikit gaduh membuat Sarita bertanya dalam hati. Wanita itu pun segera menyelesaikan ritual paginya yang lumayan sempit. Setelahnya, Sarita keluar dari kamat dan mendapati sang putra berdiri dengan tatapan tajam. Sarita memilih jongkok agar sejajar dengan tinggi tubuh putranya, "Ada apa, Sayang?" tanyanya lembut. "Bunda sudah sehat?""Bunda tidak sakit, ada apa?""Bukankah semalam Bunda lagi demam?"Sarita memutar kedua bola matanya jengah, dalam hati dia mengumpat pada Sagara atas informasi yang salah. Kemudian dipeluknya tubuh pria kecil yang ada di depannya. Alifian menatap bundanya ragu, gelengan kecil terlihat nyata. Bibirnya masih mengerucut membuat Sarita gemas. "Sudah jangan dipikirkan lagi. Sebaiknya kita sarapan dulu, yuk temani bunda!" ujar Sarita. Alifian mencium pipi bundanya sekilas, lalu meraih jemari Sarita dan menautkan. Keduanya pun berjalan menuju ke ruang makan. Di ujung meja sudah terlihat sosok lelaki yang berhasil merebut hati bundanya. So
"Sarita, syukurlah akhirnya bisa bertemu di sini." Sisilia berkata sambil menetralkan napasnya. Sarita menatap penuh tanya pada sahabat sekaligus sekertaris sepupunya itu. Perlahan pintu butik terbuka, tampak senyum wanita muda menyambut kedatangan dua wanita penting. "Selamat Pagi, Ibu Sarita dan Nona Sisilia!" sapa Kumala. "Pagi, Mala. Tolong buatkan minum untukku dan tamuku ini, bawa ke ruanganku!""Baik""Aku teh hangat saja ya, Mala!" titah Sisilia. Kumala mengangguk, lalu segera berjalan ke pantry yang biasa digunakan para karyawan bila membutuhkan yang hangat dan segar. Sementara Sarita terus berjalan menuju ruang kerjanya bersama Sisilia. Wanita itu terlihat begitu kuat meski sering diterpa badai. Sisilia merasa debar jantungnya sedikit lebih lambat. Ada rasa takut melanda jiwanya pada berita yang akan dia sampaikan. Sungguh terjadi dilema. "Duduklah, Sil. Maaf aku mau membereskan sedikit kerjaan lebih dulu. Apa tidak masalah jika kamu tunggu sebentar saja?" Pinta Sarita
Sarita terbangun masih dalam pelukan Sagara, bahkan sinar mentari pagi sudah menyapa lembut kulitnya. Dia sedikit terkejut saat ujung kakinya tersentuh oleh buih air. "Dimana aku?""Sudah bangun? Lihatlah, sinar jingga menghiasi langit timur!"Sarita bangkit dari posisinya, dia berdiri menatap sinar jingga sambil merentangkan kedua lengannya. Dadanya terlihat naik perlahan menandakan sedang menghirup udara. Sagara ikut berdiri dan berjalan mengikis jarak, lalu dipeluknya tubuh Sarita dan berbisik, "Bagaimana dengan tawaranku semalam, Sayang?"Sagara meletakkan kepalanya pada ceruk lerer Sarita dan mulai menghidu aroma yang sudah membuatnya candu. Telapak tangan Sarita pun bergerak mengusap kepala Sagara. Wanita itu menyunggar surai rambut sang lelaki, kemudian menekannya lembut. Sarita merasa nyaman dengan setiap sentuhan Sagara, tetapi sisi hatinya yang lain masih enggan untuk menyambut cinta yang ditawarkan. "Akankah kau selalu ada untukku?" tanya Sarita lembut. Tidak ada jawaba
Di antaranya bukti keterlibatan Madam Anne atas kematian Alinsky Waluyo. Meskipun dari hasil pemeriksaan, Alinsky dinyatakan meninggal karena kecelakaan tunggal.Akan tetapi, pada fakta yang ditemukan, Alinsky meninggal karena luka parah yang dideritanya setelah kecelakaan yang dialaminya, dan yang lebih mengejutkan ternyata kecelakaan tersebut dipicu karena rem blong sebab tali rem mobil Alinsky telah dipotong. Tidak hanya itu saha, Madam Anne bahkan memerintahkan seseorang untuk membuat sebuah rekaman palsu yang menceritakan bahwa Alinsky pergi dari rumah Pradipta dengan seorang pria. Kemudian dengan segala tipu daya dan rayuan, Madam Anne pun mendekati Pradipta yang tengah terluka dan kehilangan Alinsky serta calon anak yang masih berada di kandungan Alinsky untuk selamanya. Pradipta yang merasa kecewa dengan sikap Alinsky pun perlahan mulai termakan omongan Madam Anne muda dan bersedia menikahi Madam Anne beberapa bulan setelah kepergian Alinsky yang tanpa kabar tersebut.Yang
Sarita terdiam, wanita itu menatap pada Sagara begitu juga sebaliknya. Hanya Alifian yang terlihat asyik sendiri tanpa beban. Kemudian dia beranjak meninggalkan kedua orang dewasa menuju ke teras rumah. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang guna memastikan apakah keduanya sudah berjalan. Namun, hingga kaki kecil sampai di ambang pintu kedua orang dewasa belum juga terlihat membuat Alifian berteriak memanggil bundanya. "Sebaiknya kita antar dulu putra kamu itu, Sari. Setelahnya baru ke butik bahas lebih lanjut," kata Sagara sambil meraih jemari Sarita dan menautkan pada jemarinya. Sarita terdiam mengikuti semua pergerakan Sagara wanita itu sama sekali tidak menolak ataupun menghindar. Hingga sampai di depan Alifian pun tautan jemari mereka tidak terlepas. "Masuklah bersama Alif di belakang, Sari!"Sarita segera masuk menyusul putranya dan duduk di samping Alifian. Pria kecil menatap bundanya sekilas lalu berpaling ke samping melihat jalanan yang mulai padat. Mobil berjalan perlaha
Tangan kanan Sagara mengepal erat, sebuah bogem mentah sudah hendak dihadiahkannya untuk Bagaskara. Namun, diurungkan karena ada jemari lentik yang menghentikan niatan tersebut. Sagara memalingkan wajah ke samping. Tampak pemilik jari tersebut menggelengkan kepala sambil menyuguhkan senyum lembut yang mampu melelehkan hatinya. Emosi Sagara seketika menguap begitu saja, sementara Bagaskara semakin merasa geram karena mantan istri malah memberikan senyum terbaik pada laki-laki selain dirinya. Gelap mata! Itu yang dirasakan Bagaskara saat ini. Penuh emosi, Bagas menarik bahu pria yang lima tahun lebih tua tersebut. Giginya gemeretuk, rahangnya mengencang, mata pun sudah memerah, dan detik berikutnya ... Bugh! Bagas meninju rahang Sagara yang langsung terhuyung. Sungguh beruntung, pengendalian keseimbangan pria itu cukup baik sehingga dia tidak sampai terjatuh hanya sedikit oleng saja. Sagara ingin membalas Bagas, tetapi Sarita dengan cepat menarik tangan Sagara. Sambil memberikan s
Aknat dan Bagas refleks saling bertukar pandang saat mendengar pertanyaan hakim ketua. Apa maksud hakim ketua dengan mempermainkan? Kenapa lelaki jelang senja itu bisa berkata demikian? Jangan-jangan .... Didorong oleh rasa penasaran, Aknat pun bermaksud kembali maju untuk memeriksa ulang apakah ada kesalahan yang tidak disengajanya saat menyerahkan bukti ketidakberesan Sarita sebagai ibu. Akan tetapi, baru saja mengangkat tubuhnya dari kursi, ketua majelis hakim yang terhormat sudah mengangkat tangan -- melarangnya untuk maju. Akhirnya, dengan penuh kebingungan, Aknat menuruti perintah ketua majelis sidang. Sambil bertanya-tanya, Aknat menatap hakim ketua dan Bagaskara bergantian. Pemuda itu bahkan hanya bisa mengedikkan bahu ketika Bagaskara menanyakan hal tersebut padanya. Ketua majelis hakim yang terhormat masih menatap Aknat dan Bagaskara dengan tatapan tajam penuh kemarahan. Pria yang sudah berprofesi menjadi hakim selama dua puluh tahun tersebut merasa terhina. "Apa maksud
Keesokkan paginya tidak jauh dari sebuah rumah mewah bercat putih, tampak sebuah city car berwarna hitam. Pengemudi city car tersebut tampak serius mengamati rumah mewah yang dijaga ketat oleh seorang petugas keamanan. "Aku harus bisa masuk ke rumah itu untuk mencari berkas-berkas penting yang mereka sebutkan kemarin. Hanya saja bagaimana ya caranya?"Pemuda tersebut memutar otaknya -- mencari cara agar dia bisa masuk ke dalam rumah mewah dan menjalankan misinya tanpa ketahuan oleh penghuni rumah. Dia pun memeriksa seluruh penjuru mobilnya. Elfrada mengobrak-abrik seluruh isi dashboard mobil dan menemukan dua buah benda yang diyakini bisa membantu meloloskan niatnya masuk ke dalam rumah target. Dengan keyakinan penuh, lelaki tersebut mempersiapkan diri. Setelah semua siap, dia kembali mengawasi rumah mewah yang hanya selisih dua rumah dari tempatnya. Beberapa menit kemudian, tampaklah sebuah mobil mewah dan elegan berwarna silver metalik keluar dari halaman rumah tersebut. Dengan
Pria muda berkaca mata hitam itu segera meluncur pergi dari depan rumah Bagaskara, dengan kecepatan tinggi pemuda tersebut memacu kendaraan roda empat yang dikemudikannya. Di tengah perjalanan pria itu menelepon seseorang, "Bos, tadi saya sempat mencuri dengar pembicaraan antara Bagaskara, istrinya, dan kedua pengacara mereka melalui sebuah penyadap. Saya mendengar mereka mempunyai sebuah bukti yang akan bisa dipakai menekan dan mengalahkan Nyonya Sarita di pengadilan.""Bukti apa dan siapa yang membawa bukti tersebut?" tanya lawan bicara pria muda yang ditugaskan menjadi kata-kata tersebut. "Saya masih belum mendapatkan informasi bukti seperti apa yang dimaksud, hanya saja saya tahu siapa yang sudah menyimpan bukti tersebut." Info pemuda tersebut sambil terus mengemudikan kendaraan roda empatnya. Sementara itu, di tempat lain lawan bicara pria muda tersebut tampak sedang memikirkan strategi apa yang akan diambilnya untuk menghancurkan Bagaskara dan istrinya, Ni Luh. Sosok tersebu
"Tenang, Tuan Bagas. Bersantailah sedikit, tidak perlu seemosi itu. Saya hanya bertanya saja pada Anda. Apakah Anda yakin dengan keinginan Anda mengenai hak asuh anak?" Ulang Aknat pada Bagaskara yang menatapnya lekat dan tajam."Apa perlu saya ulang jawaban saya agar Anda yakin pada apa yang menjadi keinginan saya?" Kini giliran Bagaskara membalik pertanyaan Aknat. Nada suaranya rendah dan dalam, terlihat sekali jika dia sedang menahan amarah pada pemuda yang duduk di samping Ni Luh.Mendengar jawaban Bagaskara yang begitu penuh kemarahan yang tertahan, Ni Luh mengerutkan dahinya. Wanita itu merasa sedikit aneh dengan sikap suaminya ketika mendengar pertanyaan Aknat.Ni Luh mengamati manik tegas suaminya lekat-lekat. Dia merasa penasaran dengan jawaban dan sikap Bagaskara selanjutnya. Sementara itu, sikap Aknat tampak berbanding terbalik dengan Bagaskara yang tampak begitu emosi.Pria matang yang dikenalkan dengan nama Arswendo merasa tidak enak melihat situasi yang mulai tidak kondu
Saat hendak menikmati madu alami pintu dibuka oleh pelayan dengan membawa makanan yang sesuai pesanan juga dua orang tamu. Bagas dan Ni Luh segera memperbaiki cara duduknya. "Silakan saja dilanjut, kami dengan sabar menunggu, Tuan dan Nyonya!" ujar Aknat pengacara pribadi Ni Luh. "Kau jangan bikin malu, Nat. Usiamu masih jauh," dengus Ni Luh. Aknat hanya mengulas senyum tipis, lalu mengambil duduk di depan Ni Luh sedangkan pria yang berusia matang ikut duduk di samping Aknat. Ni Luh menatap suaminya penuh tanya. Bagaskara tersenyum dan mempersilakan kedua tamunya untuk menyantap menu yang ada. Menu sederhana tetapi mewah. "Silakan makan, Tuan Berdua!""Apakah tidak lebih baik kita saling kenal dulu, Kak!" Pinta Ni Luh. "Saya Bagaskara sebagai suami dari Ibu Ni Luh Ayu. Ini pengacara saya, Bapak Arswendo!" ujar Bagaskara. Bagas mengenalkan diri dan pengacaranya pada pria muda di depan istrinya. Aknat yang sejak tadi terlihat santai segera menerima uluran tangan Bagas dengan itika