“Owh. Anaknya Bu lani, ya?“ tanyanya sambil memelankan laju motornya.Bahkan tangan satunya sudah lepas dari stang motornya. Badannya pun dimundurkan dan sekarang agak mepet ke arahku. Apa maksudnya ini?Aku sedikit merasa tidak nyaman, bahkan kini tangannya diletakkan di atas kakiku. Ia meraih tanganku yang saat ini menggenggam kain jaketnya untuk menjaga keseimbanganku. Lalu ia melingkarkan tanganku ke perutnya? Apa-apaan ini.Aku segera menariknya. Aku bukan wanita murahan. Lihatlah bahkan rambutnya saja sudah tumbuh uban.“Kamu jangan sungkan ya minta tolong sama Bapak!“ Aku bergeming, rasanya ingin aku mengumpat andaikan aku sedang tidak minta tolong padanya. “Bapak akan memberikan semua yang, Kamu inginkan. Bahkan Bapak tidak akan membiarkan, wanita secantik, Kamu tinggal di kontrakan seperti itu.“Aku bergeming, itu tidak akan terjadi. Sekian menit kami hening dalam diam, bahkan Bapak itu tidak mengoceh lagi.“Bapak mau mampir ke Indimirit dulu.“ Ia berucap sembari membelo
Aku mendorongnya setelah dia berhasil menciumku. Aku tidak munafik tapi jujur ciumannya sangat memabukkan. Aku segera keluar kamar mandi untuk mengatur detak jantungku yang berpacu tidak beraturan. Aku menarik napas lalu membuangnya dan aku melakukan berulangkali.“Clara, aku akan selalu siap bila, Kamu menginginkan lebih dari ini,” bisiknya lagi dari belakang.Tidak kuhiraukan, segera aku melangkah panjang keluar dari sini. Aku menoleh ke belakang, lelaki tadi berlari mengejarku. Tidak ada pilihan selain aku pulang lagi bersamanya. Tidak ada uang juga jangkauan di sini sangat tidak aku kenali.Mana mungkin aku pulang berjalan kaki dengan menggendong. Itu sangat mustahil.Akhirnya motor melaju lagi, ada sedikit kedonngkolan di hati, bukannya tadi menawarkan untuk belanja tapi lihatlah bahkan kini pulang dengan tangan kosong. Untung saja aku segera menepis tangannya tadi saat hendak menelusup ke area dada. Cukup sampai rumah aku tidak akan pernah menghubunginya lagi, tidak sudi!Motor
“Kenapa pulangnya cepat, Mas. Biasanya nyampe sore?“ tanyaku keheranan. Apalagi sekarang masih sekitar jam 2 an. Terlihat dari panas teriknya matahari.“Aku di skors karena menampar salah satu teman kerja,” lirihnya.“Loh, kenapa bisa bermasalah sih, Mas. Harusnya tahu diri! Kita lagi kesusahan, uang juga tidak ada, Mas itu sebelum bertindak itu mikir dulu. Sudah punya uang pegangan belum!“Kini giliran ku yang menyalang ke arahnya. Baru pertama masuk sudah berbuat onar. Awas saja kalau sampai dipecat.“Kamu itu! Bukannya nenangin suami malah nyerocos tidak jelas!“ desis Pram.“Suami? Tidak salah? Kapan kita ijab kobul? Kita itu hanya kumpul kebo! Dasar lelaki hanya ingin enaknya saja!““Besok pasti aku nikahi, sekarang ambilkan aku minum dulu!““Gak ada!““Clara!““Mana uangnya! Aku belikan sekarang!“ Aku menyodorkan tanganku ke arahnya.“Aku sudah tidak punya uang lagi, Clara. Sanalah pinjam ke warung dulu, sekalian belikan nasi bungkus. Rames atau Padang gak papa.“Aku mendengkus.
“Apa hubungannya ponsel dengan gajian, seumur-umur aku belum tahu kalau pekerjaan bisa mengetahui kehidupan karyawan termasuk cicilannya?“ protesku tidak terima, apalagi ponsel itu tidak jadi milikku pula.“Soalnya aku ngambil cicilan lewat sana. Dia jabatannya lebih tinggi dari aku, jadi dia punya koneksi untuk mengambil gajiku lebih dulu. Masak, Kamu gak paham sih hal beginian?“ Aku bergeming, lalu membuka karet yang membungkus nasi bungkus ini. “Ibu gak disuruh masuk, Mas? Tadi ngeluh lapar kan?“ tanyaku lagi saat melihat ia juga mau membuka nasinya.Iapun bangkit lalu berjalan keluar, sementara aku mengedikkan bahu dan memulai makan. Mumpung Amira masih tidur.Kupandangi sesaat nasi yang sudah bercampur kuah itu. Teringat pemiliknya julid membuatku ilfil juga mengurangi nilai plus pada nasi ini. Aku pikir tadi adalah kali terakhir aku membeli ke dia.Aku pun memulai suapan pertama. Kupejamkan mata ini. Sekejap. Ah, kenapa rasanya begitu pas di lidah ini. Kusuap lagi sampai tanda
POV Sherly.Akhirnya perjalanan panjang telah usai, Kami sudah memasuki desa Kepil, perbatasan Purworejo, Wonosobo. Aku pun keluar mobil lalu menutupnya dengan pelan. Jalanan sudah sangat sepi, aku mengambil ponsel di dalam tas. Lalu mengusap layar ponsel untuk menghidupkan. Ternyata sudah jam 1 malam. Cukup lama menghabiskan waktu di perjalanan. Tante ikut turun dan kini berada di sebelahku dengan membawa tas jinjingnya.Kami pun segera mengeluarkan cooling box dari bagasi. Aku menatap rumah tembok yang bertingkat itu cukup lama, rumah yang sudah berganti warna, dulu sebelum meninggalkan desa ini rumah ini masih di cat dengan warna Abu-abu, dan kini sudah berganti dengan warna putih dengan list warna gold.Seperti ada peningkatan ekonomi dalam keluarga ini. Alhamdulillah aku ikut turut bahagia. Tetangga satu ini memang dari dulu yanf paling mentereng diantara lainnya.kenangan demi kenangan masa kecil terlintas begitu saja. Perlahan aku masuk dengan Tante yang membuntuti di belakan
“Tante, ayo istirahat ke kamar, Maaf ya, Tante bila kamarnya sempit,” Ajakku ke Tante. Tante pun langsung merespon dan berpamitan ke emak. “Ini wedang jahenya bawakan ke kamar, Sherly. Biar Mbak Yanti bisa minum nanti.“Aku mengangguk lalu mengambil gelas itu dan mengantarkan Tante ke kamar. “Tante, maafkan kondisi rumah ini yang tidak layak dan membuat Tante tidak nyaman,” ungkapku setulus hati.“Kata siapa? Tante nyaman saja, kok. Tante kerasan di sini, sudah sana keluar, temu kangen sama orang tuamu. Ceritakan sejujur-jujurnya tentang Pram juga keluarganya! Mereka berhak tahu yang sebenarnya, Sherly.““Baik, Tante. Makasih ya.“ Aku memeluk sebentar ke Tante sebelum beranjak.“Sudah sana!“ suruh Tante sambil menepuk punggungku.Akupun segera melepas pelukannya dan beranjak. Tante ikjt beranjak untuk menutup pintu.Aku melangkah keluar menghampiri emak dan Bapak yang sudah duduk di kursi kayu itu.“Bapak.“ Aku menyalami dan mencium takdzim Tangan Bapak.“Mana suamimu?“ tanya Bapak
.POV Sherly.“Nak Sherly, bangun! Salat subuh dulu!“ Aku menggeliat merubah posisi lalu meringkuk ke samping saat mendengar suara ibu.“5 menit lagi, Bu.““Ayo, segera bangun, Nak. Habis salat kita ke pasar ajak Mbak Yanti, buat jalan-jalan.“Setelah mendengar kata mbak Yanti aku pun langsung terbangun, tentu saja aku tidak enak kalau ditunggu Tante Yanti.Aku lekas ke luar dari kamar ibu untuk mengambil wudhu di belakang. Lalu segera menunaikan salat subuh. Setelahnya aku keluar.Tante Yanti rupanya juga sudah bangun, beliau duduk di depan tungku dengan nyala api dari kayu. “Tante sudah bangun?“ tanyaku ikut duduk setelah mengambil kursi pendek yang terbuat dari kayu. “Sudah, Jam 4 tadi sudah bangun. Tante kok merasa nyaman sekali berada di sini ya, kemarin malam pun bisa pulas banget tidurnya.““Alhamdulillah, Tante.“ Aku mengulaskan senyum ke arahnya.“Owh ya, Tante. Di sebelah kampung ada pasar sayur, juga beberapa jajanan tradisional. Mau ke sana? Tadi emak ngajakin jalan ke sa
“Mak, rumah dia sudah besar begitu kenapa masih menginginkan tanah kita sih, Mak?! Rakus banget.““Katanya butuh kandang baru, beliau ingin memelihara kelinci jadi dia membangun bangunan di halaman rumah kita itu untuk kandang kelinci, Nak.““Pantas, Mak. Saat melewati halaman bau Pesing. Astaghfirullah kok ada orang seperti itu.““Sudah, ayo lekas jalan lagi, nanti beli mie ongklok di sana!“ Ajak emak dengan melajukan langkahnya panjang-panjang.Aku pun mengikutinya langkahnya pun dengan Tante. ,“Mbak, nanti tolong antar aku ke rumah tuan tanah di sini ya! Yang biasa buat perantara jual beli tanah,” ucap Tante Yanti tiba-tiba.Emak menghentikan langkahnya lalu menoleh ke Tante dengan raut wajah penasaran.“Mau apa, Mbak Yanti?““Pengen memiliki tanah daerah sini, Mbak. Aku tengok tanahnya subur, kayaknya bagus.“ “Emang gak kejahuan kalau mau ngeceknya, Mbak? Dari Jakarta lho kok malah beli tanah di sini?“ tanya emak lagi.“Gak papa, Mbak. Besok kalau mau tengok sekalian tengok yan