KEKESALAN DIANDRA “Batal berangkat bagaimana?” Diandra menatap Yuda tidak mengerti. Wanita itu memandang ke arah koper besar yang sudah siap dibawa. Sepagi ini, dia juga sudah rapi. Sarapan sudah dia siapkan dalam kotak bekal karena mereka ada jadwal penerbangan pagi. “Mas?” Diandra berlari mengejar Yuda yang meninggalkannya begitu saja tanpa penjelasan.Ratna menatap anak dan menantunya yang baru keluar dari kamar. Wanita itu menautkan alis kebingungan melihat Yuda yang masih mengenakan piyama tidur sementara Diandra sudah siap berangkat.“Penerbangan jam berapa?” Ratna melirik jam dinding. Jam setengah enam, setahu Ratna, jadwal keberangkatan mereka jam delapan. Jarak dari rumah ke bandara satu jam lebih kalau tidak macet, kalau macet bisa sampai dua jam.“Mas Yuda minta keberangkatan dibatalkan, Bu.” Diandra menahan tangis. Bagaimana tidak? Mereka sudah merencanakan bulan madu ini sejak jauh-jauh hari bahkan sebelum acara pernikahan digelar.Diandra susah payah mengajukan cuti aga
PENCARIAN ARINI Lelaki itu tersadar saat mendengar suara sepeda motor dinyalakan. Dia bergegas keluar dan menghampiri Widya yang sudah duduk di atas motornya. "Wid!"Yuda menahan motor Widya hingga wanita itu urung melajukannya. Dengan malas, dia menoleh pada Yuda. "Ada apa, Mas? Sebentar lagi jam kerjaku dimulai. Kalau terlambat, aku bisa kena potongan gaji.""Arini pindah?" Hanya dua kata itu yang bisa keluar dari mulut Yuda. Padahal, ada bermacam pertanyaan yang berkecamuk di benaknya. Namun, otak dan mulutnya seakan sedang tidak sinkron. Apa yang ingin dia pikirkan, tidak sesuai dengan yang diucapkan."Iya, sudah pindah sejak awal bulan. Dia telat membayar sewa karena uangnya terpakai untuk acara seratus hari Naya. Jadi diusir hari itu juga." Widya menjawab cepat. Dia muak melihat tampang lelaki yang kini berdiri di hadapannya.Yuda mengusap wajahnya kasar. Awal bulan? Berarti saat pesta resepsi pernikahannya dengan Diandra berlangsung, saat itu juga Arini dan Rafa diusir dari sa
Bu Ningrum berdiri sejenak di depan swalayan tempat Arini bekerja. Berhari-hari setelah pertemuan mereka terakhir, pikiran wanita itu tak bisa beranjak dari Arini. Perbincangan singkat di dalam mobil terasa amat membekas. Rasanya ada ketertarikan tersendiri yang memaksa wanita lanjut usia itu untuk masuk ke dalam pusaran lingkaran kehidupan Arini. "Jika daun jatuh saja sudah diatur oleh Allah, apalagi takdir manusia?" Suara Arini yang tampak getir membuat Bu Ningrum menoleh ke belakang, ke arah Arini duduk. Wanita yang tengah dipandangnya itu menatap ke luar jendela mobil. Telunjuknya seolah tengah memainkan tetesan air hujan yang menetes di kaca mobil mewah itu. "Apakah kamu sudah menghubungi suamimu? Saya harus bertemu dengannya. Rasanya tidak cukup hanya meminta maaf padamu saja," ucap Bu Ningrum sambil memandang kembali ke depan. Jalanan mulai padat merayap. Laju mobil sudah tak sebebas tadi. "Saya hanya hidup dengan anak-anak," jawab Arini sambil berusaha tersenyum. Dia tetap
"Baik, Bu. Tak akan lama, kok. Sebentar lagi waktunya Arini pulang." Informasi dari Rista membuat Bu Ningrum sedikit lega. Paling tidak dia tak akan menunggu terlalu lama wanita yang dia cari. Setelah mengucapkan terima kasih, wanita itu berlalu dan melajukan trolley ke arah kasir. Saat Rista berbalik, dirinya berpapasan dengan Dewi. Gadis itu sengaja menguping pembicaraan Rista dan wanita tersebut. Penampilan Bu Ningrum yang terlihat cukup berkelas membuat Dewi cukup penasaran. "Dia cari Arini?" todongnya langsung pada Rista. Sementara yang ditanyai justru mengembuskan napasnya sedikit kesal. Dia tahu Dewi tak pantas menguping seperti yang sudah dia lakukan. "Iya. Kenapa?" Rista menjawabnya dengan ketus. Sayang Dewi tak peduli. Dia benar-benar ingin tahu keperluan apa yang membawa wanita itu ke swalayan mencari seterunya. "Siapa dia?" "Mana aku tahu, Dew. Sudah, aku mau mencari Arini. Dia ditunggu wanita itu di depan swalayan." "Nungguin Arini?" Dewi tak habis pikir dengan apa
KABAR DARI DEWI“Yuda itu kalau kumat keras kepalanya ya nggak bisa diganggu, Di. Kamu ‘kan tahu sendiri, dia sampai dua kali keluar dari rumah ini waktu masih menikah dengan Arini demi membela wanita itu.” Ratna menghirup teh hangat. Dua tangkai bunga melati segar mengapung di atas minumannya, menimbulkan aroma wangi yang khas saat setiap kali dia minum.“Tapi, bukan berarti dia tidak bisa diluluhkan. Lihat saja, setelah berkeras dan keluar rumah, Yuda akhirnya kembali dan meninggalkan Arini. Dia bahkan melupakan dua anaknya dan wanita menyusahkan itu setelah Ibu berhasil mendapatkan kunci untuk membuat fokus Yuda tidak lagi pada mereka.”“Kemarin kesini, Bu. Nanti kalau dapat jatah cuti lagi dan bonus sudah cair, aku ajak Ibu kesini. Atau Ibu mau dibelikan perhiasan saja?” Diandra menatap Ratna. Sementara sebelah tangannya masih menunjukkan foto-foto tempat yang dia kunjungi selama liburan kemarin.Ratna tersenyum-senyum mendengar ucapan menantunya. Tidak salah dia memperjuangkan Di
INFORMASI SESAT"Pak Yuda ada?" Diandra langsung bertanya pada sekretaris Yuda di depan ruangan."Oh, eh, ada, Bu. Pak Yuda di ruangan.”“Tidak usah, biar saya langsung masuk saja. Tidak sedang ada tamu ‘kan? sebentar lagi sudah jam istirahat ini.” Yuda langsung menahan tangan sekretaris Yuda yang sudah mengangkat telepon untuk memberi kabar pada Yuda.“Eh, iya, Bu.”Diandra hanya tersenyum tipis melihat sikap sekretaris Yuda yang sedikit kikuk. Wajar, ini pertama kalinya dia datang kemari. Namun, Diandra sudah mengenal hampir semua rekan kerja Yuda di kantor ini. Sebelum menikah, Yuda beberapa kali mengajaknya saat ada acara kantor.“Mas?!” Diandra terpaku melihat pemandangan di depannya saat membuka pintu ruang kerja Yuda. Yuda duduk di sofa berdempetan dengan salah satu rekan kerja yang dikenal Diandra. Mereka sedang tertawa-tawa sambil menikmati makan siang dari kotak bekal yang sama.“Di?” Yuda langsung berdiri. Dia tidak menyangka sama sekali istrinya itu akan datang ke kantor.
ORANG BAIK "Pak, perempatan di depan belok kanan." Arini memberi arahan pada sopir Bu Ningrum. Jalanan menuju ke kos-kosan baru miliknya memang lebih mudah diakses dari pada kos-kosan lamanya. Hanya saja, harga yang ditawarkan tergolong mahal untuk kantong Arini. Entah bagaimana dia membagi keuangannya mulai bulan depan. Bulan ini saja dia harus menjual satu-satunya benda berharga miliknya. Hanya saja memang mulai bulan ini dia tak perlu mengeluarkan biaya pengobatan Naya yang sudah tidak ada."Kenapa pindah?" Bu Ningrum sengaja memancing Arini dengan pertanyaan itu. Dia ingin melihat reaksi Arini terhadap rasa ingin tahunya. Melalui kaca atas mobil, dia bisa melihat bagaimana wajah Arini berubah sendu. Tak dapat dipungkiri mudah sekali melihat seperti apa perasaannya saat ini. "Sudah waktunya pindah saja, Bu. Kami sudah terlalu lama menempati kos-kosan itu. Mungkin yang di atas tidak ingin saya terus-menerus mengingat almarhumah anak saya. Meski sulit sekali tidur di tempat yang
PEMBELAAN Arini berbalik. Matanya membulat melihat Diandra di depannya yang menatapnya penuh intimidasi. Wanita itu seolah puas dengan apa yang dilihatnya, seolah tuduhannya memang terbukti. Diandra mendekat. Ditatapnya Arini dari ujung kaki hingga kepala, kemudian fokusnya pada kantong kresek yang memenuhi tangan Arini. Senyuman sinis disertai wajah penuh hinaan itu dilayangkan Diandra. "Benar, Rin? Kamu menyerah dengan nasib hingga rela menjual diri seperti ini?" "Di, jangan membuatku malu. Ini di jalan raya, tak seharusnya kau membuat kegaduhan semacam ini." "Jawab, Rin! Benar bukan yang dikatakan olehku? Kamu jual diri?" tuduh Diandra tanpa ampun. "Pergi, Di. Jangan membuat dirimu malu dengan tuduhan yang tak masuk akal seperti ini," ujar Arini dengan menekan rasa sabarnya. Sadar betul Arini bahwa di tempatnya yang baru tak seharusnya terjadi keributan semacam ini. Dia tidak ingin orang-orang di sekitarnya tinggal menyangka dirinya macam-macam. Namun malang, Diandra yang kes
“Mama, senyum! Lihat kemari!” ucap Rafa sambil melambaikan tangan ke arah ibunya. Sebuah buket raksasa berisi foto-foto ibunya dihadiahkan anak laki-laki itu pada Arini. Wanita itu pun memeluk buketnya meski sedikit kepayahan. Berbagai karangan bunga berisi ucapan selamat untuk para wisudawan menghiasi setiap sudut halaman auditorium yang digunakan untuk acara wisuda kali ini.Senyum Arini mengembang sempurna. Suaminya berhasil menegakkan kepala wanita yang sempat kehilangan seluruh kepercayaan dirinya. Yovan pun terlihat amat puas dengan hasil kerjanya membujuk wanita itu. Senyuman menawan laki-laki itu membuat Arini merasa begitu dicintai laki-laki pemilik hidung mancung itu.“Papa ambil posisi di sebelah Mama. Jangan lupa Mama dipeluk!”Arahan dari Rafa membuat Arini dan Yovan tertawa. Mereka takjub sekali dengan perubahan pada diri Rafa. Apalagi setelah dia diberitahu bahwa adiknya akan lahir dalam hitungan hari. Dia makin menunjukkan sikap protektifnya pada sang ibu.“Sekarang Pa
Tentang Bahagia Arini memperhatikan pantulan dirinya di depan cermin. Kebaya berwarna hijau sage dengan kain batik yang membelit tubuh bagian bawahnya tak membuat dirinya berpuas diri. Matanya berkaca-kaca saat berkali-kali memutar dirinya di depan cermin. Kehamilannya di usia sembilan bulan ini membuat berat tubuhnya melonjak drastis. Pipinya membulat sempurna, belum lagi dagu yang seolah berjumlah dua hingga membuat dia kesusahan mengenakan kerudung untuk menutupi mahkotanya.Arini menjatuhkan dirinya di atas tepian kasur. Acara wisuda yang akan dilaksanakan beberapa jam lagi tiba-tiba membuat dirinya meragu. Penampilannya yang dia nilai akan menjadi bahan tertawaan banyak orang membuat Arini hampir menyerah untuk mempersiapkan diri. Sebuah ketukan ringan dari arah pintu membuat kepalanya menoleh.“Loh, belum siap juga? Kita harus datang di gedung satu jam lagi. Kenapa toga pun belum kamu pakai?” Suara suaminya membuat Arini makin tak bisa menahan laju air matanya. Make up natural
“Diminum, Bu.” Arini meletakkan es jeruk dan setoples kue kering. Wanita itu langsung duduk di sofa yang kosong. Dia tersenyum tipis saat melihat sejak tadi tangan Ratna terus-terusan memegang tanga Rafa.“Terima kasih.” Ratna mengambil gelas dan meminumnya beberapa tegukan. Rasa asam, manis dan segar memenuhi mulut Ratna. Minuman itu cocok sekali dinikmati saat hari cerah seperti siang ini. “Sudah berapa bulan?” Ratna memperhatikan perut Arini yang mulai menyembul.“Masuk lima.” Arini refleks mengelus perut. “Apa yang mau dibicarakan, Bu? Tidak biasanya Ibu pergi sendirian. Jarak rumah kesini lumayan jauh.” Arini memperhatikan wajah Ratna yang sejak tadi tampak mendung. Mata wanita tua itu dipenuhi kabut seakan menyimpan kesedihan yang tak berujung.“Ibu mau minta maaf ….” Ucapan Ratna terpotong karena tangis. Mantan mertua Arini mendadak terisak kencang. Dia tidak bisa mengendalikan air mata saat mengingat perlakuan buruknya pada Arini dulu. “Ibu mau minta maaf atas semua kesalahan
“Jadi, nanti perut Mama akan membesar ya, Ma? Terus Adik bayinya keluar dari mana?”Arini menarik napas panjang. Rafa memang banyak bertanya setelah mengetahui kalau di perutnya ada bayi. Anak lelaki itu sangat senang sekaligus juga penasaran. Berbagai pertanyaan dia lontarkan. Pertanyaan yang kadang membuat Arini harus memutar otak dengan keras agar bisa menjawab sesuai dengan umur dan pemahaman anaknya.“Manusia akan melalui tiga alam selama hidup. Pertama, alam dunia, tempat kita saat ini. Kedua, alam barzah, tempat kita menanti hari kiamat tiba. Ketiga, alam akhirat, tempat kita mempertanggungjawabkan semua perbuatan.” Arini menjawab setelah cukup lama terdiam. “Sudah dapat pelajaran di sekolah ‘kan tentang alam-alam ini?” Arini mengelus kepala Rafa pelan.Rafa mengangguk pelan. Anak itu ingat kata guru agamanya, kalau anak nakal, nanti dia akan mendapat balasan di akhirat. Kalau mencuri tangannya akan dipotong berkali-kali. Sebaliknya, kalau dia menjadi anak rajin dan senang memb
IRI “Mas, sudah kubilang percuma kita kemari. Memang Tuhan itu belum ngasih karena dia lihat Mas Yuda belum mampu menafkahi anak kita nantinya, jadi dia lebih milih buat nunda. Kok kamu jadi maksa-maksa gini? Buang-buang waktu tahu nggak?”Diandra mendekap kedua tangannya. Baru saja dia dan Yuda sampai di sebuah klinik kandungan yang direkomendasikan salah seorang temannya. Klinik yang saat Diandra melihat list harga konsultasi dan tindakan yang dilakukan cukup membuat matanya melotot tak percaya. Rasanya sayang sekali uang sebesar itu digunakan untuk hal tidak penting seperti ini.“Mas. Mending uangnya buat liburan atau memanjakan diri di spa seharian. Paling tidak untuk senang-senang dari pada ngendon di rumah seharian. Bukan nggak mungkin gara-gara stress di rumah yang membuatku susah hamil begini!”Yuda hampir membentak istrinya jika tak menyadari posisi mereka saat ini. Rasanya telinganya gatal mendengar istrinya berbicara kasar seolah ibunyalah penyebab dia belum juga diberi ke
KECEMASAN ARINI Arini meremas tangan suaminya. Laki-laki itu tersenyum. Setelah perdebatan panjang akhirnya Arini bersedia ke klinik yang sudah direkomendasikan dokter Wisnu saat Yovan menanyakan dokter kandungan yang bagus untuk istrinya. Sebenarnya bisa saja dia membawa Arini ke klinik yang dulu selalu dia datangi bersama Raline saat istri pertamanya itu hamil.Tetapi dia mengurungkan hal tersebut demi menjaga perasaan istrinya. Pasti Arini akan merasa tak nyaman karena menganggap Yovan sengaja membawa dirinya ke tempat dimana kenangannya bersama Raline sebagian besar terekam di sana. “Mas?”“Ya?” Senyum di bibir Yovan belum juga pudar. Bayangan tentang detik-detik pertama istrinya memberikan benda yang dia angsurkan sebelumnya membuat laki-laki itu tak bisa kehilangan kebahagiannya. Arini menunjukkan trip dua pada benda yang dibeli suaminya melalui layanan aplikasi belanja online itu. Yovan yang sebelumnya berdiri menyederkan tubuhnya di tembok depan itu hampir melompat kegiranga
TEST PACKMata Yovan kembali menyipit. Dia tak tahu apa yang terjadi dengan istrinya saat ini. Yang dia lakukan langsung beranjak ke kamar mereka di lantai dua. Dia kehilangan daya saat melihat istrinya bermuram hingga tak berani sama sekali dia mendebatnya. Laki-laki itu pun merasa mati langkah saat hari liburnya justru bertepatan dengan jadwal Rafa di rumah Yuda.Laki-laki itu bahkan ingin sekali melarang anaknya pergi ke rumah ayah kandungnya jika tak ingat hal itu akan membuat suasana sejuk yang tercipta dengan laki-laki itu akan kembali memanas dan tentu akan berdampak pada hubungan mereka. Apalagi Yuda sudah menjanjikan anaknya melakukan kegiatan yang sama lagi seperti saat itu. Memancing di danau dan membakar ikan di tepian yang membuat bibir mungil Rafa tak henti-hentinya bercerita aktivitas yang menyenangkan itu.Baru saja hendak memakai kaos berwarna merah miliknya, Arini yang tiba-tiba masuk mencegah laki-laki itu.“Jangan yang itu, Mas. Warna itu merusak pandangan mataku.
SIKAP ANEH ARINIArini duduk di atas sofa ruang belakang. Tatapannya tertuju ke arah luar jendela dimana pohon palem yang berderet rapi di halaman terlihat meliuk-liuk diterpa angin. Hujan yang turun membuat pepohonan di luar sana tampak segar. Aroma petrikor yang berasal dari tanah kering yang tersiram air hujan terasa sekali di indra penciuman Arini.Tetapi kali ini reaksi yang dirasakan Arini terasa lain. Tidak seperti biasanya saat hatinya bersorak menikmati aroma khas yang keluar saat awal-awal hujan turun. Arini bahkan beranjak dari posisi duduknya saat ini demi menutup jendela berharap bau khas itu segera menghilang secepatnya.“Kucari-cari kenapa justru di sini?”Suara suaminya membuat Arini tersentak. Beberapa saat kemudian dia membetulkan anak rambut yang berkeliaran bebas di dahinya. Keheningan rumah itu membuat mood Arini mudah sekali memburuk. Suaminya itu langsung mengambil posisi berhimpitan dengannya. Aneh, seketika Arini menggeser tubuhnya hingga menambah jarak di ant
“Mama!” Rafa berteriak senang saat mobil Yovan memasuki halaman. Bocah laki-laki itu langsung berlari saat Arini keluar dari mobil. “Kangen.” Rafa tertawa-tawa saat Arini memeluknya erat-erat. Dia semakin terkekeh geli saat Arini menciumi wajahnya bertubi-tubi.“Papa.” Rafa langsung menyalami Yovan setelah berhasil lepas dari pelukan Arini. Dia mengangguk senang saat Yovan dengan mudah mengangkat tubuhnya.Disini, Yuda mengeluh pelan melihat keharmonisan keluarga di hadapannya. Rafa tampak sangat senang digendong Yovan. Sementara Arini menggandeng tangan Yovan dengan sebelah tangan menenteng paper bag biru. Keluarga kecil yang terlihat sangat harmonis. Siapapun pasti akan mengira kalau Rafa adalah anak Arini dan Yovan.“Assalamualaikum, Mas.”“Waalaikumussalam.” Lamunan Yuda terhenti mendengar salam Arini. Dia langsung berdiri dan membalas jabat tangan Arini dan Yovan. “Masuk dulu. Mama dan Diandra sedang keluar. Mama mertua mau mengadakan hajatan jadi mereka bantu-bantu.”“Kami dilua