Selepas Umi menyuruhnya keluar ruangan, Arini berjalan gontai kembali ke tempatnya bekerja. Jam kerjanya tinggal dua jam lagi. Beberapa karyawan yang mengetahui hal yang menimpa Arini menatapnya canggung. Sebagian ada yang abai dan mulai menunjukkan ketidaksukaan padanya, sebagian lagi mencoba tersenyum seraya menguatkan diri wanita itu. Sebisa mungkin Arini tersenyum demi membuatnya terlihat baik-baik saja. Bener sekali apa yang disampaikan Umi tadi. Tak mungkin tempatnya bekerja ini terus menerus memberikan keringanan padanya yang akhirnya berdampak pada karyawan yang lain. Mereka mulai menunjukkan ketidakkesukaannya terhadap perlakuan Umi yang dirasa sedikit berbeda pada hari ini Arini. Tak mungkin membuat Umi yang sudah terlampau baik itu tersudut demi dirinya. Kejadian yang terjadi menunjukkan semuanya. Karyawan mulai berani menunjukkan hal-hal frontal demi menunjukkna protesnya. Rista salah satunya.Dia berani melakukan hal yang masih tetap bisa disangkalnya meski CCTV menun
RAFA BERBOHONG?"Bu Arini?" panggil Bu Kartika setelah Arini berada dalam keheningannya. Mendadak telinganya berdenging mendengar pertanyaan ibu guru anaknya. "Rafa…kenapa dengan anak saya, Bu?" Arini segera menguasai dirinya. "Maaf, Bu. Rafa sudah seminggu ini tidak masuk sekolah. Seluruh temannya tak ada yang tahu alasannya. Apakah Rafa sakit?" Bak disambar petir Arini mendengar pertanyaan Bu Kartika. Tadi pagi dengan jelas Rafa berpamitan padanya seperti biasanya untuk ke sekolah. Dan seminggu? Selama seminggu anaknya tidak berangkat?Arini memegang dadanya yang terasa sesak dan nyeri. Apa yang dia dengar benar-benar sulit diterima akalnya. "Bu Arini ?" "Ma-af, Bu Kartika. Saya benar-benar minta maaf. Rafa setiap pagi berangkat dari rumah. Bahkan tadi pagi pun dia berangkat. Saya sungguh heran dengan kabar yang Bu Kartika sampaikan." Hening kembali terjalin di antara keduanya. Wanita lanjut usia yang sebentar lagi memasuki usia pensiun itu menarik napas dalam-dalam, seolah
IBU KOS "Waalaikumsalam. Eh? Iya, Mbak, maaf saya lupa. Besok in syaa Allah saya belikan ya, Mbak, saya benar-benar kelupaan. Maaf." Arini masih menatap kepergian tetangganya dengan perasaan tidak enak.Seperti biasa, Ratri sering titip belanja. Namun, dia tadi lupa karena pikirannya kalut. Mulai dari masalah komplain pelanggan sampai masalah Rafa barusan. Setelah menghela napas panjang, Arini akhirnya memutuskan melupakan sejenak permasalahan tentang Rafa. Hari beranjak petang, dia harus masak untuk makan malam.Lepas maghrib, Arini menggoreng satu butir telur terakhir yang dia punya. Setelah membuat sambal bawang, dia langsung menggoreng kerupuk udang. Semua makanan yang dia olah adalah persediaan terakhir. Arini memang biasanya belanja seminggu sekali untuk lauk. Sementara sayur kadang beli matang atau kalau sedang libur dia beli di tukang sayur.“Rafa, makan dulu, Bang." Arini memotong telur menjadi dua. Setengah untuk Rafa dan setengah lagi untuk Naya. Sementara untuknya, Arini c
INTEROGASI RAFA “Ya sudah, saya tunggu bayarannya di rumah.”Arini menarik napas panjang sambil memperhatikan pemilik kost berjalan menjauh. Tidak mungkin dia berencana menunggak dan tidak membayar lalu pindah. Arini paham sekali mencari rupiah sangat susah di zaman ini. Walau dia kesulitan, Arini tidak mungkin menyeret orang lain agar merasakan masalah yang sama.“Mama ….”“Iya, Sayang?” Arini yang sempat terpaku bergegas menutup pintu. Dia menghampiri Naya yang berusaha duduk sendiri. “Kenapa?”“Minum.” Naya menunjuk botol minum miliknya yang terletak di atas meja. Arini segera mengambilkannya. Hatinya kembali nyeri, sudah lama sekali Naya tidak minum susu. Dia hanya bisa membelikan anaknya susu formula sekali-sekali. Kadang, Wulandari membelikan beberapa kotak susu saat mereka gajian.Arini menghapus air mata. Sejak Naya umur empat bulan, ASI-nya tidak keluar lagi. Yuda yang pergi meninggalkannya membuat Arini sempat hampir depresi. Selain kurang makan, faktor pikiran juga menjadi
ALASAN RAFA “Aku sekolah seperti biasa, Ma.” Rafa menunduk dalam-dalam. Baru kali ini dia melihat mamanya begitu emosi.“Bu Kartika tadi sore menelpon Mama. Dia bilang Abang sudah hampir seminggu ini tidak masuk. Jadi, sekarang Mama harus percaya dengan siapa? Bu Kartika yang berbohong atau Rafa?” Arini menarik napas panjang. Dia berusaha mengendalikan emosi. Tanpa sadar dia berteriak pada anaknya tadi.“Rafa sekolah seperti biasa, Ma.”“RAFA!” Arini tersentak mendengar tangisan Naya yang terkejut mendengar teriakannya. Dia langsung berjalan dan memeluk anak nomor duanya. Badan Naya gemetar. Arini menengadah, air matanya tumpah. Karena banyak pikiran, emosinya jadi tidak terkendali. Dia jadi kesulitan mengontrol diri sendiri.Setelah Naya sedikit lebih tenang, Arini memanggil Rafa yang duduk memeluk lutut di sudut ruangan. Dia langsung memeluk anak lelakinya itu begitu mendekat. Setelah sesak didalam dada sedikit mereda, Arini mencium puncak kepala Rafa cukup lama.“Rafa, Abang tahu
ISTRI KEEMPAT?“Maafkan Rafa ya, Ma. Rafa takut akan membuat Mama kesusahan kalau bilang Naya ingin sekali kue ulang tahun. Rafa juga sudah bilang ke Naya agar tidak membahas kue ulang tahun di depan Mama. Maaf kalau Rafa membuat Mama sedih.”Naya memeluk Rafa erat-erat. berkali-kali dia mengucap kata maaf. Hatinya perih. Sebagai seorang Ibu, dia ingin sekali bisa membelikan apapun yang diinginkan anaknya. Namun, bagaimanalah? Bahkan untuk membayar uang kost-kostan yang naik pun dia harus memutar otak agar mendapat uang tambahan.“Rafa tidur dulu ya? Besok masuk sekolah Mama antar menghadap Bu Kartika. Tidak usah memikirkan kue ulang tahun Naya. Mama janji akan belikan nanti setelah gajian?”“Yang benar, Ma?” Rafa hampir berteriak senang kalau tidak ingat Naya yang sedang tidur. Dia langsung memeluk ibunya yang mengangguk sambil tersenyum.“Uang yang kemarin Rafa kumpulkan boleh buat beli kado, Ma? Rafa mau datang ke pesta ulang tahun Dendi.”“Boleh.” Arini memasang selimut Rafa dan N
Perubahan Rista“Sudah dua hari ini rawat inap. Aku baru mau minta keringanan dana. Masih menunggu surat dari kelurahan selesai, Pak RT yang bantu mengurus.”Umi Hasyim mengelus bahu Rista yang bercerita sambil menangis. Wanita yang usianya sudah pertengahan kepala tiga itu terlihat kacau sekali. Matanya sembab karena kurang tidur. Bicaranya juga sedikit tidak teratur karena beban pikiran.“Mas Imam posisinya masih di luar pulau mengantar papan, mungkin masih empat hari lagi baru bisa pulang.” Rista kembali menghapus air mata. “Terima kasih.” Dia mengangguk pada Arini yang memberikan tisu.“Maaf kalau dua hari ini saya tidak bisa bekerja, Umi. Saya benar-benar kalut karena berpikir sendirian. Bapaknya anak-anak juga tidak bisa membantu banyak. Posisinya yang sedang menyetir truk tronton membutuhkan konsentrasi tinggi. Jadi, apa-apanya saya berpikir dan bertindak sendiri.”“Urus dulu saja anakmu, masalah pekerjaan nanti bisa masuk lagi kalau keadaannya sudah membaik.” Umi memegang tang
Ketegaran Umi “Ini sedikit bantuan dari Umi, Rista. Semoga berguna untuk meringankan biaya pengobatan Hendi.” Umi Hasyim memberikan amplop pada Rista. Tadi karyawannya mau patungan, tapi dia menolak karena mengetahui mereka banyak kebutuhan.“Terima kasih, Umi.” Rista mencium tangan Umi. Wanita itu memeluk Arini, Dewi dan Kiki saat mereka berpamitan."Kamu masih ingat cerita Umi tempo hari, Rin? Tentang masa-masa sulit yang pernah Umi lalui."Arini mengangguk cepat. Dia memang menumpang pada Umi Hasyim. Sementara kedua temannya tadi pulang dengan mengendarai motor masing-masing. Arini berdecak kagum melihat Umi Hasyim yang lincah sekali menyetir mobil walau sudah berumur. Sementara dia yang masih muda malah belum bisa.Arini tersenyum sambil menunduk. Ya bagaimana pula akan bisa sementara dia tidak punya mobil? Dulu, Yuda pernah ingin mengajarinya. Tapi Ibu mertuanya selalu menghalangi. Ratna mengatakan posisi wanita itu hanya di rumah saja apalagi dia ada anak kecil. Belum perlulah
“Mama, senyum! Lihat kemari!” ucap Rafa sambil melambaikan tangan ke arah ibunya. Sebuah buket raksasa berisi foto-foto ibunya dihadiahkan anak laki-laki itu pada Arini. Wanita itu pun memeluk buketnya meski sedikit kepayahan. Berbagai karangan bunga berisi ucapan selamat untuk para wisudawan menghiasi setiap sudut halaman auditorium yang digunakan untuk acara wisuda kali ini.Senyum Arini mengembang sempurna. Suaminya berhasil menegakkan kepala wanita yang sempat kehilangan seluruh kepercayaan dirinya. Yovan pun terlihat amat puas dengan hasil kerjanya membujuk wanita itu. Senyuman menawan laki-laki itu membuat Arini merasa begitu dicintai laki-laki pemilik hidung mancung itu.“Papa ambil posisi di sebelah Mama. Jangan lupa Mama dipeluk!”Arahan dari Rafa membuat Arini dan Yovan tertawa. Mereka takjub sekali dengan perubahan pada diri Rafa. Apalagi setelah dia diberitahu bahwa adiknya akan lahir dalam hitungan hari. Dia makin menunjukkan sikap protektifnya pada sang ibu.“Sekarang Pa
Tentang Bahagia Arini memperhatikan pantulan dirinya di depan cermin. Kebaya berwarna hijau sage dengan kain batik yang membelit tubuh bagian bawahnya tak membuat dirinya berpuas diri. Matanya berkaca-kaca saat berkali-kali memutar dirinya di depan cermin. Kehamilannya di usia sembilan bulan ini membuat berat tubuhnya melonjak drastis. Pipinya membulat sempurna, belum lagi dagu yang seolah berjumlah dua hingga membuat dia kesusahan mengenakan kerudung untuk menutupi mahkotanya.Arini menjatuhkan dirinya di atas tepian kasur. Acara wisuda yang akan dilaksanakan beberapa jam lagi tiba-tiba membuat dirinya meragu. Penampilannya yang dia nilai akan menjadi bahan tertawaan banyak orang membuat Arini hampir menyerah untuk mempersiapkan diri. Sebuah ketukan ringan dari arah pintu membuat kepalanya menoleh.“Loh, belum siap juga? Kita harus datang di gedung satu jam lagi. Kenapa toga pun belum kamu pakai?” Suara suaminya membuat Arini makin tak bisa menahan laju air matanya. Make up natural
“Diminum, Bu.” Arini meletakkan es jeruk dan setoples kue kering. Wanita itu langsung duduk di sofa yang kosong. Dia tersenyum tipis saat melihat sejak tadi tangan Ratna terus-terusan memegang tanga Rafa.“Terima kasih.” Ratna mengambil gelas dan meminumnya beberapa tegukan. Rasa asam, manis dan segar memenuhi mulut Ratna. Minuman itu cocok sekali dinikmati saat hari cerah seperti siang ini. “Sudah berapa bulan?” Ratna memperhatikan perut Arini yang mulai menyembul.“Masuk lima.” Arini refleks mengelus perut. “Apa yang mau dibicarakan, Bu? Tidak biasanya Ibu pergi sendirian. Jarak rumah kesini lumayan jauh.” Arini memperhatikan wajah Ratna yang sejak tadi tampak mendung. Mata wanita tua itu dipenuhi kabut seakan menyimpan kesedihan yang tak berujung.“Ibu mau minta maaf ….” Ucapan Ratna terpotong karena tangis. Mantan mertua Arini mendadak terisak kencang. Dia tidak bisa mengendalikan air mata saat mengingat perlakuan buruknya pada Arini dulu. “Ibu mau minta maaf atas semua kesalahan
“Jadi, nanti perut Mama akan membesar ya, Ma? Terus Adik bayinya keluar dari mana?”Arini menarik napas panjang. Rafa memang banyak bertanya setelah mengetahui kalau di perutnya ada bayi. Anak lelaki itu sangat senang sekaligus juga penasaran. Berbagai pertanyaan dia lontarkan. Pertanyaan yang kadang membuat Arini harus memutar otak dengan keras agar bisa menjawab sesuai dengan umur dan pemahaman anaknya.“Manusia akan melalui tiga alam selama hidup. Pertama, alam dunia, tempat kita saat ini. Kedua, alam barzah, tempat kita menanti hari kiamat tiba. Ketiga, alam akhirat, tempat kita mempertanggungjawabkan semua perbuatan.” Arini menjawab setelah cukup lama terdiam. “Sudah dapat pelajaran di sekolah ‘kan tentang alam-alam ini?” Arini mengelus kepala Rafa pelan.Rafa mengangguk pelan. Anak itu ingat kata guru agamanya, kalau anak nakal, nanti dia akan mendapat balasan di akhirat. Kalau mencuri tangannya akan dipotong berkali-kali. Sebaliknya, kalau dia menjadi anak rajin dan senang memb
IRI “Mas, sudah kubilang percuma kita kemari. Memang Tuhan itu belum ngasih karena dia lihat Mas Yuda belum mampu menafkahi anak kita nantinya, jadi dia lebih milih buat nunda. Kok kamu jadi maksa-maksa gini? Buang-buang waktu tahu nggak?”Diandra mendekap kedua tangannya. Baru saja dia dan Yuda sampai di sebuah klinik kandungan yang direkomendasikan salah seorang temannya. Klinik yang saat Diandra melihat list harga konsultasi dan tindakan yang dilakukan cukup membuat matanya melotot tak percaya. Rasanya sayang sekali uang sebesar itu digunakan untuk hal tidak penting seperti ini.“Mas. Mending uangnya buat liburan atau memanjakan diri di spa seharian. Paling tidak untuk senang-senang dari pada ngendon di rumah seharian. Bukan nggak mungkin gara-gara stress di rumah yang membuatku susah hamil begini!”Yuda hampir membentak istrinya jika tak menyadari posisi mereka saat ini. Rasanya telinganya gatal mendengar istrinya berbicara kasar seolah ibunyalah penyebab dia belum juga diberi ke
KECEMASAN ARINI Arini meremas tangan suaminya. Laki-laki itu tersenyum. Setelah perdebatan panjang akhirnya Arini bersedia ke klinik yang sudah direkomendasikan dokter Wisnu saat Yovan menanyakan dokter kandungan yang bagus untuk istrinya. Sebenarnya bisa saja dia membawa Arini ke klinik yang dulu selalu dia datangi bersama Raline saat istri pertamanya itu hamil.Tetapi dia mengurungkan hal tersebut demi menjaga perasaan istrinya. Pasti Arini akan merasa tak nyaman karena menganggap Yovan sengaja membawa dirinya ke tempat dimana kenangannya bersama Raline sebagian besar terekam di sana. “Mas?”“Ya?” Senyum di bibir Yovan belum juga pudar. Bayangan tentang detik-detik pertama istrinya memberikan benda yang dia angsurkan sebelumnya membuat laki-laki itu tak bisa kehilangan kebahagiannya. Arini menunjukkan trip dua pada benda yang dibeli suaminya melalui layanan aplikasi belanja online itu. Yovan yang sebelumnya berdiri menyederkan tubuhnya di tembok depan itu hampir melompat kegiranga
TEST PACKMata Yovan kembali menyipit. Dia tak tahu apa yang terjadi dengan istrinya saat ini. Yang dia lakukan langsung beranjak ke kamar mereka di lantai dua. Dia kehilangan daya saat melihat istrinya bermuram hingga tak berani sama sekali dia mendebatnya. Laki-laki itu pun merasa mati langkah saat hari liburnya justru bertepatan dengan jadwal Rafa di rumah Yuda.Laki-laki itu bahkan ingin sekali melarang anaknya pergi ke rumah ayah kandungnya jika tak ingat hal itu akan membuat suasana sejuk yang tercipta dengan laki-laki itu akan kembali memanas dan tentu akan berdampak pada hubungan mereka. Apalagi Yuda sudah menjanjikan anaknya melakukan kegiatan yang sama lagi seperti saat itu. Memancing di danau dan membakar ikan di tepian yang membuat bibir mungil Rafa tak henti-hentinya bercerita aktivitas yang menyenangkan itu.Baru saja hendak memakai kaos berwarna merah miliknya, Arini yang tiba-tiba masuk mencegah laki-laki itu.“Jangan yang itu, Mas. Warna itu merusak pandangan mataku.
SIKAP ANEH ARINIArini duduk di atas sofa ruang belakang. Tatapannya tertuju ke arah luar jendela dimana pohon palem yang berderet rapi di halaman terlihat meliuk-liuk diterpa angin. Hujan yang turun membuat pepohonan di luar sana tampak segar. Aroma petrikor yang berasal dari tanah kering yang tersiram air hujan terasa sekali di indra penciuman Arini.Tetapi kali ini reaksi yang dirasakan Arini terasa lain. Tidak seperti biasanya saat hatinya bersorak menikmati aroma khas yang keluar saat awal-awal hujan turun. Arini bahkan beranjak dari posisi duduknya saat ini demi menutup jendela berharap bau khas itu segera menghilang secepatnya.“Kucari-cari kenapa justru di sini?”Suara suaminya membuat Arini tersentak. Beberapa saat kemudian dia membetulkan anak rambut yang berkeliaran bebas di dahinya. Keheningan rumah itu membuat mood Arini mudah sekali memburuk. Suaminya itu langsung mengambil posisi berhimpitan dengannya. Aneh, seketika Arini menggeser tubuhnya hingga menambah jarak di ant
“Mama!” Rafa berteriak senang saat mobil Yovan memasuki halaman. Bocah laki-laki itu langsung berlari saat Arini keluar dari mobil. “Kangen.” Rafa tertawa-tawa saat Arini memeluknya erat-erat. Dia semakin terkekeh geli saat Arini menciumi wajahnya bertubi-tubi.“Papa.” Rafa langsung menyalami Yovan setelah berhasil lepas dari pelukan Arini. Dia mengangguk senang saat Yovan dengan mudah mengangkat tubuhnya.Disini, Yuda mengeluh pelan melihat keharmonisan keluarga di hadapannya. Rafa tampak sangat senang digendong Yovan. Sementara Arini menggandeng tangan Yovan dengan sebelah tangan menenteng paper bag biru. Keluarga kecil yang terlihat sangat harmonis. Siapapun pasti akan mengira kalau Rafa adalah anak Arini dan Yovan.“Assalamualaikum, Mas.”“Waalaikumussalam.” Lamunan Yuda terhenti mendengar salam Arini. Dia langsung berdiri dan membalas jabat tangan Arini dan Yovan. “Masuk dulu. Mama dan Diandra sedang keluar. Mama mertua mau mengadakan hajatan jadi mereka bantu-bantu.”“Kami dilua