“Mas Rayyan, temani aku ketemu Doni lagi bisa?” pertanyaan Ria membuatku bertanya-tanya. Apa dia sekedar menanyakan tentang kesehatannya atau ingin membahas rencana pernikahan kita di depannya. Dalam kondisi Doni masih perawatan, apa Ria tega. “Ah, yuk.” Aku tidak perlu bertanya lebih jauh tentang apa yang dipikirkannya. Walaupun aku masih belum yakin tentang perasaannya terhadap Doni. Secara Doni seorang anak sultan yang sebenarnya justru bisa membahagiakan Ria dibandingku yang pekerjaan aja masih mengemis pada wanita ini. Saat kami memasuki lift. Rasanya kok jantung berdebar tidak biasanya. Ah, ini gara-gara omongan Ria jadi kebawa perasaan. Entah kenapa perasaanku tiba-tiba melayang mendengar statemennya mengajak nikah. Apa dia melakukannya karena kondisinya memang seperti ini. Aku jelas tidak bisa meninggalkannya sendirian karena kalau dilihat lagi, Revan dan Wenda bisa berbuat di luar dugaan terhadap wanita disampingku. Memang di sisi lain aku juga takut syetan menggodaku da
Bab 26 – Mantan yang Menyusahkan “Kamu gak papa Ri?” tanyaku sambil menoleh padanya. Aku duduk di anak tangga di bagian bawah cafe. Terpaut jarak yang hanya tiga tapak di atas ku, kulihat Ria menghapus cairan pekat berwarna merah yang mengalir di pipinya. Ingin rasanya kuhapus luka itu. Aku tidak menyangka, Revan tega berbuat itu pada mantan istrinya. “Ada kotak obat?” tanyaku lagi karena aku belum tahu detail seluk beluk cafe ini. “Gak usah, gak papa. Cuma tergores aja.” Penjelasan Ria membuatku tertohok. Dia begitu tegar setelah menerima berbagai ujian hidup yang menimpanya. Wajah secantik kamu tidak pantas dilukai sama lelaki kurang ajar seperti Revan. “Gak usah lihat aku gitu, Mas.” Ia menundukkan wajahnya. Apa dia malu?! Tak lama ia menangkupkan kedua lengannya sambil menyandarkan kepalanya. Aku mendengar dengan jelas isak tangisnya yang sesenggukan. Ingin kupeluk dirinya dan menghapus air matanya. Namun aku tersadar, kami belum mahrom. “Astaghfirullah. Yaa Allah.” Ria
“Stop. Parkir sini aja Mas Rayyan.” Pinta Ria.“Ah ya.” Aku memarkirkan mobil disamping pagar teras rumahku.Kami sepakat untuk bertemu dengan Wenda, mengklarifikasi tentang kehamilan dirinya. Apa benar dia hamil ataukah sandiwara? Jika benar, lalu siapa ayahnya? Secara, dia sudah bermain di ranjang tidak hanya denganku, tapi juga dengan adik iparku sendiri dibelakangku. Dosa yang dilakukan Wenda tidak bisa kuampuni. Tapi disisi lain, janin yang dikandungnya tidak bisa kuabaikan begitu saja.Setelah kami keluar dari mobil. Aku lebih dulu yang berjalan menuju rumah dan membuka pintu.“Mas Rayyan.” Seru Wenda yang langsung merangkul dan mengecup bibir begitu melihat kedatanganku.Aku tersentak kaget, perlahan kulepas rangkulannya.“Jangan pergi lagi Mas. Aku sayang kamu.” Wenda merangkulku lagi dengan erat. Tak lama, Wenda menurunkan kedua tangannya. Raut wajahnya berubah. “Kenapa cewek genit ini di sini?” tanya Wenda dengan tatapan dingin pada wanita di belakangku.“Apa?! Bicara yang
Bab 28 – Palingan Tobat Sambal“Lucu banget. Lihat Mas. Beli ini ya ya ya?” tanya Wenda penuh harap. Dia memegang sepatu merah mungil dengan hiasan bunga kecil di atasnya. “Kan mbak belum tahu cewek apa cowok bayinya.” Ketus Ria yang dari tadi merengut selama di baby shop.Toko ini berada di jalan besar dekat pasar dan dikenal murah grosiran sehingga banyaknya konsumen termasuk emak-emak yang berkerumun. Tersedia aneka kebutuhan bayi, mulai dari pempers, susu, makanan bayi, susu botol, setelan baju, sepatu, gendongan, dan barang lainnya. Pertama kali memasuki toko ini juga aku bingung harus mulai dari mana. Pikiran kosong. “Ihh…” Wenda menatap kesal Ria. Dan langsung beralih melihat ke setelan baju.“Benar kata Ria. Jangan beli dulu yang itu. Nanti setelah hamil besar.” Kujelaskan pada Wenda sembari berjalan melihat aneka baju yang dipajang di baby shop ini.“Kelamaan!” gerutu Wenda. “Wah…Ini juga… duh bagus banget… ini ya Mas?” bujuk Wenda. Kali ini tatapannya tertuju pada baju d
Bab 29 – Dia Ngidam, Aku Naik Darah“Wenda…!” Aku menggoyangkan tubuhnya berkali-kali, tetapi tidak ada tanda-tanda pergerakan.“Mas Rayyan…” lirih Wenda dengan suara desahan kecil. Kelopak mata Wenda separuh terbuka. Seakan-akan telah sakit parah. Aku dikerjain ini ya?!“Mas Rayyan sayang. Hehehe….” Kelopak matanya sudah terbuka lebar. Wenda mengembangkan senyuman manis. Tawanya seperti menunjukkan bahwa adegan tadi adalah bercanda. Iya kan aku dikerjain. Bikin naik darah aja. “Aku pergi aja.” Aku udah tidak mood untuk meladeni prank-nya.Aku berbalik berjalan menuju pintu. Namun langkahku terhenti kala Wenda berucap.“Bentar Mas. Aku lagi ngidam. Aku mau mie ayam… yang di pojok SMA itu mas. Kangen makan di situ. Itu enak banget... Ngidam Mas.” Pintanya manja. Dia menopang kepalanya dengan telapak tangannya. Aku berbalik menatap wajahnya yang masih memasang wajah manis. Tapi bagiku rasanya sudah sepet. Tak sedap dipandang dan dirasa.“Tolong belikan Mas ya… yaa…” Wenda mengedipka
“Assalamu’alaikum” ucap Ria setelah menekan tombol hijau di ponselnya. Siapa yang menelponnya di sela-sela kami makan bersama?“Wa’alaikumsalam. Kami dari pihak pengadilan agama. Apakah ini atas nama Ria Khadijah?” suara wanita dibalik telpon. Aku mendengarnya jelas karena Ria me-loadspeaker ponselnya.“Ya…” singkat Ria.“Apakah ini benar Ria Khadijah yang melakukan gugatan cerai terhadap Revan Ananta?”“Ya…”“Pihak tergugat, Revan Ananta ingin mengajak mediasi. Lusa tanggal 10 Agustus, apa penggugat berkenan hadir?”“Apa?! Maaf mbak. Saya tidak mau mediasi. Apa perceraian bisa langsung disegerakan tanpa harus proses ini itu?” Ria menaikkan suaranya. Dia jelas tidak senang dengan wanita dibalik telpon yang mengajaknya mediasi.“Maaf sebelumnya. Suami anda Revan ingin mengajak mediasi. Berharap bisa rujuk kembali.”“Saya menolak!” Ria pun menekan tombol merah.Tak lama berselang ponsel berdering lagi dengan nomor asing yang sama. Segera Ria menonaktifkan ponselnya. Dia merebahkan dir
“Kuharap kamu bisa menerimaku lagi sayang.” Pinta Revan dengan rayuan gombalnya.Kami berempat berada di ruang tamu rumahku yang memang hanya satu lantai. Bukan bangunan mewah seperti rumah Revan. “Mas membujukku dengan cincin?” tanya Ria dengan mengernyitkan dahinya.Ria menghela napas panjang lalu mengambil cincin yang ada dikotak kecil yang sedari tadi dipegang Revan. “Makasih Mas.” Senyum Ria manis tapi penuh maksud. Suasana sekejap hening. Namun kami semua terperangah kala Ria spontan membalikkan tubuhnya ke arah Wenda. “Maaf, cincin ini salah sasaran.” Ria menatap Wenda.“Cincin ini harusnya untuk membujuk mbak Wenda agar bisa melepaskan Mas Rayyan.” Ria memakaikan cincin itu ke jari manis kanan Wenda. Wenda pun hanya terdiam. Tatapannya tak percaya Ria bisa melakukannya seperti itu di depan kami semua. Kulihat Revan dengan mulut sedikit terbuka dan pandangannya bingung harus berbuat apa. Aku tak kalah takjub melihat betapa kerennya Ria mengambil cincin yang harusnya menjad
“Udah jam 1 siang, masih belum ada orang yang datang. Yaah.” Ria duduk di kursi pelanggan sambil menghela napas panjang.“Udah Ri, insya Allah ada jalan.” Jawabku yang saat itu sedang mengelap meja di sebelah Ria duduk. Sudah tiga hari berlalu sejak dibukanya kembali cafe milik Ria pasca tragedi. Pelanggan yang datang bisa dihitung. Bahkan buka dari pagi jam 10 hingga setelah isya, terhitung tidak sampai 20 orang yang makan di sini. Tiga hari berturut-turut pun aku sudah mencoba berdiri di luar pintu. Dengan kemeja kerja dan topi, aku mengembangkan senyuman manis sambil menawarkan aneka menu di cafe kami pada orang-orang lalu lalang yang melewatiku.Ingatanku traveling ketika pagi tadi aku pun melakukan promosi di luar pintu cafe. Ini pengalaman perdanaku seperti sales. “Ehem…” Aku berdehem, mencoba untuk mengeluarkan rasa kepercayaan diriku. Hari ini pun hatiku berdegup kencang. Rasanya gugup sekali, seperti pertama kali melakukannya. Padahal dari hari pertama di buka sudah mencob
Ayash meletakkan kembali ponselnya ke dalam saku jas koko yang ia kenakan. Sudah lebih dari tiga jam Fathan dan Hamidah pergi, tapi belum ada tanda-tanda keduanya akan pulang. Barusan Ayash menelepon Fathan, pria itu mengatakan bahwa kedua anaknya masih betah jalan-jalan menikmati suasana kota."Bagaimana Bi?" tanya Raudah pada Ayash."Fathan bilang mereka masih belum mau pulang terutama kedua anaknya," jawab Ayash."Oh ya sudah kalau begitu, mungkin mereka sedang ingin menghabiskan waktu dan mencoba sesuatu yang baru yang tidak mereka temui di Mesir," ucap Raudah sambil bangkit dan berjalan ke belakang guna membuatkan minuman untuk Ayash.Selang beberapa menit Raudah sudah kembali dan duduk di samping suaminya sambil meletakkan gelas di atas meja."Tidak usah khawatir, Bi. Toh mereka pergi bersama Ustadz Yusuf, jadi pasti aman dan baik-baik saja.""Iya juga, cuma Abi heran aja, mereka kok nggak mau diantar sama kita, ya?""Mungkin karena Fathan tahu bahwa kita punya kewajiban mengaja
"Jika anda menganggap ini hutang, maka kami akan mengembalikannya. Uang dibayar dengan uang, tidak ada perjanjian bayaran yang lainnya," jawab Ayash penuh penekanan. Pengasuh pondok pesantren Almujahid itu meradang karena Hendra mempermainkannya.Mendengar jawaban dari Ayash, Hendra sontak tertawa. Pria itu sepertinya sangat puas mendengarnya."Manis sekali Ustaz. Jadi anda akan tetap mempertahankan istri anda yang cantik itu dan rela kehilangan harta benda untuk mendapatkan uang sesuai jumlah yang tertera di sini " Hendra menunjuk surat tagihan yang dulu ia berikan pada Ayash."Tentu saja, bagaimana pun kehormatan pesantren dan kehormatan diri saya dipertaruhkan disini. Jadi setelah ini saya harap urusan kita selesai." Ayash mengeluarkan uang di dalam tasnya yang dimasukkan ke dalam sebuah amplop lalu ia meletakkannya di hadapan Hendra.Sementara Hendra masih tersenyum menyeringai melihat benda yang disodorkan oleh Ayash."Bagaimana kalau saya tidak bisa menerima uang ini dan tetap m
"Eum ... ini ada tamu mencari Abi.""Tamu? Tamu siapa?""Dia bilang tidak boleh memberitahu dulu Abi. Pokoknya ini tamu dari jauh.""Oh, ya, baiklah. Abi akan segera pulang. Ini sedang dalam perjalanan." "Iya, Bi. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Sambungan telepon terputus. Ayash sedikit berpikir siapa tamu yang dimaksud oleh istrinya."Kita langsung pulang ke pesantren saja Ustaz, istri ana barusan menelepon katanya ada tamu yang sedang menunggu ana," ucap Ayash pada Ustaz Yusuf yang kali ini bertugas mengemudikan mobil."Baik Ustaz, awalnya juga kita tidak ada rencana mampir ke mana-mana 'kan" jawab Ustaz Yusuf."Iya juga, sih." Ayash terkekeh. Pikirannya sedikit kalut, pasalnya orang yang baru saja hendak dia temui dan bermaksud menyelesaikan permasalahan yang cukup menyita dan mengganggu pikirannya sedang tidak ada di tempat. Ayash kira saat ini masalah dengan Hendra sudah selesai tapi nyatanya pria itu terlalu sibuk dengan berbagai kegiatannya. Atau jangan-jangan sengaja men
Melihat pemandangan di hadapannya Ayash memalingkan wajahnya, ia tidak bisa membayangkan jika suatu saat Gaza tahu siapa sebenarnya Gus Rofiq. Bagaimana kalau anak itu berpaling darinya. Ayash tidak ingin kehilangan Ghaza, walau bagaimana anak itu sudah dia urus sejak bayi. Bagaimana ia berusaha membagi waktu antara mengajar dan menjaga bayi itu. Ayash berusaha membagi waktunya untuk menghadirkan sosok Ayah dalam kehidupan Ghaza. Hingga anak itu seakan sudah menjadi bagian dari nafasnya.Ayash tersentak ketika Ghaza kembali ke dalam pangkuannya."Apa ana boleh pergi, Abi?" Ghaza mendongak menatap wajah Ayash"Sebentar lagi, ya, temani Abi di sini," ucap Ayash sambil mengelus kepala anak sambungnya. Ia mengerti bahwa Gus Rofiq tentu masih ingin bertemu dengan anaknya, makanya Ayash berusaha menahan Ghaza supaya tidak cepat pergi.Ghaza sendiri biasanya anteng ketika Gus Rofiq datang menjenguknya. Tapi entah apa yang terjadi, kali ini anak itu meminta izin untuk cepat pergi dari sana.
"Bude Atikah itu sedang sakit, kenapa Ghaza bertanya seperti itu?""Karena Bude Atikah memakai selimut, orang yang memakai selimut 'kan orang yang kedinginan." Ghaza yang menjawab dengan mimik lucu."Bude itu sakit demam, orang yang sedang demam itu menggigil dan kedinginan meski suhu tubuhnya terasa panas, jadi Bude harus ke selimut." Raudah mencoba menjelaskan karena sepertinya Ghaza belum mengerti tentang kondisi Bude Atikah."Sekarang Ghaza duduk disini, ya, jangan nakal. Berdoa supaya Bude cepet sembuh," lanjut Raudah meminta supaya Ghaza duduk di ruang tengah sementara dia pergi ke dapur membantu abdi dalam yang sedang membereskan dapur.Sementara Ghaza menurut apa yang diperintahkan oleh Uminya, anak itu mengangguk lalu duduk di sana. Hal inilah yang membuat Raudah selalu bersyukur memiliki anak penurut dan tidak pernah membantah.Itu tak lepas dari didikannya selama ini juga didikan Bude Atikah dan Abi Ayash yang selalu mengajari Ghaza dengan penuh kasih sayang. Lagi, Raudah m
"Sekali lagi terima kasih Ustadzah. Ayo Ghaza kita masuk." Setelah berterima kasih pada Ustadzah Nara, Ayash mengulurkan tangannya dan meminta Ghaza supaya masuk rumah."Umi di mana?" tanya Ghaza karena tidak melihat Uminya, biasa' ketika dia pulang maka yang pertama menyambutnya adalah Umminya."Umi sedang beres-beres di kamar, tunggu di sini, ya!" Ayash meminta Ghaza untuk duduk di ruang tengah, sementara ia kembali ke kamarnya dan mendapat Raudah sedang bersiap akan mandi."Umi mau mandi duluan,ya," kata Raudah seraya masuk ke kamar mandi. "Ah ya, siapa yang datang?" Wanita itu urung melangkah ke kamar mandi lalu menoleh ke arah suaminya."Ghaza bersama Ustadzah Nara, katanya anak itu bersikeras ingin pulang," jawab Ayash."Sekarang Ghaza-nya di mana?" Raudah menoleh lagi ke arah suaminya."Abi memintanya menunggu di ruang tengah," sahut Ayash enteng.Lalu tanpa sengaja Raudah melirik kancing jas koko Ayash yang tidak pas."Astagfirullah, Abi!" Mata Raudah terbelalak dan tanganny
Kemudian Raudah mengusap wajahnya yang berada dibalik cadar. Ia tidak mau terus larut dalam bayangan Gus Rofiq yang sudah tidak menjadi siapa-siapanya lagi, meskipun darah pria itu mengalir di tubuh anaknya tetapi tidak sepantasnya Raudah terus mengingat dia. Wanita itu berusaha menormalkan irama jantungnya sambil terus beristighfar dan berdzikir dalam hatinya. Raudah berharap Ayash akan segera datang untuk mengalihkan perhatiannya dari Gus Ubed."Apa Bude Atikah tertidur," tanya Ayash begitu sampai di depan orang wanita yang sangat ia sayangi itu.Kedatangan Ayash cukup mengagetkan Raudah, pasalnya ia masih menormalkan ingatannya terhadap pria yang baru saja ia lihat berjalan dari kejauhan."Sepertinya Mbak Atikah memang tertidur," jawab Raudah sambil melirik pada kakak iparnya."Afwan, jika lama menunggu. Di apotek sangat mengantri. Biar ana gendong saja," ucap Ayash sambil menyerahkan obat yang baru saja ia ambil dari apotek pada Raudah lalu meraih tubuh Atikah dan menggendongnya m
Melihat Masa LaluBeberapa tahun kemudian ...."Bude Atikah tadi pagi menelepon dan dia mengatakan kalau sedang tidak enak badan," ucap Raudah kepada Ayash yang baru saja pulang mengajar kelas pagi. Beberapa hari setelah mendapatkan surat tagihan dari Hendra wajah Ayash memang terlihat murung, pria itu lebih banyak diam."Oh ya, kebetulan tadi Abi tergesa-gesa masuk kelas jadi tidak sempet mampir ke kediaman Mbak atikah," jawab Ayash.Setelah patah hatinya, ia akhirnya memutuskan kembali ke Pesantren Pamannya dan memulai hidup baru dengan melupakan Salwa. Dia bahkan menikah dengan Raudah yang dulu adalah temannya di Mesir saat sama –sama study di sana. "Setelah ini disempatkan melihat beliau, kami juga belum pergi ke sana karena baru saja selesai membereskan rumah." Yang dimaksud kami oleh Raudah adalah dirinya dan Ghaza. Ghaza adalah putra sambung Ayash yang dibawa Raudah dengan pernikahan sebelumnya. Ayash sendiri sebelum ini juga sempat menikah, akan tetapi istrinya meninggal saa
Melihat pemuda yang baru saja menghalalkannya itu kesakitan, Salwa menjadi salah tingkah. Dia ingin mendekat dan mengurangi rasa sakit itu, tapi hatinya ragu. Akhirnya Salwa hanya berdiri dengan gerakan tangan yang tak menentu."Sakali lagi, saya minta maaf, Tuan. Sungguh, saya tidak sengaja." Salwa menangkupkan kedua tangannya.Elvis nampak berpikir sejenak sebelum akhirnya dia berbicara."Sepertinya sulit untuk dimaafkan.""Saya tidak sengaja. Salah Tuan sendiri main pegang tanpa permisi." Salwa agak meradang mendengar Elvis seakan menghukumnya karena ketidaksengajaan."Baiklah, jadi aku harus meminta izin dulu?""Eum ... nggak juga ... tapi ya .... " Salwa malah bicara gugup.Elvis berjalan mendekati Salwa yang terlihat semakin salah tingkah."Tu-tuan mau apa?" "Aku mau minta izin," ujar Elvis sambil terus mendekat dan perlahan tangannya terulur menyentuh pipi gadis itu. Sementara Salwa semakin dalam menunduk. Ia mau melarang Elvis supaya jangan menyentuh pipinya tapi dia tahu ba