Beberapa bulan kemudian
“Dek, kamu gak pengen apa-apa gitu?” tanya Ferdi yang tengah bersiap untuk berangkat ke toko.
“Pengen apa Mas? Aku gak pengen apa-apa. Tumben Mas tanya,” jawab Hanna yang penasaran.
“Ya gak apa sih, barangkali mau dibawakan sesuatu nanti dari toko. Apa pengen camilan gitu daripada beli di toko lain.”
“Gak usah lah mas.”
“Ya udah kalau gitu Mas berangkat dulu. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Setelah Ferdi berangkat kerja,Hanna kemudian pergi ke rumah bibinya. Rumahnya berjarak sekitar 300 meter dari rumah Hanna. Setiap kali dia merasa bosan, dia selalu berkunjung ke sana.
“loohh, ada tamu berkunjung pagi-pagi,” sapa seorang wanita yang tengah duduk di kursi depan sebuah rumah dengan teras yang cukup luas.
Dia lah Bibi Hanna yang sangat dekat dengannya. Namanya Rahmi, sejak kecil Hanna lebih banyak menghabiskan waktu dengannya karena sering ditinggal kerja ke luar kota oleh ibunya. Hanna sudah dianggap seperti anak sendiri olehnya. Sebab Bi Rahmi tidak memiliki anak dan suaminya meninggal saat usianya masih terbilang muda. Setelah itu Bi Rahmi tidak pernah menikah lagi.
“Iya, Bi rahmi. Aku bosan di rumah gak ada teman. Bi Rahmi kok gak main ke sana sih.”
“Bi Rahmi lagi kurang enak badan, Han. Kan kamu bisa main ke sini.”
“Bi, Rahmi di rumah sendirian? Yang lain mana kok gak ada?”
“Ada di dalam itu. Kamu masuk aja. Kayaknya Bi Rumi lagi masak.”
Hanna bergegas masuk ke dalam rumah dan melihat bibinya yang satu lagi sedang memasak di dapur. Bibi yang terkenal sangat sabar dan tidak pernah terlihat marah, dia Bibi Rumi. Bi Rumi tinggal dengan suami dan satu orang cucunya. Selain itu Bi Rahmi juga tinggal dengannya, sebab Bi Rahmi sering sakit-sakitan.
“Masak apa Bi Rumi?”
“ehh copot, kamu Han. Kaget bibi. Kirain siapa tiba-tiba nongol. Ini masak pecel lele. Kamu sudah makan, Han? Ayo makan bareng.”
“Hanna udah makan, Bi. Udah kenyang sekarang.”
“Ya udah kalau gitu. Ferdi udah berangkat, Han?”
“Iya, Bi. Baru aja berangkat. “
“Ya udah kalau gitu kamu di sini aja daripada sendiri di rumah. Ayo ngobrol di ruang tamu aja, Han. Bibi udah selesai semua ini.”
Hampir setiap hari Hanna menghabiskan waktunya bersama kedua Bibinya itu. Sampai jam 12 siang dia baru pulang untuk menyiapkan makanan untuk Ferdi kalau saja dia pulang.
*****
“Dek, ini uang belanja untu besok ya,” sambil memberikan beberapa lembar uang sepuluh ribuan, Ferdi menatap istrinya dalam.
“Iya, Mas. Terima Kasih.”
“Kalau kamu butuh apa-apa bilang ya.”
“Iya, Mas.”
“Dek, Mas boleh tanya sesuatu?”
“Tanya apa Mas?”
“Kamu Hamil apa gak Dek?” tanya Ferdi penuh harap.
“Belum Mas, kenapa?” jawab Hanna yang sedikit cemas.
“Ya gak apa-apa, tapi Mas pengen cepet aja punya anak. Kalau ada anak nanti kita akan jauh lebih bahagia. Kamu juga ada temennya kalau di rumah sendiri.”
“Nanti kalau udah waktunya juga dikasih.”
Dalam hati Hanna merasa sangat bersalah karena telah menyembunyikan bahwa dia diam-diam memakai kontrasepsi tanpa seijin suaminya. Dia lebih memilih mengikuti kata-kata ibunya daripada suaminya. Dia sadar akan dosa yang dia terima tapi karena keadaan membuatnya melakukan itu. Menurutnya, kata-kata ibunya juga ada benarnya. Saat ini kondisi keuangan mereka belum bisa dibilang siap untuk membiayai seorang anak.
“oh iya Dek, ada masalah di Toko.”
“Ada masalah apa, Mas?”
“Kamu tau gak Minimarket yang baru buka beberapa hari lalu?”
“Iya aku tau, Mas. Malah kemarin aku sempat beli sabun di sana karena lagi ada promo beli 1 gratis 1.”
“Loohh, kok malah kamu beli di sana juga?” gumam Ferdi yang sedikit kesal pada istrinya.
“Kan cuma iseng aja, Mas,” goda Hanna yang sambil senyum-senyum kecil.
“Minimarket itu yang jadi penyebab masalahnya Dek. Di sana banyak promo jadi sekarang orang-orang lebih suka belanja di sana. Semenjak Minimarket itu buka, toko mulai sepi. Mas waktunya belanja barang aja sekarang uang belum terkumpul.”
“Waduw, terus gimana dong Mas?”
“Biar nanti Mas cari solusi. Masalahnya ini kan karena harga yang lebih murah. Gak mungkin kalau Mas juga turunin harga. Bisa-bisa gak balik modal nanti.”
“Ya jangan Mas. Mereka punya supplier yang beda Mas. Bisa jadi mereka dapat harga lebih murah. Atau langsung ambil dari tangan pertama. Kalau kita ikut-ikutan juga bisa kayak yang Mas bilang tadi.”
“Ya udah lah Dek. Namanya rejeki udah ada yang atur. Kita tidur aja yuk. Mas besok mau buka lebih awal.”
*****
Pagi-pagi Ferdi sudah sampai di toko nya. Namun, dia begitu heran melihat ibunya yang sudah duduk di kursi yang ada di depan toko. Dia tidak tahu apa tujuan ibunya datang pagi-pagi ke tokonya, padahal toko belum buka tetap ibunya menunggu. Bergegas Ferdi menghampiri Ibunya yang tengah sibuk dengan ponsel yang ada ditangannya.
“Lohh, Ibu kok sudah di sini pagi-pagi? Ada apa, Bu?”
“Jam berapa ini, Fer. Kamu belum buka jam segini. Masih baru datang. Ngapain aja di rumah.” Hardik Ningrum pada Ferdi yang tengah berdiri di depannya.
“Sekarang masih jam setengah enam, Bu. Ini aja aku berangkat lebih pagi. Ibu kan tau kalau biasanya jam enam baru buka.”
“Harusnya bisa buka lebih awal dong. Kamu pengen banyak yang laku apa gak? Jangan cuma tidur aja yang digedein.”
“Sudah lah, Bu. masih pagi jangan ribut di sini. Lagian gak baik baru buka sudah ribu-ribut.”
“sudah cepat buka aja tokonya. Ibu mau cek jualan kamu kayak gimana.”
Segera Ferdi membuka tokonya karena tidak ingin lebih lama lagi berdebat dengan Ibunya. Dia cukup menghindari pertengkaran dengan siapapun karena baginya pertengkaran akan hanya menambah beban dan waktu yang sia-sia.
“ Kamu biasanya tutup jam berapa? Ibu lihat kamu kadang jam 7 aja sudah tutup kemarin. Kayak orang gak butuh uang aja kamu itu, Fer.”
“Bukannya gitu, Bu. Kemarin itu sepi banget jadi Ferdi tutup lebih awal. Biasanya jam 9 baru tutup.”
“Itu alasan kamu aja.”
“Bukan alasan, Bu. Kalau Ibu gak percaya terserah.’
Di hari itu Ferdi berharap akan dapat pelanggan lebih banyak tapi justru pertengkaran dengan Ibunya yang didapat. Ferdi hanya bisa mengalah dan sesekali membela diri. Tapi pada dasarnya dia tidak pernah membantah kepada sang Ibu. Apalagi mengingat kalau toko yang dikelolanya itu milik keluarganya dan diberikan padanya setelah menikah. Sebab dia tidak lagi bekerja dengan Ayahnya di luar kota.
“Kamu sapu dulu, biar Ibu lihat barang-barang kamu.”
“Iya, Bu.”
“Lohh, ini barang kok banyak yang kosong. Uang buat belanja barang kemana, Fer? Kamu habisin pasti ya?”
“Enggak, Bu. Uangnya ada. Memang Ferdi belum belanja soalnya nunggu ngumpul dulu. Lagian belum ada sales yang datang.”
“Kamu itu bisanya cuma alasan aja, Fer. Kalau ada uangnya sini tunjukin.”
“Ini Bu uangnya masih ada. Kenapa Ibu gak pernah percaya sih.” Sambil mengeluarkan semua uang dalam tas kecil, wajah Ferdi mulai terlihat kesal.
“Kalau gini terus, bisa-bisa toko ini gak jalan lagi. Jadi mulai hari ini uang toko semuanya Ibu yang pegang. Tiap hari perolehan pendapatan kamu setorkan ke Ibu. Setiap sore Ibu datang buat kontrol kamu tutup jam berapa, sekalian ambil uang setoran kamu tiap hari.”
Ferdi kaget mendengar perkataan Ningrum. Dia bingung harus menjelaskan pada istrinya saat pulang nanti. Apalagi hanya dari toko itu sumber penghasilannya. Baginya akan sulit mengambil uang untuk diberikan pada istrinya karena semua uang toko ibunya yang pegang.
Terdengar suara pintu diketuk dari luar. Hanna yang saat itu tengah sibuk dengan HP tidak mendengar ketukan tersebut. Dia sibuk mengirimkan lamaran-lamaran kerja yang dia dapat diinternet dan media sosial. Seperti rencananya dari awal, dia akan mencari kerja setelah menikah di tempat kelahirannya.Karena tidak ada yang membuka pintu akhirnya pintu langsung dibuka dari luar. Ternyata itu Bi Rahmi yang kemudian langsung mencari keberadaan Hanna.“Han, kamu lagi apa, Han?”“Loh, Bi Rahmi. Kapan datangnya, Bi. Aku kok gak dengar?”“Tadi Bibi ketuk pintu berkali-kali tapi gak ada yang bukain jadi langsung masuk aja. Ternyata pintunya juga gak dikunci.”“Iya Bi, emang Hanna gak pernah kunci pintu kalau gak lagi tidur.”“Emangnya kamu lagi ngapain, Han. Sampai gak dengar Bibi datang?”“Aku lagi sibuk sama HP ini, Bi. Lagi kirim lamaran kerja. Tapi dari kapan hari belum juga ad
Hanna bangun pagi-pagi sekali untuk mulai menyiapkan ayam geprek pesanan para pelanggan barunya. Dia tidak ingin mengecewakan orang-orang yang membeli ayam geprek bikinannya itu. Sebelumnya dia sudah membeli keperluan untuk berjualan. Dia bertekad akan bekerja keras demi mendapat penghasilan karena kemarin Ferdi sudah tidak bisa membawa uang untuk belanja harian. Ferdi hanya bisa memberi tiga hari sekali itupun dengan nilai yang sama seperti biasa.“Dek, kamu ngapain pagi-pagi udah di dapur. Ini masih subuh loh.” Ferdi yang hendak menunaikan ibadah melihat Hanna yang sudah sibuk di dapur. Biasanya istrinya itu masih harus dia bangunkan dulu. Setelah sholat pun Hanna biasanya kembali tidur dan bangun lagi saat ibunya mampir.“Aku lagi ada pesanan buat besok, Mas.”“Pesanan apa, Dek?” Ferdi tidak mengetahui Hanna berjualan ayam geprek bingung, sebab saat Ferdi pulang malamnya, Hanna sudah ketiduran.“Aku belum sempa
Seharian Hanna sibuk di dapur dan bolak balik mengantar kiriman. Hari ini cukup banyak pesanan yang masuk. Setelah mengantar pesanan teman Kania, lalu Hanna lanjut mengantar pesanan ke rumah pelanggan. Belum lagi pesanan yang masuk dadakan hari ini. Sekitar lima puluh pesanan diterimanya hari ini. Untungnya ada Bi Rahmi yang selalu setia membantu Hanna.Cukup lelah Hanna bekerja, dia tak sengaja tertidur pada jam tiga sore di depan TV. Dia tidak lagi menerima pesanan karena kehabisan ayam. Sementara penjual ayam dekat rumahnya juga belum ada stok ayam yang datang pada jam itu.Hanna terbangun jam empat sore. Dia kaget karena cukup lama ketiduran. Segera dia mandi dan membereskan rumah. Setelah semua selesai, dia teringat dengat perkataan Ferdi. Kemudian dia memutuskan untuk menyusul Ferdi ke toko sekalian berbelanja untuk jualan besok. Dia tahu kalau Ibu mertuanya pasti sudah di toko.*****Setelah belanja semua keperluan untuk jualan besok, dia lan
Dari pagi sampai siang, Hanna belum juga istirahat karena hari itu Bi Rahmi tidak bisa membantu karena sakitnya kambuh. Setelah mengantarkan beberapa pesanan terakhir, Hanna merebahkan tubuhnya pada sofa di ruang tamu sambil melihat HP nya barang kali ada yang pesan lagi. Ternyata ada beberapa panggilan tidak terjawab dari Ibunya. Sejak Hanna berjualan, Ibunya belum pernah berkunjung. Tidak biasa Ibunya menelpon sampai beberapa kali. Dia tahu kalau Ibunya menelpon bila ada keperluan saja. Segera dia menelpon kembali Ibunya. Ternyata langsung dijawab. “Halo, Bu. Ada apa menelpon? Tadi Hanna lagi dijalan.” “Han, kamu bisa bantu Ibu tidak sekarang? Ke sini sekarang? Bantu Ibu bawa barang-barang.” “Barang-barang apa, Bu?” “Ibu habis tengkar dengan bapak, Ibu mau pindah ke sana aja, Han. Biar sementara bapak sadar dulu sama kesalahannya.” Seketika Hanna kaget mendengar kalimat yang baru diucapkan Ibunya. Itu berarti orang tuanya sedang tida
"Kok kamu ngomongnya gitu, Mas? Jadi sebenarnya, Mas, keberatan kalau Ibuku tinggal disini? Tapi yang bangun rumah ini Ibuku. Harusnya, Mas paham dong.""Bukan keberatan, tapi kita sepakat kalau gak ada yang ikut mertua kan, Dek? Lagian kamu juga mojokin Ibuku terus.""Kita aja belum punya rumah sendiri, Mas. Aku juga gak tau kalau jadi begini. Ya sudah lah, Mas, kita jalani aja apa adanya sekarang.""Ya mau gimana lagi, ya udah tidur aja lah."Baik Hanna maupun Ferdi, keduanya sama-sama membela ibu mereka. Bagi Hanna, ibunya tidak salah jika tinggal disana, namun Ferdi merasa tidak nyaman. Sedangkan Ferdi juga tak terima, jika Hanna selalu memojokan ibunya karena ikut andil memegang keuangan toko.*****Keesokan harinya, Ratna tidak berjualan di pasar karena hatinya sedang gelisah setelah pertengkarannya dengan suami. sementara Hanna sejak pagi sudah bangun menyiapkan ayam geprek untuk dikirim ke sekolah Kania hari itu. Mendengar Hanna yang sudah sibuk
Hari minggu Hanna tidak mendapat pesanan dari anak SMP, teman-teman Kania. Dia hanya membuka pesanan untuk delivery saja lewat WA dan FB. Sehingga dia tidak begitu sibuk di pagi hari. Saat hendak ke toko, dia bertemu dengan salah satu tetangganya yang langsung menyerangnya dengan beberapa pertanyaan."Mau kemana, Han? Kok buru-buru?""Mau ke toko, mbak Wati. Minyak dirumah habis. kemarin lupa belum beli.""Buat jualan apa buat masak?""Buat jualan nanti, mbak.""Ngomong-ngomong, kamu sudah hamil apa belum, Han? Si Rita, saudaraku yang nikahnya barengan sama kamu sudah hamil tiga bulan. Kok kamu belum hamil juga!""Mungkin belum rejeki ya, mbak. Belum dikasih kepercayaan. Nanti kalau udah waktunya pasti dikasih.""Jangan mikir gitu, Han. Jaman sekarang sudah canggih. Kalau seandainya ada yang bermasalah, diperiksa aja langsung ketahuan. Kamu coba aja periksa ke dokter, Han.""Maksud mbak, aku bermasalah dalam arti susah hamil? Begitu, mbak?""
Seharian, Hanna tidak bisa fokus berjualan karena memikirkan cara bagaimana menyampaikan dua kabar pada Ferdi, satu kabar bahagia sedangkan satu lagi kabar buruk. Bagaimana tidak, dalam waktu dua minggu Ferdi sudah harus mendapatkan pekerjaan. Sementara mencari kerja itu tidaklah gampang.Pikiran Hanna yang kacau membuatnya terus melamun sepanjang hari sambil menyiapkan pesanan, hingga ada beberapa ayam yang digoreng jadi gosong. Sehingga Bi Rahmi yang mengerjakan sebagian besar kerjaan Hanna hari itu. Sementara Ratna, dia lebih memilih tiduran dikamar Firman setelah memarahi Hanna.“Han, semuanya udah selesai. Itu beberapa pesanan terakhir yang belum diantar, Bibi taruh di atas meja, ya? Kamu jangan melamun terus, orang hamil gak boleh kalau banyak pikiran. Kamu harusnya bahagia, bukannya malah bingung gitu.”“Tadi Bibi tahu sendiri kalau Ibu marah banget. Aku jadi serba salah, Bi. Bingung cara ngomongnya ke Mas Ferdi nanti, biar dia gak tersinggung. Tapi aku rasa yang
Setelah mendengar cerita Rini soal Ferdi yang bermain judi online, Ratna sangat marah dan mencari keberadaan Hanna. Sementara Hanna sedang membuat pesanan ayam geprek di dapur, mendengar teriakan ibunya berkali-kali memanggilnya, namun dia tidak menghiraukannya. "Han, kamu lagi ngapain aja? Dari tadi dipanggil kamu diem aja!""Hanna lagi goreng ayam, Bu. kalau ditinggal nanti ayamnya gosong," jawab Hanna dengan santai."Barusan ada Mbak Rini ke sini. Dia cerita ke Ibu kalau Ferdi tiap nongkrong di sana yang dibahas cuma judi online. Ferdi itu main judi online, Han! Kamu tahu gak? Keterlaluan anak itu.""Memangnya Mbak Rini tahu sendiri kalau Mas Ferdi ikut main, Bu?" ucap Hanna yang mencoba melindungi suaminya, meski sebenarnya dia tahu kalau yang dikatakan Rini itu memang benar."Jelas Mbak Rini tahu, Han. Dia itu ada di sebelah mereka waktu ngobrol. Pokoknya kamu harus tegas. kalau kamu biarin aja, makin gak jelas Ferdi nanti. Kerjaan aja belum jelas, ber
Keesokan harinya Hanna mengumpulkan niat untuk menemui Mita di tempat kerjanya. Dia ingin memastikan sendiri, apa hubungan Mita dengan Ferdi. Hanna ditemani oleh Kania, dia sengaja mengajak Kania agar nanti tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Apalagi saat ini dia tengah hamil muda. Meski begitu rasa penasarannya membuat Hanna menguatkan niat untuk tetap pergi menemui Mita.Diperjalanan menuju tempat kerja Mita, Kania sempat mengingatkan Hanna agar tidak terbawa emosi."Mbak, Nanti jangan terlalu emosi ya. Aku takut kalau Mas kepancing emosi. Apalagi sekarang Mbak lagi hamil. Kasihan dedek bayi kalau Mbak marah-marah," pinta Kania sambil mengendarai motornya."Tenang aja, Nia. Mbak gak akan marah-marah. Apalagi kalau nanti banyak orang. Pasti Mbak juga malu," jawab Hanna."Ya udah, bagus kalau begitu. Aku juga malu kalau sampai ribut-ribut, Mbak," ucap Kania sambil tertawa.Beberapa menit kemudian mereka sampai di tempat kerja Mita. Di sana terlihat beberapa orang sedang makan da
Dengan teliti, Hanna mengamati satu persatu pesan percakapan antara Ferdi dengan Mita. Dari sana, Hanna bahkan bisa menyimpulkan kalau Mita yang selalu mengirim pesan pada Ferdi. Bahkan dia tak ragu sesekali meminta Ferdi untuk mampir ke warung tempatnya bekerja.[Mas, hari ini kirim kemana?][Lagi sibuk ya, Mas?][Kalau kirim ke arah sini, nanti makannya di warung sini aja, Mas. Nanti aku kasih gratis kopi deh.]Beberapa kali setelah Mita mengirim pesan, akhirnya Ferdi membalas.[Maaf ya, Mit. Hari ini lagi sibuk banget. Banyak yang harus dikirim. Lain kali aja makan di sana.][Oke, deh. Mita tunggu kedatangannya. Yang semangat kerjanya.][Oke, kamu juga.]Melihat percakapan antara Ferdi dan Mita, seketika hatinya mendidih. Dia bahkan tak lupa mencatat nomor HP Mita. Berjaga-jaga barangkali wanita itu terus berulah, Hanna tak segan untuk memberi peringatan langsung padanya. Tak lama kemudian, Ferdi yang selesai mandi langsung masuk ke dalam kamar dan membaringkan tubuhnya diranjang.
Setelah Ferdi selesai mandi, Hanna sudah menunggunya dengan segudang pertanyaan. Hanna sangat penasaran dengan orang yang mengirim pesan pada Ferdi. Bahkan pengirim pesan itu juga sempat menunggu kedatangan Ferdi."Mas, coba sini aku mau bicara.""Mau bicara apa, Dek?""Hp Mas tadi bunyi, ternyata ada WA masuk. Tapi gak ada nama kontaknya. Ini dari siapa? Kok dia bilang nunggu Mas buat mampir kesana?""Coba Mas liat dulu,"tanya Ferdi sambil mengambil HP nya dari Hanna."Oh, ini tadi beli beberapa karung semen ke toko. Dia pegawai di warung makan dekat pasar. Niatnya Mas tadi mau sekalian antar semen pesanannya. Ternyata malah ada musibah, jadinya batal.""Beneran? Mas gak bohong kan? Awas aja kalau macam-macam, udah tahu aku lagi hamil.""Gak lah, Dek. Kamu percaya aja sama Mas. Udah selesai kan? Kalau gitu Mas mau makan dulu, habis itu mau tidur. Besok harus kerja lagi bangun pagi."Hanna masih merasa ragu dengan penjelasan Ferdi. Tapi dia berus
"Dek, jangan lama-lama ya berangkatnya," sambung Ferdi."Gak coba Mas kabari langsung telpon ke Toko Bangunannya aja?""Gak diangkat, Dek.""Ya udah aku berangkat dulu sekarang."Hanna bergegas berangkat ke Toko Bangunan tempat Ferdi bekerja. Dia sangat khawatir dengan keadaan Ferdi. Meski begitu, dia berusaha untuk fokus menyetir motor. Apalagi mengingat dia sedang hamil. Karena keselamatan janinnya yang utama.Sesampai di Toko Bangunan, Hanna segera memberitahukan hal tersebut pada pemilik toko. Kemudian sang pemilik toko langsung mengirimkan beberapa pekerjanya menuju ke tempat Ferdi berada. "Makasih ya, Mbak, sudah dikabari. Sampai jauh-jauh kesini. Nanti biar saya sama pekerja di sini yang urus. Mbak jangan khawatir,"ucap pemilim Toko Bangunan, Pak Banu namanya."Iya, Pak. Kalau begitu saya pamit pulang dulu.""Gak mampir dulu ke Bu Ningrum, Mbak?" tanya Pak Banu."Enggak, Pak. Saya lagi buru-buru soalnya," jawab Hanna. Dia tidak mampir ke r
Ningrum berjalan masuk ke dalam toko menghampiri Ferdi yang tengah bermain HP. Dia langsung mengambil Hp Ferdi. Ferdi yang tidak tahu apa-apa sontak kaget melihat Ibunya yang terlihat emosi."Ada apa sih, Bu?""Ayo kamu keluar, Fer. Cepat!"Ferdi mengikuti Ningrum yang berjalan ke luar toko. Di luar toko, masih ada Hanna yang duduk termenung sendirian."Ada apa sih, kenapa Ibu marah gitu?""Jujur kamu, Ferdi. Selama ini kamu gunakan buat apa uang toko? Kamu kasih ke Hanna semua? Bahkan buat stok barang uangnya tidak cukup. Tapi Hanna tadi bilang, kamu main judi online. benar begitu?""Enggak, Bu. Hanna cuma adal nuduh aja. Yang pakai HP Ferdi itu teman.""Jangan alasan, sudah tertangkap basah masih gak mau ngaku juga?"Hanna hanya melihat pertengkaran mereka tanpa mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya. Dia takut ucapannya akan salah di mata mereka."Ya sudah kalau gak percaya.""Kalau memang kamu gak main judi, terus uang toko buat
Setelah mendengar cerita Rini soal Ferdi yang bermain judi online, Ratna sangat marah dan mencari keberadaan Hanna. Sementara Hanna sedang membuat pesanan ayam geprek di dapur, mendengar teriakan ibunya berkali-kali memanggilnya, namun dia tidak menghiraukannya. "Han, kamu lagi ngapain aja? Dari tadi dipanggil kamu diem aja!""Hanna lagi goreng ayam, Bu. kalau ditinggal nanti ayamnya gosong," jawab Hanna dengan santai."Barusan ada Mbak Rini ke sini. Dia cerita ke Ibu kalau Ferdi tiap nongkrong di sana yang dibahas cuma judi online. Ferdi itu main judi online, Han! Kamu tahu gak? Keterlaluan anak itu.""Memangnya Mbak Rini tahu sendiri kalau Mas Ferdi ikut main, Bu?" ucap Hanna yang mencoba melindungi suaminya, meski sebenarnya dia tahu kalau yang dikatakan Rini itu memang benar."Jelas Mbak Rini tahu, Han. Dia itu ada di sebelah mereka waktu ngobrol. Pokoknya kamu harus tegas. kalau kamu biarin aja, makin gak jelas Ferdi nanti. Kerjaan aja belum jelas, ber
Seharian, Hanna tidak bisa fokus berjualan karena memikirkan cara bagaimana menyampaikan dua kabar pada Ferdi, satu kabar bahagia sedangkan satu lagi kabar buruk. Bagaimana tidak, dalam waktu dua minggu Ferdi sudah harus mendapatkan pekerjaan. Sementara mencari kerja itu tidaklah gampang.Pikiran Hanna yang kacau membuatnya terus melamun sepanjang hari sambil menyiapkan pesanan, hingga ada beberapa ayam yang digoreng jadi gosong. Sehingga Bi Rahmi yang mengerjakan sebagian besar kerjaan Hanna hari itu. Sementara Ratna, dia lebih memilih tiduran dikamar Firman setelah memarahi Hanna.“Han, semuanya udah selesai. Itu beberapa pesanan terakhir yang belum diantar, Bibi taruh di atas meja, ya? Kamu jangan melamun terus, orang hamil gak boleh kalau banyak pikiran. Kamu harusnya bahagia, bukannya malah bingung gitu.”“Tadi Bibi tahu sendiri kalau Ibu marah banget. Aku jadi serba salah, Bi. Bingung cara ngomongnya ke Mas Ferdi nanti, biar dia gak tersinggung. Tapi aku rasa yang
Hari minggu Hanna tidak mendapat pesanan dari anak SMP, teman-teman Kania. Dia hanya membuka pesanan untuk delivery saja lewat WA dan FB. Sehingga dia tidak begitu sibuk di pagi hari. Saat hendak ke toko, dia bertemu dengan salah satu tetangganya yang langsung menyerangnya dengan beberapa pertanyaan."Mau kemana, Han? Kok buru-buru?""Mau ke toko, mbak Wati. Minyak dirumah habis. kemarin lupa belum beli.""Buat jualan apa buat masak?""Buat jualan nanti, mbak.""Ngomong-ngomong, kamu sudah hamil apa belum, Han? Si Rita, saudaraku yang nikahnya barengan sama kamu sudah hamil tiga bulan. Kok kamu belum hamil juga!""Mungkin belum rejeki ya, mbak. Belum dikasih kepercayaan. Nanti kalau udah waktunya pasti dikasih.""Jangan mikir gitu, Han. Jaman sekarang sudah canggih. Kalau seandainya ada yang bermasalah, diperiksa aja langsung ketahuan. Kamu coba aja periksa ke dokter, Han.""Maksud mbak, aku bermasalah dalam arti susah hamil? Begitu, mbak?""
"Kok kamu ngomongnya gitu, Mas? Jadi sebenarnya, Mas, keberatan kalau Ibuku tinggal disini? Tapi yang bangun rumah ini Ibuku. Harusnya, Mas paham dong.""Bukan keberatan, tapi kita sepakat kalau gak ada yang ikut mertua kan, Dek? Lagian kamu juga mojokin Ibuku terus.""Kita aja belum punya rumah sendiri, Mas. Aku juga gak tau kalau jadi begini. Ya sudah lah, Mas, kita jalani aja apa adanya sekarang.""Ya mau gimana lagi, ya udah tidur aja lah."Baik Hanna maupun Ferdi, keduanya sama-sama membela ibu mereka. Bagi Hanna, ibunya tidak salah jika tinggal disana, namun Ferdi merasa tidak nyaman. Sedangkan Ferdi juga tak terima, jika Hanna selalu memojokan ibunya karena ikut andil memegang keuangan toko.*****Keesokan harinya, Ratna tidak berjualan di pasar karena hatinya sedang gelisah setelah pertengkarannya dengan suami. sementara Hanna sejak pagi sudah bangun menyiapkan ayam geprek untuk dikirim ke sekolah Kania hari itu. Mendengar Hanna yang sudah sibuk