Bab102
"Itu nama wanita tadi, yang barusan Andre temui di depan pagar."
"Kamu kenal Ndre?" selidik Melin.
"Mana mungkin Andre kenal, lihat mukanya aja enggak. Karena merasa itu orang aneh, Andre nggak langsung izinkan dia masuk. Katanya mau ketemu Mamah Gaby, tapi pas Andre panggilkan Mamah Gaby, tuh wanita langsung nggak ada."
"Hiiii ...." Parwira bergedik."Papah, apa-apaan sih," tegur Melin dengan tatapan tidak suka.
"Mah, wanita di depan pagar itu, 100% wajahnya mirip dengan Harumi. Papah yakin, Harumi tidak tenang di alam sana, gara-gara Mamah sering nangis."
"Hus, ngawur sih." Melin semakin tidak suka, dan melotot menatap Parwira.
Parwira pun hanya menghela napas, dengan pikiran yang semakin berkela dan tidak tenang.
Parwira yakin, Harumi menjadi arwah penasaran. Sebab kematian yang tidam wajar, memicunya semakin merasa was-was.
"Gaby," panggil Melin, menepuk pelan pipi Gaby, sembari mendekatkan aroma
Bab103"Alah, mana mungkin. Ayo buka!" titah Parwira, masih dengan sikap waspada.Andre terkekeh. "Papah saja sepertinya juga takut.""Ah, tidak!" sahut Parwira. "Cepatlah buka!" desak Parwira tidak sabaran.Andre hanya menggeleng, dengan senyuman kecil. Lelaki itu pun memberanikan diri, untuk membuka paket tersebut."Bau amis," lirih Andre. Dengan cepat, lelaki itu pun merobek kasar paketan itu."Astagfirullah," pekik Andre. Bangkai tikus, dengan darah yang berlumuran di dalam kotak paket itu.Darah yang lumayan banyak, diikuti dengan 2 bangkai tikus. Andre dan Parwira sangat terkejut, sekaligus bingung.2 ekor tikus yang tubuhnya hancur, seperti ditusuk berkali-kali itu pun juga nampak semakin aneh, karena darah yang ada di dalam kotak paket itu begitu banyak.Parwira dan Andre pun semakin terkejut, ketika melihat di gen
Bab104 "Akkkhh ...." Melin berteriak, sembari melepaskan pelukannya pada Gaby. Gaby pun berbalik badan. "Astagfirullah," ucap Gaby juga, terkejut. Sedangkan Annisa membeku, berdiri mepet ke dinding. "Rumi?" lirih Gaby. Menatap wanita berambut panjang lurus sepinggang itu. Bola mata berwarna coklat terang itu menatap lekat wajah Gaby. Dengan ukiran senyum yang sangat manis. Bedanya, Rumi memiliki sepasang lesung pipi yang teramat cantik. Jika semasa kecil, Rumi tidak memiliki kulit yang putih seperti Harumi. Kini, Rumi jauh lebih putih, jika di bandingkan dengan Harumi. Bukan hanya itu, mahkotanya yang hitam legam, lurus menjuntai panjang itu, menambah aura kecantikannya kian bersinar. "Mamah," lirih Rumi, sembari tersenyum tipis. "Ya Allah, anakku." Gaby langsung berlari pelan, memeluk Rumi dengan erat. "Bagaimana mungkin, kamu sampai ke Kalimantan ini, Nak?" Gaby terisak memeluk Rumi.
Bab105"Maafkan anakku, Gaby." Hanya kata-kata itu, yang bisa Melin katakan. Dengan langkah gontai, Melin membawa rasa malunya pergi meninggalkan rumah Gaby.Gaby hanya terdiam, terisak membayangkan wajah Rumi. Rumi sangat cantik, dia tumbuh menjadi wanita yang juga dingin.Sikapnya memang selalu terlihat tenang dan tidak banyak bicara. Bahkan mendengar kematian Harumi saja, Rumi nampak bersikap biasa dan tidak banyak bertanya.Bahkan Rumi tidak terkejut sama sekali, membuat Gaby sedikit heran. Namun ketika mendapati jawaban Rumi tadi, Gaby pun akhirnya mengerti.Mungkin jika Gaby mati, tidak akan ada pengaruhnya bagi Rumi.Gaby menarik napas dengan susah payah. Rasanya kini dadanya teramat sesak, bagaikan dihimpit dengan batu besar.*************Rumi melemparkan tas nya ke atas kasur, dan merebahkan dirinya di samping tas mungil itu.
Bab106Lelaki dengan tangan kasar itu, mendorong tubuh Rumi, ketika pintu kamar kontrakannya dia buka."Dasar wanita sialan," bentak lelaki itu, dengan suara beratnya."Sakit," pekik Rumi, sambil menatap kesal lelaki itu."Mana uang untukku?""Uang apalagi? Bukankah seminggu yang lalu, Rumi sudah kirimkan pada Papi.""Kurang!" bentaknya lagi, dengan tatapan tajam membunuh."Kurang terus! Sampai kapan Papi begini? Menghabiskan begitu banyak uang, hanya untuk menyenangkan hati wanita itu! Papi harusnya sadar, kalau Papi, hanya dimanfaatkan."Plakkk ....Untuk kesekian kalinya, lelaki itu menampar wajah Rumi."Jaga bicaramu itu. Yang kamu nikmati sekarang ini, adalah harta istriku. Atau kamu mau, aku sebarkan semua aib dan perbuatanmu?"Rumi terdiam, hatinya marah, namun saat ini, dia tidak b
Bab107Andre terkejut, dan membuat handphonenya terlempar begitu saja.Saat Andre kembali meraih benda pipih itu, sambungan telepon sudah dimatikan. Andre berpikir keras, siapa yang sudah melakukan semua ini pada dia dan keluarganya.Andre juga dihubungi, bahwa Lena telah ditangkap hari ini. Tanpa banyak bicara, dan memberitahu sang Mamah, Andre pun pergi menuju kantor kepolisian.Di kantor Polisi, Lena mengangguk dan tidak berani menatapku."Apa salah Harumi?" tanya Andre pelan. Namun Lena tidak menjawab, lelaki itu lebih memilih diam."Lena, jawab!" titah Andre lagi. "Aku tidak akan melakukan apapun untuk menolong kamu, Lena."Lena mendongak, dan menatap tajam wajah Andre."Jika aku katakan, aku tidak melakukannya. Apakah kamu percaya? Dan tidak menyudutkanku juga seperti ini. Andre, aku tidak sejahat itu, apalagi hanya demi kamu.""Tapi bukti-bukti, mengarah semua pada kamu! Lena. Ingat ya Len, Harumi semasa hidup, ti
Bab108*Pov Rumi."Mengapa selalu Harumi? Aku Rumi, kami tidak sama," batinku. Aku tidak bisa bersuara seperti ini, aku harus bisa menahan diri.Aku menatap mereka bergantian. Mereka begitu tersenyum renyah, dan saling melempar candaan. Ibu mertua Harumi, nampak sekali sebagai Ibu yang penyayang dan baik hati.Harumi begitu beruntung, tidak denganku. Mengingat betapa kerasnya hidup yang aku jalani masa itu, ingin sekali rasanya aku mematahkan leher Mamah.Betapa kejamnya dia bagiku. Melahirkan, hanya untuk menelantarkanku. Bahkan, dia hanya mau mengurus Harumi, yang dia nilai lembut, manis dan baik.Sedangkan aku? Aku diabaikan begitu saja. Bukan hanya diabaikan, aku terbuang dan dicampakkan."Rumi, ayo makan!" ucap Tante Melin.Aku tersenyum, sembari mengangguk. Kulihat suami Harumi begitu lekat menatapku, membuatku merasa risih dan tidak
Bab109Terdengar tangis pilu disertai makian dari Melin, menggema.Rumi tersenyum di dalam kamarnya. Sedangkan Gaby, nampak sangat terpukul, dengan apa yang dilihatnya tadi.Rumi pun izin pamit sama Gaby, dia berniat untuk berjalan-jalan di pusat perbelanjaan."Mamah ikut," ucap Gaby, dengan suara yang masih serak, dan wajah memerah."Yakin? Dengan kondisi Mamah yang begini?" tanya Rumi.Gaby mengangguk. "Jika Mamah terus di rumah, hati Mamah akan terus sakit dan marah kepada Andre. Apalagi, anak itu dari tadi, terus duduk di depan rumahnya.""Oh. Oke, Mah. Ayok!" kata Rumi.Dalam hati. "Baiklah, tidak masalah tidak lancar, aku punya cara lain," katanya.Rumi pun membawa Gaby ke pusat perbelanjaan terbesar, yang ada di kota tempat mereka tinggal.Kenangan masa kecil Gaby, begitu kentara. Masa di mana dia bagitu di manja Rasyid.Bahkan, hampir setiap hari, Gaby berjalan-jalan di pusat perbelanjaan ini
Bab110"Mah," seru Rumi, ketika mendapati Gaby terus tercenung di depan jendela depan rumah."Ya," sahut Gaby pelan. Ia pun menoleh ke belakang, dan Rumi pun duduk di sampingnya."Tante Ganesa kan tadi itu?" tanya Rumi lagi."Iya Rumi, itu tadi Tante Ganesa.""Kenapa Mamah malah nggak berani memperlihatkan wajah? Bahkan kesannya Mamah menghindari Tante.""Mamah terlalu banyak salah padanya."Rumi terdiam."Kini Tantemu begitu sukses dan terlihat sudah menjadi wanita hebat. Mamah malu, dengan keadaan Mamah kini."Rumi masih terdiam, tidak lagi banyak bicara.Ia pun pamit kembali ke dalam kamarnya, dan membiarkan Gaby meratapi nasibnya."Tante Ganesa begitu cantik," lirih Rumi. "Anaknya juga. Seru kali ya, jika aku buat anak Tante menjadi jelek," kekeh Rumi.Rumi duduk di de