Pagi itu Leo dibangunkan oleh kegaduhan di apartemen yang ia tinggali seorang diri. Mata lasernya mengerjab beberapa kali sebelum terbuka dengan sempurna, kesadarannya pun mulai merasuki tubuh lelahnya.
Dahinya berkerut dalam, ada seseorang di dalam apartemen itu. Siapa?
Menyadari hal itu sementara ia pulang seorang diri semalam dan tentu saja ia tinggal seorang diri membuatnya melompat panik dari ranjang, mengabaikan dada bidangnya yang telanjang yang mampu membuat siapapun yang melihat akan kehilangan kesadaran untuk sesaat, tangan kokohnya meraih ganggang pintu dengan kasar.
Dengan bertelanjang kaki serta hanya mengenakan celana Jersey selutut yang tak mampu menutupi bagian tubuh bawahnya dengan sempurna, ia meninggalkan kamar bercat putih polos itu menuju suara-suara yang ia dengar sebelumnya.
"Ma, apa Kak Leo tidak akan marah kita masuk diam-diam begini?"
Samar-samar ia mendengar suara halus adik perempuannya. Langkah kakinya melambat, namun terus melaju hingga ia berdiri tepat di dapur yang tak pernah ia sentuh. Tak ada alasan baginya untuk menyentuh dapur, ia lebih senang menyentuh tubuh perempuan.
"Aunt, Salma?" Ia berkata dengan alis terangkat. Untuk apa mereka datang? Saat tak ada sahutan dari kedua perempuan yang berdiri mematung itu, ia mengangkat kedua bahunya, "Can anyone explain?"
"Oh, itu...." perempuan yang menikahi ayahnya itu membuka mulut dengan gugup sebelum kembali terdiam, ia mulai merasa asing terhadap putra dari istri pertama suaminya. Meremas telapak tangannya tanpa disadarinya.
Melihat kegugupan ibunya, Salma tertawa kering, "Itu, kak, mama membuat sarapan kesukaan kak Leo."
"Roti dengan selai kacang, kamu menyukainya, 'kan?" ragu-ragu perempuan yang baru berusia empat puluhan itu bertanya. Ia masih ingat jelas makanan favorit putranya itu.
"Leo biasa sarapan di luar, jadi lain kali tidak usah datang," jawabnya datar. Mengabaikan tatapan terluka dari ibu kandung Salma, Leo kembali berkata, "Kalian pulanglah, Leo mau lanjut tidur."
"Kak, Kak Leo kok gitu sih?" protes Salma, ia hendak mengejar sang Kakak satu-satunya yang tetap terasa asing meski mereka adalah keluarga, saat sang ibu mencegahnya. Ia tak pernah merasakan kasih sayang seorang kakak dari Leo setelah kepergiannya ke Canada beberapa tahun silam. Mungkinkah karena mereka berbeda ibu?
"Tapi, Ma...."
"Udah, nggak apa-apa, kita pulang aja yuk?" ajak sang mama. "Kakakmu pasti lelah, biarkan ia melanjutkan tidurnya."
Salma mendesah kesal, "Ya udah, mama tunggu, aku mau ke kamar kak Leo bentar."
"Jangan, nanti kalau..., "
"Mama tenang aja, Kak Leo nggak benar-benar marah, kok. Salma tahu Kak Leo sayang sama Salma," potong Salma cepat lalu melangkah meninggalkan sang ibu seorang diri untuk merapikan meja makan. Ia melirik roti panggang buatannya, Leo sangat menyukai roti panggang dengan selai kacang saat sarapan, juga jus lemon, tapi mungkin itu sudah berubah mengingat Leo sudah tumbuh menjadi laki-laki dewasa, bukan anak kecil yang merindukan ibunya.
Tahun-tahun itu telah berlalu, tetapi ia merasa Leo masih sama, ia masih belum bisa menerima ayahnya menikah lagi dengan perempuan lain meski kedua orangtuanya telah lama bercerai sebelum pernikahan itu terjadi. Setidaknya dua tahun waktu yang cukup lama bukan?
Sikapnya semakin dingin setelah ia sempat tinggal bersama ibu kandungnya.
Di kamarnya, Leo kembali berbaring di ranjang abu-abu, mencoba kembali tidur meski masih terusik dengan kehadiran ibu tiri dan anaknya.
"Kak, Kak Leo jangan lupa makan roti buatan mama, mama udah capek buatnya. Ok?" Salma muncul di celah pintu yang sedikit terbuka, "Kak!" teriaknya pelan saat Leo mengabaikannya.
"Katakan pada ibumu aku sudah tidak suka roti kacang." Ia tidak bermaksud berkata dingin, tetapi itulah yang terjadi, setiap kali melihat perempuan itu ia teringat almarhum ibu kandungnya yang terpuruk seorang diri di belahan dunia lain hingga ia meninggal dunia. Jika saja perempuan itu tidak hadir ditengah pernikahan orangtuanya, mungkin ia masih bisa merasakan pelukan hangat perempuan yang terkubur di dalam tanah dua tahun lalu itu.
"Kak, Kakak kok ngomong gitu, sih? Mama aku, 'kan mama kakak juga?"
"Perempuan yang merebut laki-laki dari istrinya bukan ibuku!" sahut Leo, ia merasa lega ketika mengatakannya, namun ada perasaan yang tidak nyaman di dalam hatinya ketika kalimat itu keluar dari mulutnya. Ia hanya ingin mempertahankan cintanya kepada ibu kandungnya. Ia tidak bisa menerima perempuan lain sebagai ibunya. Ibunya telah mati. Ibu yang ia rindukan sejak ia kecil telah terkubur di dalam tanah. Hatinya sakit mengingat hal itu. Ia masih belum bisa menerima kenyataan pahit itu. "Pulanglah, bawa ibumu pergi dan jangan datang lagi!"
Salma terperanjat di tempat ia berdiri. Ia merasa ada angin dingin yang membuat tubuhnya mengigil seketika.
"Maksud kakak apa?" Salma berkata lirih, ia tak mengerti, kakak yang dulu menyayanginya berubah setelah kepulangannya dari Canada. "Kak Leo! Jawab aku! Maksud kakak apa? Siapa yang merebut suami siapa?"
Sejatinya Salma mengerti maksud kakak satu-satunya itu, ia hanya mengingkari. Ia tidak bisa menerima sikap dingin sang kakak. Entah itu terhadap dirinya atau terhadap ibunya. Mereka adalah keluarga yang bahagia sebelum sang Kakak melanjutkan studi di Canada beberapa tahun silam. Ia ingin mereka kembali seperti dulu.
Sarah, ibu Salma yang mendengar kalimat itu keluar dari mulut anak yang ia rawat dari kecil tak bisa menahan kesedihannya, air mata yang ia tahan sejak tadi menetes deras bagai hujan di bulan Desember. Hatinya seolah tersayat oleh huruf-huruf dari kalimat buruk itu. Seburuk itukah ia dimata putra semata wayangnya?
Ya, katakanlah ia memang bukan darah dagingnya, tetapi Sarah lah yang telah merawat Leo sejak berusia empat tahun, apakah julukan ibu terlalu mahal sebagai bayaran atas jerih payahnya? Bukannya ia pamrih atau apa, ia hanya ingin putranya kembali seperti dulu. Seharusnya ia tidak menginginkan suaminya membeberkan rahasia itu.
"Pergilah, Salma. Aku lelah, aku baru tidur jam tiga pagi!" Leo bangkit dengan frustrasi. Ia menyeret Salma keluar kamarnya.
"Tidak ada yang menyuruh kakak untuk tidur jam tiga pagi!" Salma memberontak, berteriak. Ia harus menyelesaikan masalah ini secepatnya, sebelum ia meninggalkan rumah, ia harus mengembalikan putra di keluarganya kepangkuan ayah dan ibunya.
Leo memejamkan matanya dengan kesal, menarik napas lalu menaruh kedua tangannya di bahu Salma dengan kuat, "Pulanglah, beri aku waktu untuk tidur, kita debat lagi nanti."
"Nanti kapan? Kakak kenapa sih? Kakak berubah sejak kakak pulang dari Canada? Katakan kak, apa salah Salma? Salma masih adik kakak, 'kan?" Salma berteriak histeris. "Katakan, kak!"
Leo paling tidak bisa melihat seseorang mengalami histeria seperti yang terjadi pada Salma, hal itu hanya mengingatkannya kepada ibunya, yang juga sering menangis histeris saat mabuk, ia tak bisa merelakan putra dan suminya direbut perempuan lain. Seandainya Leo mengetahui sejak awal jika Sarah bukan ibu kandungnya, ia pasti akan meninggalkan sang ayah untuk tinggal bersama ibu kandungnya, dan mereka bisa hidup bahagia, ibunya tidak akan menderita seorang diri, kesepian dan sakit-sakitan karena patah hati.
Siapa yang harus ia salahkan kalau bukan Sarah dan keluarganya?
Leo mendesis pasrah, "Come on jangan menangis, you look ugly!" bujuk Leo berusaha terdengar humoris, ia mengusap sudut mata Salma yang basah. Meski ia berusaha keras untuk membenci Salma, tetapi delapan belas tahun mencintai perempuan itu sebagai seorang adik melekat kuat dalam hatinya, ia tak bisa membencinya begitu saja.
"Kakak jahat!" Salma menghambur memeluk erat sang kakak. Ia tahu persoalan mereka masih belum selesai, tetapi untuk saat ini, ia hanya ingin berada di dekapan sang kakak. Sudah terlalu lama Leo bersikap dingin kepada Salma.
"Ya, kakak salah. Alright, I'm sorry."
"Kakak harus minta maaf sama mama!" desak Salma.
"Later...."
"KAK!!!"
"Sudah. Sekarang pulanglah, ajak aunt dan kalau mau kesini kabari aku dulu."
"Kak Leo janji akan makan rotinya?" Salma menatap sang kakak penuh harap. Leo mengangguk lemah, meski ia tak berniat untuk menepatinya. Ia hanya ingin mereka cepat pergi karena kepalanya pusing, ia masih butuh istirahat.
Salma tersenyum, lalu mengecup pipi kanan Leo penuh sayang, "Kakak jangan marah sama mama, ya?"
"Hmmm..., "
"Janji?"
"Udah buruan pulang, kakak beneran butuh tidur!"
"Makanya jangan begadang! Oh, ya, jangan lupa Sabtu ini, kakak jadi groomsmen."
"Hmmm... Pulanglah," Leo menyahut lalu kembali ke dalam kamar setelah melepas dengan paksa pelukan Salma.
Salma mendesah. "Salma pulang dulu, kak, assalamualaikum, jangan lupa sarapan!"
Mengabaikan suara Salma, Leo kembali lelap dipelukan selimut tak bernyawa itu. Ia merindukan ibunya. Ibu kandungnya.
#####
Beberapa jam kemudian di sebuah kafe di daerah Kemang, Jakarta Selatan,
"Al, Lo gimana sih!" Rio berteriak gemas.
"Gimana apanya?" Alya mendesis. Ia tidak suka sikapnya dipertanyakan.
"Lo bilang nggak papa nambah karyawan baru, sekarang Lo berubah pikiran?" Rio mengejar Alya hingga ke ruang kerjanya. Ia berdiri di tengah pintu yang terbuka dengan kedua tangan di pinggang. Sama sekali tidak puas dengan keputusan Alya yang plin-plan.
"Lo nggak bilang gue kalo Lo masukin anak yang baru lulus SMA!"
"Bedanya apa sih, Al? Lo lupa gua juga baru lulus SMA waktu awal kerja sama Lo!"
Alya mendengus, ia mengabaikan Rio dan menyibukkan diri dengan ponsel pintarnya.
"Pokoknya gua nggak mau tahu, pagi ini gua ada kelas sampe ntar sore, gua udah cari pengganti yang sayangnya Lo usir. Sekarang terserah Lo!" Rio melempar tatapan kesal kepada Alya yang pura-pura sibuk, padahal mereka sama-sama tahu, Alya tidak pernah sesibuk orang lain di kafe itu. Kerjaannya hanya mondar-mandir memarahi orang.
"Eh, mau kemana?" Alya beringsut dari kursinya ketika Rio membanting pintu ruangan tiga kali empat meter itu dengan kasar. Tidak sopan! "Yo! Bentar lagi kafe buka, Lo mau kemana?" Alya membuka pintu itu kembali dan berteriak dengan keras. "Yo! Gue potong gaji Lo kalo Lo pergi!
"Ke Hong Kong!"
"Yo!" teriak Alya kedua kalinya, suaranya melengking menyakiti telingga yang mendengar hingga beberapa karyawan di kafe itu menutup telingga mereka dan pergi mencari kesibukan.
Mereka sudah terlalu bosan dengan percekcokan tidak bermutu antara pemilik dan karyawannya itu.
Alya kembali ke ruang kerjanya setelah membanting pintu kaca dibelakangnya. Belakangan pintu tidak bersalah itu sering disiksa oleh penghuni kafe. Mendengus kesal Alya kembali duduk di kursinya. Tak lama, karena setelah itu dia kembali berdiri, keluar ruangan setelah kembali membanting pintu. Jika saja pintu itu bisa bicara ia pasti akan mencaci-maki Alya karena kebutralannya.
"Ren, Mario mana?"
"Pergi mbak!" Reno juga ikut kesal dengan nada bicara Alya yang pagi-pagi sudah seperti orang yang mau perang.
"Sapa yang suruh dia pergi?" Alya melotot, Reno yang merasa tak bersalah hanya bisa mencibir.
"Mbak marahnya nanti aja, kalo Mario sudah kembali. Oke? Saya masih bayak kerjaan." Reno melangkah meninggalkan Alya yang mulai mengeluarkan tanduk di ujung kepalanya.
"Argh!"
Merasa terabaikan di istananya sendiri, Alya mengikuti Reno ke gudang penyimpanan makanan, "Anak baru tadi mana?" Alya kembali mengejutkan karyawan kafe pagi itu untuk ketiga kalinya. Sepertinya mereka harus membuat larangan untuk mencegah Alya masuk ke area mereka atau mereka bisa ikut sinting seperti bos mereka itu.
"Lah, 'kan sudah mbak usir?" Dito menyahut. Laki-laki muda itu membawa nampan bersisi buah beku. "Mbak, kalo mbak Alya nganggur, kaca di depan sepertinya kotor."
"Lo nyuruh gue bersih-bersih?" Alya melotot takjub, benar-benar mereka sudah tidak punya sopan santun terhadap atasan.
"Bukan mbak, saran aja. Daripada energi mbak kebuang sia-sia?" Dito nyengir kuda.
Reno yang sedang menyiapkan bahan untuk membuat yogurt mengacungkan jempolnya kepada Dito sambil tertawa pelan.
Alya melempari mereka dengan tatapan kesal lalu berdecak pinggang sebelum pergi begitu saja.
Tawa kedua pemuda berparas tampan itu memenuhi ruangan, bukannya mereka bersikap tidak sopan terhadap Alya, mereka hanya terlanjur muak dengan sikap kekanakan Alya tersebut. Ia bisa saja marah-marah pagi harinya, lalu tertawa seperti orang kesurupan pagi itu juga.
Entah apa yang merasuki Alya, ia merasa bodoh karena menuruti saran Dito untuk membersikan kaca. Ya, mungkin karena ia sedang bosan dan ingin terlihat sibuk. Kafe sudah buka tepat jam sembilan tadi, tanpa terasa Alya telah membantu tugas Joni pagi itu. Semua kaca di kafe itu jauh lebih licin dan mengkilap daripada wajah Mario.
Alya mengalihkan pandangan dari kaca bening di depannya, seorang laki-laki jangkung melangkah masuk ke kafe itu, ia adalah pengunjung pertama pagi itu.
"Saya mau pesan roti kacang dan jus lemon." Laki-laki berwajah Eropa itu berbicara, Alya sedikit tekejut karena kefasihannya menggunakan bahasa Indonesia saat Alya menghampirinya setelah menyambar buku menu.
Sempat tertegun sejanak, Alya bersuara, "Ada lagi?" menatap lekat wajah yang tertunduk fokus menatap buku menu, jujur ia ingin melihat wajah itu dengan detail, mungkin laki-laki itu cocok untuk menjadi tokoh utama dalam novel yang akan ia tulis. Mungkin....
#####
Satu jam sebelum kafe buka,Seperti biasa Alya datang ke Kafe yang ia dirikan saat usianya masih dua puluh tahun setiap pagi. Kafe itu ia beri nama 'Kopi dan Lemon', yang menyediakan berbagai macam minuman panas dan dingin, mulai dari kopi hingga yogurt dan berbagai macam kue serta sandwich bahkan pizza.Ia tidak mempekerjakan bayak orang. Hanya ada tujuh orang termasuk dirinya sendiri. Terdiri dari satu chef utama yang merangkap pramusaji kadang-kadang, tiga pramusaji yang merangkap chef, satu satpam yang merangkap juru parkir dan juga OB lalu seorang lagi sebagai akuntan sekaligus marketing dan gudang. Ia sendiri menjabat sebagai manager dan yang menanggung berbagai macam hal yang menyangkut kafe, kadang ia juga mengerjakan pekerjaan kasar semisal mengelap kaca, seperti yang tengah ia lakukan saat ini. Ia telah mengelap hampir semua bagian kaca di bangunan dua lantai itu."Pagi, Mbak!" sapa Reno menghampiri Alya yang sedang mengos
Di dalam sebuah hotel suite di Bali, seseorang sedang menggeliat malas di atas ranjang yang ia bagi dengan teman kencannya akibat sebuah dering ponsel yang ia pikir adalah miliknya.Melempar dengan kasar tangan yang merengkuhnya hingga ia kesulitan bergerak, Mona, perempuan muda yang berstatus model itu bangun, duduk di kasur, mengabaikan bahwa dirinya tak mengenakan sehelai kain pun, ia mengangkat panggilan masuk itu.Hubby, panggilan masuk itu berasal dari kekasihnya yang mungkin saat ini sedang duduk manis di ruang kerjanya di Jakarta."Mona?""Hai, sayang," serunya riang. Ia merindukan laki-laki itu. "Kamu merindukanku?" "Temani aku Sabtu ini kepernikahan adikku," Leo berkata datar. Ia sebenarnya enggan membawaa Mona, atau membawa perempuan pada umumnya, namun daripada semua orang mempertanyakan hubungan asrama atau lebih buruk lagi mencoba menjodohkannya. Ya, mereka terlalu sering menanyakan sexual orientation-nya karena ia jarang terlihat bersama seorang perempuan dimuka umum."
Dengan gugup, Alya berjalan menuju meja Leo, dengan nampan di atas tangan, ia bisa merasakan detak jantungnya yang berpacu semakin cepat dengan jarak diantara mereka yang semakin rapat. Mengedipkan mata berkali-kali, Alya berhenti sejenak hanya untuk menarik napas panjang, entah sudah yang keberapa kalinya, mengumpulkan keberanian. Syukurlah bahasa Inggrisnya cukup memadai. Terima kasih untuk Rara yang selalu memanas-manasinya hingga ia berhasil mengenal bahasa tersebut. "Jangan lupa bilang, 'Hi Mister' dulu sebelum ngomong macem-macem!" Alya memperingatkan dirinya sambil kembali menapaki jalanan rata namun terasa menaiki tangga karena kini napasnya mulai berantakan kembali. Ia harus menenangkan diri sebelum mempermalukan diri, mempermalukan perempuan Indonesia. Ia membawa nama baik perempuan Indonesia di pundaknya, ia harus bersikap baik dan memberi kesan yang sama baiknya. Alya merasa lega ketika laki-laki itu masih menelpon, ia menunggu sejanak sebe
Leo menarik napas panjang, tak habis pikir dengan apa yang telah ia lakukan. Hari ini, malam ini lebih tepatnya adalah malam ketiga sejak pertama kalinya ia datang ke 'Kopi dan Lemon' kafe. Entah apa yang merasukinya hingga tanpa sadar ia melajukan mobil Mini Countryman merah miliknya menuju kafe dimana perempuan yang humoris itu bekerja. Ah, mungkin ia hanya ingin melihat wajah itu sekali lagi. Memutuskan untuk masuk ke dalam kafe, Leo mematikan mesin mobil. Sekali lagi ia menarik napas panjang sekadar untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia datang hanya untuk makan malam dan kebetulan ia menyukai jus lemon kafe itu. Tangannya yang panjang meraih gangang pintu, membuka pintu itu pelan sebelum mengayunkan kakinya dengan mantap menuju pintu kafe yang berjarak sekitar tiga sampai lima meter dari tempat ia memarkir mobil mininya. Leo disambut oleh aroma harum asap kopi yang mencari jalan menuju paru-parunya. Kopi, sudah lama sekali sejak ia terakhir meminum minu
Alya telah bersiap-siap sejak pagi ketika ia terbangun untuk kedua kalinya pagi itu. Acara resepsi pernikahan Salma akan berlangsung di Grand Ballroom hotel Sheraton Grand Jakarta yang terletak di Kebayoran, Jakarta tepat jam sepuluh pagi. Dua jam setelah akad nikah yang dilangsungkan di masjid Istiqlal yang sayangnya ia lewatan karena bagun terlambat sehingga membuatnya absen dari acara sakral sahabat karibnya itu. Mengenal Salma sejak beberapa tahun silam membuatnya memahami kehidupan percintaan Salma yang sama tak mulusnya dengan kehidupan cinta miliknya. Sebenarnya tidak sama karena Alya belum pernah jatuh cinta, mungkin pernah menyukai seseorang namun jatuh cinta? Ia masih menantikannya hingga kini. Ya, ia mungkin pernah beberapa kali tertarik kepada lawan jenis tetapi sekali lagi, dengan sifat pemilihnya itu ia sering kali gagal dalam proses jatuh cintanya karena ia merasa tak pernah ada yang cocok dengannya. Salma menikahi seseorang yang dikenal
Keluar dari mobil taksi, Alya berlari masuk ke dalam lobby hotel. Kaki pendeknya hanya mampu membuatnya mempersingkat waktu satu setengah kali lebih cepat dari saat ia berjalan dengan normal. Sepatu berhaknya-lah yang membuatnya semakin kesulitan mengontrol kakinya. Belum apa-apa saja ia sudah merasa tak nyaman, sakit pada kedua tumitnya. Mengabaikan beberapa pasang mata yang cukup terhibur oleh tingkahnya, Alya melanjutkan marathon singkatnya menuju salah satu pintu lift di sebelah kanan lobby, dimana beberapa orang juga telah menunggu. Ia melepaskan kedua tangannya yang sejak tadi mencengkram gaunnya. Ya, sejak tadi ia berlari dengan bagian bawah gaun terangkat ke udara, hal itu terpaksa Alya lakukan untuk mempercepat langkah kakinya juga menurunkan risiko terjungkal saat berlari dengan gaun menjuntai ke lantai. Sudut bibirnya sedikit melengkung membentuk senyuman santun saat ia menyadari ia telah menarik banyak perhati
Alya masih memikirkan ucapan Rara. Sialan, ucapan sepupunya itu ada benarnya. Lebih mengejutkan lagi mereka memiliki pemikiran yang sama! Mungkin karena itulah mereka bersaudara. Manfaatkan momen ini untuk mencari calon suami! Kalimat itu terus berputar bukan hanya di benak Alya, tetapi melekat seperti permen karet pada rambut di dalam hatinya. Bahkan secara tak sadar, ia mengumankan kalimat magic itu sama seperti ketika ia berdzikir tiap habis salat. Sayangnya, ia masih terpaku pada tempat ia duduk. Ia belum sempat berkeliling untuk mencari jodoh. Acara itu sudah berlangsung sejak satu jam yang lalu, para tamu sudah memenuhi kursi-kursi yang disediakan. Di sebuah dinding disediakan layar putih yang besar, sebuah rekaman mengenai perjalanan keduanya sudah diputar seolah-olah mereka sedang menonton film Romance of the Year yang mencuri perhatian penonton di sebuah bioskop. Bukan hal yang luar biasa seb
Alya sudah berkeliling untuk menemui beberapa teman sekolahnya dulu yang juga merupakan teman Salma. Diusia yang hampir kepala tiga, hampir semua hari mereka telah memiliki momongan yang artinya mereka telah merasakan kehidupan pernikahan, ada pula yang menjanda atau menduda. Alya tidak habis pikir, apa yang terjadi saat mereka memutuskan untuk berpisah setelah menempuh pernikahan yang baru seusia jagung? Alya turut prihatin juga iri kepada mereka yang berhasil membina keluarga kecil yang bahagia. Ia juga ingin melakukannya, memilikinya sesegera mungkin. Setelah berjalan kesana kemari mengunjungi meja-meja, sengaja untuk menghindari orangtuanya, akhirnya Alya dengan terpaksa duduk bersama kumpulan sesepuh itu. Meja yang di duduki oleh kakek-kakek dan nenek-nenek. Setidaknya, semua paman dan bibinya telah memiliki pewaris untuk dua generasi yang membuat mereka menjadi seorang nenek dan kakek. Mereka tidak akan merasakan kecemasan seperti yang dirasakan oleh orangtuanya. Ya, o
Sudah seminggu sejak pasangan pengantin baru itu pulang dari honeymoon di Eropa. Keduanya kembali beraktivitas normal. Alya menjalani harinya sebagai seorang penulis dan pemilik kafe. Tak ada yang banyak berubah, hanya saja ia harus menjadi lebih disiplin terutama soal kebersihan rumah. Seperti hari ini sang suami komplain lagi.Alya yang terbiasa hidup sendiri tidak pernah melakukan bersih-bersih rumah apalagi memasak. Ada asisten rumah tangga yang bertugas untuk membersihkan dan merapihkan rumah. Sementara tugas memasak Alya bergantung penuh kepada Reno. Dan tidak ada yang berubah. Kecuali kini ia tinggal berdua bersama sang suami di apartemen sang suami. Masih sama. Ia hanya menunpang tidur.Alya tak ingin menyewa asisten rumah tangga karena sudah menikah. Ia takut ada rahasia rumah tangganya yang bocor ke khalayak umum. Atau bahkan menimbulkan fitnah."Baby, kau tahu dimana kemeja navy milikku?" Tanya Leo keluar dari wardrobe hanya dengan memakai handuk yang dililitkan di pingga
Ketika mereka sudah tiba di hotel tujuan, tepatnya di kota London. Keduanya langsung lelap begitu pipi mereka menyentuh bantal. Mereka tidak sempat sarapan tetapi sempat membersihkan diri sebelum menikmati tidur pertama di hotel itu."Baby," bisik Leo sambil menepuk pelan pundak sang istri. "Hmmm," Alya hanya mengerang karena terganggu dengan suara Leo. Ia masih sangat lelah dan butuh tidur hingga beberapa jam ke depan. Ia selalu tidur tidak kurang dari delapan jam sehari. Sementara beberapa hari belakangan, bahkan sejak persiapan pesta pernikahan hingga kemarin waktu tidurnya berkurang drastis.Ia pikir setelah menikah bisa tidur dengan tenang, ternyata tidak semudah itu apalagi dengan keberadaan sang suami. Malam bukan lagi miliknya untuk dinikmati sendiri tapi harus rela dibagi dengan sang suami. Jadi jangan salahkan Alya jika ia sangat-sangat mengantuk, apalagi perjalanan panjang mereka yang sangat melelahkan."Ayo sayangku, wake up! Rise and shine!" Leo membuka selimut tebal ya
Leo memesan tiket pesawat kelas kelas utama maskapai Qatar airways. Perjalanan yang panjang dan lama itu membuat Alya tidak nyaman bahkan cenderung gusar. Entah karena ia masih terpikir oleh ucapan Rara atau yang lain. Kenyataan lainnya, yang juga sangat ia sayangkan bahwa ia tak bisa memeluk sang suami sesuka hati apalagi hingga hatinya puas.Ia harus bertahan dengan berbaring di ranjang dadakan itu dan terpisah dari tubuh hangat Leo.Setelah menyadari sang istri tak bisa duduk dengan tenang Leo menawarkan diri untuk membantu Alya agar bisa tidur.Meski awalnya menolak akhirnya Alya menerima tawaran menggiurkan itu. Mereka berbagi kursi. Atau lebih tepatnya, Leo mendekap Alya di kursi bisnis mereka. Alya tidur sepanjang perjalanan hanya beberapa kali saja ia membuka mata untuk mencari posisi yang paling nyaman di pelukan sang suami.Kini, ia benar-benar bisa tidur dengan pulas dan tentu saya puas.Entah seperti apa nantinya, ia mengira tak akan bisa tidur selain dalam pelukan sang
Siang itu akhirnya, Alya hanya menemukan Rara dan sang suami, Iman saat turun untuk makan siang. Menurut pengakuan Rara, mereka berdua, ia dan sang suami akan tinggal di resort selama tiga hari ke depan. Berdua saja. Mereka telah memutuskan untuk menelantarkan satu-satunya putra mereka saat ini untuk kesenangan mereka sendiri. Alya tidak habis pikir, bagaimana bisa Rara memilih berlibur berdua saja dengan sang suami sementara Khai masih terlalu kecil untuk ditinggal sendirian? "Lo yakin Khai nggak apa-apa sendirian dengan baby sitter?" Alya bertanya dengan serius. Rara menyesap jus kiwinya dengan santai sambil melirik Alya sekilas. "Percayalah sama gue, Al. Itu adalah keputusan terbaik, bukan cuma buat gue sama suami tapi buat Khai juga. Gue udah enek sama Khai, sesekali gue pengen berduaan sama suami gue aja!" "Gila lo, ya! Lo tega banget ninggalin anak buat seneng-seneng sama suami?" Alya melotot tak percaya. "Gue nggak percaya bang Iman tega ninggalin anaknya cuma buat senengin
Leo mengerjap sekali. Lalu dua kali hingga ketiga kali sebelum sepasang matanya terbuka demgan sempurna. Ia merasa jauh lebih bugar, lebih bersemangat dan entahlah. Ia merasa berbeda pagi ini. Kegelapan menyambutnya. Rupanya hari masih gelap. Leo tersenyum begitu mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Untuk pertama kalinya akhirnya ia bisa memadu kasih dengan istri tercinta tanpa ada gangguan maupun penghalang. Mereka berhasil menyatu bukan hanya dalam janji suci pernikahan melainkan menyatukan jiwa. Leo awalnya tak mengerti mengapa Haidar berubah drastis setelah menikah, namun sekarang ia bisa memahaminya. Karena ia sendiri juga merasa dirinya telah berubah. Entah perubahan seperti apa persisnya. Tetapi tentu saja hal itu adalah sesuatu yang baik. Senyumnya makin lebar ketika mendapati sang istri yang merangkulnya begitu erat dalam tidur seolah ia adalah sebuah guling kesayangannya. Hampir separuh tubuh Alya berada diatas tubuh Leo. Ia menyandarkan kepalanya tepat di jan
"Was it good?" Tanya Leo sambil menyuapi Alya sepotong cheesecake. Mereka sudah tiba di kamar hotel. Ranjang mereka dihiasi mawar merah yang membentuk hati, sayangnya hal itu sia-sia. Tetapi Alya cukup tersentuh dengan usaha sang suami untuk membuat malam mereka romantis. Alya duduk bersila di atas ranjang lembut berwarna putih itu, mengangguk puas, sambil tersenyum disaat mulutnya penuh dengan hidangan legit itu. Alya baru saja menghabiskan semangkuk yogurt dan segelas air putih. "Coba saja, ini sangat enak dan lembut. Mmm..." Ucap Alya setelah makanan di mulutnya lenyap, ia kembali membuka mulutnya. Leo mengangguk puas, "Kau yakin tidak ingin makan yang lain?" Tanya Leo seraya mengangkat garpu ke mulut sang istri. "Tidak. Ini saja sudah cukup. Mmm..." Alya mengerang kegirangan. Makanan manis membuat moodnya membaik seketika. "Can I try?" Tanya Leo lembut, menatap lekat mata sang istri yang berbinar-binar. Lalu pandangan turun ke arah bibir Alya yang sibuk mengunyah dengan an
Tiga Bulan Kemudian "Aaalll!!!" Rara dengan histeris memeluk Alya yang tengah tenggelam dalam lamunannya. Di benaknya, Alya memutar ulang semua kejadian sejak pertama kali ia melihat Leo di kafenya hingga detik ini. Saat ia menunggu di ruang tunggu pengantin. Di hotel saudaranya di pulau Bali. Proses Ijab kabul sudah dilaksanakan di Jakarta Jumat lalu, dan resepsi dilakasanakan dua kali. Pertama di Jakarta yang bersifat terbuka. Ada lebih dari seribu tamu undangan. Alya sendiri tidak tahu siapa saja tamu di pesta pernikahannya itu. Ia hanya mengenal beberapa wajah, tidak lebih dari dua seratus orang. Mereka adalah sahabat, rekan kerja, karyawan di kafenya, dan beberapa teman sekolah termasuk juga teman kuliah. Selebihnya adalah orang asing, tamu dari kedua keluarga besar yang menyatu itu. Dan sekarang, seminggu setelah pesta di Jakarta mereka, Leo dan keluarganya lebih tepatnya, mengadakan pesta kedua yang bersifat lebih private. Hanya keluarga, sahabat dan kerabat dekat yang diun
Sejak saat itu, Alya selalu menemukan dirinya bersama Leo. Tidak, bukan berarti mereka berkencan atau semacamnya. Sama sekali tidak. Hanya saja. Entah bagaimana, mereka selalu bertemu. Baik itu saat acara keluarga, atau hanya Leo yang sedang mengunjungi kafe untuk makan, acara kumpul-kumpul dengan saudara sepupunya. Alya menemukan laki-laki itu selalu ada di mana-mana dan menghantuinya. Awalnya Alya hanya berani melempar senyum sopan yang kurang tulus, tetapi kemudian mereka saling mengirim pesan meski hanya sekali dalam sehari. Itu pun, karena laki-laki bernama Leonardo itu sering menerornya melalui pesan-pesan singkat. Tak lama, kurang dari tiga bulan, Leo mulai berani mengajaknya pergi makan malam. Bukan di kafe miliknya, bukan juga di restoran mahal dengan suasana romantis, bukan juga di hotel dengan masakan kebarat-baratan, bukan pula restoran jepang. Dan tentu saja bukan warung tenda, meski sebenarnya Alya tak akan keberatan jika Leo yang mengajak. Sayangnya, tidak. Leo
Lima tahun yang lalu... Sejak mimpi aneh itu, Alya tidak lagi berani untuk tidur setelah Ashar atau maghrib. Jika sangat mengantuk, Alya akan memaksakan diri untuk membantu Reno di dapur alias memata-matai Reno. Atau Alya akan meluangkan waktu sekitar satu jam untuk tidur siang setelah jam makan siang berakhir. Namun, Alya paling tidak berani menunjukkan wajahnya saat jam-jam sarapan, makan siang atau makan malam. Ia akan berdiam diri, di ruangan kecil yang terletak di lantai dua, ditemani oleh laptop miliknya dan cemilan khusus yang disiapkan Reno. Setelah, dengan cerobohnya ia mengundang laki-laki asing untuk bekerja di kafe dan bahkan memimpikannya, Alya dengan jiwa pengecutnya berharap laki-laki itu tak akan pernah datang lagi ke kafenya. Ia terlalu malu, lebih dari itu ia sangat cemas. Cemas dengan mimpinya. Selama seminggu pertama sejak hari itu, hari Alya berbicara dengan laki-laki tampan berkunjung ke dalam mimpinya, Alya selalu datang terlambat. Ia baru akan tiba di kaf