Anita mengajakku makan di sebuah restoran khas Jawa Timur, duduk di pojokkan memilih tempat paling sepi dari pengunjung lainnya.
“Makan yang banyak, biar gemuk,” mas Akmal mencubit hidungku.“Nanti kalau aku gendut kamu malah berpaling dari aku lagi!” Mengerucutkan bibir manja.“Aku akan setia mendampingi kamu sampai ke jannah, Fit. Kamu juga jangan tinggalkan aku, ya. Walaupun aku tidak bisa memberikan kamu keturunan.” Dua bulir air bening mengalir dari sudut mata Mas Akmal. Aku menghapus buliran-buliran kristal itu dengan ibu jari dan Mas Akmal meraih tangan ini, meletakkan telapak tanganku di pipinya sambil menatap manikku dengan penuh cinta.“Fit, nglamun terus, deh!” Anita menepuk bahuku, menyentakku dari lamunan.Memang tidak bisa dipungkiri, bayang-bayang kenangan bersama Mas Akmal terus saja menari-nari di ingatan. Aku tidak bisa melupakan kenangan indah yang telah kami lewati bersama selama hampir lima tahun itu.“Maaf, Nit. Aku....”“Aku faham kok, Fit!” potong Anita seraya menggengam jemariku.“Kamu yang sabar. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan-sungkan cerita sama aku. Aku ini kan sahabat kamu. Jangan di pendam sendiri, biar nggak sakit sendiran!”Aku mengulas senyum tipis.Tidak lama kemudian, pramusaji mengantarkan makanan yang dipesan oleh Anita, akan tetapi aku benar-benar tidak bernafsu melihat makanan yang terhidang di atas meja.“Kamu nggak makan, Fit?” tanya wanita berjilbab ungu yang ada di depanku sembari meletakkan sendok di piring.“Belum laper, Nit!” jawabku.“Kalau kamu nggak mau makan, aku juga nggak mau makan deh!” rajuk perempuan yang sudah menjadi temanku sejak kecil itu.“Ambekan, deh. Yasudah aku makan.”Anita tersenyum puas melihatnya.“Kamu nggak usah berlarut-larut dalam kesedihan, Fit. Kamu harus bangkit. Aku yakin kamu pasti bisa.”“Doain saja ya, Nit. Tapi jujur, rasanya sakit banget dikhianati oleh orang-orang yang dicinta. Aku juga mau jual rumah itu dan membeli rumah baru yang lebih kecil. Sisanya mau aku pake buat modal usaha. Aku pengen buka usaha catering kecil-kecilan, Nit!”“Sebagai sahabat, aku Cuma bisa bantu doa dan dukungan.”“Itu sudah lebih dari cukup, Nit.”Tiba-tiba ponsel Anita berdering. Mas Haris suaminya menelepon dan menyuruhnya segera pulang karena ada tamu di rumah mereka. Kami pun berpisah di mal lalu pulang ke rumah masing-masing.Taksi online yang aku tumpangi berhenti tepat di depan rumah. Dahiku mengernyit melihat banyak sekali warga juga pak RT berkumpul di rumah Papa. Apa yang sedang terjadi di dalam?Aku turun dari taksi tersebut dan berdiri mematung menatap halaman rumah Papa. Bu RT menghampiriku lalu membimbingku masuk ke dalam rumah Papa, dimana ada Mas Akmal serta Dewi sedang disidang di dalam sana.Gontai aku berjalan menghampiri dua insan tidak bermoral itu. Dadaku bergemuruh, jantungku berdegup tidak karuan menyaksikan pemandangan tersebut, dan lihat mata Mas Akmal sudah dipenuhi kaca-kaca, begitu pula dengan Dewi.“Sebelumnya saya minta maaf, Mbak Fita. Mereka berdua kan sudah berzina dan si Dewi ini adik kandung Mbak Efita. Kami bingung mau ambil tindakan apa selaku tetangga sebab menurut hukum Islam, menikahi perempuan kakak beradik itu hukumnya haram secara ijmak’, terus, ini bagaimana menurut Mbak Efita?” tanya pak RT membuat bertambah nyeri rasanya dada ini.“Kalau Mas Akmal menikah dengan Dewi, berarti Mas Akmal harus menceraikan Mbak Efita terlebih dahulu dan boleh menikah dengan Dewi setelah masa Idah Mbak Efita selesai. Jadi, saya minta keikhlasan hati kalian berdua. Apa Mas Akmal mau meneruskan pernikahannya dengan Mbak Efita, atau mau menikah dengan Dewi. Mas Akmal harus memilih salah satu di antara mereka!” imbuhnya lagi.“Saya yang akan mundur, Pak!” jawabku tegas.“Fit!” Mas Akmal menatapku tidak percaya. Bulir-bulir air bening mulai meluncur membuat jejak lurus di pipinya.“Aku tidak mau menikah dengan Dewi, Fit. Aku sangat mencintai kamu,” ucapnya sambil tergugu.Ya Allah, hatiku teremas-remas melihat laki-laki yang telah menanamkan cinta begitu besar di sanubari menangis tersedu di depan semua orang.“Tapi aku sudah tidak mencintai kamu lagi, Mas. Cinta di hatiku telah hilang sejak tahu kalau kamu sudah menghianati pernikahan kita!” dustaku seraya menahan air mata yang mulai menggelayut di pelupuk.“Aku tidak melakukannya, Efita. Apa kamu tidak mempercayaiku?” Dia menatap manikku lekat.“Mana ada maling ngaku, kalau ada, penjara penuh woy!” teriak seorang warga.“Sekarang tolong kamu talak aku, Mas. Jangan gantung statusku seperti ini supaya nanti jika ada yang mau menikahiku, aku sudah terbebas dari ikatan pernikahan ini.” Pelan aku berucap, karena rasa sesak yang kian mendera hati.“Ya sudah kalau itu yang kamu mau. Untuk yang terakhir kalinya, bolehkan aku mencium puncak kepalamu, Efita. Setelah itu aku akan membebaskan kamu!”Aku menelan saliva yang terasa getir serta mengganjal di kerongkongan. Kubiarkan Mas Akmal mencium puncak kepalaku, memeluk tubuh ini walaupun sebenarnya aku tidak mau. Dia merengkuhku dengan erat sambil membisikkan kata kalau dia sangat mencintaiku.“Mulai hari ini, aku akan membebaskan kamu dari ikatan suci pernikahan kita, Efita. Aku harap kamu bahagia setelah berpisah denganku. Maaf kalau selama ini aku belum bisa menjadi suami dan imam yang baik. Maaf juga kalau aku belum bisa membahagiakan kamu, Efita.Terima kasih atas cinta dan kasih sayang yang telah kamu curahkan kepadaku selama ini. Kalau nanti kamu tidak bahagia dengan kehidupan yang baru, tolong kembalilah kepadaku,” ujarnya dengan linanangan air mata.“Aku permisi dulu, assalamualaikum!” jawabku sembari memutar badan lalu meninggalkan pria yang sekarang sudah menjadi mantan suamiku.“Maaf Mbak Efita, ini Dewi mau diarak keliling kampung atau mau diapakan. Dia sudah bikin malu dan dosa warga sekomplek loh! Apa perlu kita telanjangi dan dibotakin juga?” kata Pak Dirman, salah satu tetanggaku penuh amarah.“Terserah kalian saja karena sekarang dia bukan lagi menjadi urusanku. Saya hanya mau hidup tenang dan tidak lagi melihat wajah manusia tak beradab itu!” sahutku seraya melenggang pergi.Beberapa ibu-ibu yang berada di rumah papa menatapku dengan tatapan iba, ada juga yang sepertinya sengaja mengambil gambarku dan mungkin akan menyebarkannya di sosial media demi like dan komen. Aku terus berjalan lurus kemudian masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu dari dalam.Aku menyender di daun pintu, meremas dada sambil menangis sejadi-jadinya. Air mata ini tidak henti-hentinya mengalir hingga kepalaku terasa sakit dan nafasku tersengal. Hingga sang muazin mengumandangkan azan magrib, aku masih duduk terpaku meratapi nasib diri.‘Kamu harus bangkit Efita, kamu nggak boleh terpuruk seperti ini.’Aku beranjak dari dudukku, menekan sakelar lampu karena rumah sudah seperti gua. Gelap gulita. Menyalakan keran air, mengguyur tubuh ini lalu mengambil wudu dan lekas melaksanakan ibadah salat magrib dilanjut dengan bermuroja’ah untuk menghibur hati yang sedang lara.Aku harus berprasangka baik terhadap Tuhan. Mungkin Sang Maha Rahim sedang menyiapkan rencana indah untuk diriku nanti, jika tidak di dunia mungkin di alam keabadian kelak.Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sepuluh malam. Aku mengambil gawai, melihat aplikasi berwarna hijau yang sudah dipenuhi ratusan notifikasi pesan masuk. Ternyata dari grup RT yang sedang ramai membahas masalah perzinaan yang dilakukan Dewi dan Mas Akmal. Bahkan, ada yang sengaja menjadikan kasus ini sebagai candaan.Kenapa harus itu yang di bahas? Apa mereka tidak tahu kalau di sini ada hati yang sedang tersakiti saat membaca cuitan mereka yang seolah menertawakan diriku yang s
“Emak, apa kabar?” sapaku seraya meraih tangan wanita yang telah melahirkanku dua puluh lima tahun yang lalu itu lalu mencium bagian punggungnya dengan khidmat.Emak menangis dan langsung menghambur memelukku. “Maafin Emak karena telah gagal mendidik Dewi!” ujar Emak di sela isak tangisnya.“Enggak, Mak. Emak nggak salah apa-apa. Efita yang salah karena belum bisa menjadi istri yang baik, sehingga suami Efita berpaling, Mak!” sanggahku, mempererat pelukan kami.Entah dari mana Emak tahu kabar ini, sebab aku selalu menutup rapat rahasia tentang keretakan rumah tanggaku dengan Mas Akmal karena kehadiran Dewi sebagai orang ketiga.Aku menggandeng tangan Emak masuk lalu mempersilakan perempuan berusia empat puluh lima tahun itu duduk. Bahagia rasanya ketika hati ini sedang gundah gulana dan didatangi oleh orang yang paling aku cinta.Membukakan lemari es, mengambil sirop coco pandan kemudian menuangnya ke dalam gelas berisi air putih serta es batu. Setelah itu kubawa minuman itu ke depan
“Sudah ketemu, Bang. Abang ke taman depan pengadilan Agama saja!” Aku dengar perempuan berpakaian serba hitam itu berbicara dengan seseorang di ujung sambungan telepon.Tidak lama kemudian, muncul seorang laki-laki berkemeja merah hati menghampiri kami, dan aku seperti mengenal pria tersebut. Tetapi di mana?“Terima kasih, Ukhti!” ucapnya sambil membungkuk.Ya, sekarang aku ingat. Dia laki-laki yang tidak sengaja menabrakku di depan gapura komplek.“Sekali lagi, saya ucapkan banyak terima kasih sama Mbak. Kalau Quina tidak bertemu dengan Mbak, saya nggak tahu deh, apa yang bakal terjadi kepada Quina!” ucap Ummi Saquina.“Sama-sama, Mbak. Ya sudah, saya permisi dulu. Sudah siang, assalamualaikum!” Aku memutar badan meninggalkan mereka.“Bunda!” Tiba-tiba Saquina kembali memanggilku dengan sebutan itu. Dia menangis tersedu serta meronta-ronta ingin ikut denganku.“Bunda, ikut!” rengeknya pilu.Aku menoleh, menitikkan air mata dan menghampiri gadis kecil itu kembali.“Apa saya boleh meng
Hampir semua terapi yang disarankan oleh orang-orang terdekat kami jalani, namun, kami belum juga dikaruniai momongan seperti yang selalu aku panjatkan dalam doa. Sepertinya Sang Maha Rahim belum mengabulkan doa-doa kami.Aku juga tidak mau memaksa Mas Akmal untuk menjalani terapi setiap minggunya, sebab aku tahu semua itu pasti akan menyakiti hatinya. Kuterima suratan takdir jika memang kami tidak jua dikaruniai buah hati. Toh, banyak anak yatim yang bisa kami angkat atau sekedar kami santuni.Dan ternyata, inilah balasan dari semua kesabaran serta keikhlasanku menerima semua kekurangan Mas Akmal. Dia menghianatiku, membagi cinta dengan Dewi yang notabene adalah adik iparnya sendiri. Perih, sakit hingga meresap ke dalam pori-pori.Sudahlah, mungkin jodohku dengan Mas Akmal hanya sampai di sini. Aku juga bersyukur karena Allah segera menunjukkan siapa Mas Akmal sebenarnya.Hari semakin beranjak sore. Kesunyian membungkus rapat rumah yang sudah aku tempati selama hampir lima tahun ini
"Papa?!" Aku bangkit dari pembaringan, mengambil kerudung dan segera mengenakannya."Efita, maaf Papa masuk tanpa permisi. Papa sudah tidak bisa menahan perasaan ini, Fita. Apa kamu tahu, Papa sudah mencintai kamu sejak pertama kali melihat kamu!" ucap Papa seperti sedang terpengaruh minuman keras. Laki-laki bertubuh tegap itu mendekat ke arahku dengan langkah terhuyung.'Ya Allah, lindungi hambamu ini'."Tolong jangan tolak Papa, Fit!" Dia berjalan semakin mendekat, mengusap pipi ini dan mendekatkan wajahnya hendak menciumku.Aku mundur beberapa langkah menjauh dari pria yang selalu aku hormati itu. "Ya Allah, Pap. Istigfar, Pap. Saya itu menantu Papa!" ucapku gemetar.Namun, sepertinya pikiran Papa sudah dikuasai oleh hawa nafsu. Dia menarik kerudung yang menutup kepalaku dan hendak membuka bajuku.Aku melirik ke arah pintu, melihat sebuah linggis kecil yang tergeletak di sana, segera merangkak meraih benda tersebut, namun dengan sigap Papa mencekal kakiku, merangkul tubuh ini dan
"Anaknya sudah besar-besar ya, Mas?" "Iya, Alhamdulillah!" Dia kembali tersenyum.Mbak Kenza keluar sambil membawa tiga gelas sirop melon dan menyuguhkannya kepadaku. Karena kebetulan aku juga sedang haus, aku segera meneguk setengah gelas minuman tersebut, setelah itu ia dan Saquina mengantarku untuk melihat-lihat rumah ibunya yang hendak disewakan."Ini, Mbak Fita rumahnya. Kalau buat keluarga kecilmah cukuplah. Mbak Fita tinggal sama siapa saja nanti?" tanya Mbak Kenza seraya membuka pintu rumah tersebut."Sendirian, Mbak!" jawabku."Emang Mbak Efita belum menikah?"Aku kembali menghela nafas."Lagi proses perceraian, Mbak!" sahutku dengan nada serak."Maaf, Mbak. Saya tidak tahu. Mbak Fita yang sabar ya...." Wanita berhijab tosca itu mengusap bahuku.Aku mengulas senyum, mencoba untuk tidak menunjukkan sakit yang sedang aku rasa karena tidak mau semua orang tahu tentang luka masa
Bagaimana bisa Mas Akmal mengatakan ke orang-orang kalau aku ini mandul, sedangkan dia tahu sendiri bahwa tes di rumah sakit menunjukkan bahwa dialah yang tidak subur. Sekuat tenaga diri ini menutupi segala kekurangannya tapi dia malah memutar balikkan fakta. “Asal kamu tahu, Dewi. Bukan saya yang mandul. Tetapi pasangan mesum kamu itulah yang mandul. Dia menderita varikokel. Kalau kamu nggak percaya, kamu bisa tanyakan kepada pacar kamu itu!” Aku keluar dari kamar emak kemudian masuk ke dalam kamar pribadiku, menumpahkan air mata meredam segala lara yang mendera. ‘Tega sekali kamu memfitnahku, Mas!” Fajar mulai menyingsing. Aku membuka jendela kamar. Cahaya kemerah-merahan di langit sebelah timur, menyapa pagiku yang terasa hampa. Aku berdiri di teras kamar yang berhadapan langsung dengan taman. ‘Kuhirup dalam-dalam segarnya udara pagi, menikmati semerbak harumnya bunga mawar sambil memandangi kuntum-kuntum bunga yang mulai mekar. Indah sekali. Ting!
Mas Kenzo melirik ke arahku. Apa dia percaya dengan omongan Dewi?Ingin rasanya diri ini kembali turun dari mobil Ayahnya Saquina dan menabok mulut adikku dengan sandal jepit yang sedang aku pakai."Kita jalan sekarang, Dek," ucapnya lembut.Aku hanya menjawab dengan anggukan.Deru mesin kendaraan membawa kami menjauh dari pekarangan rumah Emak. Aku terus memandangi bangunan tua yang penuh dengan kenangan itu. Air mata tiba-tiba luruh membasahi pipi tanpa mampu aku bendung. Teringat dulu ketika kami masih bersama di rumah tersebut, hidup saling menyayangi dan tidak ada pertengkaran seperti sekarang ini, bahkan berkata kasar pun kami tidak pernah. Semua gara-gara perselingkuhan Dewi sama Mas Akmal, keluargaku jadi hancur. Sifat adikku menjadi berubah, pun dengan diri ini yang jadi gampang sekali emosi."Ini, Dek!" Mas Kenzo menyodorkan sebuah sapu tangan kepadaku. Aku lekas menghapus air mata kemudian menyandarkan pun
Pukul tujuh malam, selepas melaksanakan shalat isya, Ridwan kembali datang dan meminta Dewi untuk menjadi pendamping hidupnya. Kali ini dia meminta wanita tersebut kepada sang kakak, dan Efita tetap saja menyerahkan semuanya kepada Dewi. "Sudah aku bilang kan, Mas. Aku ini bukan wanita sempurna. Kamu akan menyesal jika menikah denganku nanti. Apa kamu tidak berpikir sampai kesitu, Mas?" Dewi membuang muka menghindari tatapan Ridwan yang begitu menghanyutkan."Saya akan menerima segala kekurangan serta kelebihan kamu, Wi. Lillahi taala. Menikah itu ibadah. Kebahagiaan sepasang suami istri itu bukan hanya karena adanya anak. Tapi dengan saling percaya serta melengkapi, kita akan merasa hidup bahagia selamanya. Apalagi sudah ada Arjuna. Dia juga butuh figur seorang ayah, Wi. Kamu jangan egois!" desak Ridwan memberi keyakinan kepada wanita yang dia kagumi."Justru karena aku tidak mau dianggap egois, makanya menolak kamu, Mas." "Wi, tolong pertimban
Keluarga besar Efita sudah bersiap-siap pergi ke kota Tegal untuk melangsungkan pernikahan Salman dengan putri sulung Gus Fauzan. Pernikahan yang rencananya akan diselenggarakan awal tahun, akan tetapi harus ditunda beberapa bulan karena Salman belum bisa mengambil cuti dan Nabila mendapat tugas dari kampusnya untuk melakukan kuliah kerja nyata di luar kota. Hal itulah yang membuat acara harus ditunda sementara, dan hari ini, dua insan manusia yang saling mencintai itu akan mengucap janji suci di depan Allah, menjadikan hubungan mereka menjadi halal serta diridhai Tuhan."Santai saja, nggak usah gemetar!" bisik Salim kepada sang adik ketika mereka sudah berada di masjid pesantren menunggu ijab qobul dimulai.Salman menerbitkan senyuman. Rasa grogi terlihat jelas di wajah pria berusia sudah genap dua puluh empat tahun itu, apalagi ketika pembawa acara memulai susunan acara.Keringat dingin terus saja membanjiri tubuhnya walaupun ruangan tempat dia akan meng
"Maaf, Wi. Kamu yang tenang. Kalau kamu tidak mau menyerahkan Arjuna tidak apa-apa. Mas tidak memaksa. Tapi kalau suatu saat Mas ingin mengajaknya bermalam di rumah, tolong kamu izinkan ya? Biar dia juga deket dengan Papa Surya."Mendengar nama Surya, entah mengapa ada rasa seperti termas-remas di dada Dewi. Dia ingat betul ketika pria paruh baya itu merenggut dengan paksa kehormatannya, melakukannya berkali-kali hingga akhirnya dia mengandung dan kehilangan masa depan. Selain itu, dia juga harus menjadi duri dalam daging di kehidupan rumah tangga Efita, merobohkan benteng yang telah dibangun dengan kokoh hingga hancur lebur serta rata dengan tanah.Tanpa terasa dua bulir air bening lolos begitu saja dari sudut netra perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu. Walaupun rasa benci terhadap Surya mendominasi di hati, akan tetapi dia begitu mencintai Arjuna. Apalagi Efita selalu memberinya wejangan, kalau anak adalah masa depan yang akan menjamin masa tua kita, j
#POV AuthorEfita sedang duduk di teras sambil mengawasi Arjuna, Syabil dan Faza bermain pasir di taman depan rumah. Dia segera menoleh ke arah pintu ketika mendengar seseorang mengucap salam. Seulas senyum tergambar di bibir Akmal, sambil menatap wajah Efita yang tertutup cadar. Ada rasa rindu yang kian menggebu di dalam kalbu, karena sampai saat ini dia belum benar-benar bisa melupakan sang mantan. Cinta yang ditancapkan Efita di dinding hatinya terlalu dalam dan tidak mudah terhapuskan.Semakin dia mencoba, maka rasa itu kian terasa serta menyiksa."Kamu apa kabar, Fit?" tanya Akmal setelah dia dipersilahkan masuk oleh mantan istrinya."Alhamdulillah aku sehat. Mas Akmal sendiri bagaimana kabarnya, tumben mampir ke rumah, setelah beberapa tahun tidak pernah keliatan batang hidungnya?" "Aku pengen ketemu Juna, Fit."Efita menanggapi dengan ber oh ria. Dia kemudian memanggil keponakan kesayangannya itu dan menyuruh pr
Setelah selesai memberikan keterangan kepada penyidik. Perawat serta polisi wanita yang mendampingi segera membawa Safina keluar dari ruangan tersebut karena harus segera kembali ke rumah sakit."Apa saya bisa bicara dengan Safina sebentar, Bu?" Ragu aku mengatakan hal itu, karena takut Safina kembali mengamuk jika aku mengajaknya berbicara."Silahkan, Pak." Kami pun berjalan menuju kursi panjang yang ada di teras kantor polisi, duduk di tempat tersebut dengan perasaan bersalah menyelimuti hati."Fin," panggilku pelan."Aku tahu apa yang ingin Mas Salim katakan sama aku," sahut Safina dengan suara parau. "Mas nggak usah khawatir. Aku tidak akan lagi mengganggu atau merepotkan Mas. Aku juga sudah ikhlas dengan pernikahan Mas dan Ning Azalia. Aku doakan, semoga kalian berdua hidup bahagia hingga maut yang memisahkan." Seulas senyum tercetak di bibir merah muda Safina walaupun aku lihat ada kabut di kedua sudut netranya.
"Kenapa liatin saya seperti itu?" tanya Fahri seraya menatap menghunus ke arahku.Aku mengangkat satu ujung bibir. Sepertinya Tejo dan Fahri begitu membenci diriku, padahal antara aku dan mereka berdua tidak pernah ada urusan apa-apa. Kenal saja baru-baru ini setelah aku menikah dengan Safina dan Azalia. Tapi, entah mengapa tatapan mereka terlihat penuh dengan kebencian kepadaku.Petugas menyuruh Fahri untuk duduk, menginterogasi dia menanyakan hubungan laki-laki tersebut dengan mantan istri, walaupun Fahri terus saja berbelit-belit memberikan keterangan, malah cenderung mengelak kalau dia tidak pernah melakukan pelecehan seksual terhadap SafinaHingga akhirnya seorang wanita berhijab ungu ditemani oleh seorang perawat juga dua orang polisi wanita datang, membuat Fahri serta Tejo tercengang. Gurat ketakutan tergambar jelas di wajah keduanya."Sa--Safina?" Bahkan Tejo sampai tergagap melihat kehadiran wanita yang sudah dia nodai tersebut.
"Insya Allah saya bersedia, Mas," jawab si wanita dengan intonasi sangat lembut serta gemetar, dan semua orang yang ada ramai gemuruh mengucap hamdalah."Alhamdulillah, berarti Bunda mau nambah mantu lagi!" seloroh Bunda Efita terdengar bahagia."Ini kenapa ujung-ujungnya jadi kaya lamaran begini?" Azalia ikut menimpali. "Cie...Bila, akhirnya bisa menikah dengan sang pujaan hati!" ledek istriku seraya memeluk adik sepupunya."Jangan ledekin aku terus dong, Mbak Lia. Aku 'kan jadi malu!" Nabila memonyongkan bibir manja. Dia persis seperti istriku ketika sedang merajuk. Semoga saja sifatnya juga sama seperti Azalia. Penyayang, bijaksana dan menghormati serta menyangi Bunda Efita tentunya."Kapan akan diadakan lamaran secara resmi, Gus. Biar saya siapkan segala keperluannya?" Bunda Efita terlihat begitu bersemangat."Tidak usah ada acara lamaran lagi, Mbak Fita. Sebaiknya langsung dinikahkan saja. Toh, mereka sudah sama-sama d
#Part menuju ending"Astaghfirullahaladzim!" teriak kami ketika tubuh Bu Veronika ambruk ke lantai.Kepanikan mulai terlihat di wajah Dokter Fatih ketika melihat sang ibu tidak sadarkan diri. Kedua mata laki-laki itu sudah dipenuhi kabut dan tidak lama kemudian buliran-buliran air bening mulai meluncur dari balik kelopaknya meninggalkan jejak lurus di pipi."Ibu, bangun, Bu. Ya Allah. Kenapa Ibu malah pingsan seperti ini, Bu?" Dia menepuk-nepuk pelan pipi ibunya."Angkat ibu kamu, Mas. Bawa dia ke kamar tamu atau direbahkan di sofa!" perintah bunda Efita dan segera dikerjakan oleh dokter berkacamata tebal tersebut.Azalia yang sejak tadi berdiri di ambang pintu berinisiatif mengambil minyak kayu putih lalu menggosokkannya ke pelipis serta dekat hidungnya.Tidak lama kemudian mata Bu Veronika terbuka. Dia memalingkan wajah ketika melihat sang anak yang sedang duduk di sebelahnya sambil menggenggam erat jari keriputnya. "
"Assalamualaikum!" Kami yang sedang duduk santai di teras menoleh secara serempak ketika mendengar suara Bu Veronika mengucap salam."Waalaikumussalam!" Ummi segera beranjak dari duduknya, berjalan menuju pintu garasi dan mempersilahkan ibunya Dokter Fatih untuk masuk.Kali ini Bu Veronika datang tidak hanya sendiri, tapi bersama anaknya yang meresahkan itu. Sepertinya dia menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Berpura-pura ingin mengenal lebih jauh keluarga besarku, padahal sebenarnya ingin melihat istriku yang memang begitu cantik memesona dan siapa pun yang melihatnya pasti akan jatuh cinta.Dari balik kacamata tebalnya, terlihat sekali kedua bola mata Dokter Fatih membulat tanpa berkedip menatap ke dalam rumah. Aku menoleh berniat menyuruh Azalia masuk, tapi mataku dibuat memicing olehnya sebab yang sedang dia pandangi malah bukan istri, melainkan Bunda Efita. Sepertinya dokter genit tersebut terpesona dengan kecantikan wajah bunda yang tertutup niqo