“Sudah ketemu, Bang. Abang ke taman depan pengadilan Agama saja!” Aku dengar perempuan berpakaian serba hitam itu berbicara dengan seseorang di ujung sambungan telepon.
Tidak lama kemudian, muncul seorang laki-laki berkemeja merah hati menghampiri kami, dan aku seperti mengenal pria tersebut. Tetapi di mana?“Terima kasih, Ukhti!” ucapnya sambil membungkuk.Ya, sekarang aku ingat. Dia laki-laki yang tidak sengaja menabrakku di depan gapura komplek.“Sekali lagi, saya ucapkan banyak terima kasih sama Mbak. Kalau Quina tidak bertemu dengan Mbak, saya nggak tahu deh, apa yang bakal terjadi kepada Quina!” ucap Ummi Saquina.“Sama-sama, Mbak. Ya sudah, saya permisi dulu. Sudah siang, assalamualaikum!” Aku memutar badan meninggalkan mereka.“Bunda!” Tiba-tiba Saquina kembali memanggilku dengan sebutan itu. Dia menangis tersedu serta meronta-ronta ingin ikut denganku.“Bunda, ikut!” rengeknya pilu.Aku menoleh, menitikkan air mata dan menghampiri gadis kecil itu kembali.“Apa saya boleh menggendong Quina sekali lagi?” pintaku sambil menyeka air mata yang terus saja luruh membasahi pipi.Laki-laki bertubuh tinggi besar tersebut menurunkan putrinya dan membiarkan gadis kecilnya berlari ke arahku kemudian memelukku.“Quina mau ikut Bunda?” ucapku sembari mencium pipi Saquina dan dibalas anggukan olehnya.“Maaf ya, Ukhti. Sepertinya dia terlalu rindu sama ibunya, jadi dia mengira kalau Ukhti ini adalah ibunya. Soalnya dia hanya melihat sang ibu di album foto saja, dan kebetulan baju yang Ukhti kenakan sama persis dengan baju almarhumah istri saya!”“Iya, Mas. Nggak apa-apa kok. Saya juga langsung jatuh cinta sama Quina,” jawabku.Kami berempat jalan bersisian menuju parkiran. Wanita berhijab panjang yang dipanggil ummi oleh Saquina juga ternyata adiknya pria yang memperkenalkan dirinya bernama Kenzo itu.Aku mendudukkan Saquina di kursi belakang kemudi ketika kami sudah sampai di mobil milik Mas Kenzo, memasangkan sabuk pengaman sambil mengatakan kalau lain kali aku akan menemuinya lagi.“Mbak Efita, boleh minta nomor hapenya?” tanya adiknya Mas Kenzo seraya mengulas senyum kepadaku.“Boleh, Mbak!” jawabku kemudian menyebutkan sebelas digit nomor ponselku.Aku melambaikan tangan kepada Saquina ketika Mas Kenzo menyalakan mesin kendaraan roda empatnya dan membunyikan klakson.Dan, aduh, aku lupa menanyakan nama adiknya Mas Kenzo. Ya Allah, Efita. Kok kamu malah kenalannya Cuma sama ayah Saquina. Tepuk jidat.Melirik arloji berwarna silver yang melingkar di lengan kiri, ternyata sudah pukul satu siang. Bergegas diri ini memesan taksi online dan lekas pulang karena belum melaksanakan ibadah salat zuhur.Taksi online yang aku tumpangi melewati depan toko elektronik milik Mas Akmal. Aku menoleh ke sebelah kiri ingin melihat apakah mantan suamiku berada di toko tersebut ataukah tidak. Dan ternyata, dia sedang berada di toko, tertawa renyah dengan para pelanggannya dan yang paling menyesakkan dada, ternyata ada Dewi juga di tempat tersebut.Kutekan dada yang terasa sakit. Mengatur nafas, mencoba menepis rasa cemburu yang selalu mendera hati ketika melihat laki-laki yang pernah menorehkan cinta di sanubari itu bersama adikku. Aku harus segera melupakannya. Dia sudah bukan lagi milikku dan aku juga tidak boleh mencintai seorang makhluk melebihi rasa cintaku kepada Sang Pencipta.Taksi yang aku tumpangi berhenti tepat di halaman rumah. Aku menghela nafas, mencoba menguatkan diri serta melupakan apa yang baru saja diri ini lihat karena yakin setelah hujan badai pasti akan ada pelangi nan indah berwarna-warni.“Mbak Fita baru pulang ya?” sapa Bu Hilma yang sudah sejak tadi berdiri di depan rumahku.“Iya, Bu. Habis jalan-jalan biar nggak sumpek di rumah terus!” jawabku sembari mengulas senyum.“Saya tadinya mau main ke rumah Mbak Fit sama teh Icha. Eh, aku ketok-ketok pager sampeane nggak nyaut. Ternyata pergi toh?”“Iya, Bu. Ya sudah, saya masuk dulu Bu. Mau salat zuhur.” Membuka pintu pagar lalu segera menutupnya kembali.“Habis salat saya main ya, Mbak. Kita rumpi-rumpi dikitlah!” teriak Bu Hilma.Aku hanya membalasnya dengan senyuman.Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka 01:30 siang. Bergegas diri ini mengambil wudu, menjalankan ibadah salat zuhur dan bermunajat kepada Allah, meminta kekuatan hati serta keteguhan iman.Tiba-tiba senyuman manis bidadari kecil yang aku temui di taman tadi kembali menghiasi anganku.Ya Allah, bahagia rasanya kalau bisa memiliki seorang anak. Selama ini aku mengesampingkan keinginanku memiliki anak karena tahu Mas Akmal tidak bisa memberikannya, tidak mau menunjukkan keinginan hatiku di depan dia karena tidak mau menyakiti perasaan laki-laki yang teramat kucintai itu.“Menurut hasil pemeriksaan, tidak ada masalah dengan kesuburan Bu Efita. Justru masalah kesuburan itu ada pada Pak Akmal,” ucap dokter kala itu, pelan serta hati-hati.Aku melirik ke arah Mas Akmal yang terlihat begitu syok.“Pak Akmal menderita varikokel atau pembengkakan pada pembuluh darah vena dalam skrotum. Hal itulah yang membuat Bapak serta Ibu sulit memiliki keturunan,” imbuhnya lagi.Air muka Mas Akmal tiba-tiba saja berubah. Matanya sudah dipenuhi kaca-kaca, namun dengan sekuat tenaga ia menahan agar air mata itu tidak jatuh di depanku ataupun dokter.“Aku pasrah, Fit. Kalau kamu mau ninggalin aku, aku ikhlas!” kata Mas Akmal sembari mengusap wajah kasar ketika kami keluar dari ruangan dokter.“Tidak, Mas. Aku tidak akan ninggalin kamu. Aku akan setia mendampingi kamu sampai kapan pun,” sahutku seraya menggenggam jemarinya untuk memberikan kekuatan.“Tapi aku nggak bisa memberi kamu keturunan, Efita. Kamu tidak akan bahagia hidup bersama aku!”“Mas, percayalah. Tidak bisa memiliki keturunan bukan akhir dari segalanya. Lagian itu baru vonisnya dokter, kan. Apa kamu tidak percaya dengan kun-Nya Allah?”Mas Akmal menatapku sendu. Bibirnya terkatup dan bergetar. Aku tahu ini berat baginya, dan pasti dia merasa terbebani dengan semua masalah ini.Hampir semua terapi yang disarankan oleh orang-orang terdekat kami jalani, namun, kami belum juga dikaruniai momongan seperti yang selalu aku panjatkan dalam doa. Sepertinya Sang Maha Rahim belum mengabulkan doa-doa kami.Aku juga tidak mau memaksa Mas Akmal untuk menjalani terapi setiap minggunya, sebab aku tahu semua itu pasti akan menyakiti hatinya. Kuterima suratan takdir jika memang kami tidak jua dikaruniai buah hati. Toh, banyak anak yatim yang bisa kami angkat atau sekedar kami santuni.Dan ternyata, inilah balasan dari semua kesabaran serta keikhlasanku menerima semua kekurangan Mas Akmal. Dia menghianatiku, membagi cinta dengan Dewi yang notabene adalah adik iparnya sendiri. Perih, sakit hingga meresap ke dalam pori-pori.Sudahlah, mungkin jodohku dengan Mas Akmal hanya sampai di sini. Aku juga bersyukur karena Allah segera menunjukkan siapa Mas Akmal sebenarnya.Hari semakin beranjak sore. Kesunyian membungkus rapat rumah yang sudah aku tempati selama hampir lima tahun ini
"Papa?!" Aku bangkit dari pembaringan, mengambil kerudung dan segera mengenakannya."Efita, maaf Papa masuk tanpa permisi. Papa sudah tidak bisa menahan perasaan ini, Fita. Apa kamu tahu, Papa sudah mencintai kamu sejak pertama kali melihat kamu!" ucap Papa seperti sedang terpengaruh minuman keras. Laki-laki bertubuh tegap itu mendekat ke arahku dengan langkah terhuyung.'Ya Allah, lindungi hambamu ini'."Tolong jangan tolak Papa, Fit!" Dia berjalan semakin mendekat, mengusap pipi ini dan mendekatkan wajahnya hendak menciumku.Aku mundur beberapa langkah menjauh dari pria yang selalu aku hormati itu. "Ya Allah, Pap. Istigfar, Pap. Saya itu menantu Papa!" ucapku gemetar.Namun, sepertinya pikiran Papa sudah dikuasai oleh hawa nafsu. Dia menarik kerudung yang menutup kepalaku dan hendak membuka bajuku.Aku melirik ke arah pintu, melihat sebuah linggis kecil yang tergeletak di sana, segera merangkak meraih benda tersebut, namun dengan sigap Papa mencekal kakiku, merangkul tubuh ini dan
"Anaknya sudah besar-besar ya, Mas?" "Iya, Alhamdulillah!" Dia kembali tersenyum.Mbak Kenza keluar sambil membawa tiga gelas sirop melon dan menyuguhkannya kepadaku. Karena kebetulan aku juga sedang haus, aku segera meneguk setengah gelas minuman tersebut, setelah itu ia dan Saquina mengantarku untuk melihat-lihat rumah ibunya yang hendak disewakan."Ini, Mbak Fita rumahnya. Kalau buat keluarga kecilmah cukuplah. Mbak Fita tinggal sama siapa saja nanti?" tanya Mbak Kenza seraya membuka pintu rumah tersebut."Sendirian, Mbak!" jawabku."Emang Mbak Efita belum menikah?"Aku kembali menghela nafas."Lagi proses perceraian, Mbak!" sahutku dengan nada serak."Maaf, Mbak. Saya tidak tahu. Mbak Fita yang sabar ya...." Wanita berhijab tosca itu mengusap bahuku.Aku mengulas senyum, mencoba untuk tidak menunjukkan sakit yang sedang aku rasa karena tidak mau semua orang tahu tentang luka masa
Bagaimana bisa Mas Akmal mengatakan ke orang-orang kalau aku ini mandul, sedangkan dia tahu sendiri bahwa tes di rumah sakit menunjukkan bahwa dialah yang tidak subur. Sekuat tenaga diri ini menutupi segala kekurangannya tapi dia malah memutar balikkan fakta. “Asal kamu tahu, Dewi. Bukan saya yang mandul. Tetapi pasangan mesum kamu itulah yang mandul. Dia menderita varikokel. Kalau kamu nggak percaya, kamu bisa tanyakan kepada pacar kamu itu!” Aku keluar dari kamar emak kemudian masuk ke dalam kamar pribadiku, menumpahkan air mata meredam segala lara yang mendera. ‘Tega sekali kamu memfitnahku, Mas!” Fajar mulai menyingsing. Aku membuka jendela kamar. Cahaya kemerah-merahan di langit sebelah timur, menyapa pagiku yang terasa hampa. Aku berdiri di teras kamar yang berhadapan langsung dengan taman. ‘Kuhirup dalam-dalam segarnya udara pagi, menikmati semerbak harumnya bunga mawar sambil memandangi kuntum-kuntum bunga yang mulai mekar. Indah sekali. Ting!
Mas Kenzo melirik ke arahku. Apa dia percaya dengan omongan Dewi?Ingin rasanya diri ini kembali turun dari mobil Ayahnya Saquina dan menabok mulut adikku dengan sandal jepit yang sedang aku pakai."Kita jalan sekarang, Dek," ucapnya lembut.Aku hanya menjawab dengan anggukan.Deru mesin kendaraan membawa kami menjauh dari pekarangan rumah Emak. Aku terus memandangi bangunan tua yang penuh dengan kenangan itu. Air mata tiba-tiba luruh membasahi pipi tanpa mampu aku bendung. Teringat dulu ketika kami masih bersama di rumah tersebut, hidup saling menyayangi dan tidak ada pertengkaran seperti sekarang ini, bahkan berkata kasar pun kami tidak pernah. Semua gara-gara perselingkuhan Dewi sama Mas Akmal, keluargaku jadi hancur. Sifat adikku menjadi berubah, pun dengan diri ini yang jadi gampang sekali emosi."Ini, Dek!" Mas Kenzo menyodorkan sebuah sapu tangan kepadaku. Aku lekas menghapus air mata kemudian menyandarkan pun
Papa Surya mengulurkan tangan hendak menjabatku, namun aku tetap bergeming enggan meraih tangan pria yang hampir saja menodaiku itu. Hilang sudah rasa hormatku semenjak kejadian malam itu.***Mataku mulai mengembun ketika Mas Akmal membaca ikrar talak, memutuskan ikatan suci yang telah kita bina selama lima tahun lamanya. Kini resmi sudah diri ini menyandang status janda dan tinggal menunggu akta cerai serta masa idahku selesai. Aku harus menata hidup kembali dengan statusku yang baru. Dan tanpa menoleh ataupun mengatakan selamat tinggal, Mas Akmal berlalu begitu saja setelah persidangan selesai. Hanya tinggal Papa Surya yang berdiri di halaman pengadilan Agama sambil terus menatapku dengan tatapan yang sulit sekali diartikan. Jujur, aku takut sekali kepadanya, khawatir dia menyimpan dendam karena aku telah melukainya tempo hari."Apa kabar, Efita?" sapa Papa sambil tersenyum."Seperti yang Papa lihat, saya baik-baik saja!" j
Aku membuka mata perlahan, bahagia sekali melihat kekasih hatiku masih duduk setia menungguku. Aku merasa menjadi laki-laki paling beruntung di muka bumi ini. Tidak sempurna, tetapi memiliki istri yang sangat setia dan mencintaiku.“Fit,” panggilku pelan, karena badan ini masih terasa lemas. Tapi, kenapa Efita malah membuang muka?“Efita,” aku berusaha bangkit dan meraih tangan wanita berhijab peach itu“Kamu sudah sadar, Mas? Kalau begitu, aku pamit pulang. Biar nanti Dewi yang menemani kamu di sini!” sahut Efita sambi beranjak pergi.Ya Allah, ada apa. Kenapa dia terlihat begitu marah?Papa masuk dan mengenyakkan bokongnya kasar di kursi sebelah ranjangku.“Bener-bener istri kamu, Mal. Masa disuruh donorin darah saja tidak mau. Nggak ada balas budinya sama sekali kepada suami. Mauanya duitnya doang!” rutuk Papa membuat sesak dada ini.Aku terus berusaha mencerna ucapan Papa. Apa iya Efita tidak mau mendon
Baru beberapa hari aku tidur secara terpisah dengan Efita. Aku sudah tidak bisa menahan rindu kepada wanita itu. Bayang-bayang senyuman istriku selalu menari di ingatan. Bagaimana kalau nanti aku benar-benar berpisah dengan dia. Apa aku sanggup, menjalani hari-hari dengan kesendirian?Aku keluar dari kamar karena ingin mengintip rumah istriku yang berseberangan dengan rumah Papa. Aku terkejut ketika melihat Papa keluar dari kamar Dewi tengah malam seperti ini. “Papa?!” Laki-laki berusia lebih dari setengah abad itu terkejut ketika aku memanggilnya.“Papa ngapain keluar dari kamar Dewi?” tanyaku sambil menatap menyelidik.“Pa–Papa mau minta dibuatin mie instan sama dia!” sahut Papa tergagap.Dahiku mengernyit mendengar jawaban Papa. Sepertinya ada yang disembunyikan oleh pria tersebut.“Kamu juga ngapain malam-malam begini keluar dari kamar. Bukannya tidur?!” Papa balik bertanya.
Pukul tujuh malam, selepas melaksanakan shalat isya, Ridwan kembali datang dan meminta Dewi untuk menjadi pendamping hidupnya. Kali ini dia meminta wanita tersebut kepada sang kakak, dan Efita tetap saja menyerahkan semuanya kepada Dewi. "Sudah aku bilang kan, Mas. Aku ini bukan wanita sempurna. Kamu akan menyesal jika menikah denganku nanti. Apa kamu tidak berpikir sampai kesitu, Mas?" Dewi membuang muka menghindari tatapan Ridwan yang begitu menghanyutkan."Saya akan menerima segala kekurangan serta kelebihan kamu, Wi. Lillahi taala. Menikah itu ibadah. Kebahagiaan sepasang suami istri itu bukan hanya karena adanya anak. Tapi dengan saling percaya serta melengkapi, kita akan merasa hidup bahagia selamanya. Apalagi sudah ada Arjuna. Dia juga butuh figur seorang ayah, Wi. Kamu jangan egois!" desak Ridwan memberi keyakinan kepada wanita yang dia kagumi."Justru karena aku tidak mau dianggap egois, makanya menolak kamu, Mas." "Wi, tolong pertimban
Keluarga besar Efita sudah bersiap-siap pergi ke kota Tegal untuk melangsungkan pernikahan Salman dengan putri sulung Gus Fauzan. Pernikahan yang rencananya akan diselenggarakan awal tahun, akan tetapi harus ditunda beberapa bulan karena Salman belum bisa mengambil cuti dan Nabila mendapat tugas dari kampusnya untuk melakukan kuliah kerja nyata di luar kota. Hal itulah yang membuat acara harus ditunda sementara, dan hari ini, dua insan manusia yang saling mencintai itu akan mengucap janji suci di depan Allah, menjadikan hubungan mereka menjadi halal serta diridhai Tuhan."Santai saja, nggak usah gemetar!" bisik Salim kepada sang adik ketika mereka sudah berada di masjid pesantren menunggu ijab qobul dimulai.Salman menerbitkan senyuman. Rasa grogi terlihat jelas di wajah pria berusia sudah genap dua puluh empat tahun itu, apalagi ketika pembawa acara memulai susunan acara.Keringat dingin terus saja membanjiri tubuhnya walaupun ruangan tempat dia akan meng
"Maaf, Wi. Kamu yang tenang. Kalau kamu tidak mau menyerahkan Arjuna tidak apa-apa. Mas tidak memaksa. Tapi kalau suatu saat Mas ingin mengajaknya bermalam di rumah, tolong kamu izinkan ya? Biar dia juga deket dengan Papa Surya."Mendengar nama Surya, entah mengapa ada rasa seperti termas-remas di dada Dewi. Dia ingat betul ketika pria paruh baya itu merenggut dengan paksa kehormatannya, melakukannya berkali-kali hingga akhirnya dia mengandung dan kehilangan masa depan. Selain itu, dia juga harus menjadi duri dalam daging di kehidupan rumah tangga Efita, merobohkan benteng yang telah dibangun dengan kokoh hingga hancur lebur serta rata dengan tanah.Tanpa terasa dua bulir air bening lolos begitu saja dari sudut netra perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu. Walaupun rasa benci terhadap Surya mendominasi di hati, akan tetapi dia begitu mencintai Arjuna. Apalagi Efita selalu memberinya wejangan, kalau anak adalah masa depan yang akan menjamin masa tua kita, j
#POV AuthorEfita sedang duduk di teras sambil mengawasi Arjuna, Syabil dan Faza bermain pasir di taman depan rumah. Dia segera menoleh ke arah pintu ketika mendengar seseorang mengucap salam. Seulas senyum tergambar di bibir Akmal, sambil menatap wajah Efita yang tertutup cadar. Ada rasa rindu yang kian menggebu di dalam kalbu, karena sampai saat ini dia belum benar-benar bisa melupakan sang mantan. Cinta yang ditancapkan Efita di dinding hatinya terlalu dalam dan tidak mudah terhapuskan.Semakin dia mencoba, maka rasa itu kian terasa serta menyiksa."Kamu apa kabar, Fit?" tanya Akmal setelah dia dipersilahkan masuk oleh mantan istrinya."Alhamdulillah aku sehat. Mas Akmal sendiri bagaimana kabarnya, tumben mampir ke rumah, setelah beberapa tahun tidak pernah keliatan batang hidungnya?" "Aku pengen ketemu Juna, Fit."Efita menanggapi dengan ber oh ria. Dia kemudian memanggil keponakan kesayangannya itu dan menyuruh pr
Setelah selesai memberikan keterangan kepada penyidik. Perawat serta polisi wanita yang mendampingi segera membawa Safina keluar dari ruangan tersebut karena harus segera kembali ke rumah sakit."Apa saya bisa bicara dengan Safina sebentar, Bu?" Ragu aku mengatakan hal itu, karena takut Safina kembali mengamuk jika aku mengajaknya berbicara."Silahkan, Pak." Kami pun berjalan menuju kursi panjang yang ada di teras kantor polisi, duduk di tempat tersebut dengan perasaan bersalah menyelimuti hati."Fin," panggilku pelan."Aku tahu apa yang ingin Mas Salim katakan sama aku," sahut Safina dengan suara parau. "Mas nggak usah khawatir. Aku tidak akan lagi mengganggu atau merepotkan Mas. Aku juga sudah ikhlas dengan pernikahan Mas dan Ning Azalia. Aku doakan, semoga kalian berdua hidup bahagia hingga maut yang memisahkan." Seulas senyum tercetak di bibir merah muda Safina walaupun aku lihat ada kabut di kedua sudut netranya.
"Kenapa liatin saya seperti itu?" tanya Fahri seraya menatap menghunus ke arahku.Aku mengangkat satu ujung bibir. Sepertinya Tejo dan Fahri begitu membenci diriku, padahal antara aku dan mereka berdua tidak pernah ada urusan apa-apa. Kenal saja baru-baru ini setelah aku menikah dengan Safina dan Azalia. Tapi, entah mengapa tatapan mereka terlihat penuh dengan kebencian kepadaku.Petugas menyuruh Fahri untuk duduk, menginterogasi dia menanyakan hubungan laki-laki tersebut dengan mantan istri, walaupun Fahri terus saja berbelit-belit memberikan keterangan, malah cenderung mengelak kalau dia tidak pernah melakukan pelecehan seksual terhadap SafinaHingga akhirnya seorang wanita berhijab ungu ditemani oleh seorang perawat juga dua orang polisi wanita datang, membuat Fahri serta Tejo tercengang. Gurat ketakutan tergambar jelas di wajah keduanya."Sa--Safina?" Bahkan Tejo sampai tergagap melihat kehadiran wanita yang sudah dia nodai tersebut.
"Insya Allah saya bersedia, Mas," jawab si wanita dengan intonasi sangat lembut serta gemetar, dan semua orang yang ada ramai gemuruh mengucap hamdalah."Alhamdulillah, berarti Bunda mau nambah mantu lagi!" seloroh Bunda Efita terdengar bahagia."Ini kenapa ujung-ujungnya jadi kaya lamaran begini?" Azalia ikut menimpali. "Cie...Bila, akhirnya bisa menikah dengan sang pujaan hati!" ledek istriku seraya memeluk adik sepupunya."Jangan ledekin aku terus dong, Mbak Lia. Aku 'kan jadi malu!" Nabila memonyongkan bibir manja. Dia persis seperti istriku ketika sedang merajuk. Semoga saja sifatnya juga sama seperti Azalia. Penyayang, bijaksana dan menghormati serta menyangi Bunda Efita tentunya."Kapan akan diadakan lamaran secara resmi, Gus. Biar saya siapkan segala keperluannya?" Bunda Efita terlihat begitu bersemangat."Tidak usah ada acara lamaran lagi, Mbak Fita. Sebaiknya langsung dinikahkan saja. Toh, mereka sudah sama-sama d
#Part menuju ending"Astaghfirullahaladzim!" teriak kami ketika tubuh Bu Veronika ambruk ke lantai.Kepanikan mulai terlihat di wajah Dokter Fatih ketika melihat sang ibu tidak sadarkan diri. Kedua mata laki-laki itu sudah dipenuhi kabut dan tidak lama kemudian buliran-buliran air bening mulai meluncur dari balik kelopaknya meninggalkan jejak lurus di pipi."Ibu, bangun, Bu. Ya Allah. Kenapa Ibu malah pingsan seperti ini, Bu?" Dia menepuk-nepuk pelan pipi ibunya."Angkat ibu kamu, Mas. Bawa dia ke kamar tamu atau direbahkan di sofa!" perintah bunda Efita dan segera dikerjakan oleh dokter berkacamata tebal tersebut.Azalia yang sejak tadi berdiri di ambang pintu berinisiatif mengambil minyak kayu putih lalu menggosokkannya ke pelipis serta dekat hidungnya.Tidak lama kemudian mata Bu Veronika terbuka. Dia memalingkan wajah ketika melihat sang anak yang sedang duduk di sebelahnya sambil menggenggam erat jari keriputnya. "
"Assalamualaikum!" Kami yang sedang duduk santai di teras menoleh secara serempak ketika mendengar suara Bu Veronika mengucap salam."Waalaikumussalam!" Ummi segera beranjak dari duduknya, berjalan menuju pintu garasi dan mempersilahkan ibunya Dokter Fatih untuk masuk.Kali ini Bu Veronika datang tidak hanya sendiri, tapi bersama anaknya yang meresahkan itu. Sepertinya dia menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Berpura-pura ingin mengenal lebih jauh keluarga besarku, padahal sebenarnya ingin melihat istriku yang memang begitu cantik memesona dan siapa pun yang melihatnya pasti akan jatuh cinta.Dari balik kacamata tebalnya, terlihat sekali kedua bola mata Dokter Fatih membulat tanpa berkedip menatap ke dalam rumah. Aku menoleh berniat menyuruh Azalia masuk, tapi mataku dibuat memicing olehnya sebab yang sedang dia pandangi malah bukan istri, melainkan Bunda Efita. Sepertinya dokter genit tersebut terpesona dengan kecantikan wajah bunda yang tertutup niqo