Penasaran, aku turun dari tempat tidur lalu mendekati kamar adikku. Terdengar suara desahan saling bersahut-sahutan di dalam sana. Aku semakin penasaran dan ingin mencari tahu siapa yang bersama Dewi sekarang.
“Wi, Dewi!” teriakku sambil mengetuk pintu.Suara aneh itu tiba-tiba berhenti. Aku mengetuk kamar Dewi berkali-kali, tetapi gadis berkulit putih itu tidak kunjung membukakan pintu.“Ada apa, Fit?” tanya Mas Akmal yang baru saja datang entah dari mana.“Kamu dari mana saja, Mas. Sudah jam dua belas malam baru pulang?” cecarku, menatap lelakiku curiga.“Tadi ketiduran di toko, Fit!” jawabnya seraya mengusap rambut.“Mas, tadi aku denger suara aneh di kamar Dewi. Tolong kamu dobrak kamar dia, Mas!” titahku.Belum sempat Mas Akmal mendobrak pintu kamarnya, Dewi keluar menggunakan piama sambil menggaruk kepala. Aku lihat kamar Dewi begitu berantakan, persis seperti hari kemarin.Aku menyelonong masuk dan memeriksa kamar adikku. Tidak ada siapa-siapa. Segera kusibak hordeng kamarnya dan ternyata jendelanya setengah terbuka.“Ke mana laki-laki yang bersamamu tadi, Wi?!” tanyaku masih mencoba mengontrol emosi.“Laki-laki, maksud kakak apa, sih?” jawab Dewi pura-pura tidak tahu.Aku terus mencari-cari di lantai serta tempat tidur Dewi. Pasti mereka meninggalkan jejak di sini. Aku harus menemukannya dan mendesak Dewi supaya mengatakan siapa laki-laki yang masuk ke dalam kamarnya tadi.“Kamu nyari apa, Fita?” tanya Mas Akmal seraya menautkan alisnya.“Kemarin aku nemu alat kontrasepsi di kamar ini, Mas. Aku juga nemu kondom bekas pakai di kamar mandi Dewi!” terangku, sudah tidak bisa lagi menyimpan rahasia dari Mas Akmal.“Sudah, mungkin kamu salah liat, Fit. Dewi tidak mungkin berbuat seperti itu!” bela Mas Akmal.“Emangnya aku anak kecil, Mas. Biarpun kita nggak pernah make begituan, tapi aku bisa baca, Mas!” Aku menaikkan nada bicara satu oktaf.Mas Akmal merangkul pundakku dan membimbingku keluar dari kamar Dewi. Aku merasa heran, kenapa dia terlihat santai menanggapi masalah ini, padahal aku sudah takut setengah mati kalau dia akan marah-marah dan langsung mengusir Dewi.“Mas, kok kamu bisa salah ngancing baju begini?” ucapku seraya memperhatikan kancing bajunya yang dipasang tidak pada tempatnya.“Iya, tadi buru-buru pas mandi di tempat kerjaan!” jawabnya sembari membuka kemeja dan meletakkan baju itu di keranjang.Aku hanya ber ‘oh’ ria karena jujur, aku merasa aneh saja dengan sikap Mas Akmal akhir-akhir ini.“Aku mandi dulu ya, Fit. Badan aku gerah banget!”“Mandi? Ini sudah tengah malam loh, Mas!” Aku mengernyitkan dahi, heran.“Iya, nggak apa-apa kan, kalau aku mandi jam segini. Soalnya gerah banget!”“Ya sudah, aku mau tidur lagi. Kamu habis mandi langsung tidur ya, Mas!”“Iya.”Bergegas diri ini naik ke atas kasur dan merebahkan bobotku karena sudah terasa lelah.Lagi-lagi bayangan adikku sedang bersama seorang laki-laki menari-nari dalam benakku. Aku mengacak rambut, frustrasi.“Mas, mandinya sudah apa belum?” teriakku sembari mengetuk pintu.Hening.“Mas!” teriakku lagi.Tidak ada jawaban. Aku memutar gagang pintu dan ternyata Mas Akmal sudah tidak ada di dalam kamar mandi.Cepat-cepat aku keluar dari kamar dan berjalan menuju kamar Dewi. Aku menempelkan telingaku di daun pintu, dan kembali mendengar suara menjijikkan itu.Karena rasa penasaran yang begitu besar aku segera mengambil linggis yang ada di gudang dan mencungkil kamar Dewi. Entah mendapat kekuatan dari mana hingga aku mampu membongkar paksa pintu kamar gadis itu.Lagi dan lagi, tidak ada yang aku temukan di kamar Dewi. Bahkan kali ini, aku lihat Dewi sedang tertidur pulas. Aku mengusap wajah kasar sambil beristigfar.Ketika aku menoleh ke arah jendela dan melihat sekelebat bayang di balik tirai. Segera diri ini membuka jendela dan melongok siapa yang baru saja berdiri di balik jendela adikku, tetapi tidak ada seorang pun di luar sana.Ya Allah, aku benar-benar frustrasi dibuatnya. Lama-lama bisa gila kalau terus-terusan seperti ini.Aku keluar dari kamar Dewi dan menutup pintunya kembali lalu segera ke kamar pribadiku. Aku lihat Mas Akmal sedang duduk di atas ranjang. Dia terlihat sangat kelelahan, tubuhnya di penuhi peluh. Jangan-jangan?Tidak-tidak, aku nggak boleh suuzan sama Mas Akmal. Dia tidak mungkin melakukan hal sekotor itu“Kenapa, Fit?” tanya Mas Akmal terlihat heran.“Kamu dari mana, Mas?” Aku balik bertanya.“Aku dari tadi di sini, emangnya ke mana?”“Aku tadi nyariin kamu di kamar mandi, Mas. Tapi kamu nggak ada!”“Oh, tadi aku ke dapur sebentar. Aku laper, mau masak mie instan tapi nggak jadi.”Laki-laki bertubuh tinggi besar itu kemudian membungkus tubuhnya dengan selimut. Aku lekas naik ke atas pembaringan kemudian tidur di sebelah suamiku.Esok harinya, setelah Mas Akmal dan Dewi pergi, aku segera memeriksa jendela dan memakunya dari luar. Aku benar-benar penasaran, sebenarnya siapa laki-laki yang bersama adikku semalam. Karena aku yakin, semalam aku tidak bermimpi ataupun berhalusinasi. Semua yang aku dengar begitu jelas serta menjijikkan.Setelah selesai memaku jendela, bergegas diri ini memanggil tukang untuk membetulkan pintu kamar Dewi.Sambil menunggu tukang datang, aku masuk ke dalam kamar Dewi lalu mengecek isi lemarinya. Tidak ada yang mencurigakan. Hanya ada baju-baju serta tasnya, juga beberapa selimut yang ia letakkan di dalam lemari tersebut.Aku kemudian membuka laci meja riasnya, namun, belum sempat aku melihat isi laci Dewi, mataku justru terfokus pada dalaman berwarna coklat yang ada di kolong meja. Cepat-cepat aku mengambil sarung tangan dan memungut CD itu. Dadaku bergemuruh, jantungku berdegup tidak karuan. Kenapa benda ini mirip punya Mas Akmal, warna dan sizenya juga sama.Ya Tuhan, apa jangan-jangan dugaanku selama ini benar.Kalau memang iya Mas Akmal menghianatiku, aku tidak akan tinggal diam. Aku juga tidak sudi berbagi suami dengan adikku.Pintu kamar Dewi sudah di betulkan oleh tukang. Pun dengan jendela yang sudah aku paku rapat. Namun, aku belum puas dengan semua itu. Ingin rasanya diri ini memberi pelajaran lebih kepada orang yang telah menghancurkan adikku itu.Aku masuk ke dalam gudang, mengambil gelas-gelas yang sudah tidak terpakai lalu menyuruh tukang untuk menghancurkannya menjadi serpihan-serpihan.“Memangnya mau buat apaan, Mbak Efita?” tanya si tukang penasaran.“Buat nangkep kucing garong, Kang!” jawabku, memiringkan senyuman.“Waduh, memangnya suka ada kucing garong di rumah Mbak Efita?” “Ada, Kang. Datengnya kalau malam-malam!”“Ini sudah jadi, mau ditaruh di mana, Mbak?”“Masukan ember saja, Kang. Nanti biar saya yang nyebar. Kalau Akang yang nyebar malah nanti saya yang kena, lagi!” Aku menyodorkan tiga lembar uang lima puluh ribuan kemudian segera mengambil sarung tangan dan menuang serpihan beling itu di bawah jendela.‘Pasti gurih-gurih enyoy, kalau dia nginjek pecahan beling ini. Siapa pune kamu,
Pukul empat sore Dewi keluar dan meminta izin untuk pergi ke tempat lesnya. Aku melarangnya pergi sebelum dia memberitahuku, siapa laki-laki yang semalam bersamanya di kamar.Lagi-lagi dia hanya menangis tergugu di hadapanku. Apa sih, sebenarnya maunya anak ini. Asal ditanya selalu saja menjawab dengan air mata.“Kakak kenapa sih, tega banget nuduh aku begitu. Aku nggak ngapa-ngapain semalam. Kakak kan liat sendiri aku tidur!” tampiknya kesal.Dia lalu masuk ke dalam kamar dan membanting pintu hingga aku berjingkat kaget.Samar-samar terdengar suara azan magrib berkumandang. Aku duduk di ruang tengah menunggu kepulangan Mas Akmal dari toko, walaupun sebenarnya aku yakin dia pasti pulang tengah malam.Tiga puluh menit kemudian terdengar suara deru mesin kendaraan masuk ke pekarangan rumah. Bergegas diri ini mengenakan kerudung lalu keluar menyambut kepulangan suamiku.“Sudah pulang, Mas?” tanyaku seraya meraih tangan kanannya, serta mencium punggung tangan laki-laki itu dengan takzim.
“Kamu kenapa, sih?” Laki-laki dengan garis wajah tegas tersebut menangkup wajahku dan mengunci mata ini dengan tatapannya.Ada rasa rindu menelusup dalam kalbu, ketika pandangan kami saling berserobok. Aku merindukan Mas Akmal yang dulu. Senyumnya, tatapannya, pokoknya aku tidak rela jika harus berbagi suami dengan adikku. Mas Akmal harus segera memilih aku atau dia yang akan menemaninya sampai tua nanti.“Efita, tolong percaya sama aku. Aku tidak pernah menghianati kamu!” Mas Akmal menarik tubuh ini ke dalam pelukannya, seperti mengetahui isi hatiku.Aku terus memindai wajahku di depan cermin. Masih terlihat cantik, apalagi aku termasuk orang yang memiliki wajah baby face. Banyak yang mengira kalau aku masih berusia sembilan belas tahun karena aku imut dan juga menggemaskan.Tetapi, kenapa Mas Akmal malah berpaling dariku. Sebenarnya salah aku ini apa?Apa mungkin karena aku belum bisa memberikan keturunan? Tapi, bukannya Mas Akmal sendiri yang mempunyai masalah kesuburan, dan dia ta
“Dewi, Dewi!” teriakku sambil mengetuk kasar pintu kamarnya.“Ada apa, kak?” Seraut wajah menjijikkan muncul dari balik pintu.“Buruan ke rumah sakit. Temani Masmu di rumah sakit. Jangan mau enaknya saja kamu. Giliran sakit, kakak yang harus ngurusin dia!” ucapku dengan suara meninggi.Dewi memutar badan hendak masuk ke dalam kamar.Ya Allah, bertambah sesak dada ini melihat beberapa tanda merah di tengkuk wanita berusia tujuh belas tahun itu. Seperti ada yang teremas-remas dalam dada ini. Andai saja melenyapkan manusia tidak berdosa, sudah barang tentu akan aku habisi dia saat ini juga. “Dasar adik tidak tahu di untung, kamu benar-benar menjijikkan, Dewi. Saya tidak menyangka kamu bisa berbuat curang kepada kakak kandungmu sendiri!” Entah apa yang merasukiku, tiba-tiba aku kalap dan menarik rambut Dewi, menariknya keluar dari rumah hingga sela-sela jariku dipenuhi rambut yang terbawa.“Ampun, Kak. Sakit!” pekiknya sambil menangis.“Sakitan mana sama hati kakak, Dewi. Kamu kakak uru
"Fit, apa kamu menyesal menikah denganku?" Dia menatap netraku."Tadinya enggak, sekarang iya!"Mas Akmal menghela nafas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. Aku lihat sudut matanya sudah menganak sungai."Mas, Kak Fita ngusir aku, masa?" Tiba-tiba Dewi menghampiri kami dan duduk di samping Mas Akmal. "Apa bener, Efita?" "Iya, memangnya kenapa, kamu marah?!" "Kenapa harus usir Dewi? Enggak, aku nggak setuju Dewi keluar dari rumah ini!" Aku melirik ke arah Dewi yang terlihat tersenyum puas. Dasar adik laknat."Kenapa kamu keberatan, Mas. Berarti bener kan dugaanku selama ini, kamu laki-laki yang selama ini sudah tidur dengan Dewi?!""Iya, memangnya kenapa?" Dia menegakkan kepalanya. "Bukannya laki-laki boleh menikahi lebih dari satu wanita? aku mencintai Dewi juga. Kami melakukannya suka sama suka, bukan karena paksaan!" imbuhnya lagi, bagai belati menusuk tepat di hati."Tapi kenapa harus berzina, Mas?!" Aku menelan ludah yang terasa getir serta mengganjal di kerongkongan.
“Kak Fita, ini kalungnya. Terima kasih karena kakak sudah mengikhlaskan Mas Akmal buat aku!” ucap Dewi menarikku dari lamunan.Dia lalu keluar menenteng tas besar yang aku tidak tahu apa isinya. Mungkin semua baju-bajunya atau, jangan-jangan dia pergi membawa barang-barang berharga yang ada di rumah ini.Ah, aku tidak peduli. Aku tidak menginginkan harta. Aku hanya ingin keutuhan rumah tanggaku kembali walaupun tidak akan mungkin terjadi. Segera mengunci pintu garasi serta pintu rumah, tidak akan kubiarkan kedua makhluk tidak bermoral itu kembali masuk.Setelah semuanya terkunci rapat aku memutuskan untuk masuk ke kamar Dewi dan memeriksa isi lemari wanita tersebut, mengeluarkan barang-barang milik Dewi lalu membakarnya tanpa sisa. Mataku membeliak kaget ketika melihat galeri foto di ponsel wanita yang sudah aku beri tumpangan itu, dan ternyata banyak sekali foto-foto Mas Akmal yang ia simpan di dalam album di ponselnya.Apa dia sengaja tidak menghapus foto tersebut supaya aku tahu k
Anita mengajakku makan di sebuah restoran khas Jawa Timur, duduk di pojokkan memilih tempat paling sepi dari pengunjung lainnya.“Makan yang banyak, biar gemuk,” mas Akmal mencubit hidungku.“Nanti kalau aku gendut kamu malah berpaling dari aku lagi!” Mengerucutkan bibir manja.“Aku akan setia mendampingi kamu sampai ke jannah, Fit. Kamu juga jangan tinggalkan aku, ya. Walaupun aku tidak bisa memberikan kamu keturunan.” Dua bulir air bening mengalir dari sudut mata Mas Akmal. Aku menghapus buliran-buliran kristal itu dengan ibu jari dan Mas Akmal meraih tangan ini, meletakkan telapak tanganku di pipinya sambil menatap manikku dengan penuh cinta.“Fit, nglamun terus, deh!” Anita menepuk bahuku, menyentakku dari lamunan.Memang tidak bisa dipungkiri, bayang-bayang kenangan bersama Mas Akmal terus saja menari-nari di ingatan. Aku tidak bisa melupakan kenangan indah yang telah kami lewati bersama selama hampir lima tahun itu.“Maaf, Nit. Aku....”“Aku faham kok, Fit!” potong Anita seraya
‘Kamu harus bangkit Efita, kamu nggak boleh terpuruk seperti ini.’Aku beranjak dari dudukku, menekan sakelar lampu karena rumah sudah seperti gua. Gelap gulita. Menyalakan keran air, mengguyur tubuh ini lalu mengambil wudu dan lekas melaksanakan ibadah salat magrib dilanjut dengan bermuroja’ah untuk menghibur hati yang sedang lara.Aku harus berprasangka baik terhadap Tuhan. Mungkin Sang Maha Rahim sedang menyiapkan rencana indah untuk diriku nanti, jika tidak di dunia mungkin di alam keabadian kelak.Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sepuluh malam. Aku mengambil gawai, melihat aplikasi berwarna hijau yang sudah dipenuhi ratusan notifikasi pesan masuk. Ternyata dari grup RT yang sedang ramai membahas masalah perzinaan yang dilakukan Dewi dan Mas Akmal. Bahkan, ada yang sengaja menjadikan kasus ini sebagai candaan.Kenapa harus itu yang di bahas? Apa mereka tidak tahu kalau di sini ada hati yang sedang tersakiti saat membaca cuitan mereka yang seolah menertawakan diriku yang s
Pukul tujuh malam, selepas melaksanakan shalat isya, Ridwan kembali datang dan meminta Dewi untuk menjadi pendamping hidupnya. Kali ini dia meminta wanita tersebut kepada sang kakak, dan Efita tetap saja menyerahkan semuanya kepada Dewi. "Sudah aku bilang kan, Mas. Aku ini bukan wanita sempurna. Kamu akan menyesal jika menikah denganku nanti. Apa kamu tidak berpikir sampai kesitu, Mas?" Dewi membuang muka menghindari tatapan Ridwan yang begitu menghanyutkan."Saya akan menerima segala kekurangan serta kelebihan kamu, Wi. Lillahi taala. Menikah itu ibadah. Kebahagiaan sepasang suami istri itu bukan hanya karena adanya anak. Tapi dengan saling percaya serta melengkapi, kita akan merasa hidup bahagia selamanya. Apalagi sudah ada Arjuna. Dia juga butuh figur seorang ayah, Wi. Kamu jangan egois!" desak Ridwan memberi keyakinan kepada wanita yang dia kagumi."Justru karena aku tidak mau dianggap egois, makanya menolak kamu, Mas." "Wi, tolong pertimban
Keluarga besar Efita sudah bersiap-siap pergi ke kota Tegal untuk melangsungkan pernikahan Salman dengan putri sulung Gus Fauzan. Pernikahan yang rencananya akan diselenggarakan awal tahun, akan tetapi harus ditunda beberapa bulan karena Salman belum bisa mengambil cuti dan Nabila mendapat tugas dari kampusnya untuk melakukan kuliah kerja nyata di luar kota. Hal itulah yang membuat acara harus ditunda sementara, dan hari ini, dua insan manusia yang saling mencintai itu akan mengucap janji suci di depan Allah, menjadikan hubungan mereka menjadi halal serta diridhai Tuhan."Santai saja, nggak usah gemetar!" bisik Salim kepada sang adik ketika mereka sudah berada di masjid pesantren menunggu ijab qobul dimulai.Salman menerbitkan senyuman. Rasa grogi terlihat jelas di wajah pria berusia sudah genap dua puluh empat tahun itu, apalagi ketika pembawa acara memulai susunan acara.Keringat dingin terus saja membanjiri tubuhnya walaupun ruangan tempat dia akan meng
"Maaf, Wi. Kamu yang tenang. Kalau kamu tidak mau menyerahkan Arjuna tidak apa-apa. Mas tidak memaksa. Tapi kalau suatu saat Mas ingin mengajaknya bermalam di rumah, tolong kamu izinkan ya? Biar dia juga deket dengan Papa Surya."Mendengar nama Surya, entah mengapa ada rasa seperti termas-remas di dada Dewi. Dia ingat betul ketika pria paruh baya itu merenggut dengan paksa kehormatannya, melakukannya berkali-kali hingga akhirnya dia mengandung dan kehilangan masa depan. Selain itu, dia juga harus menjadi duri dalam daging di kehidupan rumah tangga Efita, merobohkan benteng yang telah dibangun dengan kokoh hingga hancur lebur serta rata dengan tanah.Tanpa terasa dua bulir air bening lolos begitu saja dari sudut netra perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu. Walaupun rasa benci terhadap Surya mendominasi di hati, akan tetapi dia begitu mencintai Arjuna. Apalagi Efita selalu memberinya wejangan, kalau anak adalah masa depan yang akan menjamin masa tua kita, j
#POV AuthorEfita sedang duduk di teras sambil mengawasi Arjuna, Syabil dan Faza bermain pasir di taman depan rumah. Dia segera menoleh ke arah pintu ketika mendengar seseorang mengucap salam. Seulas senyum tergambar di bibir Akmal, sambil menatap wajah Efita yang tertutup cadar. Ada rasa rindu yang kian menggebu di dalam kalbu, karena sampai saat ini dia belum benar-benar bisa melupakan sang mantan. Cinta yang ditancapkan Efita di dinding hatinya terlalu dalam dan tidak mudah terhapuskan.Semakin dia mencoba, maka rasa itu kian terasa serta menyiksa."Kamu apa kabar, Fit?" tanya Akmal setelah dia dipersilahkan masuk oleh mantan istrinya."Alhamdulillah aku sehat. Mas Akmal sendiri bagaimana kabarnya, tumben mampir ke rumah, setelah beberapa tahun tidak pernah keliatan batang hidungnya?" "Aku pengen ketemu Juna, Fit."Efita menanggapi dengan ber oh ria. Dia kemudian memanggil keponakan kesayangannya itu dan menyuruh pr
Setelah selesai memberikan keterangan kepada penyidik. Perawat serta polisi wanita yang mendampingi segera membawa Safina keluar dari ruangan tersebut karena harus segera kembali ke rumah sakit."Apa saya bisa bicara dengan Safina sebentar, Bu?" Ragu aku mengatakan hal itu, karena takut Safina kembali mengamuk jika aku mengajaknya berbicara."Silahkan, Pak." Kami pun berjalan menuju kursi panjang yang ada di teras kantor polisi, duduk di tempat tersebut dengan perasaan bersalah menyelimuti hati."Fin," panggilku pelan."Aku tahu apa yang ingin Mas Salim katakan sama aku," sahut Safina dengan suara parau. "Mas nggak usah khawatir. Aku tidak akan lagi mengganggu atau merepotkan Mas. Aku juga sudah ikhlas dengan pernikahan Mas dan Ning Azalia. Aku doakan, semoga kalian berdua hidup bahagia hingga maut yang memisahkan." Seulas senyum tercetak di bibir merah muda Safina walaupun aku lihat ada kabut di kedua sudut netranya.
"Kenapa liatin saya seperti itu?" tanya Fahri seraya menatap menghunus ke arahku.Aku mengangkat satu ujung bibir. Sepertinya Tejo dan Fahri begitu membenci diriku, padahal antara aku dan mereka berdua tidak pernah ada urusan apa-apa. Kenal saja baru-baru ini setelah aku menikah dengan Safina dan Azalia. Tapi, entah mengapa tatapan mereka terlihat penuh dengan kebencian kepadaku.Petugas menyuruh Fahri untuk duduk, menginterogasi dia menanyakan hubungan laki-laki tersebut dengan mantan istri, walaupun Fahri terus saja berbelit-belit memberikan keterangan, malah cenderung mengelak kalau dia tidak pernah melakukan pelecehan seksual terhadap SafinaHingga akhirnya seorang wanita berhijab ungu ditemani oleh seorang perawat juga dua orang polisi wanita datang, membuat Fahri serta Tejo tercengang. Gurat ketakutan tergambar jelas di wajah keduanya."Sa--Safina?" Bahkan Tejo sampai tergagap melihat kehadiran wanita yang sudah dia nodai tersebut.
"Insya Allah saya bersedia, Mas," jawab si wanita dengan intonasi sangat lembut serta gemetar, dan semua orang yang ada ramai gemuruh mengucap hamdalah."Alhamdulillah, berarti Bunda mau nambah mantu lagi!" seloroh Bunda Efita terdengar bahagia."Ini kenapa ujung-ujungnya jadi kaya lamaran begini?" Azalia ikut menimpali. "Cie...Bila, akhirnya bisa menikah dengan sang pujaan hati!" ledek istriku seraya memeluk adik sepupunya."Jangan ledekin aku terus dong, Mbak Lia. Aku 'kan jadi malu!" Nabila memonyongkan bibir manja. Dia persis seperti istriku ketika sedang merajuk. Semoga saja sifatnya juga sama seperti Azalia. Penyayang, bijaksana dan menghormati serta menyangi Bunda Efita tentunya."Kapan akan diadakan lamaran secara resmi, Gus. Biar saya siapkan segala keperluannya?" Bunda Efita terlihat begitu bersemangat."Tidak usah ada acara lamaran lagi, Mbak Fita. Sebaiknya langsung dinikahkan saja. Toh, mereka sudah sama-sama d
#Part menuju ending"Astaghfirullahaladzim!" teriak kami ketika tubuh Bu Veronika ambruk ke lantai.Kepanikan mulai terlihat di wajah Dokter Fatih ketika melihat sang ibu tidak sadarkan diri. Kedua mata laki-laki itu sudah dipenuhi kabut dan tidak lama kemudian buliran-buliran air bening mulai meluncur dari balik kelopaknya meninggalkan jejak lurus di pipi."Ibu, bangun, Bu. Ya Allah. Kenapa Ibu malah pingsan seperti ini, Bu?" Dia menepuk-nepuk pelan pipi ibunya."Angkat ibu kamu, Mas. Bawa dia ke kamar tamu atau direbahkan di sofa!" perintah bunda Efita dan segera dikerjakan oleh dokter berkacamata tebal tersebut.Azalia yang sejak tadi berdiri di ambang pintu berinisiatif mengambil minyak kayu putih lalu menggosokkannya ke pelipis serta dekat hidungnya.Tidak lama kemudian mata Bu Veronika terbuka. Dia memalingkan wajah ketika melihat sang anak yang sedang duduk di sebelahnya sambil menggenggam erat jari keriputnya. "
"Assalamualaikum!" Kami yang sedang duduk santai di teras menoleh secara serempak ketika mendengar suara Bu Veronika mengucap salam."Waalaikumussalam!" Ummi segera beranjak dari duduknya, berjalan menuju pintu garasi dan mempersilahkan ibunya Dokter Fatih untuk masuk.Kali ini Bu Veronika datang tidak hanya sendiri, tapi bersama anaknya yang meresahkan itu. Sepertinya dia menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Berpura-pura ingin mengenal lebih jauh keluarga besarku, padahal sebenarnya ingin melihat istriku yang memang begitu cantik memesona dan siapa pun yang melihatnya pasti akan jatuh cinta.Dari balik kacamata tebalnya, terlihat sekali kedua bola mata Dokter Fatih membulat tanpa berkedip menatap ke dalam rumah. Aku menoleh berniat menyuruh Azalia masuk, tapi mataku dibuat memicing olehnya sebab yang sedang dia pandangi malah bukan istri, melainkan Bunda Efita. Sepertinya dokter genit tersebut terpesona dengan kecantikan wajah bunda yang tertutup niqo