“Kamu serius mau pulang, Fin?” tanyaku dengan intonasi dibuat selembut mungkin.
“Iyalah, masa cuma bercanda!” Dia menyahut tanpa menoleh sedikit pun kepadaku.Ya Allah. Semakin hari sifatnya semakin memprihatinkan. Tidak ada sopan santunnya sama sekali terhadap suami.“Ya sudah. Nanti aku carikan tiket kereta api. Atau, kamu mau naik travel saja?”Safina segera beranjak duduk dan menatap nyalang wajahku.“Kenapa harus pakai kereta atau travel? Kan ada Mas Salim. Mas punya mobil buat nganter aku pulang, ‘kan?!” ujarnya meradang.“Iya. Tapi aku capek kalau harus mengantar kamu ke Semarang hari ini. Aku juga takut kalau kita sudah sampai ke Semarang, kamu dan keluarga kamu akan melarangku kembali ke Jakarta lagi.”“Memangnya kenapa kalau kita tinggal di sana, Mas?”“Sekarang kamu pikir sendiri, Safina. Kamu di Jakarta, di rumahku saja memperlakukan aku seperti ini. Bagaimana nanti jika kita tingg“Fin, aku itu mau nyari tempat usaha loh. Kalau kamu nggak percaya, ayo ikut sama aku.” “Oke. Aku ganti baju dulu.” Dia segera melepaskan pakaiannya dan menggantinya dengan yang baru. Aku menggeleng perlahan. Biarlah. Akan kuturuti apa maunya sekarang, bukankah kata Bunda, api itu tidak bisa dilawan dengan api juga. Aku harus menjadi air supaya api yang menyala tidak membesar serta menghanguskan. Setelah Safina selesai berpakaian, lekas kami berdua keluar, pamit kepada Bunda untuk pergi menemui temanku. Saat dalam perjalanan tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Safina. Dia tetap membuang pandang ke luar jendela, tidak mau menoleh ke arahku walaupun hanya sebentar saja. ***Pukul sembilan pagi kami sampai di tempat tujuan. Safina masih saja diam membisu, bahkan saat tamanku menyapa dia tidak meresponsnya sama sekali. Membuat diri ini tidak enak hati, takut dikata tidak mampu mendidik istri. “Kamu
"Kamu serius mau pulang, Fin?" tanyaku dengan intonasi dibuat selembut mungkin."Iyalah, masa cuma bercanda!" Dia menyahut tanpa menoleh sedikit pun kepadaku.Ya Allah. Semakin hari sifatnya semakin memprihatinkan. Tidak ada sopan santunnya sama sekali terhadap suami."Ya sudah. Nanti aku carikan tiket kereta api. Atau, kamu mau naik travel saja?" Safina segera beranjak duduk dan menatap nyalang wajahku. "Kenapa harus pakai kereta atau travel? Kan ada Mas Salim. Mas punya mobil buat nganter aku pulang, 'kan?!" ujarnya meradang."Iya. Tapi aku capek kalau harus mengantar kamu ke Semarang hari ini. Aku juga takut kalau kita sudah sampai ke Semarang, kamu dan keluarga kamu akan melarangku kembali ke Jakarta lagi.""Memangnya kenapa kalau kita tinggal di sana, Mas?" "Sekarang kamu pikir sendiri, Safina. Kamu di Jakarta, di rumahku saja memperlakukan aku seperti ini. Bagaimana nanti jika kita tinggal di Semarang. Bisa-bisa aku kamu jadikan alas kaki di sana. Lagian, selain mempunyai kew
Aku mendengkus kesal. Rasanya tubuh bagian atas serta bawah ngilu semua menahan hasrat yang tidak bisa tersalurkan.Menoleh ke arah Safina yang sedang terbaring menghadap tembok, mencoba merayunya sekali lagi tetapi dia geming. Masih tetap dalam mode yang sama, tidak mau menoleh apalagi melayaniku.Astaghfirullah...Ternyata seperti ini jika sudah menikah. Ketika hasrat sudah di ubun-ubun dan tidak dapat dituntaskan, kepala terasa sakit dan sulit sekali untuk memejamkan mata.Turun dari tempat tidur perlahan, masuk ke dalam kamar mandi membasuh badan dengan air hangat, karena biar bagaimanapun aku tadi sempat bernapsu dan...Sudahlah. Tidak perlu dijabarkan. Kasihan Mak Othor nanti dicekal.Guyuran air hangat dari shower membuat tubuhku serta bagian-bagian yang menegang menjadi sedikit rileks. Sepertinya harus sering-sering puasa jika Safina terus-menerus seperti ini.Kecewa berat. Tetapi apa hendak dikata. Aku juga salah, telah membuat dia kecewa sekaligus marah. Semoga saja Allah me
“Ya sudah. Terserah kamu. Yang penting sebagai suami aku sudah meberi tahu dan menasehati. Didengar atau tidaknya terserah kamu!” Aku mulai tersulut emosi juga.“Ya iyalah, terserah. Kamu ‘kan nggak pernah perduli sama aku. Kamu itu Cuma perduli sama mantan kamu. Sama masa lalu kamu. Kalau sama aku mana perduli!”Astaghfirullahaladzim...Safina benar-benar sangat menguji kesabaranku setiap saat. Kenapa dia keras kepada sekali seperti itu ya Allah. Aku pikir dia wanita shalihah dan penurut seperti yang terlihat. Ternyata aku salah besar. Dia pembangkang dan lebih mendengar omongan paklik dari pada suaminya sendiri. Mau dibawa kemana hubungan ini kalau dia terus-menerus seperti ini?“Kenapa diam, Mas. Kenapa kamu tidak mendebat? Kalau diam aku artikan semua perkataanku itu benar!” sengitnya lagi.“Fin, Safina. Dengarkan aku, sayang. Aku sedang berusaha mencintai kamu. Aku berkata jujur sama kamu itu, karena tidak
"Maaf, Fina. Tolong jangan peluk-peluk!" Melepaskan tangannya yang melingkar di pinggang kemudian beranjak dari tempat tidur."Lho, Mas. Mau ke mana?" Dia terus menatapku dengan mata sudah mengembun."Aku sudah menjatuhkan talak kepadamu. Meskipun baru talak satu, alangkah baiknya kalau kita tidak tidur dalam satu kamar!" Aku berujar sembari melenggang pergi."Mas!" Safina menghalangi jalanku ketika hendak keluar. "Aku minta maaf. Aku tidak serius ingin minta dipulangkan ke Semarang. Aku hanya menguji kamu tadi!" Dia terus menatap mengiba."Maaf, Fina. Untuk sementara ini, kita hidup sendiri-sendiri dulu. Besok aku akan tetap mengantar kamu ke Semarang, supaya kita bisa mendinginkan hati yang sudah terlanjur panas, juga bisa menyadari kesalahan kita masing-masing." "Mas, bukannya talak satu itu masih bisa rujuk. Kamu bisa merujukku sekarang, Mas. Bukannya menurut agama kita, jika seorang suami menjatuhkan talak satu kepada sang
Kini netraku terasa memanas mengenang jasa-jasa Ayah. Rindu yang tiada bisa terobati semakin terasa menggebu di kalbu."Kamu tugas jam berapa, Man?" tanyaku seraya menatap wajah teduh adikku."Off, Kak. Mau diajak jalan-jalan?" Dia terkekeh."Ziarah ke makam Ayah." Salman menoleh, tersenyum sambil mengacungkan ibu jari.Menggenggam gagang pintu, memutarnya seraya mengucap salam dan masuk. Aku terkesiap ketika melihat Safina sedang menangis dalam dekapan Bunda, dan Bunda memindaiku dengan tatapan tidak seperti biasanya. Kilat kemarahan tergambar jelas di wajah ayunya, walaupun dia berusaha menutupi."Salim, duduk sebentar, Nak!" perintah Bunda. Sepasang bola mata indahnya tidak lepas dari wajahku hingga aku melungguh di sebelah Safina, berjarak beberapa centimeter karena untuk saat ini sedang menghindari bersentuhan dengan wanita itu."Apa yang sudah kamu lakukan terhadap istri kamu, Nak?" Lagi,
“Tuh, kan. Bunda liat sendiri kalau dia itu suka kasar sama aku!” Safina manatap nyalang ke arahku, merasa kalau dirinya paling benar sendiri.“Kamu kemasi barang-barang kamu sekarang juga. Biar aku antar kamu ke Semarang!” sungutku kesal, dengan nada tidak kalah tingginya.Ya Allah...Kenapa semuanya menjadi seperti. Mengapa emosiku jadi meninggi dan sulit sekali untuk dikendalikan. Dan, kenapa Engkau memberiku pendamping hidup seperti Safina.Allahu Akbar...Mengusap wajah kasar, duduk sambil memegangi kepala dengan siku bertopang di atas paha. Mengucap istighfar berkali-kali, mencoba mengendalikan emosi diri.Safina masih terus saja menggerutu, entah apa yang sedang ia ucap aku tidak terlalu mendengar. Tidak mau meladeni juga, sebab sudah cukup emosiku hari ini.“Aku sudah siap!” ketus Safina seraya keluar dari dalam kamar.Aku beranjak dari sofa, melenggang masuk melewati dia berniat menggati
Menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan, melirik Safina yang sedang duduk di kursi penumpang sambil menatap ke luar jendela. Ada rasa bersalah menelusup ke dasar hati, merasa telah gagal menjadi seorang suami. Terlebih lagi karena aku sudah menjatuhkan talak kepadanya, walaupun baru talak satu. Masih banyak kesempatan untuk kami kembali.Semoga saja benih yang aku tanam tidak tumbuh di rahim Safina. Sebab, aku tidak mau kelak anakku menjadi korban. Jika kami sudah berpisah juga sudah pasti keluarga Safina akan melarangku untuk bertemu si buah hati.Suara azan di ponsel, membuatku tersadar dari lamunan dan segera mencari rest area. Ingin melaksanakan salat zuhur, menenangkan hati yang sedang dilanda gundah. Menentramkan perasaan yang selalu didera rasa gelisah.“Fin, kita salat dulu.” Aku berujar pelan. Membukakan pintu mobil untuk Safina sambil menatap sendu wajahnya yang sudah terlihat kuyu.Ya Allah ....Ke
Pukul tujuh malam, selepas melaksanakan shalat isya, Ridwan kembali datang dan meminta Dewi untuk menjadi pendamping hidupnya. Kali ini dia meminta wanita tersebut kepada sang kakak, dan Efita tetap saja menyerahkan semuanya kepada Dewi. "Sudah aku bilang kan, Mas. Aku ini bukan wanita sempurna. Kamu akan menyesal jika menikah denganku nanti. Apa kamu tidak berpikir sampai kesitu, Mas?" Dewi membuang muka menghindari tatapan Ridwan yang begitu menghanyutkan."Saya akan menerima segala kekurangan serta kelebihan kamu, Wi. Lillahi taala. Menikah itu ibadah. Kebahagiaan sepasang suami istri itu bukan hanya karena adanya anak. Tapi dengan saling percaya serta melengkapi, kita akan merasa hidup bahagia selamanya. Apalagi sudah ada Arjuna. Dia juga butuh figur seorang ayah, Wi. Kamu jangan egois!" desak Ridwan memberi keyakinan kepada wanita yang dia kagumi."Justru karena aku tidak mau dianggap egois, makanya menolak kamu, Mas." "Wi, tolong pertimban
Keluarga besar Efita sudah bersiap-siap pergi ke kota Tegal untuk melangsungkan pernikahan Salman dengan putri sulung Gus Fauzan. Pernikahan yang rencananya akan diselenggarakan awal tahun, akan tetapi harus ditunda beberapa bulan karena Salman belum bisa mengambil cuti dan Nabila mendapat tugas dari kampusnya untuk melakukan kuliah kerja nyata di luar kota. Hal itulah yang membuat acara harus ditunda sementara, dan hari ini, dua insan manusia yang saling mencintai itu akan mengucap janji suci di depan Allah, menjadikan hubungan mereka menjadi halal serta diridhai Tuhan."Santai saja, nggak usah gemetar!" bisik Salim kepada sang adik ketika mereka sudah berada di masjid pesantren menunggu ijab qobul dimulai.Salman menerbitkan senyuman. Rasa grogi terlihat jelas di wajah pria berusia sudah genap dua puluh empat tahun itu, apalagi ketika pembawa acara memulai susunan acara.Keringat dingin terus saja membanjiri tubuhnya walaupun ruangan tempat dia akan meng
"Maaf, Wi. Kamu yang tenang. Kalau kamu tidak mau menyerahkan Arjuna tidak apa-apa. Mas tidak memaksa. Tapi kalau suatu saat Mas ingin mengajaknya bermalam di rumah, tolong kamu izinkan ya? Biar dia juga deket dengan Papa Surya."Mendengar nama Surya, entah mengapa ada rasa seperti termas-remas di dada Dewi. Dia ingat betul ketika pria paruh baya itu merenggut dengan paksa kehormatannya, melakukannya berkali-kali hingga akhirnya dia mengandung dan kehilangan masa depan. Selain itu, dia juga harus menjadi duri dalam daging di kehidupan rumah tangga Efita, merobohkan benteng yang telah dibangun dengan kokoh hingga hancur lebur serta rata dengan tanah.Tanpa terasa dua bulir air bening lolos begitu saja dari sudut netra perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu. Walaupun rasa benci terhadap Surya mendominasi di hati, akan tetapi dia begitu mencintai Arjuna. Apalagi Efita selalu memberinya wejangan, kalau anak adalah masa depan yang akan menjamin masa tua kita, j
#POV AuthorEfita sedang duduk di teras sambil mengawasi Arjuna, Syabil dan Faza bermain pasir di taman depan rumah. Dia segera menoleh ke arah pintu ketika mendengar seseorang mengucap salam. Seulas senyum tergambar di bibir Akmal, sambil menatap wajah Efita yang tertutup cadar. Ada rasa rindu yang kian menggebu di dalam kalbu, karena sampai saat ini dia belum benar-benar bisa melupakan sang mantan. Cinta yang ditancapkan Efita di dinding hatinya terlalu dalam dan tidak mudah terhapuskan.Semakin dia mencoba, maka rasa itu kian terasa serta menyiksa."Kamu apa kabar, Fit?" tanya Akmal setelah dia dipersilahkan masuk oleh mantan istrinya."Alhamdulillah aku sehat. Mas Akmal sendiri bagaimana kabarnya, tumben mampir ke rumah, setelah beberapa tahun tidak pernah keliatan batang hidungnya?" "Aku pengen ketemu Juna, Fit."Efita menanggapi dengan ber oh ria. Dia kemudian memanggil keponakan kesayangannya itu dan menyuruh pr
Setelah selesai memberikan keterangan kepada penyidik. Perawat serta polisi wanita yang mendampingi segera membawa Safina keluar dari ruangan tersebut karena harus segera kembali ke rumah sakit."Apa saya bisa bicara dengan Safina sebentar, Bu?" Ragu aku mengatakan hal itu, karena takut Safina kembali mengamuk jika aku mengajaknya berbicara."Silahkan, Pak." Kami pun berjalan menuju kursi panjang yang ada di teras kantor polisi, duduk di tempat tersebut dengan perasaan bersalah menyelimuti hati."Fin," panggilku pelan."Aku tahu apa yang ingin Mas Salim katakan sama aku," sahut Safina dengan suara parau. "Mas nggak usah khawatir. Aku tidak akan lagi mengganggu atau merepotkan Mas. Aku juga sudah ikhlas dengan pernikahan Mas dan Ning Azalia. Aku doakan, semoga kalian berdua hidup bahagia hingga maut yang memisahkan." Seulas senyum tercetak di bibir merah muda Safina walaupun aku lihat ada kabut di kedua sudut netranya.
"Kenapa liatin saya seperti itu?" tanya Fahri seraya menatap menghunus ke arahku.Aku mengangkat satu ujung bibir. Sepertinya Tejo dan Fahri begitu membenci diriku, padahal antara aku dan mereka berdua tidak pernah ada urusan apa-apa. Kenal saja baru-baru ini setelah aku menikah dengan Safina dan Azalia. Tapi, entah mengapa tatapan mereka terlihat penuh dengan kebencian kepadaku.Petugas menyuruh Fahri untuk duduk, menginterogasi dia menanyakan hubungan laki-laki tersebut dengan mantan istri, walaupun Fahri terus saja berbelit-belit memberikan keterangan, malah cenderung mengelak kalau dia tidak pernah melakukan pelecehan seksual terhadap SafinaHingga akhirnya seorang wanita berhijab ungu ditemani oleh seorang perawat juga dua orang polisi wanita datang, membuat Fahri serta Tejo tercengang. Gurat ketakutan tergambar jelas di wajah keduanya."Sa--Safina?" Bahkan Tejo sampai tergagap melihat kehadiran wanita yang sudah dia nodai tersebut.
"Insya Allah saya bersedia, Mas," jawab si wanita dengan intonasi sangat lembut serta gemetar, dan semua orang yang ada ramai gemuruh mengucap hamdalah."Alhamdulillah, berarti Bunda mau nambah mantu lagi!" seloroh Bunda Efita terdengar bahagia."Ini kenapa ujung-ujungnya jadi kaya lamaran begini?" Azalia ikut menimpali. "Cie...Bila, akhirnya bisa menikah dengan sang pujaan hati!" ledek istriku seraya memeluk adik sepupunya."Jangan ledekin aku terus dong, Mbak Lia. Aku 'kan jadi malu!" Nabila memonyongkan bibir manja. Dia persis seperti istriku ketika sedang merajuk. Semoga saja sifatnya juga sama seperti Azalia. Penyayang, bijaksana dan menghormati serta menyangi Bunda Efita tentunya."Kapan akan diadakan lamaran secara resmi, Gus. Biar saya siapkan segala keperluannya?" Bunda Efita terlihat begitu bersemangat."Tidak usah ada acara lamaran lagi, Mbak Fita. Sebaiknya langsung dinikahkan saja. Toh, mereka sudah sama-sama d
#Part menuju ending"Astaghfirullahaladzim!" teriak kami ketika tubuh Bu Veronika ambruk ke lantai.Kepanikan mulai terlihat di wajah Dokter Fatih ketika melihat sang ibu tidak sadarkan diri. Kedua mata laki-laki itu sudah dipenuhi kabut dan tidak lama kemudian buliran-buliran air bening mulai meluncur dari balik kelopaknya meninggalkan jejak lurus di pipi."Ibu, bangun, Bu. Ya Allah. Kenapa Ibu malah pingsan seperti ini, Bu?" Dia menepuk-nepuk pelan pipi ibunya."Angkat ibu kamu, Mas. Bawa dia ke kamar tamu atau direbahkan di sofa!" perintah bunda Efita dan segera dikerjakan oleh dokter berkacamata tebal tersebut.Azalia yang sejak tadi berdiri di ambang pintu berinisiatif mengambil minyak kayu putih lalu menggosokkannya ke pelipis serta dekat hidungnya.Tidak lama kemudian mata Bu Veronika terbuka. Dia memalingkan wajah ketika melihat sang anak yang sedang duduk di sebelahnya sambil menggenggam erat jari keriputnya. "
"Assalamualaikum!" Kami yang sedang duduk santai di teras menoleh secara serempak ketika mendengar suara Bu Veronika mengucap salam."Waalaikumussalam!" Ummi segera beranjak dari duduknya, berjalan menuju pintu garasi dan mempersilahkan ibunya Dokter Fatih untuk masuk.Kali ini Bu Veronika datang tidak hanya sendiri, tapi bersama anaknya yang meresahkan itu. Sepertinya dia menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Berpura-pura ingin mengenal lebih jauh keluarga besarku, padahal sebenarnya ingin melihat istriku yang memang begitu cantik memesona dan siapa pun yang melihatnya pasti akan jatuh cinta.Dari balik kacamata tebalnya, terlihat sekali kedua bola mata Dokter Fatih membulat tanpa berkedip menatap ke dalam rumah. Aku menoleh berniat menyuruh Azalia masuk, tapi mataku dibuat memicing olehnya sebab yang sedang dia pandangi malah bukan istri, melainkan Bunda Efita. Sepertinya dokter genit tersebut terpesona dengan kecantikan wajah bunda yang tertutup niqo