Sari menceritakan semuanya agar Cinta bisa memaafkan Rafasya. Meskipun di awal pernikahan, Rafasya menolak Cinta dan tetap memilih untuk menjalin hubungan dengan Karin. Namun semua itu tidak berlangsung lama karena pada nyatanya hati pria itu justru terpaut dengan istrinya. Kesabaran yang dimiliki Cinta mampu mengobrak-abrik hati seorang Rafasya dan pada akhirnya melabuhkan hatinya kepada pasangan halalnya itu."Mama harap Cinta mau menerima bang Rafa kembali. Semenjak Cinta pergi, badannya sekarang semakin kurus. Dia bahkan sampai beberapa kali di rawat. Setiap pulang dari kantor, dia akan keliling kota cari Cinta. Dia berharap bisa melihat Cinta berdiri di pinggir jalan.Cinta terdiam mendengar perkataan Sari. Dia tidak menyangka bahwa suaminya akan hancur seperti itu ketika dia tinggalkan. Padahal Cinta berpikir bahwa Rafasya sudah hidup bahagia bersama dengan Karin. "Apa Rafasya sudah mengatakan tentang surat pembatalan itu?" Sari memandang Cinta. Wanita itu sudah tidak sabar mel
Erik dan Sari merinding ketika mendengar perkataan Rafasya. Cukup kali ini saja mereka mencicipi nasi goreng hasil karya anaknya."Untuk cinta saja, papa enggak," jawab Erik setelah berhasil menelan rasa nasi goreng yang begitu sangat asin."Mama juga nggak." Sari berkata sambil meminum air mineral yang banyak. Begitu juga dengan Erik. Pasangan suami istri itu menetralkan lidahnya dengan minum sebanyaknya. Mereka jerah untuk makan nasi goreng masakan anaknya. "Oh kirain pengen dibuatin juga." Rafasya tersenyum dan kembali memandang istrinya. "Ma, rasa nasi gorengnya asin sekali ya, lebih asin daripada air laut." Erik berbisik di telinga Sari. "Iya Pah, nanti bakalan Mama marahin itu anak. Bisa naik tensi Cinta kalau makan nasi goreng asin seperti itu." Sari merinding ketika membayangkan rasa asin dari nasi gorengnya. Dan yang lebih membuat wanita itu ingin gila ketika membayangkan Cinta yang memakan nasi goreng itu dengan lahap.Pasangan suami istri itu kemudian diam sambil memand
Pernyataan Cahaya begitu sangat melukai hati dan membuat dia kecewa. Padahal Anto sudah jatuh hati dengan gadis berwajah manis itu. Bahkan dia sudah berniat untuk mengajak Cahaya malam mingguan besok dan menyatakan cintanya. "Apa pria itu tidak mau bertanggung jawab?" Tanya Anto. Dia berusaha untuk mengontrol emosi yang sedang memuncak dan membuat tubuhnya terasa panas. "Tidak tahu, karena dia belum tahu kalau aku sedang hamil," jelas Cahaya. "Kenapa?" Anto mengerutkan keningnya. Cahaya diam dan bingung untuk menjelaskan. "Ayo Abang antar ke tempat orang itu," kata Anto. Meskipun kecewa namun dia tetap ingin mengetahui apakah pria itu mau bertanggung jawab atau tidak. "Tidak usah," tolak Cahaya. "Kenapa?" tanya Anto. "Aku tidak tahu harus mencarinya ke mana. Karena dia tidak berada di Indonesia." Cahaya menundukkan kepalanya sambil meremas-remas tangannya sendiri.Cahaya tidak sanggup untuk mengangkat kepalanya dan memandang wajah Anto yang duduk di depannya. Saat ini pria itu
"Abang tidak keberatan?" tanya Cahaya. "Tidak sama sekali. Sekarang kamu sedang hamil tidak baik jika tinggal sendiri." Anto tersenyum. "Terima kasih ya bang." Cahaya sungguh merasa tidak enak hati. "Iya, Cinta sudah ditemukan." Anto Berkata sambil memandang Cahaya. "Bang Anto tidak bohong?" Cahaya begitu sangat terkejut ketika mendengar perkataan pria itu. "Tidak.""Cinta sekarang di mana?" Cahaya sungguh sangat senang dan tidak sabar ingin bertemu dengan sahabatnya. "Di rumah sakit." "Apa Cinta sakit?" Cahaya tampak panik ketika mendengar jawaban dari Anto. "Pendarahan ringan namun tetap di rawat," jelas Anto. Cahaya bernafas lega setelah mendengar jawaban dari pria itu."Apa mau menjenguk Cinta?" Anto tahu bahwa Cahaya begitu sangat merindukan sahabatnya. "Iya, mau," jawab Cahaya dengan tersebut. "Besok kita ke rumah sakit. Apa kamu sudah memeriksakan kandungan?" Anto memandang perut Cahaya yang masih rata. "Belum, kemarin cuman periksa pakai alas tes kehamilan belum ad
Setelah menyapu pekarangan rutan barulah Karin beristirahat dan masuk ke dalam kamar tahanan. Jika di dalam kamar seperti ini, dia hanya berbaring, duduk dan termenung. Tidak tahu kapan langit gelap. Yang dia tahu jika sudah pagi, maka dia akan menjalani rutinitas seperti napi lain. Sarapan langsung di antar ke dalam kamar. Makan nasi yang jauh dari kata enak. Nasi terlalu lembek, disiram sayur dan kuah dan ditambah sepotong tahun atau tempe. Apakah makan seperti ini layak untuk wanita yang sedang hamil? Jawabnya tentu tidak. Bahkan dia tidak tahu seperti apa kondisi calon anaknya. "Usia kandungannya sudah 4 bulan, namun dia belum juga memerintahkan kandungnya ke dokter. Terkadang Karin bermimpi untuk keluar sejenak agar bisa memeriksakan kondisi kandungannya. Dia ingin melihat apakah anaknya sehat? Ya hanya sesederhana itu yang dia inginkan namun, semua itu terasa begitu sulit untuk seorang narapidana dengan kasus berat seperti dirinya. Karin merebahkan tubuhnya di atas lantai
Karin hanya diam ketika mendengar ucapan temannya itu. Ada rasa malu dan bersalah di hatinya. Namun ego yang begitu tinggi, membuatnya enggan untuk meminta maaf. "Bagaimana dengan kandunganmu?" tanya Berliana. "Baik," jawab Karin. Antara senang ataupun malu kini semuanya seakan bercampur menjadi satu. Ketika Berliana tersandung masalah, dialah orang pertama yang menjauhinya. Bahkan dialah orang yang menjadi provokator dan memberikan pandangan-pandangan negatif terhadap temannya itu di media sosial dan berita gosip."Syukurlah kalau begitu, aku membawa kamu pakaian. Vitamin untuk kecerdasan otak janin, vitamin khusus ibu Hamill. Ini perlengkapan make up dan perlengkapan mandi. Aku yakin kamu pasti tetap ingin terlihat cantik. Semuanya sudah diperiksa di depan dan kamu diperbolehkan untuk membawanya ke dalam kamar." Berlima tersenyum sambil menunjukkan barang-barang yang dia bawa. Karin terdiam mendengar perkataan sahabatnya itu. Dia sungguh sangat malu dan bahkan sekarang dia sepe
"Sayang, apa pengen sesuatu? Rafasya tersenyum dan duduk di tepi tempat tidur istrinya. Sejak tadi Kamar ini tidak ada sepinya. Hingga Rafasya tidak bisa berduaan dengan sang istri. Bukannya tidak senang ketika banyak yang datang mengunjungi istrinya. Namun pria itu masih sangat merindukan Cinta dan ingin berdua saja. "Nggak ada." Cinta memandang ke arah yang berbeda. Jantungnya berdegup dengan sangat cepat ketika menatap wajah tampan suaminya. Meskipun tubuh Rafasya jauh lebih kurus dari sebelumnya, tetap saja pria itu sangat tampan dimatanya."Beneran nggak ada?" Rafasya masih terus menatap wajah istrinya tanpa berkedip. "Iya."Cinta memejamkan matanya. "Ngantuk ya?" Rafasya mengusap kepala Cinta. Namun tatapan matanya tertuju ke bibir kecil istrinya itu. Jangan tanya Seperti apa Rindunya. Rafasya sudah tidak sabar untuk mengecup bibir istrinya. Apalagi kesalahpahaman di antara mereka sudah diluruskan. Meskipun Cinta masih menggantung jawabannya. Bagi Rafasya itu tidak masalah
"Cinta malu." Wajah Cinta Sudah merah seperti tomat masak. Wanita itu pun memilih untuk memandang ke lain arah."Nggak usah malu sayang, abang ini suami, ayah dari calon anak kita." Rafasya mengeluarkan rayuan mautnya."Tetap aja Cinta malu." Cinta hanya satu kali melakukan penyatuan dengan sang suami. Itu pun berakhir dengan rasa yang begitu sangat sakit. Hingga membuat dirinya merasa takut untuk memulai kembali."Nggak usah malu, boleh ya." Rafasya sudah tidak mau lagi berdebat. Kali ini pria itu langsung membuka kancing baju sang istri. Cinta ingin menolak namun pria itu justru malah mencium bibirnya. Dan hal itu mampu membuat sang istri terdiam seperti patungRafasya benar-benar melepaskan kerinduannya. Dia mencium bibir istrinya dengan penuh rasa cinta dan juga gelora yang bergejolak. Sehingga membuat pria itu seperti orang yang sedang sedang kelaparan, hingga membuat sang istri kewalahan. Setelah cukup lama menikmati bibir istrinya, pria itu melepaskannya. Cinta menghirup oks