Kelvin meletakkan ponsel di atas meja, sudah kenyang dia dicaci maki Namira seperti tadi. Bukan salah Namira kalau gadis itu marah, semua kesalahan ada di Kelvin, dia akui itu! Kepala Kelvin terasa sangat pusing, ia masih belum bisa menentukan langkah. "Brian!" Langsung nama itu yang muncul di kepala Kelvin, ia kembali meraih ponsel itu, menghubungi Brian mumpung dia masih punya waktu luang barang sebentar. Kelvin menanti panggilannya dijawab, walaupun sedikit banyak Kelvin sudah tahu apa-apa saja yang akan lelaki itu katakan, namun itu tidak menghalangi niat kelvin menghubungi Brian sekarang. "Halo ... Kenapa, Vin?" Sapa suara itu segera, rupanya bapak satu anak ini sedang dalam waktu luang. "Lu lagi sibuk nggak, Yan?" Ujar Kelvin balas bertanya. "Bau-baunya elu lagi sakit kepala, Vin? Kenapa? Demenan elu bunting?" Tanya Brian asal. "Anjir! Amit-amit. Jangan dong, Yan!" Desis Kelvin dengan wajah ditekuk. "Loh ... Kok jangan? Bukannya enak ntar ada alasan ke nyokap kalo elu mo
"Kupikir nggak kesini." Kelvin tersenyum getir, ia segera meraih lengan Namira, menarik gadis itu masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. "Jangan gitu dong, baru dateng loh aku ini." Desis Kelvin lirih. "Iya kalo nggak diancem tadi mana mungkin kamu datang ke sini, Bang!" Sindir Namira pedas. "Kok bilang gitu?" Kelvin meremas tangan Namira dalam genggamannya. "Kan aku bilang kemarin mama ada ke sini, Yang."Namira menghempaskan tangannya sampai genggaman Kelvin terlepas. Ia menatap Kelvin dengan tatapan tajam. "Kita mau sampai kapan sih kayak gini? Sampai kapan? Aku capek, Bang! Demi apapun aku capek!" Suara Namira meninggi, Kelvin segera meraih kedua bahu Namira, berusaha menenangkan gadis itu agar tidak meledak-ledak. "Iya aku ngerti, cuma ....""Apa? Aku nggak mau tahu ya, begitu kamu lulus PPDS kamu harus tepatin janji kamu atau kalo engga, aku bakalan dateng ke rumah mama kamu dan bongkar semua tentang hubungan kita selama ini!" Kelvin membelalak, ia sama sekali tidak meny
Kelvin sudah sampai di depan pintu unit mereka, jantungnya berdegub dua kali lebih cepat, ia segera menempelkan kartu akses miliknya dan membuka pintu unit. Perlahan ia melangkah masuk, sepanjang perjalanan tadi dia sudah menyusun jawaban untuk menjawab semua pertanyaan Agatha perihal kepulangannya yang sangat terlambat ini. Langkah kaki Kelvin terhenti, matanya memanas ketika mendapati Agatha tertidur di meja makan. Hatinya mencelos pedih, ingin rasanya Kelvin berlari memeluk tubuh itu. Baru hendak kembali melangkahkan kaki, Kelvin baru menyadari sesuatu yang membuat matanya membelalak. Apalagi kalau bukan aroma yang menguar dari tubuhnya! Perpaduan keringat dan aroma-aroma khas lain menyeruak begitu tajam! Kelvin tidak mungkin memeluk Agatha dengan tubuh penuh bau macam ini! Perlahan Kelvin berjingkat menuju kamar mandi, ia harus membersihkan semua jejak ini sampai bersih! Beruntung hingga Kelvin sampai dan masuk ke kamar mandi, tubuh itu tidak bergerak, dengkur halus itu bahkan
"Kamu di mana?"Agatha menjepit ponsel dengan kepala da bahu, tangannya sibuk mengaduk tas untuk mencari kartu aksesnya. Ia tengah menelpon Kelvin, menanyakan perlu atau tidaknya suaminya itu dijemput. "Aku udah di apart, Om. Gimana dijemput engga? Kalo iya aku ganti baju bentar terus jemput kamu." Agatha mengambil ponsel dengan tangan, kini ia melenggang masuk ke dalam unit apartemennya. "Nggak usah, Sayang. Aku pulang sendiri aja." Jawab suara itu dari seberang. "Serius? Nggak apa-apa kalo mau dijemput, Om." Tawar Agatha lagi, ia melemparkan tasnya ke atas kasur, masih menantikan jawaban dari Kelvin melalui sambungan telepon."Kamu istirahat aja di apart, atau mau ada rencana keluar sama temen?" Tanya suara itu lagi. "Nggak. Aku nggak ada acara kemana-mana, makanya nawarin mau jemput, Om." Agatha melepas sepatunya, kini pandangannya teralih pada Saga, terlihat hamster itu tengah menikmati biji-bijian yang Agatha selalu siapkan untuknya. "Yaudah istirahat aja ya, tunggu aku bali
"Kamu muntah lagi, Tha?"Agatha terkejut, ia masih sibuk mengusap jejak air di sekitar bibirnya. Kepalanya mengangguk pelan, tubuhnya terasa lemas, ini sudah dua kali dia muntah-muntah. "Izin nggak ikut kelasnya dokter Prapto gimana sih, Ka? Kepalaku pusing banget." Runtih Agatha lirih. "Ke klinik aja biar diperiksa, kamu pucet banget, Tha!" Pinka nampak panik, ia melangkah di sebelah Agatha, seolah takut tubuh itu ambruk karena saking pucatnya. "Nggak ah! Aku nggak apa-apa." Tolak Agatha lalu duduk di kursi."Kamu yakin? Atau jangan-jangan ...."Agatha menoleh, ia menatap Pinka dengan saksama, "Jangan-jangan apa?"Wajah Pinka masih begitu serius, ia bahkan tak berkedip menatap Agatha, membuat Agatha menimpuk lengan gadis itu agar berhenti menatapnya seperti itu. "Heh! Kenapa sih? Ada apa?" Tanya Agarha tak sabar. "Kamu nggak KB, kan, Tha? Apa jangan-jangan kamu hamil, Tha?"***'Hamil?'Agatha membawa mobil menuju apotik yang ada di sepanjang jalan menuju apartemen. Ia hendak me
"Aku mau ngomong penting sama kamu, Yang!"Agatha langsung seketika menghentikan langkah, entah mengapa ia seperti refleks begitu mendengar suara itu. Padahal Agatha baru pertama kali mendengar suara itu, itu suara siapa dan sedang bicara dengan siapa di dalam sana? "Soal apa? Ngomong aja!"Jantung Agatha rasanya seperti berhenti berdetak. Ia masih berusaha menyakinkan dan memastikan apakah benar suara itu suara Kelvin? Suaminya? Dan siapa wanita itu? Kenapa tadi dia memanggil Kelvin dengan sebutan ... "Aku hamil, Yang."DEG! Mendadak jantung Agatha berdetak dua kali lebih cepat, matanya memanas. Tubuhnya mendadak terasa ringan. Ia segera menyandarkan tubuhnya di tembok, berusaha menguatkan kaki dan mendengar kelanjutan obrolan itu. Wanita itu hamil? Hamil dengan suaminya? "Apa? Kamu serius?" Jelas! Sangat jelas itu suara Kelvin, suaminya! Jadi selama ini .... "Ya serius lah! Kamu kenapa sih kayak nggak suka gitu denger kabar aku hamil? Kamu nggak lagi coba ingkarin janji kamu,
"Loh? Non? Ini beneran Non Agatha?" Agatha tersenyum semanis mungkin, ia berusaha untuk tidak kembali menangis meskipun sekarang matanya sudah memanas dan memerah.Setelah ia nekat pergi ke bandara dan mencari tiket dadakan dari pesawat manapun yang bisa membawa Agatha ke Jakarta, kini ia sudah berdiri di rumah besar yang sudah sembilan belas tahun dia tempati. Meskipun pesawat sempat delay beberapa jam, kini ia kembali dengan koper dan segala rasa sakit yang menganga dan berdarah-darah di hatinya. "Astaga, Non? Kok dadakan? Non sendiri? Mana suaminya?" Cecar pak Sugi lalu membuka gerbang. "Nanti aja tanyanya, Pak. Mama ada, kan?" Tanya Agatha begitu ia masuk ke dalam halaman rumah. Ditanya begitu, wajah lelaki itu nampak pucat pasi. Pak Sugi tidak langsung menjawab, membuat alis Agatha berkerut dan menatap lelaki itu dengan saksama. "Pak?" Panggil Agatha ketika pak Sugi hanya diam. "Eh ... Anu, Ibu masih di rumah sakit, Non." Jawabnya sambil tersenyum kikuk. Alis Agatha kembal
"Ka-mu pulang, Sayang? Mana Kelvin?"Agatha segera berlari memeluk tubuh itu, tangisnya makin keras. Ia meraung-raung dalam pelukan Handira. Jadi ini yang membuat mamanya tiba-tiba menutup kepala dengan hijab? Karena sekarang tak satupun rambut yang dulu dia cat coklat itu tersisa di kulit kepalanya? Bukan hanya tangis Agatha yang pecah, tangis Handira pun pecah. Mereka saling peluk dengan isak tangis yang menyayat hati. "Mama kenapa tega banget sama Thata, Ma? Kenapa mama nggak pernah cerita? Kenapa mama nggak bilang kalo kondisi mama sampai kayak gini? Kenapa aku harus tahu dari orang lain? Kenapa, Ma? Mama udah nggak sayang sama aku, iya?" Racau Agatha disela-sela isak tangisnya. Handira tidak menjawab, tangisnya makin keras, ia menjatuhkan ciuman berkali-kali di puncak kepala Agatha yang ada dalam pelukannya. Ia terus melakukan itu sampai kemudian ia melepaskan Agatha dari pelukannya. "Maafin mama, Tha. Mama cuma nggak mau kamu sedih." Desisnya lirih. "MAMA NGGAK MAU AKU SEDIH
Lima tahun kemudian .... "Ziel, ayolah Sayang, kita harus berangkat sekarang!" Namira berteriak, ia memulas lisptick dengan terburu lalu meraih tas dan kunci mobil yang tergeletak di atas meja. Dengan tergesa-gesa ia melangkah keluar kamar, hendak berbelok ke kamar Ziel ketika bocah itu sudah lebih dulu muncul dengan seragam biru-putih dan dasi kupu-kupu. "Siap hari pertama sekolah?" Tanya Namira dengan bersemangat. "Siap dong, Ma! Berangkat sekarang, kan?" Senyum Ziel merekah, senyum yang merupakan warisan dari Dimas ada di wajah itu. Namira mengangguk pelan, ia meraih tangan Ziel dan melangkah bersama keluar dari rumah. Nampak wajah mereka berbinar cerah. Hari ini hari pertama Nazriel Dewangga Putra bersekolah. Tentu bocah lima tahun itu sangat excited sekali, terlebih sang mama sampai menukar shift jaga hanya demi mengantar dan menunggui Ziel di hari pertamanya sekolah. "Nanti pulangnya makan steak ya, Ma?" Ocehnya sambil naik ke atas mobil. "Boleh, yang deket tempat kerja p
Namira melangkah keluar kamar, ia hendak ke kamar mandi ketika lamat-lamat bayangan tubuh itu mencuri atensinya. Langkah Namira terhenti, ia menoleh dan mendapati di teras rumah, Dimas, lelaki yang kini berstatus suaminya itu, tengah menjemur cucian di sana. Alis Namira berkerut, bukankah Dimas baru pulang jaga? Namira pikir dia tengah membersihkan diri dan makan di meja makan, rupanya ... Namira melangkah mendekat, ia baru saja hendak memanggil Dimas ketika suaminya itu lantas menoleh lebih dulu. "Loh, kamu bangun? Ziel bobok?" Tanya Dimas sambil tetap melanjutkan pekerjaannya. "Mau pipis tadi. Aku pikir kamu mandi apa makan gitu. Kenapa malah jadi nyuci?" Tanya Namira lalu membungkuk dan hendak membantu sang suami menjemuri pakaian-pakaian bayi itu. "Et!" Dimas mencekal tangan Namira. "Tadi mau pipis, kan? Sana pipis dulu! Nggak bagus nahan pipis."Namira tersenyum, ia urung membantu suaminya dan segera melangkah masuk kedalam rumah setelah mencubit gemas perut Dimas. Ia berge
"Kenapa ini?"Handira meletakkan pulpen di meja, ia segera menjawab panggilan yang Dimas layangkan padanya. "Kenapa, Dim? Ada masalah?"Handira hendak kembali serius dengan jurnal yang tengah dia baca ketika kemudian Dimas bersuara dengan nada yang cukup serius. "Saya berubah pikiran, Dok."DEG!Jantung Handira seperti hendak meloncat dari tempatnya. Ketakutan itu mendadak menyergap hati Handira dengan begitu kuat. Ada apa ini? Kenapa Dimas tiba-tiba berubah pikiran? "Berubah pikiran yang bagaimana?" Tanya Handira dengan nada panik. Jangan bilang kalau .... "Saya berubah pikiran, Dok. Saya mau izin sama Dokter bahwa saya mengundurkan diri dari misi ini. Kalaupun nanti menantu Dokter dan Namira berpisah, itu bukan karena saya membantu Dokter, tetapi karena saya benar ingin serius dengannya dan menarik dia dari belengu yang dibuat oleh menantu Dokter sendiri."Hening! Handira mengerjapkan matanya, ia tidak salah dengar, kan? Apa yang tadi Dimas katakan? Dia bilang bahwa .... "Ka-k
Handira tertegun, ia meletakkan ponsel di atas meja. Matanya memerah. Ingin dia meledakkan tantis saat ini juga. Namun tidak di tempat ini. Info yang masuk ke dalam ponsel dan emailnya adalah valid! Semua data dan infromasi yang dia terima juga bukan dari orang sembarangan. Handira harus segera bergerak, sebelum semuanya hancur berantakan! "Ya ampun, Gusti!" Handira mendesis perlahan. Segala macam rasa sedih, marah dan kecewa menyeruak dalam hatinya. Belum lagi perasaan bersalah itu ... Semua bergumul menjadi satu dan menghajar Handira dengan begitu luar biasa. Tidak! Ini bukan tentang penyakit mematikan yang dia derita! Tetapi ini tentang Agatha. Putri semata wayang yang begitu dia cintai. Bayangan senyum manis dan gelak tawa wajah itu terbayang di dalam pikiran Handira, hanya beberapa detik karena kemudian bayangan itu digantikan oleh bayangan wajah berurai air mata dengan tangis yang menyayat hati Handira. Handira menarik selembar tisu, ia menyeka air mata yang tak kuasa ia b
"Welcome home, Adel!"Kelvin membuka pintu kamar mereka lebar-lebar, mempersilahkan Agatha yang tengah menggedong Adel masuk terlebih dahulu ke dalam. Koper yang dibawa Handira sudah berpindah ke dalam ruang laundry, kini ia menyusul Agatha dan cucunya masuk ke dalam kamar. "Bobo sini, ya?" Dengan perlahan Agatha menurunkan Adel dari gendongan, membaringkan bayi menggemaskan itu ke dalam boknya. Sebuah bok yang Kelvin beli dan rakit sendiri beberapa minggu yang lalu. Saksi bahwa Kelvin sangat antusias sekali menyiapkan segala macam keperluan untuk menyambut gadis kecilnya yang cantik dan menggemaskan. "Lepas aja itu bedongnya, gerah siang-siang begini dibedong." Handira menatap Adel dari sisi kiri, nampak rona bahagia itu abadi di wajahnya. "Iya-iya, Ma. Ini Thata lepas." Agatha segera menuruti perintah mamanya, dengan lembut dan perlahan bedong itu dia lepas. Handira tersenyum, ia menarik kain bedong itu dan membawanya dipundak. Matanya belum mau lepas menatap wajah cantik dan
"Aduh-aduh si Gemoy!"Ruang inap Agatha jadi riuh. Sore hari, Dewi dan Ahmad benar-benar datang. Bahkan papa mertuanya itu masih sangat rapi karena pulang mengisi simposium langsung terbang demi melihat cucunya. "Adel, Ma. Namanya Adel!" Desis Kelvin merevisi, Kelvin sendiri sudah dengan setelan scrub, ia izin sebentar pada chief residennya untuk menemui Ahmad dan Dewi yang baru datang. "Biarin ih! Panggilan kesayangan kok." Balas Dewi tak mengindahkan. Kelvin mencebik, ia malah jadi macam kambing congek. Tidak ada yang peduli padanya. Semua perhatian tertuju pada Adel! Dia bintangnya sekarang. "Gimana, Tha? Ada keluhan?" Ahmad duduk di kursi yang ada di sebelah bed Agatha, Agatha sendiri duduk di tepi ranjang, tengah memperhatikan bagaimana para nenek itu sedang heboh menggendong cucunya. "Biasalah, Pa. Bekas jahitannya ini." Jawab Agatha sambil tersenyum getir, meskipun tidak sesakit kontraksi atau pas melahirkan, namun tetap saja rasa perih itu sangat menganggu dan membuatnya
"Kenapa?"Agatha menatap heran Kelvin yang duduk sambil terus tersenyum ke arahnya. Ia tengah menyusui Adel saat ini, membuat Agatha malah berpikiran yang tidak-tidak pada suaminya itu. "Mas, kenapa sih?" Kembali Agatha bertanya, setelah pertanyaannya tadi diabaikan oleh Kelvin. Ia masih duduk dengan senyum lebar di sisi Agatha. Kelvin tidak langsung menjawab, ia malah meraih tangan Agatha, meremas tangan itu dengan lembut lalu menciuminya berkali-kali. Setelah puas Kelvin kembali mengangkat wajahnya, kini ia menatap Agatha dengan mata memerah. "Kamu kenapa?" Sekali lagi Agatha bertanya, ia benar-benar heran, kenapa dengan suaminya ini? "Aku bahagia banget hari ini, Yang. Sumpah ini hari paling membahagiakan dalam seumur hidup aku!" Ucapnya kemudian dengan air mata menitik. Agatha tertegun sejenak, ia menatap Kelvin dengan saksama. Bulir-bulir air mata itu terlihat menetes dari pelupuk mata Kelvin, Agatha belum sempat bersuara, Kelvin kemudian lebih dulu menyambung kalimatnya. "
"I-ini ....." Agatha tercekat ketika bayi berselimut biru itu diletakkan Handira di dadanya. Air matanya menitik. Tangis Agatha pecah. Semua lelah dan rasa sakitnya mendadak sirna tak berbekas. Dengan tangan bergetar, Agatha perlahan-lahan menyentuh tangan kecil yang sudah memakai gelang identitas itu. Sangat lembut dan rapuh! Agatha meraung, ini benar anaknya? Yang selama ini hidup dan tumbuh dalam rahimnya? Agatha terisak, matanya terpejam sambil memeluk makhluk kecil dan lemah yang berada di atas dadanya. Ia terkejut ketika ada isak tangis lain dan kecupan yang bertubi-tubi mendarat di dahi dan pipinya. "Makasih banyak, Sayang!" Bisik Kelvin di sela-sela tangisnya. Agatha tidak merespon, ia tengah sibuk mengekspresikan perasaannya lewat isak tangisnya sendiri. Jadi begini rasanya menjadi seorang ibu? Sebahagia ini? Agatha mengelus lembut kepala kecil itu sampai kemudian Handira mendekat dan ikut mengelus tubuh kecil itu perlahan-lahan. "Yuk buka dulu bajunya, Tha. Si cantik
"Udah lima, Dok!"Kelvin menghela napas panjang. Mereka sudah sampai VK saat ini, Agatha sudah berbaring di atas bed dengan wajah pucat pasi. "Yaudah ditunggu dulu. Aman kok, nggak ada penyulit, hasil tes lab terakhir bagus semua. Yuk bisa yuk pervaginam." Dokter Nico yang seharusnya masih tidur di kamar bersama istrinya pun sudah stand by meskipun dengan wajah setengah mengantuk. "Mohon bantuannya ya, Dok!" Mohon Handira yang sama pucatnya dengan Agatha. "Oo, jangan khawatir, Dok. Sudah jadi tugas saya itu." Dokter Nico tersenyum, mengangguk pelan lalu menoleh ke arah Kelvin. "Vin saya ke ruang jaga dulu. Nanti langsung telpon aja ya ke saya, atau lewat perawat jaga juga boleh deh."Kelvin hanya mengangguk patuh. Ia sama sekali tidak menyingkir barang sedikitpun dari sisi Agatha. Begitu dokter Nico melangkah keluar, Kelvin menjatuhkan kecupan di puncak kepala istrinya cukup lama. Tangan Kelvin masih menggenggam dan meremas-remas lembut tangan Agatha sejak tadi. "Semangat, ya? A