".... Sedangkan dengan sampel milik dokter Kelvin Hardyanto, kecocokan DNA-nya nol persen." Rasanya Kelvin ingin berteriak sekencang-kencangnya! Akhirnya semua kebenaran terungkap! Janin itu bukan anaknya, setidaknya Kelvin bisa satu langkah lebih aman. Mata Kelvin memanas, ia kembali teringat Agatha, janin itulah yang membuat Kelvin terancam kehilangan Agatha, meskipun semua ini berawal dari kesalahan Kelvin juga. "Terimakasih ya Allah!" Kelvin menoleh, nampak Dimas refleks langsung merengkuh dan merangkul Namira yang nampak sangat syok dengan hasil tes yang baru saja dibacakan oleh dokter Keela.Bisa Kelvin lihat wajah Dimas begitu bahagia, lelaki itu juga nampak menitikkan air mata, sementara Namira, ia mematungbdengan mata memerah. "Sudah jelas semua, ya?" Kelvin mengangguk cepat, ia segera mengulurkan tangan sebagai ucapan terimakasih kepada dokter yang membantunya memperjelas siapa ayah dari janin yang berada dalam rahim Namira. "Sama-sama, sudah jadi tugas saya." Dokter Ke
"Udah pulang, Vin?"Kelvin tersenyum, ia segera menghampiri Handira dan mencium punggung telapak tangan mama mertuanya itu dengan penuh hormat, Kelvin nampak mengedarkan pandangan, sepi. Ah dia lupa kalau istrinya ini pasti sudah berada di kampus. "Thata bawa mobil sendiri, Ma?" Kelvin bahkan lupa membalas pertanyaan basa-basi yang tadi dilontarkan Handira padanya. "Iya, Vin. Tadi mau mama anter karena bagaimanapun kalau cuma nyetir mama masih kuat, cuma dianya nggak mau."Kelvin mengangguk, ia kembali menatap Handira yang tengah membaca koran di sofa depan TV. "Biar Kelvin yang susul, Ma. Mama jangan khawatir." Desis Kelvin yang ingat di mana istrinya itu menyimpan duplikat kunci mobil hadiah dari Handira. "Iya sana susulin, Vin. Mama jujur agak khawatir."Kelvin mengangguk, ia segera melangkah ke dalam kamar, membuka lemari lalu meraih kunci duplikat yang ditaruh Agatha dalam sebuah kotak. Setelah mendapatkan kunci, Kelvin kembali melangkah keluar, berpamitan pada Handira yang n
"Mau apa ke sini?" Tanya Agatha ketus ketika ia sudah sampai di dekat mobil. Kelvin menoleh, senyumnya merekah sempurna. Kelvin segera melangkah mendekati Agatha, sementara Agatha, semakin Kelvin mendekatinya, sorot matanya makin menjadi tajam. "Aku jemput istriku pulang kuliah, Sayang. Yuk pulang! Sini, biar aku yang nyetir!" Kelvin meraih tangan Agatha, membawanya menuju ke sisi lain mobil dan membuka pintunya untuk Agatha. "Ka-kamu?" Agatha nampak terkejut, Kelvin terkekeh, membantu istrinya masuk ke dalam lalu memakaikan sekalian sabuk pengamannya. "Maaf kalau nggak izin kamu dulu, Sayang. Aku ambil duplikatnya tadi. Mama khawatir terus sama kamu." Gumam Kelvin menjelaskan. "Oh jemput aku karena disuruh sama mama ternyata?" Tanya Agatha dengan nada ketus. Kelvin yang hendak menutup pintu mobil kontan membelalak, tawanya seketika pecah. Kelvin mengulurkan tangan, mencubit gemas pipi Agatha yang seketika dibalas pukulan oleh Agatha. "Nggak lah! Aku emang udah niat mau jemput
"Kira-kira mama dibelikan apa, Yang?" Tanya Kelvin ketika mereka sudah kembali masuk ke dalam mobil. Agatha melirik sekilas, ia menghela napas panjang sambil memangku sebucket bunga tulip pemberian suaminya. "Perlu aku ingatkan, mama tidak lagi konsumsi makanan gluten, makanan dengan kandungan gula, garam dan pengawet, stop konsumsi daging merah dan tidak makan makanan instan." Jelas Agatha yang sepertinya sia-sia sebenarnya. Kelvin mahasiswa pendidikan spesialis, meskipun spesialis yang dia ambil adalah kesehatan anak, tapi secara garis besar Kelvin tentu lebih paham dari Agatha yang baru mahasiswi pre klinik. "I see, Sayang. Oh aku tahu!" Desis Kelvin kemudian. Agatha mengerutkan kening, ia menoleh sekilas dan menatap wajah itu dari tempatnya duduk. Ada secercah perasaan rindu dalam hatinya, mengingat ia pernah menghabiskan momen-momen manis bersama lelaki ini. Momen indah yang berujung dengan luapan gairah yang memabukkan itu sekarang sudah tinggal kenangan. Meskipun belum per
"Hah? Ke Thailand, Ma?"Agatha memekik, ia menjatuhkan sendok ke piring dengan reflek spontan. Matanya tak lepas dari Handira yang malam ini makan berdua bersama Agatha. Handira mengangguk pelan, ia segera meraih gelas berisi air putih dan meneguknya perlahan. Setelah memastikan mulutnya kosong, Handira kembali menjelaskan niat dan tujuannya pergi ke negara Gajah Putih itu. "Ikhtiar nggak ada salahnya, kan? Nanti mama mertua kamu ikut sama mama. Kita bakalan berdua perginya. Jangan khawatir.""Bentar!" Kini gantian Agatha yang meneguk air putih, "Mama yakin? Ada kontradiksi sama pengobatan medis yang mama lakukan nggak? Terus manfaatnya, apakah bisa membantu mama menekan atau bahkan membunuh sel-sel itu dalam waktu sebelas hari? Atau--.""Tha ... Pelan-pelan, Sayang!" Potong Handira lembut. "Jadi begini, mereka itu sebenarnya tidak bisa dikatakan pengobatan. Kalau untuk berobat, mereka tidak bisa jamin karena tiap kasus penyakit kan sendiri-sendiri, Tha. Dan ini semi spiritual juga.
"Mama yakin terbang sendiri?" Agatha mengenggam tangan Handira ketika ia dan Kelvin mengantarkan Handira pergi ke bandara. "Siapa bilang mama sendiri? Dewi udah nungguin di Jakarta, nanti kami terbang sama-sama, Sayang." Handira melepaskan tangan Agatha, mengelus lembut pipi anak semata wayangnya itu dengan mata berkaca-kaca. "Ini mustahil di ilmu yang kita dalami, Ma. Tapi aku harap mama bisa benar-benar sembuh dengan cara ini." Desis Agatha menahan tangis. "Tidak mustahil juga sebenarnya. Kamu tahu apa makanan paling disukai sel kanker? Di sana semua di stop, benar-benar stop. Kamu tahu apa yang terjadi kalau sel kanker itu kelaparan, Tha?""Jika mereka kelaparan, beberapa akan memakan sesamanya sendiri dan lama-lama mereka lenyap dari tubuh." Sambung Kelvin yang sontak membuat Handira dan Agatha kompak menoleh. "Nah itu teori simpelnya, untuk lebih lanjut nanti mau mama Dewi teliti, Tha. Kita bisa bahas sama-sama nanti sekeluarga kalau mama pulang, sambil kita bandingkan nantin
"Jangan turun dulu! Tunggu, ya?" Pesan kelvin sebelum turun dari mobil. Agatha hanya mengangguk pelan. Ia membiarkan Kelvin turun dari mobil dan menuruti kata suaminya itu untuk diam-diam saja di dalam mobil. Tak butuh waktu lama, pintu mobil dibuka. Kelvin datang dengan dua orang perawat plus brankar yang mereka dorong. Kelvin segera melepas seat belt Agatha, lalu mengangkat perlahan tubuh Agatha dan membaringkan tubuh itu ke atas brankar. "Biasanya kontrol sama siapa, Dok?" Tanya satu perawat sambil mendorong bed itu masuk IGD."Sama dokter Nico, Mbak Na. Tolong hubungi beliau dong. Nggak lagi cuti, kan?" Tanya Kelvin masih dengan mode panik. "Nggak, Dok. Biar aku hubungin dulu. Istrinya biar dianamnesa Retno dulu, ya?"Agatha hanya memejamkan mata, tidak heran kalau perawat IGD itu begitu akrab dengan Kelvin, ini rumah sakit tempat dia menjalani pendidikan spesialis. Rumah sakit ke dua tempat dokter Nico praktek selain klinik yang biasa Agatha kunjungi untuk kontrol rutin. Aga
"Ah, kenapa lama banget?"Agatha berbaring di atas bednya dengan wajah gelisah. Kelvin sudah pergi sejak tadi dan belum kembali sampai sekarang, membuat Agatha sedikit resah dan berharap lelaki itu lekas kembali. "Apa gini rasanya ketika nanti aku nggak punya siapa-siapa lagi?" Sulit bagi Agatha untuk tetap tenang, pikirannya terlanjur kemana-mana. Mungkin Handira masih ada di Jakarta sekarang, namun ia sudah membayangkan seolah-olah dia harus kehilangan sosok itu untuk selamanya. Dia akan seorang diri, hanya bersama janin dalam rahimnya. Bayangan seram yang entah mengapa sirna begitu saja ketika Kelvin ada di sisinya. Segala macam kemarahan dan kebencian Agatha lenyap. Digantikan sebuah perasaan hangat, nyaman dan terasa dilindungi ketika Kelvin berada di sisi Agatha. Apakah ini artinya ..."Lama nunggunya, ya?"Agatha tersentak, entah sejak kapan, Kelvin mendadak sudah berdiri di dekat bed dengan koper pink milik Agatha, benda yang langsung membuat Agatha membelalak seketika. "O
Lima tahun kemudian .... "Ziel, ayolah Sayang, kita harus berangkat sekarang!" Namira berteriak, ia memulas lisptick dengan terburu lalu meraih tas dan kunci mobil yang tergeletak di atas meja. Dengan tergesa-gesa ia melangkah keluar kamar, hendak berbelok ke kamar Ziel ketika bocah itu sudah lebih dulu muncul dengan seragam biru-putih dan dasi kupu-kupu. "Siap hari pertama sekolah?" Tanya Namira dengan bersemangat. "Siap dong, Ma! Berangkat sekarang, kan?" Senyum Ziel merekah, senyum yang merupakan warisan dari Dimas ada di wajah itu. Namira mengangguk pelan, ia meraih tangan Ziel dan melangkah bersama keluar dari rumah. Nampak wajah mereka berbinar cerah. Hari ini hari pertama Nazriel Dewangga Putra bersekolah. Tentu bocah lima tahun itu sangat excited sekali, terlebih sang mama sampai menukar shift jaga hanya demi mengantar dan menunggui Ziel di hari pertamanya sekolah. "Nanti pulangnya makan steak ya, Ma?" Ocehnya sambil naik ke atas mobil. "Boleh, yang deket tempat kerja p
Namira melangkah keluar kamar, ia hendak ke kamar mandi ketika lamat-lamat bayangan tubuh itu mencuri atensinya. Langkah Namira terhenti, ia menoleh dan mendapati di teras rumah, Dimas, lelaki yang kini berstatus suaminya itu, tengah menjemur cucian di sana. Alis Namira berkerut, bukankah Dimas baru pulang jaga? Namira pikir dia tengah membersihkan diri dan makan di meja makan, rupanya ... Namira melangkah mendekat, ia baru saja hendak memanggil Dimas ketika suaminya itu lantas menoleh lebih dulu. "Loh, kamu bangun? Ziel bobok?" Tanya Dimas sambil tetap melanjutkan pekerjaannya. "Mau pipis tadi. Aku pikir kamu mandi apa makan gitu. Kenapa malah jadi nyuci?" Tanya Namira lalu membungkuk dan hendak membantu sang suami menjemuri pakaian-pakaian bayi itu. "Et!" Dimas mencekal tangan Namira. "Tadi mau pipis, kan? Sana pipis dulu! Nggak bagus nahan pipis."Namira tersenyum, ia urung membantu suaminya dan segera melangkah masuk kedalam rumah setelah mencubit gemas perut Dimas. Ia berge
"Kenapa ini?"Handira meletakkan pulpen di meja, ia segera menjawab panggilan yang Dimas layangkan padanya. "Kenapa, Dim? Ada masalah?"Handira hendak kembali serius dengan jurnal yang tengah dia baca ketika kemudian Dimas bersuara dengan nada yang cukup serius. "Saya berubah pikiran, Dok."DEG!Jantung Handira seperti hendak meloncat dari tempatnya. Ketakutan itu mendadak menyergap hati Handira dengan begitu kuat. Ada apa ini? Kenapa Dimas tiba-tiba berubah pikiran? "Berubah pikiran yang bagaimana?" Tanya Handira dengan nada panik. Jangan bilang kalau .... "Saya berubah pikiran, Dok. Saya mau izin sama Dokter bahwa saya mengundurkan diri dari misi ini. Kalaupun nanti menantu Dokter dan Namira berpisah, itu bukan karena saya membantu Dokter, tetapi karena saya benar ingin serius dengannya dan menarik dia dari belengu yang dibuat oleh menantu Dokter sendiri."Hening! Handira mengerjapkan matanya, ia tidak salah dengar, kan? Apa yang tadi Dimas katakan? Dia bilang bahwa .... "Ka-k
Handira tertegun, ia meletakkan ponsel di atas meja. Matanya memerah. Ingin dia meledakkan tantis saat ini juga. Namun tidak di tempat ini. Info yang masuk ke dalam ponsel dan emailnya adalah valid! Semua data dan infromasi yang dia terima juga bukan dari orang sembarangan. Handira harus segera bergerak, sebelum semuanya hancur berantakan! "Ya ampun, Gusti!" Handira mendesis perlahan. Segala macam rasa sedih, marah dan kecewa menyeruak dalam hatinya. Belum lagi perasaan bersalah itu ... Semua bergumul menjadi satu dan menghajar Handira dengan begitu luar biasa. Tidak! Ini bukan tentang penyakit mematikan yang dia derita! Tetapi ini tentang Agatha. Putri semata wayang yang begitu dia cintai. Bayangan senyum manis dan gelak tawa wajah itu terbayang di dalam pikiran Handira, hanya beberapa detik karena kemudian bayangan itu digantikan oleh bayangan wajah berurai air mata dengan tangis yang menyayat hati Handira. Handira menarik selembar tisu, ia menyeka air mata yang tak kuasa ia b
"Welcome home, Adel!"Kelvin membuka pintu kamar mereka lebar-lebar, mempersilahkan Agatha yang tengah menggedong Adel masuk terlebih dahulu ke dalam. Koper yang dibawa Handira sudah berpindah ke dalam ruang laundry, kini ia menyusul Agatha dan cucunya masuk ke dalam kamar. "Bobo sini, ya?" Dengan perlahan Agatha menurunkan Adel dari gendongan, membaringkan bayi menggemaskan itu ke dalam boknya. Sebuah bok yang Kelvin beli dan rakit sendiri beberapa minggu yang lalu. Saksi bahwa Kelvin sangat antusias sekali menyiapkan segala macam keperluan untuk menyambut gadis kecilnya yang cantik dan menggemaskan. "Lepas aja itu bedongnya, gerah siang-siang begini dibedong." Handira menatap Adel dari sisi kiri, nampak rona bahagia itu abadi di wajahnya. "Iya-iya, Ma. Ini Thata lepas." Agatha segera menuruti perintah mamanya, dengan lembut dan perlahan bedong itu dia lepas. Handira tersenyum, ia menarik kain bedong itu dan membawanya dipundak. Matanya belum mau lepas menatap wajah cantik dan
"Aduh-aduh si Gemoy!"Ruang inap Agatha jadi riuh. Sore hari, Dewi dan Ahmad benar-benar datang. Bahkan papa mertuanya itu masih sangat rapi karena pulang mengisi simposium langsung terbang demi melihat cucunya. "Adel, Ma. Namanya Adel!" Desis Kelvin merevisi, Kelvin sendiri sudah dengan setelan scrub, ia izin sebentar pada chief residennya untuk menemui Ahmad dan Dewi yang baru datang. "Biarin ih! Panggilan kesayangan kok." Balas Dewi tak mengindahkan. Kelvin mencebik, ia malah jadi macam kambing congek. Tidak ada yang peduli padanya. Semua perhatian tertuju pada Adel! Dia bintangnya sekarang. "Gimana, Tha? Ada keluhan?" Ahmad duduk di kursi yang ada di sebelah bed Agatha, Agatha sendiri duduk di tepi ranjang, tengah memperhatikan bagaimana para nenek itu sedang heboh menggendong cucunya. "Biasalah, Pa. Bekas jahitannya ini." Jawab Agatha sambil tersenyum getir, meskipun tidak sesakit kontraksi atau pas melahirkan, namun tetap saja rasa perih itu sangat menganggu dan membuatnya
"Kenapa?"Agatha menatap heran Kelvin yang duduk sambil terus tersenyum ke arahnya. Ia tengah menyusui Adel saat ini, membuat Agatha malah berpikiran yang tidak-tidak pada suaminya itu. "Mas, kenapa sih?" Kembali Agatha bertanya, setelah pertanyaannya tadi diabaikan oleh Kelvin. Ia masih duduk dengan senyum lebar di sisi Agatha. Kelvin tidak langsung menjawab, ia malah meraih tangan Agatha, meremas tangan itu dengan lembut lalu menciuminya berkali-kali. Setelah puas Kelvin kembali mengangkat wajahnya, kini ia menatap Agatha dengan mata memerah. "Kamu kenapa?" Sekali lagi Agatha bertanya, ia benar-benar heran, kenapa dengan suaminya ini? "Aku bahagia banget hari ini, Yang. Sumpah ini hari paling membahagiakan dalam seumur hidup aku!" Ucapnya kemudian dengan air mata menitik. Agatha tertegun sejenak, ia menatap Kelvin dengan saksama. Bulir-bulir air mata itu terlihat menetes dari pelupuk mata Kelvin, Agatha belum sempat bersuara, Kelvin kemudian lebih dulu menyambung kalimatnya. "
"I-ini ....." Agatha tercekat ketika bayi berselimut biru itu diletakkan Handira di dadanya. Air matanya menitik. Tangis Agatha pecah. Semua lelah dan rasa sakitnya mendadak sirna tak berbekas. Dengan tangan bergetar, Agatha perlahan-lahan menyentuh tangan kecil yang sudah memakai gelang identitas itu. Sangat lembut dan rapuh! Agatha meraung, ini benar anaknya? Yang selama ini hidup dan tumbuh dalam rahimnya? Agatha terisak, matanya terpejam sambil memeluk makhluk kecil dan lemah yang berada di atas dadanya. Ia terkejut ketika ada isak tangis lain dan kecupan yang bertubi-tubi mendarat di dahi dan pipinya. "Makasih banyak, Sayang!" Bisik Kelvin di sela-sela tangisnya. Agatha tidak merespon, ia tengah sibuk mengekspresikan perasaannya lewat isak tangisnya sendiri. Jadi begini rasanya menjadi seorang ibu? Sebahagia ini? Agatha mengelus lembut kepala kecil itu sampai kemudian Handira mendekat dan ikut mengelus tubuh kecil itu perlahan-lahan. "Yuk buka dulu bajunya, Tha. Si cantik
"Udah lima, Dok!"Kelvin menghela napas panjang. Mereka sudah sampai VK saat ini, Agatha sudah berbaring di atas bed dengan wajah pucat pasi. "Yaudah ditunggu dulu. Aman kok, nggak ada penyulit, hasil tes lab terakhir bagus semua. Yuk bisa yuk pervaginam." Dokter Nico yang seharusnya masih tidur di kamar bersama istrinya pun sudah stand by meskipun dengan wajah setengah mengantuk. "Mohon bantuannya ya, Dok!" Mohon Handira yang sama pucatnya dengan Agatha. "Oo, jangan khawatir, Dok. Sudah jadi tugas saya itu." Dokter Nico tersenyum, mengangguk pelan lalu menoleh ke arah Kelvin. "Vin saya ke ruang jaga dulu. Nanti langsung telpon aja ya ke saya, atau lewat perawat jaga juga boleh deh."Kelvin hanya mengangguk patuh. Ia sama sekali tidak menyingkir barang sedikitpun dari sisi Agatha. Begitu dokter Nico melangkah keluar, Kelvin menjatuhkan kecupan di puncak kepala istrinya cukup lama. Tangan Kelvin masih menggenggam dan meremas-remas lembut tangan Agatha sejak tadi. "Semangat, ya? A