Lembayung menggantung di langit ketika Layla keluar dari toko buku. Puncak-puncak pepohonan tampak bersinar keemasan diterpa cahaya matahari sore.Setelah berjam-jam memilih di semua rak, Layla akhirnya membeli tiga buku. Ia harus memiliki beberapa bacaan untuk mengalihkan pikirannya.Ia merasa sangat bingung sekarang.Masalah perasaannya dengan Arsen, kemudian masalah Olivia dan selingkuhannya. Bagaimana ia membuktikannya? Arsen sepertinya tidak pernah meragukan kesetiaan Olivia, mengingat mereka telah bersama selama bertahun-tahun.Layla duduk di salah satu bangku jalan dan menghela napas. Hatinya dipenuhi perasaan gundah. Ia memang ingin menjauhi Arsen, tetapi setiap kali memperhatikan wajah suaminya, ia jadi tidak tega.Tetapi sakit hatinya...Apakah ia hanya mencoba menyiksa dirinya sendiri?Layla termenung saat menunggu taksi yang tak kunjung datang, lalu tiba-tiba sebuah tepukan terasa di pundaknya. Layla berjengit dan spontan menoleh. Wajah sumringah Randy seketika memenuhi pa
Arsen termenung menatap makanan yang tersaji di atas meja.Semuanya masih hangat, dan itu berarti belum lama sejak Layla membuatnya. Gadis itu sudah tidur di kamar mereka, entah benar-benar tidur atau hanya berpura-pura.Layla menghindarinya.Dia tidak mau bicara dengannya.Embusan napas berat keluar dari mulut Arsen. Ia merasa tidak berselera untuk makan sendirian, tetapi tidak mungkin ia membuang-buang makanan yang telah Layla sajikan untuknya.Arsen masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Semuanya menjadi lebih buruk sekarang. Ia bahkan tidak bisa bertanya, sebab Layla terus menghindarinya. Kalau pun mereka berada dalam satu tempat, Layla hanya akan menjawab singkat tanpa menatapnya.Arsen memijat batang hidungnya dengan frustrasi. Malam itu, ia makan sendirian dan berusaha keras menghabiskan makan malam yang telah Layla siapkan. Setelahnya, Arsen memutuskan untuk pergi ke ruang kerjanya.Arsen mengambil sebotol anggur dari dalam laci dan menatap bulan purnama yang bersinar t
"Dor!"Layla berjengit terkejut dan hampir jatuh ke belakang. Kiran dengan cepat menahan tubuhnya, lalu menampilkan cengiran bersalahnya."Maaf, aku kira Kak Layla mendengarku masuk?"Layla menggeleng dan mengusap dadanya. "Astaga, aku hampir mengalami serangan jantung.""Maaf, hehe."Layla menghela napas dan kembali duduk di tepi tempat tidur. Tidak Arsen, tidak Kiran, mereka semua selalu membuatnya terkejut. Ia sedang merapikan baju Arsen saat Kiran tiba-tiba muncul dan mengagetkannya.Kiran telah memberitahukan kedatangannya lewat telepon, tetapi Layla tidak menyangka dia akan datang sore ini juga."Apa yang Kakak lakukan? Sedang merapikan baju kak Arsen, ya?" tanya Kiran seraya mengambil tempat di depan Layla. Ia memperhatikan beberapa kaos dan kemeja yang Layla gantung."Iya," jawab Layla, dengan cekatan membereskan semuanya. "Bagian bawah agak berantakan jadi aku merapikannya.""Sungguh istri yang sangat perhatian dan baik, ya," komentar Kiran dan Layla merotasikan bola matanya.
"Aku ingin gaun, Arsen. Gaun dari desainer ternama. Bagaimana?"Olivia menatap Arsen, tetapi pria itu sama sekali tidak menatapnya. Matanya terpaku pada ponsel di tangannya.Olivia seketika cemberut. "Arsen?! Kau mendengarku, tidak?!"Sebuah sentuhan di bahu Arsen membuat pria itu menoleh. Alisnya berkerut dan ia menatap Olivia yang berdecak kesal."Ada apa?" Arsen bertanya bingung."Kau tidak mendengarku? Mulutku sudah berbusa sejak tadi!" decaknya sambil melipat kedua tangan di depan dada.Arsen menghela napas. "Maaf, aku harus mengirim berkas pada Marlon. Tidak bisakah kau menunggu sebentar saja?"Olivia hanya merotasikan bola matanya dan memalingkan wajah.Arsen sebenarnya berniat untuk menyelesaikan semuanya, tetapi Olivia bersikeras agar Arsen segera menemuinya. Arsen sempat mengira ada sesuatu yang terjadi, tetapi nyatanya Olivia baik-baik saja. Sekarang, ia harus mengirim berkasnya di apartemennya, namun Olivia masih saja tidak sabaran.Dalam beberapa minggu terakhir saat Arse
"Kak Layla harusnya sering-sering berkunjung ke sini." Kiran berkomentar ketika keduanya tiba di perusahaan Sergio Industri.Kantor siang itu sangat ramai, dilalui oleh karyawan yang berjalan cepat menuju kafetaria untuk mengisi perut mereka, mengingat jam makan siang kantor hampir berakhir.Layla menatap langit yang cerah, matahari bersinar terik hingga terasa membakar. Pemandangan ini kembali mengingatkannya pada kejadian ketika ia membawakan Arsen makan siang. Yah, ia sepertinya tidak bisa melupakan kejadian itu setiap kali ke kantor.Kali ini, Arsen tahu mengenai kabar kedatangannya bersama Kiran.Tetapi tetap saja, ia pasti akan bertemu dengan Olivia yang merupakan sekretaris Arsen."Ayo Kak, kak Arsen pasti sudah menunggu kita," panggil Kiran saat Layla hanya berdiri di depan mobil.Keduanya melangkah ke dalam dan para karyawan yang lewat membungkuk hormat. Layla membalas sapaan mereka, sementara Kiran terus menarik tangannya untuk segera pergi ke ruangan Arsen.Tanpa mengetuk te
Layla menatap langit-langit rumah sakit, sekeliling ruangan yang berwarna putih steril, lalu pandangannya jatuh pada selimut tipis yang membungkus tubuhnya. Aroma antiseptik yang kuat tercium dari sana.Layla beralih menatap infus di lipatan lengannya, lalu mencoba mengingat apa yang terjadi.Makanan itu...Ia muntah-muntah dan sesak napas. Kemudian Arsen menggendongnya dan membawanya ke mobilnya. Setelahnya, terasa samar-samar. Layla sepertinya pingsan dan di sinilah ia berada.Layla mencoba bergerak, tetapi tubuhnya terasa lemas luar biasa. Sisi kepalanya sakit, sementara dadanya masih agak sesak. Perutnya bergejolak tidak nyaman, dan keinginan untuk muntah masih terasa di tenggorokannya.Tidak salah lagi, apa yang ia alami sekarang adalah efek dari alerginya terhadap udang. Tetapi sekali lagi, bagaimana mungkin sup ayam yang Arsen pesan memiliki potongan udang?Pintu ruangan Layla mendadak terbuka, dan Arsen muncul di sana bersama seorang dokter perempuan berusia sekitar 40-an tahu
"Apa kau sudah minum obat?""Sudah." Layla menjawab sembari menatap Arsen yang melonggarkan dasinya. Dia baru saja kembali dari pertemuan dengan kolega dari luar negeri yang melibatkan perusahaan ayah Layla juga. Saat ini ayahnya belum terlibat secara langsung sampai proyeknya berjalan.Selain itu, Layla telah meminta Arsen untuk tidak memberitahu orang tuanya mengenai apa yang terjadi, semata-mata karena tidak ingin mereka cemas."Apa semuanya lancar? Kau kembali lebih awal.""Aku khawatir karena meninggalkanmu terlalu lama," ucap Arsen, melepas sepatunya dan ikut mencelupkan kakinya di air danau yang dingin. "Apa kaki dan tanganmu masih lemas?""Sedikit.""Kau harus minum obatmu lagi setelah makan siang."Layla mengangguk dan mencoba menggerakkan kakinya yang tenggelam sampai betis. Setelah kembali dari rumah sakit, kondisinya sudah membaik meskipun kaki dan tangannya masih terasa agak lemas. Kata dokter, ia hanya perlu untuk beristirahat sampai kondisinya benar-benar pulih total.L
Hari demi hari berlalu saat Layla memulihkan diri dan tak terasa ulang tahun Olivia telah berada di depan mata—tepat di hari Minggu ini.Layla tidak tahu apakah Arsen akan langsung pergi pagi ini, atau bagaimana. Dia menyibukkan diri dengan meninju samsak di halaman belakang sejak jam enam. Sekarang sudah lewat jam tujuh.Layla mengeluarkan kue dari oven dan menyeduh kopi. Akhir-akhir ini, ia mulai belajar membuat kue dengan mengikuti video arahan yang dikirim ibunya.Karena Arsen tidak terlalu suka makanan manis, jadi ia membuat adonannya sedikit hambar dan menambahkan buah-buahan segar sebagai pemanis alami. Ia tidak tahu apakah Arsen akan suka. Ini pertama kalinya Layla membuat kuenya dengan benar."Arsen?" panggil Layla di ambang pintu. Arsen menoleh dengan kening berkerut, keringat telah bercucuran di wajah dan lehernya. Layla bisa melihat ototnya yang tercetak jelas dibalik kaosnya yang lembab. Ia segera mengalihkan pandangan. "Aku sudah menyeduh kopi. Ayo sarapan sekarang?" sah
Bermain api? Sejak kapan tepatnya?Arsen termangu di tempat, mencoba memikirkan kembali segala hal yang telah Kiran katakan padanya. Bahkan perkataan Layla tentang teman laki-laki Olivia kembali terngiang. Suara-suara aneh yang terdengar saat ia menelepon Olivia... semuanya muncul dalam kepalanya. Membentuk sebuah alur yang saling berhubungan.Apa yang selama ini telah Olivia lakukan ketika tidak bersamanya?Seharusnya Arsen merasa cemburu atau kecewa, tetapi hanya ada perasaan marah yang tertinggal di dadanya. Seolah-olah ia hanya marah karena merasa Olivia telah menipunya, dan bukan karena hubungan keduanya sebagai sepasang kekasih. Arsen bertanya-tanya kenapa ia tidak merasa sedih atau pun terpukul.Rasa cinta itu telah menghilang... atau memang tidak pernah ada?Arsen menghela napas dan meraih map yang Marlon berikan. Itu adalah beberapa foto Olivia yang tengah berada di bar, keluar dari bar, dan dijemput oleh seorang pria yang memakai topi. Wajahnya tidak terlihat di bawah cahaya
“Pelan-pelan saja,” kata Layla, menuntun Arsen untuk berjalan ke kamar. Dokter telah memperbolehkannya untuk pulang, dengan syarat Arsen harus rutin meminum obatnya. Kepalanya tidak lagi berdenyut nyeri, tetapi kakinya masih terasa sakit saat dipakai berjalan. Arsen setidaknya harus berjinjit-jinjit selama tiga hari sampai kakinya bisa ditekan ke lantai. “Pelan-pelan, jangan biarkan kakimu terlipat.” Layla kembali memberi instruksi, dengan hati-hati membantu Arsen untuk duduk di tepi tempat tidur. Layla membungkuk untuk melepaskan lingkaran lengan Arsen di bahunya dan puncak hidung mereka tidak sengaja bertemu. Tatapan mata Arsen terpaku padanya, begitu intens hingga membuat perut Layla bergejolak. Ia menelan ludah dan menjauhkan diri, mendadak merasa gugup. “Apa kau ingin buah potong?” tanya Layla, mengucapkan apa pun yang ada di otaknya. “Kau seharusnya beristirahat, Layla,” ucap Arsen, nada suaranya terdengar khawatir. Tatapannya kini terpaku pada lantai. “Tidak apa-apa. A
"Arsen?! Arsen, sadarlah!"Layla mengguncang keras bahu Arsen dan terdengar erangan kesakitan. Mata Arsen perlahan terbuka, tangannya menyentuh sisi kepalanya yang sempat terbentur. Ia kembali mengerang, merasakan denyutan menyakitkan ketika mencoba bergerak."Apa kepalamu sakit? Apa kau bisa mendengarku?" Layla bertanya dengan panik, ketakutan menjalari tubuhnya. Setelah mobil menghantam pohon, Arsen sempat kehilangan kesadaran. Layla telah mencoba beberapa kali sampai akhirnya Arsen membuka mata. "Aku—aku telah menelepon ambulans. Tolong bertahanlah, Arsen."Alih-alih menjawab, Arsen yang baru menyadari situasi dengan cepat menatap Layla. Gerakan itu membuat kepalanya berdenyut sakit, pamdangannya kabur, dan erangan kesakitan kembali lolos dari bibirnya. Tetapi mengabaikan hal itu, Arsen lebih mengkhawatirkan kondisi Layla. "Apa kau baik-baik saja, Layla? Apa ada yang terluka?" Matanya memindai tubuh sang istri dari atas sampai ke bawah."Tidak, aku tidak apa-apa. Justru kau yang bu
Arsen akan pulang malam ini.Layla tersenyum sambil menentang belanjaannya di kedua tangan. Ia baru saja membeli bahan kue di toko dan berniat untuk membuat kue sebelum Arsen tiba di rumah.Katanya, dia akan tiba sekitar jam sembilan malam.Sinar matahari sore menerpa wajah Layla ketika melangkah ke beranda toko. Gerimis ringan membasahi tanah, dan sepertinya akan berubah menjadi hujan deras.Layla terdiam dan menimbang-nimbang untuk langsung memesan taksi atau singgah di toko buah di seberang jalan. Saat ia tengah berpikir, ponselnya mendadak berdering.Arsen.Layla segera mengangkatnya. "Halo, Arsen?""Layla, kau di mana?"Apakah Arsen sudah tiba di rumah? "Aku—di toko bahan kue. Apa kau sudah sampai?""Ya, aku baru saja sampai dan terkejut karena rumah kosong."Layla tercengang. Ini baru jam enam sore, ia kira Arsen akan tiba pukul sembilan nanti. "Aku tidak tahu, aku minta maaf. Aku kira kau akan tiba malam nanti?""Iya tadinya, tapi penerbangannya tidak ditunda lagi, jadi aku bis
Bulan di balik jendela bersinar terang. Tidak seperti biasanya, malam ini cerah tanpa hujan deras yang mengguyur.Memasuki puncak musim hujan, hari-hari Layla selalu ditemani oleh langit mendung, awan hitam yang menggantung, angin kencang, aroma petrikor dan tanah yang basah, juga air hujan yang mengetuk atap.Musim hujan adalah defenisi dari pernikahannya. Tetapi bukan berarti ia berharap musim panas menjadi awal pertemuannya dengan suaminya.Ia sudah menerima apa yang terjadi dan akan bersabar menghadapinya. Seperti kata ibunya, inilah takdirnya.Layla menarik guling dan berbaring miring menatap pemandangan halaman belakang. Di lantai dua kamarnya, ia membayangkan pohon angsana juga kolam yang tenang di rumahnya.Sekarang sudah hampir tengah malam. Layla bertanya-tanya, apa Arsen sudah tidur? Dia telah sampai dengan selamat bersama ayahnya dan berjanji akan menelepon.Layla menunggunya sejak makan malam, tetapi ia pikir Arsen pasti kelelahan. Ia tidak ingin mengusik pria itu, jadi La
"Terima kasih, Pak. Nanti jemput saya lagi hari Jumat sore, ya.""Baik, Nona."Layla mengangkat tas berisi beberapa pakaiannya dan menyeberangi jalan. Ditatapnya rumah orang tuanya, kemudian senyumnya mengembang.Rasanya sudah lama sejak ia terakhir kali bertemu ibunya secara langsung. Mereka sering bertukar kabar lewat telepon, tetapi sulit untuk bertemu karena jarak yang jauh. Sekarang, ia memilih untuk menemani ibunya selama Arsen dan ayahnya pergi.Layla melangkah melewati pagar ketika ibunya muncul dengan tergopoh-gopoh. "Padahal Ibu berniat menjemputmu, Sayang.""Tapi aku sudah di sini, Ibu. Apa aku harus kembali lagi ke rumah?" kata Layla bercanda dan keduanya tertawa.Melissa menarik satu-satunya anak perempuannya itu ke dalam dekapan, lalu memeluknya erat-erat. Melepaskan kerinduan setelah sekian lama tak bertemu."Bagaimana kabar, Ibu?" Layla membenamkan wajahnya di pundak ibunya."Ibu baik, Sayang. Malah sangat baik setelah ayahmu mendapat proyek dari Nak Arsen. Ibu sangat s
Arsen melangkah cepat menaiki tangga menuju apartemen Olivia. Ia masih memiliki waktu setengah jam sebelum ke bandara dan berniat menemui wanita itu sebentar. Olivia tidak menjawab pesannya dan ia khawatir ada sesuatu yang terjadi.Tetapi begitu tiba di puncak tangga, langkah Arsen sontak terhenti ketika melihat sosok asing di pintu apartemen Olivia. Pria itu memakai topi dan masker, posisinya membelakangi Arsen dan dia tampak membungkuk ke arah Olivia.Apa yang sedang dia lakukan?"Olivia?" panggil Arsen dan pria itu langsung berbalik dengan terkejut.Wajah Olivia bahkan terlihat lebih syok sebelum dia bisa mengontrol ekspresinya. Arsen sempat melihat matanya yang terbuka lebar. Kenapa Olivia begitu terkejut?Olivia mendorong Bryan untuk mundur tatkala Arsen mendekat dengan kening berkerut. Ia berusaha untuk berekspresi senormal mungkin.Sial, kenapa Arsen tiba-tiba datang tanpa pemberitahuan?"Ah, Arsen... aku kira, bukankah kau sudah harus berangkat ke bandara?""Aku ingin menemuim
Layla meletakkan air minum dan handuk saat Arsen melangkah mendekat. Keringat bercucuran di dahi, leher, dan bahu Arsen, membuat bagian atas kaos yang dipakainya basah.Melihat Arsen yang masih memakai sarung tinju, Layla mengulurkan tangannya dan membantu. Pria itu terus menatapnya dengan mata hitamnya yang dalam, sampai ia meletakkan dua sarung tinju itu di atas meja."Ke-kenapa?" tanya Layla, ingin tahu kenapa tatapan Arsen terus terpaku padanya.Arsen tersenyum tipis dan duduk di bangku. Ia tidak langsung menjawab, melainkan mengelap keringat di tubuhnya. Layla menatapnya, kemudian memalingkan wajah saat Arsen menoleh."Ini benar-benar sangat cocok untukmu. Kau terlihat cantik." Sebuah sentuhan tangan dingin terasa di kepala Layla. Ia mendongak dan Arsen tersenyum manis saat menyentuh ringan jepitan di kepala Layla."Ah itu..." Layla tersipu dan mengangguk pelan. "Kau sudah membeli banyak, jadi tidak mungkin aku hanya menyimpannya. Aku akan terus memakainya."Lagi, Arsen tidak men
Perpustakaan telah selesai hari ini.Layla yang sedang membersihkan dapur setelah sarapan bergegas keluar. Arsen menatapnya dengan senyum sumringah, ikut bahagia melihat betapa antusiasnya gadis itu."Kau terlihat begitu bersemangat." Arsen sengaja berkomentar dengan suara menggoda."Benarkah?" Layla menangkup pipinya dan tidak bisa menahan tawanya. "Padahal aku berusaha untuk terlihat biasa-biasa saja."Arsen kontan terkekeh. "Kau tidak bisa menyembunyikannya dengan senyum lebar di wajahmu itu."Layla langsung menutup mulutnya dengan tangan, tetapi tetap saja matanya yang menyipit dengan jelas memperlihatkan rasa senangnya.Arsen kembali tertawa dan tanpa basa-basi meraih tangan Layla. "Ayo kita lihat perpustakaannya. Itu adalah hadiah untukmu, jadi aku senang jika kau menyukainya.""Kau memberiku terlalu banyak hadiah Arsen," sahut Layla. "Kemarin jepitan, dan sekarang perpustakaan ini juga selesai lebih cepat.""Sudah kubilang aku ingin membahagiakanmu, Layla," kata Arsen tanpa berp