"Apa kau tau tuan Ilham di mana?" tanya Mira pada seorang lelaki yang duduk di trotoar, lebih kurang lima ratus meter dari kantor Franve. Sekarang Mira bekerja di perusahaan itu. Ia biasa melihat lelaki di trotoar. Tapi Mira tidak tahu lelaki itu kerja di bagian mana Di kantor Franve.hanya Mira pernah melihat laki-laki itu menjadi salah satu office boy di perusahaan Ilham."Aku tidak tau, apa tidak kau coba coba tanya ke butik Nyonya, Arini," balas lelaki itu. "Aku mohon, bisakah kau menolongku, bukankah kau OB di salah satu perusahaan keluarga Penang?" ucap Mira membuat lelaki itu menoleh dan menatap heran ia sebenarnya juga tahu wanita yang di depannya hanya lelaki itu tidak menyangka bahwa Mira mengenalinya."Apa sebabnya aku harus membantumu?" tanyanya balik dari nada suara lelaki itu tentu saja bila tahu tidak ia menyukainya."Aku hamil, dan ini anak Ilham." Mira sengaja menceritakan dan menjelaskan Siapa tahu lelaki itu membeberkan kepada keluarga Penang bahwa dia telah hamil a
"Sayang, siapa tau penting. Itu bunyi notif alarm cctv dari butik, lo." Arini protes akan perlakuan Ilham, yang dengan sengaja mematikan daya ponselnya."Kalau emang penting, nih si gawai senter aktif." Ilham memamerkan phone jadul miliknya. "Mereka pasti nelpon kemari, aku gak mau kita diganggu lagi bahagia gini sayang," ujarnya kemudian. "Mana mungkin urusan butik Vini nelpon kamu, Vini gak bakal klik power sambungan ke iPhone aku, kecuali darurat. Apalagi yang tau cara penghubungnya cuma Kak Asti. Pasti ada sesuatu terjadi di butik." Arini memberi keterangan, ia sedikit kawatir karena hanya saat genting CCtv disambungkan ke iphone miliknya. Pasti telah terjadi sesuatu dengan butik. "Ya sudah. Mas telpon papi, Paman Lian, atau mama. Biar mereka semua mengamankan butik kita, dan kemesraan ini tidak terganggu. Bagaimana, Sayang?" Ilham menyentil dagu Arini, mengerling nakal. Ilham tidak ingin ada ada yang mengganggu kemesraannnya dengan Arini. Ia bersusah payah mengembalikan keper
Awal mula terjadi perbuatan zina, tentu pelaku tidak secara langsung merasa. Berawal zina mata, seperti saling pandang, saling bersenda, saling tertawa, bersama lawan jenis telah membuka lebar gerbang menuju undangan para setan. Sejatinya tidak ada manusia yang ingin berzina. Untuk menghindari zina, menjaga pandangan solusi pertama, kemudian tidak berlebihan berteman dengan lawan jenis yang bukan mahrom. Sholat dengan khusuk salah satu gembok mengendalikan diri dari perbuatan terlarang. Terkadang, zina datang setelah saling pandang. Berawal saling melempar senyuman. Setelah berbincang, langkah pertama menjejaki perasaan, saling ketergantungan merasa nyaman. Merasa terbiasa dengan saling menyentuh, saling merangkul, berpelukan seolah hal yang dilumrahkan, dan tidak perlu dipermasalahkan. Padahal, perbuatan itu langkah segera terjadinya zina, biasanya perbuatan terkutuk itu selalu berawal dari mengobrol antar lawan jenis yang bukan mahrom pada waktu senggang. Setelah nyaman berb
"Keren ya, Mas. Kamu bisa bawa aku ke tempat-tempat begini. Ke pantai, ke hutan, ke kebun, bahkan ke tempat banyak kenangan tentang kita." "Karena Mas ingin kamu selalu mengenang cinta kita, dan tidak akan meragukan Mas lagi." Ilham membelai kepala Arini. Tujuannya datang ke tempat itu memang untuk mengingatkan hari hari di mana dulu mereka pernah saling memadu kasih, di saat remaja sampai di dewasa tersemat pada mereka."Tidak meragukan? Ya, tentu tidak meragukan, jika Mas, juga tidak membuat hal-hal atau sesuatu yang menimbulkan keraguan," ucap Arini diplomatis. "Kamu itu, masih kayak kita kuliah dulu. Cerdas bermain kata." Ilham tertawa kecil. "Kalau lagi mood. Kalau lagi sebel otaknya ikutan, mampet." "Tinggal asah, alirkan, jangan sampai mampet." Ilham tertawa mendengar jawaban Arini. Arini tersenyum membalas tawa. Dari dulu ia memang tidak pernah meragukan cinta Ilham. Tapi, hidup tidak sekadar menelan cinta. Banyak hal yang terjadi dan bisa saja takdir mengharuskannya untuk
Talak Tiga telah Sah. Dan ... Ilham, mama, serta Papi Ronald menyembunyikan dari Arini. "Assalamualaikum, Unda!" teriak dua orang dewasa dan seorang bocah serentak. Arini terhenyak karena kaget. Memaksa senyum di wajahnya. "Arini!" Meli yang baru saja menjemput Satya, terdiam melihat wajah sembab menantunya. "Kenapa, Sayang." "Unda, Atya kangen, Unda lama banget peginya." Arini meraih Satya menggendong bocah itu. Membuang wajah agar mertuanya itu tidak bisa menjadi detektor pikirannya. "Katakan, Nak. Ada apa?" "Bukankah Arini yang seharusnya bertanya, Ma. Ada apa?" tanyanya memutar balik. Meli terdiam, Meli seakan bisu di tempat. Gemetar. Ia sangat paham maksud pertanyaan Arini. "Kamu sudah tau?" "Apa yang harus Arini ketahui? Apa sesuatu yang dilarang?" tanya Arini lagi. Ia ingin menguji Meli. Sampai di mana Meli menyembunyikan hal sepenting itu padanya. "Tidak, Nak." Meli menunduk. Satya menatap bingung Nenek dan Bundanya. Mata Meli berkaca-kaca, tidak mampu melontar kata.
"Lupakan apa yang kukatakan. Kau terlihat cantik sekali malam ini!" bisik Burhan lagi. lagi-lagi wajah Arini tersipu malu. Membuat Burhan paham apa yang dimaui wanita itu. "Hei, apa kau sedang kemasukan?" tanya Arini heran melihat perubahan sikap Burhan. Sebenarnya Burhan tidak ingin jaim, atau diam-diaman. Selama Arini nyaman. Ia akan lakukan."Ya, kerasukan cinta Arini Ayunda. Wanita cantik yang pernah aku temui. Tapi sayang, dia bucin akut pada seseorang sampai tak sadar bisa tapal batas antara kesumat dan cinta." Burhan melirik Arini dari ekor matanya."Melihat gigihnya seorang Arini ingin seperti Mira. Menampilkan segala jenis usaha untuk menggoda. Berakhir sia-sia.Burhan memahami luka, trauma menikah, bisa jadi trauma untuk tidur bersama, sedang menjangkiti Arini tanpa disadari oleh pikirannya.Burhan sadar, jika ia melebur ke jiwa Arini, maka segala rayuan yang dikeluarkannya pasti diterima. "Burhan! kau sedang menyindirku?""Gak mungkin aku menyindir Kirana si cantik ponak
Jantung Arini bertalu.Apa ini?Rasa bahagia. Rasa dihargai. Arini menangis tersedu-sedu. "Aku cemburu! Jangan pernah menghubungi mantan suamimu lagi. Percayalah! aku akan membuatmu bahagia." Arini membiarkan dirinya dipeluk Burhan erat. "Nyonya mau ngapain?" "Mengapa raut wajahmu berubah, apa kau cemburu aku chatingan dengan Ilham?" "Jika aku cemburu, apakah Nyonya Arini berani bertanggung jawab atas kecemburuanku," tantang Burhan. Menatap lekat manik mata Arini. Membalas tatapan tajam milik wanita itu. Arini menyeringai aneh. Sengaja memangkas jarak antara mereka. "Aku kira kau OB yang naif, lugu plus polos, ternyata punya napsu juga," ejek Arini menyunggingkan senyum. "Sekarang perkiraan tentang OB naif, lugu dan polos, apa sudah kau hapus? biar kutunjukkan sisi liar dari lelaki naif ini." "Dasar tidak konsisten, tadi kau panggil aku Nyonya, sekarang pakai sebutan 'kau' kenapa tidak sekalian kau panggil Beb atau sayang gitu." "Berhentilah menggoda Ilham, jika kau tidak meng
"Satya mana, Kak?" "Sebentar lagi datang, tadi dibawa Moris. Pegawai baru di butik, yatim-piatu yang tidak lagi sekolah. Kakak berencana mau nyekolahin dia, sekalian kuliah," jawab Arini menuju meja makan. "Ma sya Allah, Kak. Kakak baik banget." "Biasa aja. Berlian abis lulus nyambung ke mana?" tanyanya dengan nada biasa. "Pengennya kuliah, Kak. Tapi, belum izin ke abang." Berlian memperhatikan gerak-gerik Arini. Pagi ini terlihat normal. Walau sorot matanya terlihat jelas datar--luka dalam yang sukar terdeteksi. {Apakah hari ini ada jadwal Kak Arini kontrol, Bang} Berlian mengirim pesan pada Burhan. {Siang nanti kakak cek up, abang udah call sama Psikolog Morela. Dia tidak akan tau dibawa ke psikolog. Morela memberi keterangan asam lambung pada cek up lalu. Jangan sampai ketauan. Ingat, Ber!} {Siap, Bang} "Kamu chatingan sama siapa, sama pacar?" tanya Arini mendadak duduk tepat di samping Berlian. "Eh, eng ... enggak, Kak. Berlian belom punya pacar," jawab Berlian grogi mema
Binar seribu bintang berloncatan dari mata Arini. "Terimakasih."Kata tak perlu terucap apapun. Karena sikap lebih terlihat dari sekadar kata.Bahagia lebih dari sejuta kali bahagia. Terkadang hanya menunggu jalan takdir. Bahagia di ujung segera menanti.*“Kakek masuk rumah sakit, segera ke sana!” Suara Ronald terburu menelpon putra semata wayangnya--Ilham. "Siapa yang sakit?" tanya Mira melihat suaminya terburu-buru. "Kakek," jawab Ilham singkat. "Kamu sarapan dulu. Kalau aku ngak salah Bu Meli sudah sedari subuh ke rumah Kakek.""Kenapa ngak bilang?""Kamu ngak nanya," ucap Mira sambil merapikan meja makan. Wangi soto kesukaan Ilham menguar menggugah selera. "Kamu pintar masak? Sotonya wangi, tapi aku harus cepat. Dari nada suara papi sepertinya kesehatan Kakek tidak bisa dianggap enteng.""Hanya memasak yang bisa membuatmu tetap memperlakukan aku selayaknya istri. Hati dan pikiranmu sudah dipenuhi nama Arini." Ilham terdiam mendengar kata-kata Mira."Kita akan nikah resmi. Ak
Terimakasih Burhan. Aku bahagia," ucapnya terisak-isak. Meski menangis. Binar bintang berloncatan dari mata indah milik Arini."Kita akan menikah secara sah setelah bayi ini lahir. Kita besarkan bersama-sama dengan Satya."Cinta itu tidak bersyarat apapun. Takdir akan berpihak pada kuasa sang pemiliknya. Manusia hanya bisa menjalani tanpa bisa mencegah apalagi mengubah skenario takdir itu.*"Aku tidak akan menceraikanmu Arini! Kau dengar. Kita tidak akan bercerai. Anak itu anak yang kutunggu-tunggu. Artinya kau bahagia saat kita bulan madu kembali waktu itu. Berhasil bukan? Aku mohon! Kita akan belajar bersama memperbaiki segalanya."Suara Ilham di depan ranjang pasien saat Arini diperbolehkan pulang, masih meracau. Burhan membiarkan saja. Tak ada gunanya melarang. Ia percaya pada Arini.Pengadilan sudah menerima segala berkas Arini. Talak tiga bukan decapan lidah saat merasakan perisa makanan. Ikatan sakral bukan mainan. Jangan pernah bermain pada kata talak. Satu-satunya kalimat
"Cek USG hari ini.""Siap, Dok!" Para perawat lalu lalang mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan.Arini dibawa ke tempat tidur khusus. Setelah cairan berupa gel dioles oleh salah satu perawat di sekitar rahimnya. Terlihat jelas di layar ada yang berbeda di rahim itu.Jiya ditahan Burhan dalam ruang dokter Wiguna.Dokter menerima hasil USG, setelah mencatat semua hasil test. Ia kembali ke ruangannya, Arini dibawa ke kamar inap lagi."Pak Burhan.""Ya, Pak. bagaimana hasilnya?""Anda sepertinya sangat menyayangi istri anda. Sampai tidak sabaran menunggu hasil."Kikuk Burhan tertawa pelan. Memasang senyum tipis. Sedangkan Jiya menahan jantungnya untuk tidak emosi."Saya akan jelaskan sedikit tentang kehamilan pada anda sebelum kita masuk menyimpulkan keadaan istri anda. Ini tujuannya agar anda paham situasi dan kondisi wanita hamil itu bermacam-macam.""Terimakasih, Pak. Saya siap mendengar."Dokter itu tersenyum lalu mengambil hasil uSG."Sebenarnya normal kondisi seorang ibu hami
"Ya Dokter, Bagaimana hasilnya?" Burhan tidak sabar saat dokter jaga masuk ke ruang inap Arini. "Positif. Selamat Pak Burhan istri anda hamil."Glek Burhan maupun Arini sama-sama terdiam pilu."Bulan lalu saya menstruasi, Dok?" Arini menyangkal. Apa hasil testpack itu salah."Menstruasi?" Kening dokter mengerjit. Menatap perawat yang ikut bersamanya. "Cek urine bHCG segera!" Perintah penuh pada perawat."Dok, apa tidak sebaiknya menunggu besok pagi. Urine pagi hari setelah pasien bangun tidur tingkat keakuratannya lebih sempurna."Dokter serba salah. Ia segan pada Burhan karena telah lama menunggu. Apamyanh dikatakan perawat ada benarnya. Pagi hari setelah bangun dari tidur. Kadar hormon bHCG akan terkumpul sempurna."Urine baru, hari ini juga!" Perintah sang dokter.Akhirnya perawat mengangguk. Keluar sebentar lalu memberikan onemed urine pada Burhan."Silakan ditampung kembali urine pasien, Pak. Kita akan melakukan test urine ulang."Burhan menerima wadah kecil yang diberikan pe
Menyambar tas, masih dengan terburu memasang sepatu, dan wanita itu sibuk mengikutinya dari belakang, berbalik ke dalam rumah dengan sepatu yang sudah terpasang, ternyata kunci mobil tertinggal di meja makan, perempuan bertubuh semampai itu turut ikut maju mundur dengan kesibukan dadakan.Semua karena sesosok wanita sempurna yang baru saja datang membuyarkan segala angan. Entah mengapa hati Mira sedikit bahagia. Tapi, lelaki di depannya kehilangan fokus pikiran sebab, kedatangan wanita sempurna yang telah memberi map tebal.Salahkah Mira bahagia?Apa aku sejahat itu, bahagia di atas penderitaan wanita lain, ah, tidak. Terlihat Arini lebih dari kata bahagia bersama BurhanSeolah dikejar deadline entah karena apa, Mira tak bertanya. Ilham tergesa membuka pintu mobil, masuk ke dalam, menyalakan mobil. Berpaling menatap wanita yang mendadak raut wajahnya ikut cemas.Wanita itu berusaha menahan sesuatu agar tidak terjatuh di hadapan. Pun menahan tanya ada apa dengan kepergian mendadak sua
"Itu urusan asisten saya, sudah saya katakan--tenang saja. Hasilnya 99% akurat dan valid.""Oke. Saya ke sana sekarang." "Apa ini, Nak?" Meli melihat Map yang di bawa Arini."Maafin Arini, Ma. Arini tidak bisa mengabulkan permintaan mama."Meli mengambil map yang lumayan tebal itu.Sertifikat rumah atas nama Burhan, Villa pemberian Ilham atas nama Arini. Beserta kunci-kuncinya.Dan ...Surat cerai resmi dari pengadilan agama."Arini!" Suara Ilham bergetar menahan jantungnya yang detaknya kini bermasalah. "Arini sudah siapkan notaris untuk membalikkan nama atas nama mama atau nama Ilham."Arini sama sekali tidak menggubris Ilham yang menatapnya begitu intens. Gejolak amarah, emosi bercampur rasa harga diri yang terinjak-injak. "Arini, kamu?" Air mata Meli merebak. Tidak menyangka sama sekali gadis yang selama ini ia puja, sedari remaja ia curahkan kasih sayang, dengan begitu berani menolak dan merenggangkan tali kekeluargaan."Jika suatu hari Arini memilih pergi, mau kah mama mengan
"Issh genit. Mesum. Dasar lelaki!" umpat Arini berkali-kali.Burhan tertawa terbahak-bahak melihat bibir Arini yang mengerucut merajuk, akibat selalu diganggu Burhan. "Kemarin sok sokan godain, sekarang malah takut, bilangin suami sendiri mesum.""Kemarin otakku belum dirukiyah, he." Arini tertawa ngakak, pinggangnya masih digelitiki Burhan."Masih mual?" Burhan menghentikan tangannya. Arini berpaling menatap wajah Burhan. Mengangguk kecil."Sedikit, kadang tengkuk terasa berat."Burhan menghela napasnya berat. "Bolehkah aku bertanya sesuatu?"Arini mengerjit. Mengapa tiba-tiba Burhan berubah serius. Menyandarkan kepalanya di bahu Burhan memberi kode ia tidak keberatan."Kau tidak keberatan tinggal di gubuk begini?"Arini tersenyum tipis mendengar pertanyaan Burhan. "Kirain mau nanya apa-an, rumah ini bisa kita pugar lebih besar.""Ya, kau tidak keberatan dengan adik-adikku.""Aku hidup sendirian, mana mungkin keberatan, aku tau rasanya begitu sakit hidup sendiri, makanya aku mener
"Kakak udah sholat?" Berlian menghampiri ranjang Arini, Satya terlelap di sampingnya."Ya, solat duduk aja, Ber, mana Burhan?" Arini menyapu sekitar. Ia mendapat Burhan yang sedang khusuk sholat. Senyumnya mengembang. Sudah berapa lama ia lalai terhadap ibadah pada Tuhan.Burhan dan Berlian orang yang selalu membantunya mengingat maha kuasa. Akhir-akhir ini hatinya tenang, setelah beberapa hari terakhir tidak meninggalkan ibadah wajib itu. Ia salut, Menik yang kakinya tidak sempurna saja bisa rutin menunaikan ibadah, masa ia yang sempurna lupa siapa pemilik kesempurnaan itu.Setelah selesai ibadah menghadap Tuhan Burhan menghampiri ranjang Arini. Memasang senyum tipis-nya. Mengedikkan bahu."Apa kau terlalu merindukan suamimu ini sampai bangun tidur dan mau tidur lagi kau harus menyebut namaku," ucap Burhan menggoda Arini, menaik turunkan satu alisnya."Astaghfirullah, apa tadi sholatmu tidak khusuk sampai-sampai mendengar suara tanyaku?""Hei, sholat khusuk itu bukan tentang mendeng
Perihal wanita yang bersama Ilham. Meskipun tidak dicintai, Mira Aruna, nekad ke rumah sakit untuk menjenguk Arini.Selain ia sendiri harus cek kontrol, sekalian berkunjung rasanya tidak masalah,tapi, Mira terngiang kalimat pertemuannya dengan Rian di depan rumah sendiri. Saat kaki Mira baru saja melangkah. Rian berdiri dengan arogan di depan pagar rumah Ilham."Hei, Gundik! Bagaimana nikmatnya hidupmu masuk ke keluargaku," ucapan tajam itu tidak lagi mengiris hati Mira. Ia sudah kebal."Kau mau apa Rian?""Kau tau bocah kecil di rumah sakit yang kini menjadi kelemahan Arini, aku yakin itu bayi kita, sayang. Bagaimana? Apa kau ingin bersua sebagai ibu yang tidak bertanggungjawab?""Apa?" Mata Mira terbelalak kaget. Benarkah yang diucapkan Rian. Anak yang selama ini diasuh oleh Arini adalah anak mereka.Artinya kurun waktu dia menjadi budak Rian ternyata anak itu tidak ada pada Rian, ia hanya sapi peras, kambing congek yang mau diperalat oleh Rian. Andai Mira tau di mana bayinya, tent