Musik game Iphone mendominasi dalam kamar ber-AC. Aira terlentang seperti biasa di kasur bawah, sementara Bayu menguasai kasur atas, tidur miring sambil menopang kepala.
Aira punya kebiasaan buruk ketika lepas kendali, baik ketika menonton TV atau bermain game. Dia sering tak sadar mengeluarkan suara hah hah hah seperti guguk lelah, lalu selalu mengulang kalimat yang dia dengar. Seperti sekarang.
"Give life to magic, not magic to life." Wajahnya begitu serius. "Lightning ... strike! Yes, savage!"
Bayu cekikikan mendengar semua itu. "Kek bocah kecil yang lagi senang-senangnya main game."
"Berisik."
"Tapi suaramu manis juga ya, apalagi kalau, hah hah hah." Bayu cekikikan.
"Bawel banget sih?" Sesekali Aira mengintip, tidak enak juga jika ada mata yang mengawasi, walau itu Bayu sekalipun. "Ngapain lihat-lihat?"
"Ya ngapain?"
"Lihatin terus, noleh ke tempat lain bisa enggak?"
Bayu menggeleng.
Bayu menggeleng memandang Kevin. Dia tidak suka kebersamaannya dengan Aira ternoda oleh kehadiran cecunguk itu. Lagi pula biasanya di hari libur dia bermain bersama Lukman, ini jarang terjadi/ "Haduh, ngapain sih dia datang," gumam Bayu, membuat Aira menyenggol lengannya. "Kangen mungkin sama kamu. Apa kurang kerjaan?" Gara-gara Kevin acara senam terganggu. Bocah itu datang dengan wajah panik, serius, dan semangat menggebu-gebu. Sebagai sahabat dan tuan rumah yang baik, tentu Bayu menyambut dengan tangan terbuka. "Ada apa?" tanya Bayu. "Mana Lukman? Kalian bertengkar lagi?" Levin menggeleng. "Itu loh, si Lukman! Lukman anu! Anu Lukman anu, itu anu--" "Anu anu apaan anu?" sambung Aira badannya bergetar menahan tawa. "Eh, kalau ngomong tuh yang baik, otakmu jangan ngeres!" "Siapa yang ngeres, Nona Plak! Ini serius!" "Sudah sudah, kami mandi dulu, bau keringat nih. Kamu duduk dulu, gih." Bayu menarik kursi di teras,
Bayu kurang senang melihat Kai. Terlebih ketika pemuda itu sengaja duduk di sebelah Aira. Padahal kursi di sebelah Bayu kosong dan sekarang diduduki Efendi. Terlalu banyak orang di sekitar membuatnya harus menjaga image sebagai sosok ramah, murah senyum. Terlebih di hadapan Mimi, selebgram terkenal asal Indonesia. Mimi duduk di depan Bayu tepat di sebelah Sasa dan Lukman. Ia mengamati Bayu sambil tersenyum kecil, menggeleng pelan. "Enggak sangka bisa bertemu youtuber sepertimu, di tempat seperti ini. Sumpah, nih kesempatan sekali dalam seumur hidup." "Kenapa emangnya?" selidik Sasa. "Ya kamu ingat, ada cewek cadel yang ..." Mimi menirukan suara gadis cadel dengan tingkah sombongnya. "Hai guys, girls, kita makan di blablabla, kampungan." Bayu terkekeh mendengar canda Mimi. "Sama, aku juga tidak menyangka kalau temanmu Sasa, pacarnya Lukman." "Astaga, belum, kami belum pacaran," jawab Lukman. "Masih dalam proses." Ia menggenggam te
Tiada suara lain kecuali langkah sepatu seorang satpam kurus berkumis tebal dan deruh suara AC yang terdengar. Bayu duduk di kursi lipat keras sambil memandang meja kerja di ruang sekuriti. Ia mengangkat kepala mendapati sosok satpam gendut duduk bermain kumis. Udara dingin tak membuat hati tenang terutama ketika mendapati banyak orang mengintip melaui kaca jendela di luar sana. Dalam keadaan seperti ini, Bayu memilih menunduk. Dia harus menujaga image, mengurangi ucapan supaya tidak dipelintir atau disalah artikan. Diam adalah emas. "Jangan dikira Artis terus bisa bertindak sesuaku sendiri." Satpam kurus menaruh segelas teh hangat ke meja lalu memandang empat gadis yang duduk berjajar di kursi panjang belakang Bayu. "Masuk ke toilet wanita, melawan para wanita? Entah kamu ini bodoh atau--" "Pansos," ujar satpam muda yang duduk santai di kursi belakang pintu sambil mainan HP. "Seperti enggak hapal tipe-tipe artis seperti mereka. Lah kasarannya sedang sakit saja
Senyum Kai begitu lembut dalam layar Iphone yang Bayu pegang. Suaranya pun terdengar santai. "Tidak enak bicara melalui video call. Bisa bertemu di tempat biasa?" "Malam-malam?" tanya Bayu. Kai mengangguk. "Apa Aira diajak?" lanjut Bayu. "Itu terserah kamu saja, dia kan istrimu. Kita bicara di sana. Aku tunggu, cepatlah datang." Seketika setelah bicara itu, tanpa menanti reaksi Bayu, Kai menyudahi video call. Bayu merenung memandang rerumputan di taman depan rumah. Kenapa Kai tak melarang untuk mengajak Aira? Selama ini mereka jarang bicara langsung kalau tidak ada urusan penting. Sekarang Kai mengajak bertemu langsung. Kira-kira Kai hendak membicarakan apa? Ia bangkit menaruh Iphone ke meja di ruang tamu lalu mengambil jaket tebal, menutup rapat pintu rumah. Dengan memakai motor sport Bayu pergi menuju tempat pertemuannya dengan kai. Tak butuh lama motor membawanya sampai ke lahan parkir di dekat daerah Suram
Sambaran petir sayang membuat kobaran cinta dalam jiwa semakin membesar. Bayu tak pernah tahu jika bakal seperti ini. Cinta setelah menikah. Sesuatu yang merubah segalanya. Selama syuting Bayu selalu memasang wajah cerah, bukan topeng, tapi memang karena dia sedang dilanda asmara. Ia rajin senyum, bersenandung, dan menjadi sosok dermawan untuk mentraktir para kru makan-makan. Dia juga sering menelepon Aira, hanya untuk mendengar suaranya. Bukan hanya itu, akhir-akhir ini Bayu sering ke kampus. Bukan untuk kuliah, kalau itu dia malas. Tapi untuk menemui Aira. Dia ingin berlama-lama melihat senyum istri, juga mengawasi jika ada singa lain hendak menjamah istrinya. Akan tetapi Bayu tetaplah Bayu. Dia tidak mengakui jika perubahan itu karena Aira. Ketika ada yang nertanya kenapa sering ke kampus, dia menajawab, "Aku ingin cepat dapat gelar, lulus dari sini, jadi harus rajin." Dia sadar, rasa itu tumbuh semakin subur. Dahulu yang hanya
Di kampus Aira berkuliah seperti biasa bersama Mei dan teman-teman. Hanya saja semenjak menikah dengan Bayu para fans youtuber sialan itu menjadi baik. Mereka mau disuruh-suruh membeli jajan buat Aira, bahkan ada yang bersedia memijat kaki Aira secara cuma-cuma. Mei menggeleng pelan sambil berdecak melihat tingkah Aira. Gadis itu bagai seorang ratu, duduk berselonjor kaki dipijat oleh dua gadis. "Benar-benar nih bocah, ajimumpung, ya." Aira tersenyum santai sambil bermain game di Iphone. Tiba-tiba Kai mengirim pesan. [Bagaimana kuliahmu? Apa sangat sibuk hingga tak pernah tampil lagi di panggung?] Aira enggan menjawab, tapi sungkan. Bagaimana pun juga Kai adalah pengagum pertama. Bisa dibilang dia cinta pertamanya. [Maaf Kak, sibuk kuliah] Baru selesai membalas pesan tiba-tiba Mei menepuk pundak Aira dari samping. "Ra, tuh, tiga serangkai datang." Yang Mei panggil dengan tiga serangkai adalah gadis kurus, gadis gend
Aira mengawasi mobil Bayu dari kaca spion. Ia menyeringai kecil ketika mobil Camaro di belakang melaju kencang. Pasti Bayu kebakaran jenggot melihatnya bersama Kai. Rasakan, salah siapa bermain-main dengan api? Akan tetapi jika dia cemburu, bukan kah itu berarti Bayu menyukainya? Aira menggeleng. Tidak mungkin seperti itu. Bayu pasti hanya ingin menjaga nama baiknya sendiri sebagai youtuber dan publik figur. Dia seperti ini supaya tidak timbul gosip. Akan tetapi kemarin dia pernah bertanya--tidak tidak, itu tidak mungkin. Dia hanya menggoda saja. "Aira, kamu kenapa?" tanya Kai, tersenyum sambil mengemudi. Sesekali menoleh mengamati penumpang di sebelah. "Kok senyum-senyum sendiri, lalu menggeleng sendiri? Pusing? Mau minum obat?" "Enggak perlu, cuma sedang menikmati kegembiraan saja, Kak." "Oh iya?" Kai memandang spion di atas dashboard. "Aku rasa Bayu benar-benar ingin mengejar. Lihat, dia sampai mengedipkan lampu terang." "Biarlah, bia
Cecil duduk di jok mobil Suv sibuk mengoles lotion anti-surya ke sekujur kulit tubuh yang terpampang. "Bagaimana, jadwal hari ini jadi kan memberi sedekah ke para duafa?" Seperti biasa dia hendak membeli pamor dengan sedekah palsu di depan kamera. "Aduh Mbak. Bagaimana ya." Asisten cemas membuka tablet yang dia pegang. "Bagaimana bagaimana apanya? Ya seperti biasa, dong. Kamu mengaku sebagai orang lain, kirim pesan ke wartawan tentang keberadaanku yang akan bagi-bagi rejeki, mengerti? Pastikan mereka datang untuk merekam." "Bukan begitu, Mbak. Coba lihat ini." Asisten mengoper tablet putih kepada Cecil. Gemas Cecil mengutak-atik layar tab. Di layar itu terdapat berita mengatakan jika semua kegiatan bagi-bagi uang dan sumbangan kepada kaum duafa yang menjadi trademark Cecil, adalah adegan settingan demi mendongkrak popularitas belaka. Beberapa kaum duafa mengaku jika Cecil memang memberi sumbangan, tapi sikapnya berubah ketika kamera pergi. Selain itu
Banyak orang berkumpul di taman kompleks mengerumuni para idola. Mereka rerata ibu-ibu muda dan para gadis meminta tanda tangan, foto bersama, atau sekedar berjabat tangan. Situasi seperti di pasar malam ini terjadi karena kehadiran Bayu, Kai, Kevin, Aira, dan Lukman. Pamor mereka tidak meredup sedikit pun walau sekarang sudah berkeluarga. Di tengah mereka hadir tiga bocah kecil yang aktif membuat gaduh suasana. Vega anak Bayu dan Aira. Altair anak Kai dan Ana, Deneb putra dari Kevin dan Mei. Ketiganya bermain bersama anak-anak di taman dengan penuh keceriaan tanpa kenal penderitaan dunia. "Vega, ngapain?" tanya Altair sambil melihat Vega yang sedang menyodok-nyodok sesuatu di bawah pohon. Melihat benda apa yang menjadi mainan membuat dia melangkah mundur. "Ih, itu kan eek kucing! Jorok!" "Iya tahu." Dengan piawainya Vega mengangkat eek itu memakai kayu lalu menjejalkan pada Altair. "Alta, ini bagus buat lulur mukamu. Sini, jangan kabur!" "Mama!" Alta
Aira buru-buru membuka pintu. Dia tidak sempat mengintip dari gorden karena mendengar suara yang sering dia dengar sebelumnya. "Sebentar, ini sedang buka kunci." Pintu dibuka. Aira tersentak melihat Ibu duduk di kursi teras bergelimang air mata. Asep yang sembari tadi menggedor pintu, langsung membungkuk menyambut Aira. Bukan hanya mereka, di Kai, Ana, Shion, Kevin, Mei, Lukman, dan Sasa, turut serta. "Kamu yang sabar, Aira," ucap Kai, memeluk Aira dengan erat. "Bayu--" "Ada apa sih?" tanya Aira. "Apa ada yang ulang tahun? Kok pada kumpul di sini?" Semua bertukar pandang heran. Mereka saja bingung, apalagi Aira? Dia benar-benar tidak tahu menahu tentang isi kepala para tamu. "Mana Bayu, Nak?" tanya Ibu, dengan kaki sempoyongan berdiri memeluk Aira. Wajah beliau seperti pakaian yang baru dicuci belum kering. "Bayu? Di dalam Bu--" Belum selesai Aira bicara, Ibu merangsak maju hingga nyaris jatuh. D
Dahulu sebelum menikahi Bayu, Aira 'hobi' bersih-bersih. Dari kecil dia terbiasa menyapu dan mencuci piring. Akan tetapi beberapa bulan terakhir dia hidup dalam mimpi yang menjadi kenyataan. Dia tidak perlu melakukan itu semua, cukup duduk santai dan bersenang-senang. Sekarang ketika menyapu, punggungnya sakit dan capek. Seminggu berlalu tapi dia belum menemukan kembali apa yang menjadi 'hobi'-nya dulu. "Waduh, Bu Angga, rajin sekali," tegur seorang ibu tetangga sebelah, baru pulang dari mengajar. Dia guru di SMP sekitar. "Ini Bu, ada sedikit jajan, tadi anak-anak sedang praktek tata-boga." Aira tentu berterima kasih atas perhatian itu. Dengan senyum mereka alami ia menerima kantung plastik putih berisi bungkusan sop sayur. Tetangga berlaku baik karena aura positif dari Bayu dan Aira. Mungkin juga faktor face dan rumor yang Aira sebar berpengaruh pada mereka. Kisah tentang pernikahan dini, di mana Bayu si miskin nekat menikahi Aira tanpa persetu
"Pijat yang benar." Ibu menepuk-nepuk pundaknya, sembari duduk di atas bantal. "Iya Nek--" "Nek?" Ibu menoleh menangkap senyum mal-malu Ana. "Kamu ini, panggil Ibu, mengerti?" Ana mengangguk ketika Ibu kembali fokus ke TV. Gadis itu tersenyum lembut pada Kai yang duduk bersila kaki di sebelah Ibu. Siang ini Kai memperkenalkan Ana kepada Ibu asuhnya itu sebagai calon istri. Ketiganya duduk santai di paviliun belakang rumah. Selain itu dia punya tujuan lain hadir di sini. "Sekarang nyaris seminggu Bibi menghukum Bayu dan Aira," ujar Kai. "Mereka menderita Bi, tinggal di rumah bedeng macam itu. Apa Bibi tega membiarkan Bayu dan Aira hidup susah?" Dua hari sekali Kai datang dan memohon hal yang sama. Namun, Ibu tetap santai menikmati pijatan Ana. Sesekali beliau bersendawa tanda jika merasa nyaman. Beliau juga dilanda dilema. Walau diam, tapi diam-diam Ibu juga khawatir kepada Bayu dan Aira. Bagaimana pun Bayu anak kesayanganny
Seperti semut mengerumuni gula, empat preman mengerumuni motor Riko. Mereka tidak memberi kesempatan Riko untuk memacu motor."Minggir, aku sibuk mau menjemput pelanggan," ujar Riko."Sombong!" bentak seorang preman gendut. "Lagak kamu sudah seperti orang penting.""Penting dia bro," sahut preman kedua. "Habis bebas dari penjara dengan bersyarat dan jaminan, kan sekarang wajib lapor atau saudaranya bakal membayar uang kompensasi."Suara tawa mereka membahana seperti supporter di stadion bola. Salah satu dari mereka mendorong kepala Riko. Satu lagi mengambil kunci motornya. Mereka sengaja ingin memancing supaya Riko marah dan menghajar mereka."Aduh, kasihan Mas Riko." Darmi hanya bisa memandang. Bisa apa dia, sendirinya berdagang di sini dan wilayah ini kekuasaan mereka."Kok Mas Riko tidak melawan?" tanya Bayu, mengamati lelaki tangguh di atas motor."Kalau melawan, nanti bakalan langsung dipenjara. Mas Riko bebas bersyarat. Sa
Sebagai kepala keluarga tentu Bayu yang membuka pintu. Empat ibu-ibu berwajah judes menanti. Melihat wajah tampan yang keluar, Judes mereka mereda dan sekarang senyum-senyum sendiri. "Maaf, ada apa ya, Bu?" tanya Bayu dengan ramah. Aira yang kebelet kepo pun nongol dari belakang Bayu. Senyumnya muncul, menggeser Bayu hingga mereka berdiri bersebelahan di pintu yang sempit. "Maaf Nak, ini sudah malam," ucap Ibu gendut dengan ramah. "Benar, sudah jam sebelas malam. Mohon suaranya dikecilkan, ya. Besok anak-anak sekolah, bising enggak bisa tidur," timpa Ibu kurus. "Kami tahu kok, pengantin baru, kan?" Ibu berbadan pendek menyambung. Tentu Bayu dan Aira menjadi sungkan. Mereka saling senggol, tertunduk dengan cengiran mereka yang khas, kecil, dibuat-buat. "Ingat, kita tinggal bersebelahan." Ibu yang lumayan muda menunjuk ke kiri dan kanan. Rumah mereka memang hanya terpisah tembok, bisa dikatakan suara kentut pun pasti bisa tetangg
Pindahan Bayu dan Aira cukup simpel. Mereka hanya membawa pakaian, peralatan kuliah, laptop, dan uang saku dari Ibu. Pagi hari mereka tiba di kontrakan yang dimaksud. Rumah petak sederhana. Lantai hanya dioles semen. Dinding bata tiada diberi cat. Langit-langit pun tak ada. Dari dalam bisa melihat pondasi atap. Dan aroma di sini lumayan pengap, berdebu. Hanya ada satu kamar tidur, kamar mandi pun nyaris menyatu dengan dapur. Perabotan yang ada hanya satu kasur dan satu lemari dengan TV tabung tua berdiri gagah di dekat kipas putar kecil. "Bagaimana? Rumah ini masih lebih bagus dari tempatku dulu tinggal. Kalian harus membayar uang listrik sendiri, uang air, dan mulai bulan depan membayar uang sewa. Jadi usahakan hemat." ucap Asep, menaruh kunci ke telapak tangan Aira. "Motor Vespa milikmu. Selamat tinggal." Dia berbalik hendak pergi. Akan tetapi Bayu menarik lengan Asep. "Sampai kapan kami harus tinggal di sini?" "Sampai Ibumu puas." Asep
Suara jangkrik menjadi musik merdu menemani mereka saat ini, tiada suara lain. Aira dan Bayu duduk bersila kaki di atas bantal. Mereka menanti Ibu di paviliun belakang rumah yang dikelilingi taman. Bayu menggenggam telapak tangan Aira. "Apapun yang terjadi aku tidak akan pernah menandatangani surat itu. Semoga kamu juga demikian." Aira mengangguk kecil. Dia menggenggam telapak tangan Bayu. "Asal kamu nanti berani bersumpah tidak akan menemui Cecil dan wanita lain, aku siap Mas." Bayu tersenyum lembut. "Mas? Oh Tuhan, panggilan mesranya Mas? Darling kek, hooney gitu, Mas, terdengar ndeso." "Ah, sudah lah." Dengan kasar Aira menarik tanggannya. "Youtuber sial, hobi banget sih merusak suasana." Bayu terkekeh melihat reaksi cemberut Aira. Dia hanya bercanda tadi. "Aku tidak menyangka akan menjadi seperti ini. Tahu tidak, alasan kenapa kamu aku pilih untuk menikah kontrak?" "Aku cantik, manis--" "Karena aku yakin tidak
Cahaya matahari masuk melalui kaca jendela besar di dinding sisi kiri menerpa ibu yang duduk di kursi kerja. Beliau sibuk mengetik sesuatu di komputer. Suara ketukan di pintu membuat dia berhenti sejenak. "Siapa?" "Ini saya Nyonya, Asep." "Masuk Sep." Pria berjas hitam masuk ke ruang kerja, berdiri dalam posisi instirahat di tempat. Setelah diberi kode gerak tangan Ibu, dia duduk di kursi berlengan. "Bagaimana, ada hasil?" tanya Ibu. Asep menaruh beberapa stopmap ke meja kerja. "Menurut para detektif yang saya kerahkan, terjadi perselingkuhan antara orang tua Nona Aira dan Tuan Kai. Menurut para detektif, kematian Ibu Nona Aira karena kebakaran di tempatnya bekerja ada hubungan dengan--" "Cukup, lewati bagian itu," ujar Ibu. Asep berdeham. "Setelah kejadian itu Kai memang sangat terpukul dan merasa bertanggung jawab untuk merawat Aira. Walau umur mereka hanya terpaut beberapa tahun, tapi dia berhasil melakukannya de