Aira tidak tenang. Mau dibawa ke mana. Terlebih ucapan Ibu sangat ambigu dan lagi dia habis berbuat salah. Terbayang hukuman apa yang bakal diterima. Mungkin diikat di sebuah pohon, lalu dicambuk, atau di kurung dalam gudang seperti adegan sinetron-sinetron? Ah terlalu ekstrim. Terlepas dari semua pikiran itu, Aira hanya bisa memandang jalan di luar seperti puppy baru melihat dunia.
Mobil berbelok memasuki jalan utama. Begitu banyak kendaraan di sekitar. Aira semakin panik ketika mobil mereka melambat masuk ke lahan parkir di depan sebuah mall. Dia memandang seperti kucing bingung, ke kiri, ke kanan, tiada tenang di wajah.
"Kenapa, Menantuku?" tanya Ibu, sambil tertawa kecil.
"Kita ke mall, Bu?"
"Iya dong, memang kamu pikir kita mau ke mana? Ayo ikut Ibu, biar Ibu kenalkan dengan seseorang yang bisa merubah penampilan secara maksimal."
Aira baru pertama kali masuk mall dikawal dua pria kekar berjas hitam yang juga mengenakan berkaca mata hitam
Bayu kembali ke rumah. Ia bergegas masuk ke kamar. Di sana begitu kosong tiada kehidupan, seekor nyamuk pun tak ada. Dia membuka kasar pintu kamar mandi, hasilnya sama saja. Bayu pergi ke ruang keluarga dan dapur, tetap tidak menemukan apa yang dia cari. Pada akhirnya dia pasrah duduk ke sofa di ruang tengah mengamati jam di dinding. "Sudah jam sebelas, ke mana doi? Aira! Lo--ehm, kamu di mana?" Ia mencoba menghubungi nomor Aira, tapi tidak tersambung. Nomor telepon Ibu juga tidak ada yang mengangkat. Bagaimana kalau terjad sesuatu di jalan? Ibu adalah keluarga yang sangat berarti bagi Bayu. Dia merenung cukup lama sambil memandang layar TV kosong. Pikirannya mulai bermain-main. Sudah pasti benar Kai berjalan berdua dengan Aira, istri kontraknya. Tetapi Bayu bingung, sebenarnya apa alasannya berkata seperti tadi di depan Kai? Berkata dengan nada bercampur api cemburu. Toh mereka mau berduaan, mau ke hotel juga seharusnya Bayu cuek, karena harusnya
“Take fourth, action!” "Aku pergi dulu." ujar gadis berblouse putih dalam balut kemeja kerja. Dia mengecup pipi Bayu yang kiri dan kanan secara bergantian. Begitu mesra ciuman itu seakan tak ingin berakhir. "Ingat, jangan pernah menyerah menyebar ijazah S1-mu, mengerti? Kamu harus semangat melamar pekerjaan." Kedua tangan Bayu melingkar seperti sabuk ke pinggang ramping gadis itu. "Iya sayang, aku mengerti. Kamu tenang saja, aku tidak bakal menyerah. Kan aku kepala keluarga, punya kewajiban membiayai kebutuhan kita semua, juga mempersiapkan masa depan anak kita kelak." Senyum Bayu menyegel ucapan tadi, membuat senyum si gadis semerbak ke mana-mana. "Kamu memang suami yang baik." Manja gadis itu mencubit hidung Bayu. "Semangat, ya!" Dia menyudahi pelukan suami, pergi menenteng tas kerja. Dia mengendarai mobil Pajero warna putih pergi dari rumah. Bayu melambai pelan melepas kepergian mobil tersebut yang membawa istrinya kerja. Senyumnya
Aira mengiris kentang sambil duduk bersila di atas karpet menonton TV. Beberapa maid muda berbisik-bisik melihat tingkah gadis itu. Mungkin bagi mereka yang sering bekerja di dapur seperti para chef profesional, memasak sambil berdiri, apa yang dilakukan Aira terlihat aneh. Namun tidak buat Ibu. Beliau membawa sayur-sayuran segar basah dalam baskom, ikut duduk di sebelah Aira. "Bagaimana, apa benar dia selingkuh?" Maksud Ibu, tokoh di film drama yang dia tonton bersama menantu. "Tidak Bu, itu gadis guminho baik kok, cuma tadi yang cowok cakep itu ternyata cowok dari masa lalunya, begitu. Cowoknya yang jahat." Ibu mengangguk, fokus pada TV tapi tangannya sibuk mematahkan kacang panjang. "Cantik saja tidak cukup. Seorang wanita juga harus pintar. Contohnya si gadis guminho, bego sekali dia sampai bisa diakali sama cowok jahat. Kasihan cowok baik." Aira tersenyum kecil mendengar ucapan beliau. Sekarang Aira tahu dari mana Bayu sering memanggil oran
Setelah Bayu kabur memakai motor, Cecil berhasil membuat para fans Bayu mundur. Ia memandang mereka seperti harimau kelaparan. "Puas kalian? Ganggu orang saja!" "Eh, Mbak!" sahut seorang gadis fans. "Tahu diri dong, Kak Bayu sudah punya istri. Kegatelan banget sih, jadi cewek!" "Kalian jahat!" bentak Cecil, lalu mencoba memasang air mata buaya. "Kalian tahu kan, itu setingan. Kenapa kalian tidak mau mengerti?" Para fans menanggapi dengan menghujat Cecil. Tiada dari mereka rasa simpati apa lagi menolong Dengan geram Cecil masuk ke rumah syuting. Kesal dia duduk di kursi lipat sambil meminum jus jeruk kesukaannya. "Sudah lah, tidak usah dipikirkan," ujar Dewi yang duduk di kursi sebelah Cecil sibuk bermain HP. "Cil," tegur Esmeralda, menghampiri dari samping. "Kamu tuh cantik banget loh, coba cari cowok lain saja. Seperti Sutradara, masih singel, tuh. Mungkin dia bisa menjadi tambatan hati pengganti Bayu." Entah serius
Udara lembut malam mendayung masuk melalui pintu yang dibuka menebar sejuk pada kulit wajah Bayu. Cahaya lampu menerangi ruang tamu. Dia duduk di sofa berselonjor kaki sambil membaca pesan-pesan yang masuk dalam akun sosial media miliknya. Suara drama Korea menggema dalam hening. Sesekali dia mengintip Aira yang duduk bersila kaki memangku bantal di sofa ruang keluarga. Begitu serius raut wajah gadis itu menonton TV sambil mengemil jamur goreng. "Aira, bagi sedikit camilannya." Gadis itu bungkam. "Bawa sini dong," lanjut Bayu. "Emang aku babumu, apa?" Bayu hendak marah tapi urung. Dia paham gadis itu sedang ngambek. Kesalahannya juga tadi bersikap kasar. Padahal dia ingin merayu Aira, membuat gadis itu bahagia sebelum diajak diskusi guna membicarakan kontrak. Bayu merasa jika Aira adalah gadis yang cocok menjadi ibu dari anak-anak mereka kelak. Tetapi sekarang semua kembali ke titik nol karena kedatangan Cecil.
Cahaya matahari memantul di air kolam jernih. Suara riak kecil terdengar nyaring. Kai menepi di dalam kolam, naik untuk duduk di tepian. Kedua kaki setia bermain air dingin ketika dia menikmati lemon tea. Dia baru selesai berenang beberapa menit. "Waduh, segar banget habis renang minum es." Ana duduk di kursi santai di sebelah kolam, menaruh tas ransel ke meja bundar tak jauh dari posisi kursi berada. Kehadiran gadis itu membuat kedua alis Kai terangkat tak percaya. "Ana? Ada apa? Tumben ke mari." "Maaf Tuan," ucap seorang gadis maid muda, membungkuk. Wajahnya panik. "Tadi saya sudah menyuruh Mbak Ana untuk menunggu di ruang tamu, tapi beliau nekat langsung masuk, saya tidak bisa menghentikan--" "Tidak apa-apa," jawab Kai. "Nona Ana sahabatku, bisa masuk kapan pun dia mau. Tolong buatkan minum untuk Ana, ya." Kai memberi kode gerak kepala supaya maid segera pergi. "Kapan-kapan ikut renang boleh, tidak?" celetuk Ana. Kai menyambut perbi
Musik game Iphone mendominasi dalam kamar ber-AC. Aira terlentang seperti biasa di kasur bawah, sementara Bayu menguasai kasur atas, tidur miring sambil menopang kepala. Aira punya kebiasaan buruk ketika lepas kendali, baik ketika menonton TV atau bermain game. Dia sering tak sadar mengeluarkan suara hah hah hah seperti guguk lelah, lalu selalu mengulang kalimat yang dia dengar. Seperti sekarang. "Give life to magic, not magic to life." Wajahnya begitu serius. "Lightning ... strike! Yes, savage!" Bayu cekikikan mendengar semua itu. "Kek bocah kecil yang lagi senang-senangnya main game." "Berisik." "Tapi suaramu manis juga ya, apalagi kalau, hah hah hah." Bayu cekikikan. "Bawel banget sih?" Sesekali Aira mengintip, tidak enak juga jika ada mata yang mengawasi, walau itu Bayu sekalipun. "Ngapain lihat-lihat?" "Ya ngapain?" "Lihatin terus, noleh ke tempat lain bisa enggak?" Bayu menggeleng.
Bayu menggeleng memandang Kevin. Dia tidak suka kebersamaannya dengan Aira ternoda oleh kehadiran cecunguk itu. Lagi pula biasanya di hari libur dia bermain bersama Lukman, ini jarang terjadi/ "Haduh, ngapain sih dia datang," gumam Bayu, membuat Aira menyenggol lengannya. "Kangen mungkin sama kamu. Apa kurang kerjaan?" Gara-gara Kevin acara senam terganggu. Bocah itu datang dengan wajah panik, serius, dan semangat menggebu-gebu. Sebagai sahabat dan tuan rumah yang baik, tentu Bayu menyambut dengan tangan terbuka. "Ada apa?" tanya Bayu. "Mana Lukman? Kalian bertengkar lagi?" Levin menggeleng. "Itu loh, si Lukman! Lukman anu! Anu Lukman anu, itu anu--" "Anu anu apaan anu?" sambung Aira badannya bergetar menahan tawa. "Eh, kalau ngomong tuh yang baik, otakmu jangan ngeres!" "Siapa yang ngeres, Nona Plak! Ini serius!" "Sudah sudah, kami mandi dulu, bau keringat nih. Kamu duduk dulu, gih." Bayu menarik kursi di teras,
Banyak orang berkumpul di taman kompleks mengerumuni para idola. Mereka rerata ibu-ibu muda dan para gadis meminta tanda tangan, foto bersama, atau sekedar berjabat tangan. Situasi seperti di pasar malam ini terjadi karena kehadiran Bayu, Kai, Kevin, Aira, dan Lukman. Pamor mereka tidak meredup sedikit pun walau sekarang sudah berkeluarga. Di tengah mereka hadir tiga bocah kecil yang aktif membuat gaduh suasana. Vega anak Bayu dan Aira. Altair anak Kai dan Ana, Deneb putra dari Kevin dan Mei. Ketiganya bermain bersama anak-anak di taman dengan penuh keceriaan tanpa kenal penderitaan dunia. "Vega, ngapain?" tanya Altair sambil melihat Vega yang sedang menyodok-nyodok sesuatu di bawah pohon. Melihat benda apa yang menjadi mainan membuat dia melangkah mundur. "Ih, itu kan eek kucing! Jorok!" "Iya tahu." Dengan piawainya Vega mengangkat eek itu memakai kayu lalu menjejalkan pada Altair. "Alta, ini bagus buat lulur mukamu. Sini, jangan kabur!" "Mama!" Alta
Aira buru-buru membuka pintu. Dia tidak sempat mengintip dari gorden karena mendengar suara yang sering dia dengar sebelumnya. "Sebentar, ini sedang buka kunci." Pintu dibuka. Aira tersentak melihat Ibu duduk di kursi teras bergelimang air mata. Asep yang sembari tadi menggedor pintu, langsung membungkuk menyambut Aira. Bukan hanya mereka, di Kai, Ana, Shion, Kevin, Mei, Lukman, dan Sasa, turut serta. "Kamu yang sabar, Aira," ucap Kai, memeluk Aira dengan erat. "Bayu--" "Ada apa sih?" tanya Aira. "Apa ada yang ulang tahun? Kok pada kumpul di sini?" Semua bertukar pandang heran. Mereka saja bingung, apalagi Aira? Dia benar-benar tidak tahu menahu tentang isi kepala para tamu. "Mana Bayu, Nak?" tanya Ibu, dengan kaki sempoyongan berdiri memeluk Aira. Wajah beliau seperti pakaian yang baru dicuci belum kering. "Bayu? Di dalam Bu--" Belum selesai Aira bicara, Ibu merangsak maju hingga nyaris jatuh. D
Dahulu sebelum menikahi Bayu, Aira 'hobi' bersih-bersih. Dari kecil dia terbiasa menyapu dan mencuci piring. Akan tetapi beberapa bulan terakhir dia hidup dalam mimpi yang menjadi kenyataan. Dia tidak perlu melakukan itu semua, cukup duduk santai dan bersenang-senang. Sekarang ketika menyapu, punggungnya sakit dan capek. Seminggu berlalu tapi dia belum menemukan kembali apa yang menjadi 'hobi'-nya dulu. "Waduh, Bu Angga, rajin sekali," tegur seorang ibu tetangga sebelah, baru pulang dari mengajar. Dia guru di SMP sekitar. "Ini Bu, ada sedikit jajan, tadi anak-anak sedang praktek tata-boga." Aira tentu berterima kasih atas perhatian itu. Dengan senyum mereka alami ia menerima kantung plastik putih berisi bungkusan sop sayur. Tetangga berlaku baik karena aura positif dari Bayu dan Aira. Mungkin juga faktor face dan rumor yang Aira sebar berpengaruh pada mereka. Kisah tentang pernikahan dini, di mana Bayu si miskin nekat menikahi Aira tanpa persetu
"Pijat yang benar." Ibu menepuk-nepuk pundaknya, sembari duduk di atas bantal. "Iya Nek--" "Nek?" Ibu menoleh menangkap senyum mal-malu Ana. "Kamu ini, panggil Ibu, mengerti?" Ana mengangguk ketika Ibu kembali fokus ke TV. Gadis itu tersenyum lembut pada Kai yang duduk bersila kaki di sebelah Ibu. Siang ini Kai memperkenalkan Ana kepada Ibu asuhnya itu sebagai calon istri. Ketiganya duduk santai di paviliun belakang rumah. Selain itu dia punya tujuan lain hadir di sini. "Sekarang nyaris seminggu Bibi menghukum Bayu dan Aira," ujar Kai. "Mereka menderita Bi, tinggal di rumah bedeng macam itu. Apa Bibi tega membiarkan Bayu dan Aira hidup susah?" Dua hari sekali Kai datang dan memohon hal yang sama. Namun, Ibu tetap santai menikmati pijatan Ana. Sesekali beliau bersendawa tanda jika merasa nyaman. Beliau juga dilanda dilema. Walau diam, tapi diam-diam Ibu juga khawatir kepada Bayu dan Aira. Bagaimana pun Bayu anak kesayanganny
Seperti semut mengerumuni gula, empat preman mengerumuni motor Riko. Mereka tidak memberi kesempatan Riko untuk memacu motor."Minggir, aku sibuk mau menjemput pelanggan," ujar Riko."Sombong!" bentak seorang preman gendut. "Lagak kamu sudah seperti orang penting.""Penting dia bro," sahut preman kedua. "Habis bebas dari penjara dengan bersyarat dan jaminan, kan sekarang wajib lapor atau saudaranya bakal membayar uang kompensasi."Suara tawa mereka membahana seperti supporter di stadion bola. Salah satu dari mereka mendorong kepala Riko. Satu lagi mengambil kunci motornya. Mereka sengaja ingin memancing supaya Riko marah dan menghajar mereka."Aduh, kasihan Mas Riko." Darmi hanya bisa memandang. Bisa apa dia, sendirinya berdagang di sini dan wilayah ini kekuasaan mereka."Kok Mas Riko tidak melawan?" tanya Bayu, mengamati lelaki tangguh di atas motor."Kalau melawan, nanti bakalan langsung dipenjara. Mas Riko bebas bersyarat. Sa
Sebagai kepala keluarga tentu Bayu yang membuka pintu. Empat ibu-ibu berwajah judes menanti. Melihat wajah tampan yang keluar, Judes mereka mereda dan sekarang senyum-senyum sendiri. "Maaf, ada apa ya, Bu?" tanya Bayu dengan ramah. Aira yang kebelet kepo pun nongol dari belakang Bayu. Senyumnya muncul, menggeser Bayu hingga mereka berdiri bersebelahan di pintu yang sempit. "Maaf Nak, ini sudah malam," ucap Ibu gendut dengan ramah. "Benar, sudah jam sebelas malam. Mohon suaranya dikecilkan, ya. Besok anak-anak sekolah, bising enggak bisa tidur," timpa Ibu kurus. "Kami tahu kok, pengantin baru, kan?" Ibu berbadan pendek menyambung. Tentu Bayu dan Aira menjadi sungkan. Mereka saling senggol, tertunduk dengan cengiran mereka yang khas, kecil, dibuat-buat. "Ingat, kita tinggal bersebelahan." Ibu yang lumayan muda menunjuk ke kiri dan kanan. Rumah mereka memang hanya terpisah tembok, bisa dikatakan suara kentut pun pasti bisa tetangg
Pindahan Bayu dan Aira cukup simpel. Mereka hanya membawa pakaian, peralatan kuliah, laptop, dan uang saku dari Ibu. Pagi hari mereka tiba di kontrakan yang dimaksud. Rumah petak sederhana. Lantai hanya dioles semen. Dinding bata tiada diberi cat. Langit-langit pun tak ada. Dari dalam bisa melihat pondasi atap. Dan aroma di sini lumayan pengap, berdebu. Hanya ada satu kamar tidur, kamar mandi pun nyaris menyatu dengan dapur. Perabotan yang ada hanya satu kasur dan satu lemari dengan TV tabung tua berdiri gagah di dekat kipas putar kecil. "Bagaimana? Rumah ini masih lebih bagus dari tempatku dulu tinggal. Kalian harus membayar uang listrik sendiri, uang air, dan mulai bulan depan membayar uang sewa. Jadi usahakan hemat." ucap Asep, menaruh kunci ke telapak tangan Aira. "Motor Vespa milikmu. Selamat tinggal." Dia berbalik hendak pergi. Akan tetapi Bayu menarik lengan Asep. "Sampai kapan kami harus tinggal di sini?" "Sampai Ibumu puas." Asep
Suara jangkrik menjadi musik merdu menemani mereka saat ini, tiada suara lain. Aira dan Bayu duduk bersila kaki di atas bantal. Mereka menanti Ibu di paviliun belakang rumah yang dikelilingi taman. Bayu menggenggam telapak tangan Aira. "Apapun yang terjadi aku tidak akan pernah menandatangani surat itu. Semoga kamu juga demikian." Aira mengangguk kecil. Dia menggenggam telapak tangan Bayu. "Asal kamu nanti berani bersumpah tidak akan menemui Cecil dan wanita lain, aku siap Mas." Bayu tersenyum lembut. "Mas? Oh Tuhan, panggilan mesranya Mas? Darling kek, hooney gitu, Mas, terdengar ndeso." "Ah, sudah lah." Dengan kasar Aira menarik tanggannya. "Youtuber sial, hobi banget sih merusak suasana." Bayu terkekeh melihat reaksi cemberut Aira. Dia hanya bercanda tadi. "Aku tidak menyangka akan menjadi seperti ini. Tahu tidak, alasan kenapa kamu aku pilih untuk menikah kontrak?" "Aku cantik, manis--" "Karena aku yakin tidak
Cahaya matahari masuk melalui kaca jendela besar di dinding sisi kiri menerpa ibu yang duduk di kursi kerja. Beliau sibuk mengetik sesuatu di komputer. Suara ketukan di pintu membuat dia berhenti sejenak. "Siapa?" "Ini saya Nyonya, Asep." "Masuk Sep." Pria berjas hitam masuk ke ruang kerja, berdiri dalam posisi instirahat di tempat. Setelah diberi kode gerak tangan Ibu, dia duduk di kursi berlengan. "Bagaimana, ada hasil?" tanya Ibu. Asep menaruh beberapa stopmap ke meja kerja. "Menurut para detektif yang saya kerahkan, terjadi perselingkuhan antara orang tua Nona Aira dan Tuan Kai. Menurut para detektif, kematian Ibu Nona Aira karena kebakaran di tempatnya bekerja ada hubungan dengan--" "Cukup, lewati bagian itu," ujar Ibu. Asep berdeham. "Setelah kejadian itu Kai memang sangat terpukul dan merasa bertanggung jawab untuk merawat Aira. Walau umur mereka hanya terpaut beberapa tahun, tapi dia berhasil melakukannya de