Nayra menghempaskan buku diary milik Karina dengan sekuat tenaga. Berharap dengan itu, sakit yang tiba-tiba merayap memenuhi rongga dadanya ikut terhempas. Dia memegang dada menahan sakit yang luar biasa. Menutupi wajah dengan dua tangan yang gemetar karena emosi telah membakarnya hingga dia merasa darahnya seakan mendidih. Nayra mulai terisak perlahan.
"Jadi Mbak Karin pun pernah terhisap ke lubang hitam itu? Lubang hitam yang membuat seorang kekasih merasa lebih baik mati daripada berpisah." Kedua bibir mungil Nayra bergetar hebat dengan semua racau yang terdengar samar.
Jelas Nayra bisa memahami semua penderitaan Karina, hal itu yang akhirnya menjadi benang merah pertemuan mereka. Pertemuan yang telah mengikat hati keduanya dalam ikatan persahabatan yang begitu indah.
"Aku tak pernah melihat Mbak Karin dengan ayahnya Ayub sekali pun. Apa sebenarnya Mbak Karina juga tidak bahagia dengan pernikahannya, sama seperti Mas
Nayra berdiri di ambang gerbang rumah kakeknya Ayub. Sejenak dia terpesona melihat aneka bunga yang tengah berlomba-lomba memamerkan keindahan mereka dengan ragam warna dan bentuknya, "Ini Mbak Karina banget, tanaman hias yang berbunga." Nayra menggumam takjub pada keindahan di taman itu.Tanpa dia sadari, seseorang tengah mengawasi gerak-geriknya dari dalam rumah. Karina yang merasa seperti tidak asing, dengan orang yang tengah mengintai rumah mama sambungnya itu. Mengintip dari balik tirai jendela, "Nayra? Ah nggak mungkin, Nayra. Dia dapat alamat rumah ini dari mana? Eh, tapi, tunggu deh. Itu benar-benar Nayra." Karina bergegas keluar menemuinya.Karina menyongsong tetangga mungilnya itu. Tetangga ajaib yang selalu mampu bikin dia tertawa atau sekedar tersenyum. Tetangga sekaligus sahabat rasa adik perempuan. Karena tingkah Nayra yang memang kadang absurd banget dan bikin siapa pun akan terpingkal geli."Kamu bisa tah
Karina menatap lekat wajah Ayub, telah rapi dengan seragam putih merah yang dia kenakan. Karina sedikit tak percaya. Rasanya baru kemarin dia melahirkan bayi mungil itu dengan bertaruh nyawa. Mengabaikan semua rasa sakit demi bisa melihatnya lahir ke dunia. Dan lihatlah, sekarang! Bocah di depannya sudah tumbuh setampan ini, dan sebentar lagi dia akan masuk Sekolah Dasar.Ayun tersenyum lebar menatap ibunya, dia tengah sibuk membaca pikiran wanita yang sudah melahirkannya itu. Wanita yang paling diandicintai di seantero jagad, untuk saat ini."Kenapa menatap ibu seperti itu?" tanya Karina dengan alis berkerut."Bukannya Ibu yang lebih dulu menatapi Ayub?" tanyanya balik dengan senyum geli di sudut bibir mungil berwarna merah muda milik itu."Ibu bangga! Ayub sebentar lagi akan masuk Sekolah. Jadi anak yang pintar, ya, Sayang! Menurut selalu sama Kakek dan neneknya. Ibu sudah ikuti
"Apa kau sudah mulai mencintainya, Nayra?" tanya Karina entah mengapa merasa begitu ingin tahu tentang perasaan Nayra."Nggak, juga sih Mbak, aku cuma merasa khawatir. Aku takut kalau aku sudah menyinggung perasaan Mas Nandar tanpa sengaja. Belum lagi keesokan paginya dia berangkat dengan buru-buru sekali. Seperti tidak ingin berada di sekitarku dalam waktu yang lama," curhat Nayra. Sengaja memanipulasi keadaan."Apa kau sudah mencoba untuk menelepon dan menanyakan apa alasannya hingga dirinya tidak pulang? Bisa saja kan, dia lagi sibuk atau banyak urusan." Karina tanpa sadar telah begitu jauh memasuki ranah privacy mereka berdua. Meskipun dia selalu berusaha membuat Nayra berpikir positif pada Adnan. Tanpa Karina tahu, tentang sebuah konspirasi besar yang tengah dirancang oleh wanita lugu yang ada di depannya saat ini."Sudah Mbak, tapi dia bilang dia terlalu lelah untuk bolak-balik. Padahal dulu nggak ada masalah dia b
"Apa Mbak Nadia pernah mengenal Mas Nandar sebelumnya?" tanya Nayra yang tiba- tiba membuat akal Karina mati. Dia menatap Nayra dengan tatapan kosong tanpa tahu apa yang harus dia katakan. Lama Karina terpaku di depan Nayra dengan jantung yang berdetak tak karuan, sampai suara tawa Nayra memecah kebuntuan di antara mereka."Ha ha ha, eh, Mbak Karin kenapa, seh? Tatapanmu padaku seperti mau menyekik diriku saja," ucap Nayra di sela- sela tawanya. Karina terpaksa menoleh ke arah lain untuk menutupi rasa gugup."Aku benar-benar akan mencekik dirimu jika bicara ngawur sekali lagi," ucap Karina dingin, tapi penuh penekanan. Membuat tawa Nayra pecah sekali lagi. Nayra menyesap teh di depannya, sembari sesekali melirik Karina dengan senyum geli."Ngomong-ngomong ... Mbak Karin kenapa nggak membawa Ayub? Aku rindu loh, sama celotehnya dia," tanya Nayra kemudian setelah menyadari ketiadaan Ayub di antara mereka.
Keringat dingin mengucur deras membasahi sekujur tubuh Karina. Dia sudah mulai mual sejak masih di bandara tadi. Nayra tak henti terus saja memotivasi agar dia bisa lebih berani."Demi ketemu Mas Raka, loh, Mbak," bujuknya berkali-kali, tapi tak mampu meredam rasa takut dan nerveous yang tengah berkecamuk hebat dalam dada Karina. Perutnya serasa diaduk-aduk di dalam sana."Ya, Allah, Mbak Karin! wajahmu sampai sepucat ini!" pekik Nayra, "Mbak Karin nggak usah temenin aku deh, Mbak. Serius, nggak apa-apa. Daripada Mbak Karin kenapa-kenapa nantinya." Nayra menggenggam tangan Karina yang sedingin es, menghapus keringat dingin yang mengucur di wajah Karina. Laksana ada mata air di pori-pori kulitnya yang memancarkan begitu banyak air keluar dari wajahnya."Maaf, Nay, sudah merepotkanmu. Aku baik-baik saja kok, aku cuma ketakutan dan mabuk juga. Jangan biarkan aku berhenti sampai di sini! Bagaimana aku bisa tau
Karina berusaha terjaga ketika mendengar suara Nayra memanggil namanya berulang kali, memicingkan mata menyesuaikan dengan cahaya di sekitar. Nathan yang masih duduk di kursi kemudi juga ikut tersenyum lewat kaca spion dalam mobil."Nyenyak banget ya, tidurnya?" tanya Nathan, lebih ke arah menggoda Karina karena sudah dibangunin. Karina tersenyum malu."Mbak Karin ini mabuk darat, Mas," bela Nayra membuka pintu mobil, memegang tangan Karina dan mengajaknya berjalan beriringan di belakang Nathan.Mereka berjalan beriringan melewati koridor demi koridor rumah sakit, sampai mereka berhenti di depan sebuah kamar, "Ibu ...!" pekik Nayra begitu pintu kamar terbuka. Dia melepaskan genggaman tangannya dari Karina dan setengah berlari menuju brankar tempat ibunya terbaring lemah. Wanita paruh baya itu menyambut peluk hangat putrinya dengan satu tangan yang tak terpasang selang infus."Mana suamimu?" tanya ibu
Adnan termangu kaget, mata dan mulutnya terbuka lebar. Saat pesan dari Nayra mengabarkan kalau dia sudah di Surabaya. Jangankan meminta untuk diantarkan sampai bandara. Bahkan pamit pun tidak. Adnan merasa geram karena merasa tak dihargai sebagai seorang suami. Andai bukan karena alasan ibu Nayra sakit, entah apa yang akan Adnan lakukan pada teman hidupnya itu.Adnan melangkah gontai masuk ke rumah. Setelah susah payah menghindari kepulangan agar pikirannya tidak kacau hanya karena melihat Karina di setiap sudut rumah mereka. Meskipun kepergian Nayra yang tanpa pamit membuat Adnan merasa marah, tetap saja dia merasa bersalah. Beberapa Minggu ini dia bahkan tak pernah mengunjungi teman hidupnya itu, hanya karena penolakan Karina yang sudah sewajarnya dia lakukan demi melindungi kehormatan diri dan keluarganya.Setelah mengambil cuti dan mengalihkan semua pekerjaannya pada asisten pribadi yang tak lain adalah sepupu Nayra sendiri
Adnan membuka pintu pelan, dia seperti tersengat arus listrik ratusan volt saat mendapati Nayra salat di depan ibunya. Hal yang hampir tak pernah dia temui saat mereka masih di Makassar. 'Apakah sakit ibunya telah sedikit merubah Nayra?' batinnya. Adnan melepas jaket yang membalut tubuh kekar dan atletisnya. Meletakkan jaket yang terbuat dari bahan kulit itu di ujung sofa, lalu duduk menanti Nayra usai salat. Saat sosok yang dia pikir Nayra salam ke kiri, jantung Adnan berdegup keras. Bagaimana mungkin, bahkan bayang-bayang Karina mengikutinya hingga ke Surabaya? Dia mengusap rambut dan wajah frustrasi. "Tidak, ini tidak boleh terjadi! Atau aku bisa gila kalau terus-terusan mengingat dan melihat Karina di setiap arah aku memandang," geramnya. Karina melipat mukena dan sajadah berdiri hendak menyimpan kembali ke koper yang bahkan masih ada di sofa kamar rumah sakit. Langkahnya terhenti saat melihat seorang pria tela