“Tuan, Ryan di sini. Ini handuknya.”
Seorang laki-laki masuk ke dalam tenda. Kevin segera mengambil handuk basah dan membersihkan tangannya sendiri. Namun, tak sekalipun ia mengalihkan pandangan dari gadis yang sedang menahan sakit tersebut meskipun bau amis darah menusuk hidungnya.
“Cepat! Jahit lukanya!” perintahnya. Ryan mengangguk dan mendekati Bian.
“Biar kulihat tanganmu dulu. Maaf….”
Setelah menyingsing lengan baju Bian, ia mulai membersihkan luka yang memanjang di pergelangan tangan gadis tersebut.
“Sepertinya ini harus dijahit. Sebentar…aku akan membiusnya terlebih dahulu. Jangan tegang!” suara Ryan yang lembut dan tenang membuat detak jantung Bian semakin normal.
Kevin mengambil handuk kering dan melemparkannya ke kepala Bian. Bukan hanya Bian yang terkejut. Tetapi, Ryan juga bereaksi dengan spontan melindungi area tangan pasiennya.
“Tuan! Apa yang tua
Di atas pohon, Alva dan Bian sedang berusaha menahan napas agar tidak ketahuan oleh para pengejar.“Siapa mereka? Kenapa mereka tahu makna lambang itu?” pikir Alva sembari mengintai pergerakan musuh.Dor!Deg!Seketika jantung berdegup lebih kencang. Batang pohon di belakang mereka sudah berlubang kecil. Alva terus melihat batang pohon tersebut seraya menebak apa yang mengenainya.“I-itu bukan anak panah. Senjata jarak jauh selain busur adalah…tidak mungkin mereka menggunakan senjata terlarang itu’kan?” pikir Alva lagi. Ia kembali menoleh kepada orang yang mengejar. Seorang pria sedang berdiri ke arah mereka dengan sebuah senjata api di tangannya.Deg!Lagi-lagi, Alva seketika berkeringat dingin. Ia sadar posisi mereka sudah diketahui. Sambil mencoba tidak membuat pergerakan yang jelas, ia sedikit menarik lengan baju Bian sebagai kode.Dor!Alva segera menundukkan kepala Bian juga aga
Hawa dingin mencengkram setiap kulit yang berada di tempat itu. Suara derap kaki yang terburu-buru menambah kebisingan yang membuat telinga kesal dan memaksa mata agar segera terbuka. Alva perlahan membuka matanya dan mendapatkan dirinya ada di dalam kereta kuda dengan dua orang pria dewasa yang terus mengawasinya. Ia mencoba menggerakkan setiap bagian tubuh yang awalnya mati rasa. Meski masih gemetar, kini ia sudah menjadi dirinya kembali. Dengan tatapan curiga, ia melihat setiap wajah yang ada di sekitarnya. Pria yang dipanggil tuan oleh anak buahnya dan seorang pria yang memukulnya hingga pingsan.Tak berselang lama, kereta kuda berhenti. Alva yang sudah sadar dipaksa untuk berjalan sendiri meskipun ia masih belum sanggup untuk berdiri tegak. Pandangan mata yang masih berkunang-kunang menambah rasa mual saat melihat jalan.“Ke mana mereka akan membawaku?” pikir Alva sembari mengikuti arahan pria yang terus memegang ikatan tali di tangannya.&ldquo
Klang!Alva berulang kali mencoba menggerakkan tangannya yang sudah terikat oleh rantai. Ternyata kedua kakinya bernasib sama pula. Mata yang sedang tertutup kain tidak membuatnya menyerah untuk mencoba melepaskan diri.“Urgh!”“Sebaiknya kau duduk baik-baik dan jawab setiap pertanyaan Tuan Erca.”Alva merasakan tangan kirinya telah disuntikkan sesuatu. Ia sendiri bisa merasakan detak jantungnya berdetak melambat.“Jadi ini salah satu anggota Lingkar Hijau yang kau temukan? Lingkar Hijau memang menarik, selalu merekrut anggota dari usia mereka yang masih sangat muda. Tetapi…sejauh apa ilmu yang kau miliki?” terang seorang pria bertubuh tinggi yang sedang berjalan mendeka
Tes…tes!Darah mengucur di lengan kiri Bian. Lengannya yang sudah luka sejak awal ditambah tembakan Erca yang hampir mengenai paru-paru kirinya. Bian terduduk mencoba menghentikan pendarahan di lengan kirinya.Dor!Ting!Kipas Bian bergerak melindungi tubuhnya sendiri.“Haaa…fuuuh,” Bian menarik napas dan membuangnya kembali.Ia melirik ke arah Erca yang sedang menghalangi jalannya.Drap!Gedebuk!Tubuh Erca ia lemparkan ke sisi gedung yang berlawanan. Tubuh pria itu menghantam dinding. Sedikit bercak darah tertinggal saat tubuh pria itu terjatuh ke lantai.Ngiiing!Bian menggerakkan kipasnya untuk memotong rantai yang membelenggu Alva. Tubuh laki-laki itu terjatuh begitu saja.“Alva…Alva!” panggil Bian. Laki-laki itu tidak merespon. Matanya terus terpejam tanpa menunjukkan sedikit pun kesadaran.Bian mengangkat tubuh Alva dan meletakkannya di atas
Beberapa kali mata Alva berkedip. Awalnya samar-samar lalu jelas secara perlahan. Suara seorang pria terdengar dari arah samping kanannya. Ia menggerakkan kepalanya yang masih terasa berat. Selang oksigen yang terpasang di wajah membuatnya terkejut akibat gerakannya yang secara tiba-tiba menimbulkan rasa tidak enak di pipinya.“Dokter…dia sadar!” sorak seorang perawat dengan riang. Laki-laki yang ia panggil dokter segera menoleh ke arah Alva yang sedang menoleh padanya pula.“Syukurlah. Aku pikir kau tidak akan bangun lagi.”“Dokter…sepertinya dia belum sadar sepenuhnya.”“Kalau begitu mari kita coba. Apa kau ingat siapa namamu? Jika ingat kedipkan matamu dua kali!”Alva berkedip sebanyak dua kali. Dokter itu tersenyum lebar. Ia sedikit mengangkat kepala Alva dan meluruskannya kembali.“Syukurlah…sepertinya tidak ada masalah pada ingatannya.”Dokter dan p
Dengan keadaan tubuh yang masih terpasang infus, Alva menulis apapun yang ada diingatannya. Semua bagian penting dari dua buku ia rangkum ke dalam sebuah buku yang berukuran lebih tipis dari milik aslinya.“Meskipun aku masih ingat siapa nama-nama pasienku…dan aku masih bisa menyalin informasi yang penting. Tetapi…rasanya tetap sedih karena aku kehilangan surat-surat pemberian mereka yang kutempelkan di balik kertas. Yang tersisa hanya nama Nila di Buku Klorofil jilid tiga. Mau bagaimana lagi…dari pada semua informasi yang kudapatkan diambil mereka.” Pikir Alva sembari memainkan penanya.“Aku beruntung bisa selamat. Setidaknya ada informasi yang bisa kulaporkan pada pusat. Meskipun besar kemungkinan mereka sudah melarikan diri dari tempat itu.” Ungkap Alva pada dokter yang sedang berdiri di depan jendela dengan jubah putihnya.“Kau bisa melaporkannya di ruang bawah nanti. Oh iya…sebentar lagi mereka akan
Alva membolak balik buku seiring dengan langkah kakinya yang seirama dengan langkah kaki Bian. Sesekali ia menggaruk pipinya yang gatal akibat tusukan dari rambutnya sendiri.“Bian…kau’kan sudah sering mendengar cerita soal Lingkar Hijau. Apa yang akan kau lakukan jika bertemu salah satu dari mereka?” Tanya Alva tanpa mengalihkan pandangannya dari buku.“Diam.”“Ha? Aku memintamu untuk menjawab…bukannya justru memintaku untu-oh…maksudmu kau akan diam saja. Kenapa? Bukannya dia organisasi berbahaya? Meskipun dia tidak dianggap teroris seperti Regu Venom yang paling terkenal itu,” tanya Alva dengan polosnya.Bian tak menjawab.“Jadi…apa yang akan kau lakukan jika aku adala-“Alva menghentikan ucapannya ketika tak sengaja melihat seorang pria sedang duduk bersandar di bawah pohon beringin. Seperti biasa ia berlari dan menghampiri pria itu.“Hei.
Suara air menggelegak terdengar riuh dari dapur yang beratapkan daun kelapa. Langkah kaki tak beralas bergerak dengan gesit untuk segera menyelesaikan tugasnya pada pagi itu.Tok … tok!“Kak!”Wanita yang berada di dapur tersebut bergegas membuka pintu. Lantas ia tersenyum saat melihat siapa yang tiba.“Masuk Lia! Kakak sedang masak.”“Kak Ade jadi pergi?” Tanya wanita yang belum melangkahkan kaki untuk memasuki rumah tersebut.“I-iya. Dia dapat tawaran dari Provinsi Dwa. Tidak lama kok, karena dia akan di tempatkan di tempat yang tak jauh dari sini.”“Padahal kakak sedang hamil. Apa dia tidak kepikiran untuk mengganti pekerjaan?”“Kalau mau bicara masuk dulu!” Suara berat Adelard muncul dari pintu dalam rumah. Dia memandangi Lia yang masih berada di ambang pintu. Pada akhirnya Lia memasuki rumah tersebut.“Kak-““Tida
Syuut!Trang!Bian berhasil menangkis satu peluru yang hampir mengenainya. Ruangan itu tampak hening meskipun pasukan profesor telah bersiap-siap untuk pergi.“Dua? Tiga? Mereka hanya sedikit namun mereka menyebar dalam ruangan ini. Aku tidak tahu pasti di mana mereka. Yang bisa kulakukan adalah menunggu mereka menyerang,” pikir Bian.Profesor dan yang lain mulai bergerak.Trang!“Ketemu!”Wuush!Ngiiing!“Arrrgh!”Teriakan itu pun seketika berhenti.“Dia berniat mengejar mereka. Setidaknya itu bisa memperingatkan yang lain jika mereka lebih aman jika diam di tempat!”Syyut!Trang!“Arrgh!” Bian terduduk ketika salah satu peluru mengenai perut bagian bawahnya. Darahnya mulai mengalir deras.“Setidaknya aku menemukan satu dari mereka!”Wuush!“Arrrgh!”“Tinggal satu lagi. Aku harus mencarinya sebelum aku kehabisan darah. Di mana kau?” gerutunya. “Perasaanku mulai tidak tenang! Aku harap dia baik-baik saja!” pikir Alva.“Alva! Jangan melamun!” sorak Kevin.Dor!Suara pistol mulai kemba
Pulau Gati telah terlihat. Mereka mulai memenuhi pelabuhan yang tetap ramai seperti biasa.“Prof. Pulau ini memang memiliki banyak pelabuhan. Tetapi … melihat mereka yang sudah tahu dengan kedatangan kita. Bukannya hal yang mungkin jika mereka sudah melarikan diri atau pun mereka membunuh kita saat tiba?” bisik Alva.“Benar. Tetapi … lihatlah sekitar laut! Kapal-kapal itu bukan berlayar tanpa alasan. Mereka berpatroli dan mengepung pulau ini agar tidak ada yang melarikan diri.”“Lalu … kenapa mereka bisa menyerang kita kemaren?”“Itu karena kita sudah masuk wilayah dalam penjagaan. Maksudnya kita sudah masuk dalam sarang mereka, sedangkan para kapal hanya berjaga dalam jarak tertentu agar mereka tidak keluar. Mereka harus menjaga jarak agar tidak mudah diserang musuh. Kemungkinan besar, kemaren mereka masuk melalui penyusupan.”“Apa kalian semua tahu soal kapal penjaga itu?”“Tidak. Aku tidak percaya dengan anak buahku sekarang. Aku merasa salah satu dari teman-temanmu itu ada yang me
Angin laut mulai berhembus kencang. Dua kamar yang dipesan, satu untuk Bian dan satu untuk Alva dan Kevin secara bergantian. Cara terbaik untuk lebih menghemat uang, mengingat mereka masih harus menyewa satu kapal lagi. Namun, sebuah pertemuan yang tidak diduga. Alva kembali bertemu dengan rombongan sang profesor.“Kau … masih hidup?” tanya profesor yang melihat Bian diantara mereka.“Umurnya lebih panjang dari dugaan. Kenapa? Kalian hendak membunuhnya lagi? Jika iya, maka langkahi dulu mayatku!” terang Kevin memasang badan dengan nada tegasnya.“Kau … siapa?” tanya anggota yang lain.“Aku adalah orang yang mengobatinya setelah terjatuh dari tebing itu. Karena itu … aku tidak akan terima jika ada orang yang akan melukainya lagi!”Deg!“Sudahlah … kita tidak ada urusan lagi dengan Lingkar Hitam. Sekarang misi kita hanyalah Regu Venom,” terang profesor.“Kebetulan sekali Prof! Kami memang hendak ikut membantu penyerangan itu!” ucap Alva.“Dari mana kau tahu soal penyerangan itu?”“Seseo
Alva sedikit menenggak ludah lantaran jendral membicarakan soal Lingkar Hijau.“Tuan … apa anda mengetahui semua urusan istana?” tanya Kevin.“Beberapa. Terkadang mereka merahasiakannya dariku!”“Apa Tuan … tahu soal Ariana?” sambung Alva.“Tentu saja. Aku sangat kecewa pada diriku sendiri yang tidak bisa ada untuknya. Saat pemindahan ke Rubi bahkan saat pengirimannya ke perbatasan … aku tidak tahu soal kebijakan itu karena aku sibuk mengurus daerah Timur. Tahu-tahu … dia sudah tidak ada di tempat. Saat aku ingin menjenguknya di Istana Rubi … aku dilarang keras oleh Petinggi. Karena itu … aku hanya bisa mengirim sedikit hadiah dariku melalui pelayan untuknya. Aku pun tidak tahu apa itu benar – benar tersampaikan padanya atau tidak.”“Bahkan anda tidak mengetahui soal pemindahan itu?”“Iya. Rasanya sedih, aku tidak tahu kenapa. Sepertinya mereka berniat menjauhkanku darinya. Padahal aku sangat menyayanginya. Meskipun banyak muncul gosip yang tidak mengenakkan, bagiku … aku sudah menga
Ting!Bian berhasil menangkis pedang yang hampir memenggal leher pangeran.Buk!Penyusup itu tertatih – tatih lantaran kakinya yang terasa amat nyeri. Alva dan Kevin pun segera keluar dan membantu mereka.“Alva! Anak itu!” panggil Bian.Alva menoleh dan melihat pangeran yang mulai memucat. Dia mendekat dan mengecek keadaannya.Sreet!Dia pun menyobek lengan baju pangeran yang telah berlumuran darah.“Membiru!” batinnya.Dia pun menoleh kesekitaran yang terlihat sepi.“Ck … keadaan seperti ini pun tidak ada medis yang berjaga?” gumamnya.“Aku harus memberikan pertolongan pertama padanya!” sambungnya.“Arrgh!”Anindira pun mulai terkena sayatan pedang.“Mereka hanya bertiga … tetapi menjadi sulit karena mereka pengguna racun meskipun memang satu lawan satu,” batin kevin.Dengan matanya yang mulai berkunang-kunang, Anindira tetap berusaha melihat pertarungan di sekitarnya. Musuh yang mulai mengabaikannya mulai mengambil ancang-ancang untuk menyerang yang lain.Matanya terbelalak saat mel
Semuanya langsung terfokus pada suara yang berasal dari tempat duduk sekitaran ratu. Pedang Ro telah menancap di langit-langit setelah dihadang oleh kipas Bian. Alva yang merupakan sasaran pedang itu seketika menjadi panas dingin setelah melihat kipas Bian yang menancap pada dinding batu. “Cerdik sekali Tuan Puteri! Sebaiknya jangan lakukan itu lagi! Jangan sembrono! Semua tempat ini dalam jangkauan kami!” gertak Kevin yang sebenarnya terkejut dengan kejadian itu. “Itu … karena kemampuannya! Kau sudah membunuhnya tadi! Dia menggunakan semacam sugesti pada Yang Mulia Ratu! Kami memang merubah sistem kerajaan semenjak pemerintahan Ratu Indriana. Kami memang mengasingkan Puteri Ariana karena kami takut ramalan itu benar. Kami hanya melakukan tugas kami untuk melindungi kerajaan!” “Ramalan ya! Sepertinya ramalan itu benar! Sebuah kebetulan! Dia datang kembali setelah enam tahun lamanya dengan kemampuannya yang tidak bisa dinalar oleh otak. Bagaimana menurutmu? Dia benar-benar datang unt
Srak!Drap!Dua ekor kuda kembali berpacu. Bedanya kini Bian menunggangi kuda yang sama bersama Kevin. Alva yang telah kembali normal telah mendengar semua cerita beberapa hari yang lalu. Malu dan bersalah, setidaknya itulah yang dia rasakan saat menatap mata Bian.“Maaf, aku tidak pernah tahu apa yang terjadi ketika tubuhku berusaha melawan racun!”Itulah pembelaan yang dia katakan ketika tangan Bian mendadak dingin saat ia tarik agar mau mendengarnya berbicara. Sesudah itu, mereka masih belum ada bicara hingga saat ini.Canggung!“Aku penasaran siapa yang menyerang kita kemaren!” ucap Alva.“Sepertinya hanya perampok! Aku tidak menemukan apapun yang mencurigakan dari salah satu anggota mereka.”“Hmm … mereka hebat juga!”“Kuakui itu. Mungkin mereka mantan dari suatu perkumpulan!”“Ngomong-ngomong … kita akan masuk dari mana? Penjagaan di istana itu pasti sangat ketat!”“Aku sudah tahu jalan masuknya. Kita akan masuk dari Istana Rubi. Tempat itu sangat dekat dengan ruang kerja peting
Drap!Srak!Dua ekor kuda berlari dengan kencang ke arah ibu kota Kerajaan Amara. Tempat yang harus di tempuh selama tiga hari dengan berkuda tanpa halangan.“Kau benar – benar sudah tidak apa-apa?” tanya Alva.“Tentu saja, aku baik-baik saja. Perasaanku jauh lebih baik setelah memukulmu!”“Haa? Tidak terdengar seperti pujian untukku!” jawab Alva.“Yaa … setidaknya kau harus meningkatkan bentuk tubuhmu agar bisa bertahan dengan serangan mendadakku. Kulihat tanganmu membiru!”“Tak bisakah sedikit saja kau merasa berdosa padaku setelah melakukan hal itu?”“Kenapa? Kau sendiri yang memanasiku! Kau harus terima resikonya!”Alva hanya bisa tersenyum mengiyakan pernyataan Kevin yang benar.“Pinggangmu tidak sakit duduk menyamping begitu?” tanya Alva pada Bian.“Ini lebih baik!”“Alva, awas!” teriak Kevin.“Ngiiik!” Kuda yang mereka tunggangi sontak menukik. Dengan sigap Alva memeluk Bian dan memposisikannya agar tidak langsung terjatuh ke tanah.Trak!Kevin melepas anak panahnya ke tempat k
“Ternyata begini caramu memandangi nasib ya?” ejek Alva.Kevin hanya berdecak dan mengabaikannya.“Aku kira kau akan memilih balas dendam seperti sebelumnya!”Pria itu tampak terkejut dan memandangi Alva yang telah duduk di sampingnya.“Tidak ada yang memberitahuku. Aku hanya menebak ke mana kau pergi selama dua tahunan itu. ““Kenapa aku harus mencari jauh-jauh jika orang yang kucari ada di depan mata?” tanya Kevin dengan tatapannya yang tajam.“K-kau bercanda’kan?”Srak!Brak!“Uggh!” Alva terhempas jauh setelah berhasil menangkis serangan Kevin yang mendadak.“Sebaiknya kau jangan ikut campur!” gertak Kevin pada Bian yang hendak mendekat.“Sialan. Ternyata kau serius … baiklah jika itu maumu! Akan aku layani dengan serius!” ucap Alva riang.Syuut!Trak!Bian hanya bisa diam memandangi Alva dan Kevin saling beradu pukulan. Beberapa kali mereka saling terhempas akibat serangan bertenaga mereka. Dia pun berpindah ke atas pohon yang lebih teduh.Setelah tiga puluh menit berlalu, pertar