Tes…tes!
Darah mengucur di lengan kiri Bian. Lengannya yang sudah luka sejak awal ditambah tembakan Erca yang hampir mengenai paru-paru kirinya. Bian terduduk mencoba menghentikan pendarahan di lengan kirinya.
Dor!
Ting!
Kipas Bian bergerak melindungi tubuhnya sendiri.
“Haaa…fuuuh,” Bian menarik napas dan membuangnya kembali.
Ia melirik ke arah Erca yang sedang menghalangi jalannya.
Drap!
Gedebuk!
Tubuh Erca ia lemparkan ke sisi gedung yang berlawanan. Tubuh pria itu menghantam dinding. Sedikit bercak darah tertinggal saat tubuh pria itu terjatuh ke lantai.
Ngiiing!
Bian menggerakkan kipasnya untuk memotong rantai yang membelenggu Alva. Tubuh laki-laki itu terjatuh begitu saja.
“Alva…Alva!” panggil Bian. Laki-laki itu tidak merespon. Matanya terus terpejam tanpa menunjukkan sedikit pun kesadaran.
Bian mengangkat tubuh Alva dan meletakkannya di atas
Beberapa kali mata Alva berkedip. Awalnya samar-samar lalu jelas secara perlahan. Suara seorang pria terdengar dari arah samping kanannya. Ia menggerakkan kepalanya yang masih terasa berat. Selang oksigen yang terpasang di wajah membuatnya terkejut akibat gerakannya yang secara tiba-tiba menimbulkan rasa tidak enak di pipinya.“Dokter…dia sadar!” sorak seorang perawat dengan riang. Laki-laki yang ia panggil dokter segera menoleh ke arah Alva yang sedang menoleh padanya pula.“Syukurlah. Aku pikir kau tidak akan bangun lagi.”“Dokter…sepertinya dia belum sadar sepenuhnya.”“Kalau begitu mari kita coba. Apa kau ingat siapa namamu? Jika ingat kedipkan matamu dua kali!”Alva berkedip sebanyak dua kali. Dokter itu tersenyum lebar. Ia sedikit mengangkat kepala Alva dan meluruskannya kembali.“Syukurlah…sepertinya tidak ada masalah pada ingatannya.”Dokter dan p
Dengan keadaan tubuh yang masih terpasang infus, Alva menulis apapun yang ada diingatannya. Semua bagian penting dari dua buku ia rangkum ke dalam sebuah buku yang berukuran lebih tipis dari milik aslinya.“Meskipun aku masih ingat siapa nama-nama pasienku…dan aku masih bisa menyalin informasi yang penting. Tetapi…rasanya tetap sedih karena aku kehilangan surat-surat pemberian mereka yang kutempelkan di balik kertas. Yang tersisa hanya nama Nila di Buku Klorofil jilid tiga. Mau bagaimana lagi…dari pada semua informasi yang kudapatkan diambil mereka.” Pikir Alva sembari memainkan penanya.“Aku beruntung bisa selamat. Setidaknya ada informasi yang bisa kulaporkan pada pusat. Meskipun besar kemungkinan mereka sudah melarikan diri dari tempat itu.” Ungkap Alva pada dokter yang sedang berdiri di depan jendela dengan jubah putihnya.“Kau bisa melaporkannya di ruang bawah nanti. Oh iya…sebentar lagi mereka akan
Alva membolak balik buku seiring dengan langkah kakinya yang seirama dengan langkah kaki Bian. Sesekali ia menggaruk pipinya yang gatal akibat tusukan dari rambutnya sendiri.“Bian…kau’kan sudah sering mendengar cerita soal Lingkar Hijau. Apa yang akan kau lakukan jika bertemu salah satu dari mereka?” Tanya Alva tanpa mengalihkan pandangannya dari buku.“Diam.”“Ha? Aku memintamu untuk menjawab…bukannya justru memintaku untu-oh…maksudmu kau akan diam saja. Kenapa? Bukannya dia organisasi berbahaya? Meskipun dia tidak dianggap teroris seperti Regu Venom yang paling terkenal itu,” tanya Alva dengan polosnya.Bian tak menjawab.“Jadi…apa yang akan kau lakukan jika aku adala-“Alva menghentikan ucapannya ketika tak sengaja melihat seorang pria sedang duduk bersandar di bawah pohon beringin. Seperti biasa ia berlari dan menghampiri pria itu.“Hei.
Suara air menggelegak terdengar riuh dari dapur yang beratapkan daun kelapa. Langkah kaki tak beralas bergerak dengan gesit untuk segera menyelesaikan tugasnya pada pagi itu.Tok … tok!“Kak!”Wanita yang berada di dapur tersebut bergegas membuka pintu. Lantas ia tersenyum saat melihat siapa yang tiba.“Masuk Lia! Kakak sedang masak.”“Kak Ade jadi pergi?” Tanya wanita yang belum melangkahkan kaki untuk memasuki rumah tersebut.“I-iya. Dia dapat tawaran dari Provinsi Dwa. Tidak lama kok, karena dia akan di tempatkan di tempat yang tak jauh dari sini.”“Padahal kakak sedang hamil. Apa dia tidak kepikiran untuk mengganti pekerjaan?”“Kalau mau bicara masuk dulu!” Suara berat Adelard muncul dari pintu dalam rumah. Dia memandangi Lia yang masih berada di ambang pintu. Pada akhirnya Lia memasuki rumah tersebut.“Kak-““Tida
Srek!Pagi harinya dari atas dataran yang lebih tinggi, Lia bisa melihat perkemahan Provinsi Dwa Yang sudah mulai dikepung oleh musuh. Berulang kali Lia memeriksa setiap sudut untuk mencari keberadaan saudara tuanya itu.Hitungan menit saja seluruh pengepung bergerak menyerang.“Kakak!” Tanpa pikir panjang, Lia menyarungkan pelindung kepala dan maskernya. Ia pun mempercepat langkah kakinya untuk menuruni tanah tinggi tersebut.Sret!Ia menarik keluar pedang yang ia sarung di punggungnya.Drap … drap!Lia berlari di antara para penyerang yang sedang beradu pedang.Ting!Lia menangkis sebuah pedang yang dilancarkan padanya.“Ughh … kakak sudah melatihku sejak lama. Aku tak’kan menyianyiakan ilmunya.”Jleb!Pedangnya menembus dada kiri musuh. Lia segera menariknya dan melanjutkan perjalanannya.“Aku harus mencari kakak,” pikirnya.
Pemakaman berlangsung pada sore itu dengan lancar. Pria itu benar-benar menepati janjinya. Sesudah pemakaman selesai, Alva dan Bian kembali ke perkemahan untuk menepati janji mereka pula.“Kau mengenal pria itu?” tanya sang komandan yang bernama Aksa.“Tidak terlalu. Hanya saja kami bertemu dia kemaren. Dan dia memiliki keinginan untuk dikuburkan di dekat keluarganya,” jawab Alva.“Begitu. Sebenarnya aku juga tidak menginginkan perang ini. Hanya saja … tanah yang kalian pijak ini adalah tempat yang selalu mengalami konflik sehingga perang adalah hal yang biasa. Jadi … berhubung kau sudah berjanji. Aku harap kau mau membantu barak medis bagian belakang. Ada beberapa prajuritku yang terluka parah. Sedangkan tenaga medis kami kurang karena sudah dihancurkan sejak awal.”“Dihancurkan? Kenapa begitu?”“Teknik untuk menghancurkan mental lawan. Meskipun sebenarnya itu adalah cara pe
Pagi yang baru sesudah melepas lelah dari perkemahan yang menjadi medan perang. Alva dan Bian sudah kembali melanjutkan perjalanannya. Kali ini Alva terlihat lebih muram, ia tidak mencoba mengajak Bian untuk bicara dan tidak pula mengganggunya seperti biasa. “Seharusnya anak ini sudah mati kemaren. Karena Adelard muncul … aku jadi lupa harus bicara apa. Lalu sesudahnya Aksa menahanku untuk mengobati anak buahnya,” pikir Alva. Ia kembali melirik Bian yang berjalan di sebelah kirinya. Secara perlahan, Alva merogoh pisau kecil miliknya. “Jika aku menebas lehernya … apa kipasnya akan spontan memotong tanganku?” pikirnya lagi. “Bian. Sebenarnya aku ingin menanyakan hal ini dari dulu. Alasan kau bisa menggerakkan kipas itu adalah karena belajar’kan? Jadi … kau belajar dari siapa?” tanya Alva. “Lingkar Hitam!” Deg! “Dia … mengaku? Justru ini menjadi kesempatan bagus untukku’kan?” pikir Alva lagi. “Jadi … apa yang akan kau laku
“Kevin!” ucap Alva.“Ha … ha … ha … tidak kusangka aku bisa bertemu kalian di sini. Urusanku belum selesai denganmu Ariana,” ucapnya.“Dia milikku! Jangan mengganggu!” ucap Alva tegas.“Ha? Apa? Mengganggu? Sebenarnya aku juga sedang malas untuk bertarung. Tetapi bagaimana jika kita taruhan … Jika kau berhasil menjatuhkanku, aku akan melepaskan kalian. Jika tidak … aku akan membawa Ariana bersamaku secara paksa. Bagaimana?” tantang Kevin.“Sayangnya aku sedang tidak bisa berkompromi dengannya. Dan aku juga sedang kesal karena dari kemaren selalu saja ada yang menggangguku. Jadi … aku akan bertarung untuk melepas emosiku ini.”Alva mengambil dua pisau dan memegangnya di tiap tangan. Sedangkan Kevin memberikan simbol kepada anak buahnya untuk mengepung Bian agar tidak melarikan diri.Siiing!Kevin mengeluarkan pedang dari sarungny
Syuut!Trang!Bian berhasil menangkis satu peluru yang hampir mengenainya. Ruangan itu tampak hening meskipun pasukan profesor telah bersiap-siap untuk pergi.“Dua? Tiga? Mereka hanya sedikit namun mereka menyebar dalam ruangan ini. Aku tidak tahu pasti di mana mereka. Yang bisa kulakukan adalah menunggu mereka menyerang,” pikir Bian.Profesor dan yang lain mulai bergerak.Trang!“Ketemu!”Wuush!Ngiiing!“Arrrgh!”Teriakan itu pun seketika berhenti.“Dia berniat mengejar mereka. Setidaknya itu bisa memperingatkan yang lain jika mereka lebih aman jika diam di tempat!”Syyut!Trang!“Arrgh!” Bian terduduk ketika salah satu peluru mengenai perut bagian bawahnya. Darahnya mulai mengalir deras.“Setidaknya aku menemukan satu dari mereka!”Wuush!“Arrrgh!”“Tinggal satu lagi. Aku harus mencarinya sebelum aku kehabisan darah. Di mana kau?” gerutunya. “Perasaanku mulai tidak tenang! Aku harap dia baik-baik saja!” pikir Alva.“Alva! Jangan melamun!” sorak Kevin.Dor!Suara pistol mulai kemba
Pulau Gati telah terlihat. Mereka mulai memenuhi pelabuhan yang tetap ramai seperti biasa.“Prof. Pulau ini memang memiliki banyak pelabuhan. Tetapi … melihat mereka yang sudah tahu dengan kedatangan kita. Bukannya hal yang mungkin jika mereka sudah melarikan diri atau pun mereka membunuh kita saat tiba?” bisik Alva.“Benar. Tetapi … lihatlah sekitar laut! Kapal-kapal itu bukan berlayar tanpa alasan. Mereka berpatroli dan mengepung pulau ini agar tidak ada yang melarikan diri.”“Lalu … kenapa mereka bisa menyerang kita kemaren?”“Itu karena kita sudah masuk wilayah dalam penjagaan. Maksudnya kita sudah masuk dalam sarang mereka, sedangkan para kapal hanya berjaga dalam jarak tertentu agar mereka tidak keluar. Mereka harus menjaga jarak agar tidak mudah diserang musuh. Kemungkinan besar, kemaren mereka masuk melalui penyusupan.”“Apa kalian semua tahu soal kapal penjaga itu?”“Tidak. Aku tidak percaya dengan anak buahku sekarang. Aku merasa salah satu dari teman-temanmu itu ada yang me
Angin laut mulai berhembus kencang. Dua kamar yang dipesan, satu untuk Bian dan satu untuk Alva dan Kevin secara bergantian. Cara terbaik untuk lebih menghemat uang, mengingat mereka masih harus menyewa satu kapal lagi. Namun, sebuah pertemuan yang tidak diduga. Alva kembali bertemu dengan rombongan sang profesor.“Kau … masih hidup?” tanya profesor yang melihat Bian diantara mereka.“Umurnya lebih panjang dari dugaan. Kenapa? Kalian hendak membunuhnya lagi? Jika iya, maka langkahi dulu mayatku!” terang Kevin memasang badan dengan nada tegasnya.“Kau … siapa?” tanya anggota yang lain.“Aku adalah orang yang mengobatinya setelah terjatuh dari tebing itu. Karena itu … aku tidak akan terima jika ada orang yang akan melukainya lagi!”Deg!“Sudahlah … kita tidak ada urusan lagi dengan Lingkar Hitam. Sekarang misi kita hanyalah Regu Venom,” terang profesor.“Kebetulan sekali Prof! Kami memang hendak ikut membantu penyerangan itu!” ucap Alva.“Dari mana kau tahu soal penyerangan itu?”“Seseo
Alva sedikit menenggak ludah lantaran jendral membicarakan soal Lingkar Hijau.“Tuan … apa anda mengetahui semua urusan istana?” tanya Kevin.“Beberapa. Terkadang mereka merahasiakannya dariku!”“Apa Tuan … tahu soal Ariana?” sambung Alva.“Tentu saja. Aku sangat kecewa pada diriku sendiri yang tidak bisa ada untuknya. Saat pemindahan ke Rubi bahkan saat pengirimannya ke perbatasan … aku tidak tahu soal kebijakan itu karena aku sibuk mengurus daerah Timur. Tahu-tahu … dia sudah tidak ada di tempat. Saat aku ingin menjenguknya di Istana Rubi … aku dilarang keras oleh Petinggi. Karena itu … aku hanya bisa mengirim sedikit hadiah dariku melalui pelayan untuknya. Aku pun tidak tahu apa itu benar – benar tersampaikan padanya atau tidak.”“Bahkan anda tidak mengetahui soal pemindahan itu?”“Iya. Rasanya sedih, aku tidak tahu kenapa. Sepertinya mereka berniat menjauhkanku darinya. Padahal aku sangat menyayanginya. Meskipun banyak muncul gosip yang tidak mengenakkan, bagiku … aku sudah menga
Ting!Bian berhasil menangkis pedang yang hampir memenggal leher pangeran.Buk!Penyusup itu tertatih – tatih lantaran kakinya yang terasa amat nyeri. Alva dan Kevin pun segera keluar dan membantu mereka.“Alva! Anak itu!” panggil Bian.Alva menoleh dan melihat pangeran yang mulai memucat. Dia mendekat dan mengecek keadaannya.Sreet!Dia pun menyobek lengan baju pangeran yang telah berlumuran darah.“Membiru!” batinnya.Dia pun menoleh kesekitaran yang terlihat sepi.“Ck … keadaan seperti ini pun tidak ada medis yang berjaga?” gumamnya.“Aku harus memberikan pertolongan pertama padanya!” sambungnya.“Arrgh!”Anindira pun mulai terkena sayatan pedang.“Mereka hanya bertiga … tetapi menjadi sulit karena mereka pengguna racun meskipun memang satu lawan satu,” batin kevin.Dengan matanya yang mulai berkunang-kunang, Anindira tetap berusaha melihat pertarungan di sekitarnya. Musuh yang mulai mengabaikannya mulai mengambil ancang-ancang untuk menyerang yang lain.Matanya terbelalak saat mel
Semuanya langsung terfokus pada suara yang berasal dari tempat duduk sekitaran ratu. Pedang Ro telah menancap di langit-langit setelah dihadang oleh kipas Bian. Alva yang merupakan sasaran pedang itu seketika menjadi panas dingin setelah melihat kipas Bian yang menancap pada dinding batu. “Cerdik sekali Tuan Puteri! Sebaiknya jangan lakukan itu lagi! Jangan sembrono! Semua tempat ini dalam jangkauan kami!” gertak Kevin yang sebenarnya terkejut dengan kejadian itu. “Itu … karena kemampuannya! Kau sudah membunuhnya tadi! Dia menggunakan semacam sugesti pada Yang Mulia Ratu! Kami memang merubah sistem kerajaan semenjak pemerintahan Ratu Indriana. Kami memang mengasingkan Puteri Ariana karena kami takut ramalan itu benar. Kami hanya melakukan tugas kami untuk melindungi kerajaan!” “Ramalan ya! Sepertinya ramalan itu benar! Sebuah kebetulan! Dia datang kembali setelah enam tahun lamanya dengan kemampuannya yang tidak bisa dinalar oleh otak. Bagaimana menurutmu? Dia benar-benar datang unt
Srak!Drap!Dua ekor kuda kembali berpacu. Bedanya kini Bian menunggangi kuda yang sama bersama Kevin. Alva yang telah kembali normal telah mendengar semua cerita beberapa hari yang lalu. Malu dan bersalah, setidaknya itulah yang dia rasakan saat menatap mata Bian.“Maaf, aku tidak pernah tahu apa yang terjadi ketika tubuhku berusaha melawan racun!”Itulah pembelaan yang dia katakan ketika tangan Bian mendadak dingin saat ia tarik agar mau mendengarnya berbicara. Sesudah itu, mereka masih belum ada bicara hingga saat ini.Canggung!“Aku penasaran siapa yang menyerang kita kemaren!” ucap Alva.“Sepertinya hanya perampok! Aku tidak menemukan apapun yang mencurigakan dari salah satu anggota mereka.”“Hmm … mereka hebat juga!”“Kuakui itu. Mungkin mereka mantan dari suatu perkumpulan!”“Ngomong-ngomong … kita akan masuk dari mana? Penjagaan di istana itu pasti sangat ketat!”“Aku sudah tahu jalan masuknya. Kita akan masuk dari Istana Rubi. Tempat itu sangat dekat dengan ruang kerja peting
Drap!Srak!Dua ekor kuda berlari dengan kencang ke arah ibu kota Kerajaan Amara. Tempat yang harus di tempuh selama tiga hari dengan berkuda tanpa halangan.“Kau benar – benar sudah tidak apa-apa?” tanya Alva.“Tentu saja, aku baik-baik saja. Perasaanku jauh lebih baik setelah memukulmu!”“Haa? Tidak terdengar seperti pujian untukku!” jawab Alva.“Yaa … setidaknya kau harus meningkatkan bentuk tubuhmu agar bisa bertahan dengan serangan mendadakku. Kulihat tanganmu membiru!”“Tak bisakah sedikit saja kau merasa berdosa padaku setelah melakukan hal itu?”“Kenapa? Kau sendiri yang memanasiku! Kau harus terima resikonya!”Alva hanya bisa tersenyum mengiyakan pernyataan Kevin yang benar.“Pinggangmu tidak sakit duduk menyamping begitu?” tanya Alva pada Bian.“Ini lebih baik!”“Alva, awas!” teriak Kevin.“Ngiiik!” Kuda yang mereka tunggangi sontak menukik. Dengan sigap Alva memeluk Bian dan memposisikannya agar tidak langsung terjatuh ke tanah.Trak!Kevin melepas anak panahnya ke tempat k
“Ternyata begini caramu memandangi nasib ya?” ejek Alva.Kevin hanya berdecak dan mengabaikannya.“Aku kira kau akan memilih balas dendam seperti sebelumnya!”Pria itu tampak terkejut dan memandangi Alva yang telah duduk di sampingnya.“Tidak ada yang memberitahuku. Aku hanya menebak ke mana kau pergi selama dua tahunan itu. ““Kenapa aku harus mencari jauh-jauh jika orang yang kucari ada di depan mata?” tanya Kevin dengan tatapannya yang tajam.“K-kau bercanda’kan?”Srak!Brak!“Uggh!” Alva terhempas jauh setelah berhasil menangkis serangan Kevin yang mendadak.“Sebaiknya kau jangan ikut campur!” gertak Kevin pada Bian yang hendak mendekat.“Sialan. Ternyata kau serius … baiklah jika itu maumu! Akan aku layani dengan serius!” ucap Alva riang.Syuut!Trak!Bian hanya bisa diam memandangi Alva dan Kevin saling beradu pukulan. Beberapa kali mereka saling terhempas akibat serangan bertenaga mereka. Dia pun berpindah ke atas pohon yang lebih teduh.Setelah tiga puluh menit berlalu, pertar