Malam kembali datang. Para pekerja baru saja selesai beraktifitas. Makan malam yang mereka santap sebenarnya digabung dengan makan siang. Karena itu, banyak pekerja yang mati karena kelaparan. Jumlah yang mereka makan tidak sesuai dengan tenaga yang mereka keluarkan pada siang harinya.
“Mereka penjajah. Desa kami seharusnya milik Kerajaan Kasa. Tetapi karena kami berada di perbatasan, desa kami mendapat imbas dari perang yang terjadi setahun yang lalu. Sebelum pertambangan ini berdiri kondisi kami baik-baik saja, Kerajaan Dyuni hanya mengirimkan penjaga untuk menjaga perbatasan,” jelas Dika sembari memakan makanannya.
“Setelah mereka tahu di daerah ini ada kandungan emas, mereka segera membuka lahan dan menggunakan tenaga masyarakat sebagai budak. Sepertinya mereka juga menculik orang-orang dari desa lain maupun pengembara seperti kalian. Setiap hari juga akan selalu ada orang yang dipaksa untuk melayani mereka,” sambung Diki.
Seketika Dika emosi saat mendapat lirikan penghakiman tersebut. Ia segera mendorong Alva hingga laki-laki itu tersandung lalu terjatuh.“Kenapa? Dia hanya perempuan’kan? Apa yang bisa dia lakukan untuk kita selain hanya menjadi beban? Karena dia kau marah padaku?” ucap Dika kesal.“Siapa yang kau panggil hanya? Kau sudah mengenalnya? Sampai kau berani menilainya seperti itu?” Ucap Alva sembari berdiri tegak.Sesaat nyali Dika ciut saat melihat keseriusan Alva.“Kau pikir karena apa aku berani mengusulkan rencana itu? Itu semua karena dia.”“Oh jadi dia pacarmu? Tak heran kau mau melindunginya. Tapi kuperingatkan padamu, jika kau mau rencana kita berhasil berhentilah membawa beban dalam kelompok. Dia hanya akan menyusahkan kita.”“Kau harusnya berterima kasih pada kami karena sudah mau melindungimu,” Diki ikut bersuara.“Sebaiknya kau tetap jalankan rencana itu. Ji
Mark memandangi Bian dengan sinis. Gejolak emosi karena niatnya yang digagalkan oleh gadis tersebut semakin membara. Seluruh anak buahnya sudah menutupi satu-satunya jalan keluar. Tidak ada pilihan selain menerobos pertahanan tersebut. Namun, bukanlah hal mudah untuk membawa orang yang sedang terluka.“Kalian! Bersiaplah untuk menangkapnya! Kita akan menikmatinya bersama-sama.” Mark menjilat bibirnya sendiri. Ia melangkahkan kakinya ka arah Bian dan Alin. Tubuhnya yang berat membuat lantai yang diinjaknya berderap. Ia yang hanya bertelanjang dada serta pandangannya yang mengerikan, membuat paru-paru terasa kesulitan untuk menyalurkan oksigen ke seluruh tubuh.Buk!Kepalan tangan kirinya mengenai bahu kiri Bian. Gadis itu meringis menahan sakit. Dengan santainya, ia mencekik gadis itu dan mengangkatnya hingga menjauh dari lantai. Alin semakin ketakuan.“Urgggh,” Bian mencoba bertahan.Brak!Ia melempar tubuh Bian ke ar
Alva berjalan dengan hati-hati. Ia memperhatikan setiap langkah yang ia lakukan. Disaat ada penjaga yang melihatnya, ia langsung berpura-pura bekerja. Dika dan Diki juga entah ke mana. Kejadian sebelumnya membuat pertemanan mereka retak seketika. Tenda hitam. Satu-satunya petunjuk untuk menemukan ransel kesayangannya.“Hei! Kau mau ke mana? Bukannya kau bekerja di bagian sana?”Alva terkejut saat mendengar suara seorang penjaga. Ia menjadi gugup dan membiarkan pria itu mendekatinya.“Cepat kemb- akhh!”Alva menarik lengan pria itu dan membanting tubuhnya ke tanah.“Arrrgh!”Alva memutar kepala sang penjaga hingga tak bergerak lagi.“Pilihanku untuk melewati jalan ini sudah tepat. Di sini minim penjagaan. Sekarang aku harus menyembunyikan tubuhnya,” lirih Alva.Ia menyeret tubuh sang penjaga dan menyembunyikannya di antara bebatuan. Sesudahnya ia mempercepat langkah ke arah tenda h
Darah menyembur dari tangan kanan Mark. Pergelangan tangan kanannya terpotong oleh kipas Bian yang baru saja ia lempar. Pedang yang ia genggam juga terbelah dua, begitu juga dengan pedang serta tombak yang menghambat pintu keluar.Seluruh penjaga semakin gemetar ketakutan melihat kekuatan dua kipas tersebut.Tap!&nb
Alin bersimpuh di tanah agar bisa menahan berat tubuh Bian yang ada di punggungnya. Ia pun menutup mulutnya sendiri agar tidak bersuara. Sesekali ia mengintip orang yang ia curigai dari balik batang pohon.“Padahal tadi aku melihat dia di sini. Kemana perginya?” tanya suara itu.“Biaaan!” teriaknya.Alin dan Bian sontak terkejut.“Itu temanku!” lirih Bian.“Kau bangun? Tunggu … apa? Kenapa dia berseragam penjaga?” bisik Alin.“Biaaan! Kau di mana?” tanya suara itu lagi.Alin pun memilih keluar.“Di sana kalian rupanya! Aku pikir kalian pingsan.”“Siapa kau? Kenapa kau mengenal Bian? Sedangkan kau menggunakan seragam itu!” Alin masih curiga.“Ini aku, Alva. Aku temannya. Aku akan membantu kalian. Biarkan aku yang membawanya! Nanti aku akan menjelaskan kenapa aku menggunakan pakaian ini.”Alva segera meminda
Seluruh pekerja segera berkemas dan membawa barang hasil curian yang berasal dari gudang pertambangan. Berbeda dengan Alva dan Bian yang masih berdiam di tempat.“Kalian yakin akan tetap tinggal?” tanya Ayah Raya.“Iya. Bian juga menolak untuk pergi. Tenang saja … kami akan bersembunyi di atas pohon tinggi ini,” ucap Alva.“Semoga kalian baik-baik saja. Terima kasih karena sudah menyelamatkan kami.”Alva tersenyum dan sedikit menunduk hormat.Malam hari yang seharusnya bisa menjadi malam damai mereka, malah kembali menjadi malam yang mencekam. Mereka mulai berangkat dengan beberapa obor yang menyala di beberapa sisi. Mereka juga sudah siap menerima resiko jika akan ketahuan karena cahaya obor tersebut.“Selamat tinggal. Terima kasih karena sudah membantuku. Semoga kau bisa ke tempat tujuanmu!” Alin memeluk Bian yang duduk menyan
Satu hari setelah peristiwa pelarian oleh pekerja tambang. Alva mulai mengemasi seluruh perlengkapannya. Sabuk kipas milik Bian pun ia sarungkan di pahanya. Sesekali ia menoleh kepada Bian yang sudah tampak tidak sabaran untuk turun dari tempat itu. Alva pun mempercepat geraknya. Tak lama kemudian, ia berdiri di samping Bian dan sudah siap untuk turun ke tanah. Namun, kali ini ia lebih menyarankan agar Bian tidak melompat secara langsung karena hanya akan memperparah luka yang ada ditubuhnya. Pada akhirnya Bian menaiki punggung Alva karena, saat turun ia tetap bisa menjaga jumlah energi yang dikeluarkan di tempat sehingga Alva tidak akan langsung terjatuh ke tanah.Wuuush!Seketika tubuh Alva terasa ringan saat kakinya hendak menyentuh tanah. Sekitarannya pun langsung terasa berangin.“Jadi … ini rasanya melompat dari ketinggian tapi tidak terjad
Alva membuka pintu kamar secara perlahan dengan harapan tidak mengganggu penghuni kamar yang sedang beristirahat. Alva segera mengeluarkan barang bawaannya yang lumayan banyak. Ia membawa tiga buah kantong yang masing-masing berisi peralatan medis dan beberapa lembar kain.“Aku tidak percaya ada Farma di sini. Setidaknya aku bisa meminta peralatan tambahan. Sebaiknya aku menunggunya sadar dulu baru memasangkan benda ini,” gerutu Alva.Baru saja ia berbalik badan, Bian sudah membuka mata dan memandanginya.“Maaf. Aku bicara terlalu kuat ya?” tanya Alva.Ia langsung mengambil kantong infus dan meletakkannya di samping Bian.“Sebenarnya aku mau menawarkanmu untuk dirawat di Farma. Tetapi setelah kulihat tempat itu penuh … apa boleh buat kau akan mendapat perawatan di tempat seperti ini. Tapi tenang saja, fasilitas di tempat ini sangat lengkap. Bahkan ada kamar mandi di dalam kamar. Begini … kau mungkin meras
Syuut!Trang!Bian berhasil menangkis satu peluru yang hampir mengenainya. Ruangan itu tampak hening meskipun pasukan profesor telah bersiap-siap untuk pergi.“Dua? Tiga? Mereka hanya sedikit namun mereka menyebar dalam ruangan ini. Aku tidak tahu pasti di mana mereka. Yang bisa kulakukan adalah menunggu mereka menyerang,” pikir Bian.Profesor dan yang lain mulai bergerak.Trang!“Ketemu!”Wuush!Ngiiing!“Arrrgh!”Teriakan itu pun seketika berhenti.“Dia berniat mengejar mereka. Setidaknya itu bisa memperingatkan yang lain jika mereka lebih aman jika diam di tempat!”Syyut!Trang!“Arrgh!” Bian terduduk ketika salah satu peluru mengenai perut bagian bawahnya. Darahnya mulai mengalir deras.“Setidaknya aku menemukan satu dari mereka!”Wuush!“Arrrgh!”“Tinggal satu lagi. Aku harus mencarinya sebelum aku kehabisan darah. Di mana kau?” gerutunya. “Perasaanku mulai tidak tenang! Aku harap dia baik-baik saja!” pikir Alva.“Alva! Jangan melamun!” sorak Kevin.Dor!Suara pistol mulai kemba
Pulau Gati telah terlihat. Mereka mulai memenuhi pelabuhan yang tetap ramai seperti biasa.“Prof. Pulau ini memang memiliki banyak pelabuhan. Tetapi … melihat mereka yang sudah tahu dengan kedatangan kita. Bukannya hal yang mungkin jika mereka sudah melarikan diri atau pun mereka membunuh kita saat tiba?” bisik Alva.“Benar. Tetapi … lihatlah sekitar laut! Kapal-kapal itu bukan berlayar tanpa alasan. Mereka berpatroli dan mengepung pulau ini agar tidak ada yang melarikan diri.”“Lalu … kenapa mereka bisa menyerang kita kemaren?”“Itu karena kita sudah masuk wilayah dalam penjagaan. Maksudnya kita sudah masuk dalam sarang mereka, sedangkan para kapal hanya berjaga dalam jarak tertentu agar mereka tidak keluar. Mereka harus menjaga jarak agar tidak mudah diserang musuh. Kemungkinan besar, kemaren mereka masuk melalui penyusupan.”“Apa kalian semua tahu soal kapal penjaga itu?”“Tidak. Aku tidak percaya dengan anak buahku sekarang. Aku merasa salah satu dari teman-temanmu itu ada yang me
Angin laut mulai berhembus kencang. Dua kamar yang dipesan, satu untuk Bian dan satu untuk Alva dan Kevin secara bergantian. Cara terbaik untuk lebih menghemat uang, mengingat mereka masih harus menyewa satu kapal lagi. Namun, sebuah pertemuan yang tidak diduga. Alva kembali bertemu dengan rombongan sang profesor.“Kau … masih hidup?” tanya profesor yang melihat Bian diantara mereka.“Umurnya lebih panjang dari dugaan. Kenapa? Kalian hendak membunuhnya lagi? Jika iya, maka langkahi dulu mayatku!” terang Kevin memasang badan dengan nada tegasnya.“Kau … siapa?” tanya anggota yang lain.“Aku adalah orang yang mengobatinya setelah terjatuh dari tebing itu. Karena itu … aku tidak akan terima jika ada orang yang akan melukainya lagi!”Deg!“Sudahlah … kita tidak ada urusan lagi dengan Lingkar Hitam. Sekarang misi kita hanyalah Regu Venom,” terang profesor.“Kebetulan sekali Prof! Kami memang hendak ikut membantu penyerangan itu!” ucap Alva.“Dari mana kau tahu soal penyerangan itu?”“Seseo
Alva sedikit menenggak ludah lantaran jendral membicarakan soal Lingkar Hijau.“Tuan … apa anda mengetahui semua urusan istana?” tanya Kevin.“Beberapa. Terkadang mereka merahasiakannya dariku!”“Apa Tuan … tahu soal Ariana?” sambung Alva.“Tentu saja. Aku sangat kecewa pada diriku sendiri yang tidak bisa ada untuknya. Saat pemindahan ke Rubi bahkan saat pengirimannya ke perbatasan … aku tidak tahu soal kebijakan itu karena aku sibuk mengurus daerah Timur. Tahu-tahu … dia sudah tidak ada di tempat. Saat aku ingin menjenguknya di Istana Rubi … aku dilarang keras oleh Petinggi. Karena itu … aku hanya bisa mengirim sedikit hadiah dariku melalui pelayan untuknya. Aku pun tidak tahu apa itu benar – benar tersampaikan padanya atau tidak.”“Bahkan anda tidak mengetahui soal pemindahan itu?”“Iya. Rasanya sedih, aku tidak tahu kenapa. Sepertinya mereka berniat menjauhkanku darinya. Padahal aku sangat menyayanginya. Meskipun banyak muncul gosip yang tidak mengenakkan, bagiku … aku sudah menga
Ting!Bian berhasil menangkis pedang yang hampir memenggal leher pangeran.Buk!Penyusup itu tertatih – tatih lantaran kakinya yang terasa amat nyeri. Alva dan Kevin pun segera keluar dan membantu mereka.“Alva! Anak itu!” panggil Bian.Alva menoleh dan melihat pangeran yang mulai memucat. Dia mendekat dan mengecek keadaannya.Sreet!Dia pun menyobek lengan baju pangeran yang telah berlumuran darah.“Membiru!” batinnya.Dia pun menoleh kesekitaran yang terlihat sepi.“Ck … keadaan seperti ini pun tidak ada medis yang berjaga?” gumamnya.“Aku harus memberikan pertolongan pertama padanya!” sambungnya.“Arrgh!”Anindira pun mulai terkena sayatan pedang.“Mereka hanya bertiga … tetapi menjadi sulit karena mereka pengguna racun meskipun memang satu lawan satu,” batin kevin.Dengan matanya yang mulai berkunang-kunang, Anindira tetap berusaha melihat pertarungan di sekitarnya. Musuh yang mulai mengabaikannya mulai mengambil ancang-ancang untuk menyerang yang lain.Matanya terbelalak saat mel
Semuanya langsung terfokus pada suara yang berasal dari tempat duduk sekitaran ratu. Pedang Ro telah menancap di langit-langit setelah dihadang oleh kipas Bian. Alva yang merupakan sasaran pedang itu seketika menjadi panas dingin setelah melihat kipas Bian yang menancap pada dinding batu. “Cerdik sekali Tuan Puteri! Sebaiknya jangan lakukan itu lagi! Jangan sembrono! Semua tempat ini dalam jangkauan kami!” gertak Kevin yang sebenarnya terkejut dengan kejadian itu. “Itu … karena kemampuannya! Kau sudah membunuhnya tadi! Dia menggunakan semacam sugesti pada Yang Mulia Ratu! Kami memang merubah sistem kerajaan semenjak pemerintahan Ratu Indriana. Kami memang mengasingkan Puteri Ariana karena kami takut ramalan itu benar. Kami hanya melakukan tugas kami untuk melindungi kerajaan!” “Ramalan ya! Sepertinya ramalan itu benar! Sebuah kebetulan! Dia datang kembali setelah enam tahun lamanya dengan kemampuannya yang tidak bisa dinalar oleh otak. Bagaimana menurutmu? Dia benar-benar datang unt
Srak!Drap!Dua ekor kuda kembali berpacu. Bedanya kini Bian menunggangi kuda yang sama bersama Kevin. Alva yang telah kembali normal telah mendengar semua cerita beberapa hari yang lalu. Malu dan bersalah, setidaknya itulah yang dia rasakan saat menatap mata Bian.“Maaf, aku tidak pernah tahu apa yang terjadi ketika tubuhku berusaha melawan racun!”Itulah pembelaan yang dia katakan ketika tangan Bian mendadak dingin saat ia tarik agar mau mendengarnya berbicara. Sesudah itu, mereka masih belum ada bicara hingga saat ini.Canggung!“Aku penasaran siapa yang menyerang kita kemaren!” ucap Alva.“Sepertinya hanya perampok! Aku tidak menemukan apapun yang mencurigakan dari salah satu anggota mereka.”“Hmm … mereka hebat juga!”“Kuakui itu. Mungkin mereka mantan dari suatu perkumpulan!”“Ngomong-ngomong … kita akan masuk dari mana? Penjagaan di istana itu pasti sangat ketat!”“Aku sudah tahu jalan masuknya. Kita akan masuk dari Istana Rubi. Tempat itu sangat dekat dengan ruang kerja peting
Drap!Srak!Dua ekor kuda berlari dengan kencang ke arah ibu kota Kerajaan Amara. Tempat yang harus di tempuh selama tiga hari dengan berkuda tanpa halangan.“Kau benar – benar sudah tidak apa-apa?” tanya Alva.“Tentu saja, aku baik-baik saja. Perasaanku jauh lebih baik setelah memukulmu!”“Haa? Tidak terdengar seperti pujian untukku!” jawab Alva.“Yaa … setidaknya kau harus meningkatkan bentuk tubuhmu agar bisa bertahan dengan serangan mendadakku. Kulihat tanganmu membiru!”“Tak bisakah sedikit saja kau merasa berdosa padaku setelah melakukan hal itu?”“Kenapa? Kau sendiri yang memanasiku! Kau harus terima resikonya!”Alva hanya bisa tersenyum mengiyakan pernyataan Kevin yang benar.“Pinggangmu tidak sakit duduk menyamping begitu?” tanya Alva pada Bian.“Ini lebih baik!”“Alva, awas!” teriak Kevin.“Ngiiik!” Kuda yang mereka tunggangi sontak menukik. Dengan sigap Alva memeluk Bian dan memposisikannya agar tidak langsung terjatuh ke tanah.Trak!Kevin melepas anak panahnya ke tempat k
“Ternyata begini caramu memandangi nasib ya?” ejek Alva.Kevin hanya berdecak dan mengabaikannya.“Aku kira kau akan memilih balas dendam seperti sebelumnya!”Pria itu tampak terkejut dan memandangi Alva yang telah duduk di sampingnya.“Tidak ada yang memberitahuku. Aku hanya menebak ke mana kau pergi selama dua tahunan itu. ““Kenapa aku harus mencari jauh-jauh jika orang yang kucari ada di depan mata?” tanya Kevin dengan tatapannya yang tajam.“K-kau bercanda’kan?”Srak!Brak!“Uggh!” Alva terhempas jauh setelah berhasil menangkis serangan Kevin yang mendadak.“Sebaiknya kau jangan ikut campur!” gertak Kevin pada Bian yang hendak mendekat.“Sialan. Ternyata kau serius … baiklah jika itu maumu! Akan aku layani dengan serius!” ucap Alva riang.Syuut!Trak!Bian hanya bisa diam memandangi Alva dan Kevin saling beradu pukulan. Beberapa kali mereka saling terhempas akibat serangan bertenaga mereka. Dia pun berpindah ke atas pohon yang lebih teduh.Setelah tiga puluh menit berlalu, pertar