Alva membuka pintu kamar secara perlahan dengan harapan tidak mengganggu penghuni kamar yang sedang beristirahat. Alva segera mengeluarkan barang bawaannya yang lumayan banyak. Ia membawa tiga buah kantong yang masing-masing berisi peralatan medis dan beberapa lembar kain.
“Aku tidak percaya ada Farma di sini. Setidaknya aku bisa meminta peralatan tambahan. Sebaiknya aku menunggunya sadar dulu baru memasangkan benda ini,” gerutu Alva.
Baru saja ia berbalik badan, Bian sudah membuka mata dan memandanginya.
“Maaf. Aku bicara terlalu kuat ya?” tanya Alva.
Ia langsung mengambil kantong infus dan meletakkannya di samping Bian.
“Sebenarnya aku mau menawarkanmu untuk dirawat di Farma. Tetapi setelah kulihat tempat itu penuh … apa boleh buat kau akan mendapat perawatan di tempat seperti ini. Tapi tenang saja, fasilitas di tempat ini sangat lengkap. Bahkan ada kamar mandi di dalam kamar. Begini … kau mungkin meras
Alva terdiam karena tahu jika Lingkar Hitam mati ditangan Lingkar Hijau. Sebuah organisasi yang bergerak dibidang yang berbeda namun memiliki nama yang hampir sama karena memiliki satu kesamaan. Bergerak diluar jalur yang sebenarnya. Orang-orang yang menggeluti dunia yang sama akan mengatakan jika mereka adalah aib bagi dunia itu. Lingkar Hitam yang menjadi aib bagi dunia ilmu bela diri, dan Lingkar Hijau yang menjadi aib dunia kedokteran.“Kau sudah tahu jika aku adalah orang yang ikut dalam pembantaian perguruanmu. Tetapi kenapa kau … justru menyelamatkanku ketika dalam bahaya? Bukankah seharusnya kau membunuhku untuk membalaskan dendam?”“Aku memang bodoh … tapi aku tahu mana yang baik dan mana yang buruk!” Bian sedikit menaikkan nada bicaranya.“Bian. Apa maksudmu? Aku tidak mengatakan jika kau begitu.”“Kau bilang jika aku berbohong padamu. Aku tidak pernah melakukannya! Aku benar-benar tidak in
Sreet!Bian merobek kain jubah lamanya sehingga membuat Alva tercengang karena heran. Alih-alih menanyakan, ia hanya mengabaikan apa yang dilakukan oleh temannya tersebut. Alva menghadap cermin, ia memegangi rambutnya yang sudah cukup panjang. Sedikit rasa sedih muncul dari dalam dirinya ketika melihat gunting sudah ada di tangan kirinya.“Maaf, kita akan berpisah.”Alva berbalik dan mendekati Bian lalu memberikan gunting kepada gadis itu.“Potong saja sesuai yang kau mau!” ucap Alva.Ia duduk menyandari kasur dan membelakangi Bian. Helai demi helai rambut Alva mulai berjatuhan, sementara itu Alva juga mulai mengumpulkan rambut yang terkumpul di sekitarnya. Hingga sepuluh menit lamanya, Bian pun selesai mengerjakan tugasnya.“Terima kasih. Kepalaku terasa jauh lebih ringan sekarang.” Ucap Alva sembari membalikkan badan.“Eh … apa yang kau lakukan?” Alva menahan tangan kanan Bian y
Alva mempercepat langkahnya untuk mengejar Bian yang hendak ke kamar mandi. Tepat sebelum Bian memasuki pintu kamar mandi, Alva menghadang dengan merentangkan tangan kanannya.“Kau mau apa?” tanya Alva.Bian tidak menjawab, ia memandangi Alva dengan datar. Namun, Alva dapat merasakan jika gadis itu sedang mengusir agar menjauh darinya.“Kau belum bisa berdiri dengan tegak, apa kau bisa ke kamar mandi sendirian?” tanya Alva lagi. Bian sedikit berdecak dan menarik tangan Alva agar menjauh. Alva spontan menjauh dari pintu dan berdiri di sana hingga Bian keluar dari kamar mandi.“Sebenarnya kau buang air atau hanya mau mengganti?” tanya Alva.“Tak perlu malu padaku. Sekarang aku berposisi sebagai doktermu, katakan saja jika butuh bantuan. Aku mencemaskan jika lukamu itu terkena air. Berhati-hatilah!” jelas Alva lagi.Kreet!Pintu kamar mandi sedikit terbuka. Ava spontan mendekat dan hampir s
Beberapa butir batu bergerak saat Alva memaksakan dirinya untuk berdiri. Ia dapat merasakan jika tubuhnya mendapatkan luka-luka kecil sedangkan tangan dan kakinya mati rasa. Suasana menjadi hening setelah peristiwa itu. Batu-batuan yang menutup jalan keluar dengan sempurna menghalangi cahaya matahari sehingga tempat itu menjadi gelap total.“Bian!” suara Alva menggaung ke dalam gua. Ia berusaha bangkit meskipun tubuhnya terasa sangat berat.Ia meraba-raba tiap bagian batu dan kerikil yang ada di sekitarnya.“Bian! Uhuk!” Ia masih mencoba memanggil disaat debu masuk ke dalam mulutnya. Pada akhirnya, ia bisa merasakan tangan Bian yang ada di antara kerikil. Alva teringat jika dia memiliki lampu darurat dan langsung menyala
Alin duduk termenung di samping Bian yang masing terbaring tak sadarkan diri. Beberapa kali ia menghela napas karena gadis itu tak kunjung membuka mata.“Tuan, apa dia tidak apa-apa? Ini sudah hampir satu jam,” tanya Alin.“Tidak apa-apa, aku yang memberinya obat tidur. Untuk saat ini, lebih baik dia istirahat terlebih dahulu.” Jawab Anggara yang sedang duduk berhadapan dengan Alva di meja yang berjarak sedikit jauh dari tempat Bian beristirahat.“Jadi … Tuan Anggara adalah dokter dan kepala desa ini?” tanya Alva.“Aku seorang tabib dan kepala desa,” jawab Anggara.“Begitu ya. Sekali lagi terima kasih karena sudah menyelamatkan kami,” ucap Alva.“Apa bedanya tabib dan dokter? Bukannya hanya beda sebutan?” Tanya Alin yang baru saja mendekat.“Sebenarnya sama, tetapi ada beberapa perbedaan. Dokter it
Sudah hampir setengah hari Alva dan Bian melakukan perjalanan dari tempat persembunyian yang ada di gua. Perjalanan tanpa henti membuat kaki terasa goyang dan letih. Seketika sebuah kebahagiaan terpancar di wajah Alva saat melihat sebuah kereta sapi pengangkut jerami sedang berjalan sesuai arah tempat tujuan mereka. Setelah sedikit bernegoisasi akhirnya Alva dan Bisa menumpang kereta yang hendak melakukan perjalanan ke daerah pantai tersebut.“Kau sering ke daerah pantai? Kalau aku jarang sih, karena aku seringnya ke daerah perbukitan dan selalu terjebak di sana. Karena itu, rasanya aku merasa sangat bahagia saat hendak ke sana,” ucap Alva.Alva merogoh isi ransel dan mengeluarkan dua buah jeruk berwarna hijau dan oranye. Alva memandangi wajah Bian yang sepertinya penasaran dengan buah yang dia bawa.“Ini, cobalah! Ini enak!”
Alva menumpu tubuhnya dengan kedua tangan yang masih belum bertenaga sepenuhnya. Baru saja ia hendak menarik tangan kirinya, dia langsung mengernyitkan dahi karena tangannya yang terasa perih. Tangan yang rupanya masih terkunci membuatnya beberapa kali menghela napas dengan berat.“Sampai kapan kami akan begini?” gumam Alva.Ia memandangi Bian yang sedang tidur sambil menyandari pohon kelapa. Alva baru sadar jika dia baru saja tertidur di atas paha gadis itu.“Bian! Bian! Bangun! Kau tidak apa-apa?” Alva menggoncang tubuh Bian agar segera terbangun.Bian spontan memandanginya dengan wajah bingung. Seharusnya gadis itu yang bertanya, bukan si dokter yang baru saja tersadar dari pingsannya. Tangan kiri Alva spontan mengikuti pergerakan tangan kiri Bian saat bergerak dan membuat mereka saling berpandangan karena terkejut.“Kau tidak bisa melepasnya? Apa yang harus kita lakukan?” tanya Alva.Tak!Baru s
Suara teriakan sontak membuat mereka terperanjat kaget. Mereka sempat terdiam dan memasang telinga untuk mendengar apa yang terjadi. Suara teriak penuh kepanikan terdengar dari arah luar rumah mereka. Tak lama, api mulai terlihat dari arah atap rumah dan menelan atap yang terbuat dari ilalang. Alwyn menjadi panik dan segera membawa adiknya keluar rumah.Suasana di luar rumah sangatlah buruk. Para perampok berkuda sedang asik membakar, menikam bahkan menarik beberapa wanita dengan gelak tawa mereka. Alva spontan memeluk sang kakak untuk melawan rasa takut di dadanya.“Kakak, Alva takut!” ungkap Alva.“Ssst! Jangan menangis ya! Jangan sampai suara kita terdengar!”Alwyn menutup mulut Alva dengan telapak tangan kanannya. Ia juga menghirup napas dalam-dalam untuk menenangkan diri yang sebenarnya juga sedang ketakutan. Dia memandangi rumahnya yang mulai hangus terbakar dan mulai berjatuhan ke tanah.“Oh tidak!” ucapny
Syuut!Trang!Bian berhasil menangkis satu peluru yang hampir mengenainya. Ruangan itu tampak hening meskipun pasukan profesor telah bersiap-siap untuk pergi.“Dua? Tiga? Mereka hanya sedikit namun mereka menyebar dalam ruangan ini. Aku tidak tahu pasti di mana mereka. Yang bisa kulakukan adalah menunggu mereka menyerang,” pikir Bian.Profesor dan yang lain mulai bergerak.Trang!“Ketemu!”Wuush!Ngiiing!“Arrrgh!”Teriakan itu pun seketika berhenti.“Dia berniat mengejar mereka. Setidaknya itu bisa memperingatkan yang lain jika mereka lebih aman jika diam di tempat!”Syyut!Trang!“Arrgh!” Bian terduduk ketika salah satu peluru mengenai perut bagian bawahnya. Darahnya mulai mengalir deras.“Setidaknya aku menemukan satu dari mereka!”Wuush!“Arrrgh!”“Tinggal satu lagi. Aku harus mencarinya sebelum aku kehabisan darah. Di mana kau?” gerutunya. “Perasaanku mulai tidak tenang! Aku harap dia baik-baik saja!” pikir Alva.“Alva! Jangan melamun!” sorak Kevin.Dor!Suara pistol mulai kemba
Pulau Gati telah terlihat. Mereka mulai memenuhi pelabuhan yang tetap ramai seperti biasa.“Prof. Pulau ini memang memiliki banyak pelabuhan. Tetapi … melihat mereka yang sudah tahu dengan kedatangan kita. Bukannya hal yang mungkin jika mereka sudah melarikan diri atau pun mereka membunuh kita saat tiba?” bisik Alva.“Benar. Tetapi … lihatlah sekitar laut! Kapal-kapal itu bukan berlayar tanpa alasan. Mereka berpatroli dan mengepung pulau ini agar tidak ada yang melarikan diri.”“Lalu … kenapa mereka bisa menyerang kita kemaren?”“Itu karena kita sudah masuk wilayah dalam penjagaan. Maksudnya kita sudah masuk dalam sarang mereka, sedangkan para kapal hanya berjaga dalam jarak tertentu agar mereka tidak keluar. Mereka harus menjaga jarak agar tidak mudah diserang musuh. Kemungkinan besar, kemaren mereka masuk melalui penyusupan.”“Apa kalian semua tahu soal kapal penjaga itu?”“Tidak. Aku tidak percaya dengan anak buahku sekarang. Aku merasa salah satu dari teman-temanmu itu ada yang me
Angin laut mulai berhembus kencang. Dua kamar yang dipesan, satu untuk Bian dan satu untuk Alva dan Kevin secara bergantian. Cara terbaik untuk lebih menghemat uang, mengingat mereka masih harus menyewa satu kapal lagi. Namun, sebuah pertemuan yang tidak diduga. Alva kembali bertemu dengan rombongan sang profesor.“Kau … masih hidup?” tanya profesor yang melihat Bian diantara mereka.“Umurnya lebih panjang dari dugaan. Kenapa? Kalian hendak membunuhnya lagi? Jika iya, maka langkahi dulu mayatku!” terang Kevin memasang badan dengan nada tegasnya.“Kau … siapa?” tanya anggota yang lain.“Aku adalah orang yang mengobatinya setelah terjatuh dari tebing itu. Karena itu … aku tidak akan terima jika ada orang yang akan melukainya lagi!”Deg!“Sudahlah … kita tidak ada urusan lagi dengan Lingkar Hitam. Sekarang misi kita hanyalah Regu Venom,” terang profesor.“Kebetulan sekali Prof! Kami memang hendak ikut membantu penyerangan itu!” ucap Alva.“Dari mana kau tahu soal penyerangan itu?”“Seseo
Alva sedikit menenggak ludah lantaran jendral membicarakan soal Lingkar Hijau.“Tuan … apa anda mengetahui semua urusan istana?” tanya Kevin.“Beberapa. Terkadang mereka merahasiakannya dariku!”“Apa Tuan … tahu soal Ariana?” sambung Alva.“Tentu saja. Aku sangat kecewa pada diriku sendiri yang tidak bisa ada untuknya. Saat pemindahan ke Rubi bahkan saat pengirimannya ke perbatasan … aku tidak tahu soal kebijakan itu karena aku sibuk mengurus daerah Timur. Tahu-tahu … dia sudah tidak ada di tempat. Saat aku ingin menjenguknya di Istana Rubi … aku dilarang keras oleh Petinggi. Karena itu … aku hanya bisa mengirim sedikit hadiah dariku melalui pelayan untuknya. Aku pun tidak tahu apa itu benar – benar tersampaikan padanya atau tidak.”“Bahkan anda tidak mengetahui soal pemindahan itu?”“Iya. Rasanya sedih, aku tidak tahu kenapa. Sepertinya mereka berniat menjauhkanku darinya. Padahal aku sangat menyayanginya. Meskipun banyak muncul gosip yang tidak mengenakkan, bagiku … aku sudah menga
Ting!Bian berhasil menangkis pedang yang hampir memenggal leher pangeran.Buk!Penyusup itu tertatih – tatih lantaran kakinya yang terasa amat nyeri. Alva dan Kevin pun segera keluar dan membantu mereka.“Alva! Anak itu!” panggil Bian.Alva menoleh dan melihat pangeran yang mulai memucat. Dia mendekat dan mengecek keadaannya.Sreet!Dia pun menyobek lengan baju pangeran yang telah berlumuran darah.“Membiru!” batinnya.Dia pun menoleh kesekitaran yang terlihat sepi.“Ck … keadaan seperti ini pun tidak ada medis yang berjaga?” gumamnya.“Aku harus memberikan pertolongan pertama padanya!” sambungnya.“Arrgh!”Anindira pun mulai terkena sayatan pedang.“Mereka hanya bertiga … tetapi menjadi sulit karena mereka pengguna racun meskipun memang satu lawan satu,” batin kevin.Dengan matanya yang mulai berkunang-kunang, Anindira tetap berusaha melihat pertarungan di sekitarnya. Musuh yang mulai mengabaikannya mulai mengambil ancang-ancang untuk menyerang yang lain.Matanya terbelalak saat mel
Semuanya langsung terfokus pada suara yang berasal dari tempat duduk sekitaran ratu. Pedang Ro telah menancap di langit-langit setelah dihadang oleh kipas Bian. Alva yang merupakan sasaran pedang itu seketika menjadi panas dingin setelah melihat kipas Bian yang menancap pada dinding batu. “Cerdik sekali Tuan Puteri! Sebaiknya jangan lakukan itu lagi! Jangan sembrono! Semua tempat ini dalam jangkauan kami!” gertak Kevin yang sebenarnya terkejut dengan kejadian itu. “Itu … karena kemampuannya! Kau sudah membunuhnya tadi! Dia menggunakan semacam sugesti pada Yang Mulia Ratu! Kami memang merubah sistem kerajaan semenjak pemerintahan Ratu Indriana. Kami memang mengasingkan Puteri Ariana karena kami takut ramalan itu benar. Kami hanya melakukan tugas kami untuk melindungi kerajaan!” “Ramalan ya! Sepertinya ramalan itu benar! Sebuah kebetulan! Dia datang kembali setelah enam tahun lamanya dengan kemampuannya yang tidak bisa dinalar oleh otak. Bagaimana menurutmu? Dia benar-benar datang unt
Srak!Drap!Dua ekor kuda kembali berpacu. Bedanya kini Bian menunggangi kuda yang sama bersama Kevin. Alva yang telah kembali normal telah mendengar semua cerita beberapa hari yang lalu. Malu dan bersalah, setidaknya itulah yang dia rasakan saat menatap mata Bian.“Maaf, aku tidak pernah tahu apa yang terjadi ketika tubuhku berusaha melawan racun!”Itulah pembelaan yang dia katakan ketika tangan Bian mendadak dingin saat ia tarik agar mau mendengarnya berbicara. Sesudah itu, mereka masih belum ada bicara hingga saat ini.Canggung!“Aku penasaran siapa yang menyerang kita kemaren!” ucap Alva.“Sepertinya hanya perampok! Aku tidak menemukan apapun yang mencurigakan dari salah satu anggota mereka.”“Hmm … mereka hebat juga!”“Kuakui itu. Mungkin mereka mantan dari suatu perkumpulan!”“Ngomong-ngomong … kita akan masuk dari mana? Penjagaan di istana itu pasti sangat ketat!”“Aku sudah tahu jalan masuknya. Kita akan masuk dari Istana Rubi. Tempat itu sangat dekat dengan ruang kerja peting
Drap!Srak!Dua ekor kuda berlari dengan kencang ke arah ibu kota Kerajaan Amara. Tempat yang harus di tempuh selama tiga hari dengan berkuda tanpa halangan.“Kau benar – benar sudah tidak apa-apa?” tanya Alva.“Tentu saja, aku baik-baik saja. Perasaanku jauh lebih baik setelah memukulmu!”“Haa? Tidak terdengar seperti pujian untukku!” jawab Alva.“Yaa … setidaknya kau harus meningkatkan bentuk tubuhmu agar bisa bertahan dengan serangan mendadakku. Kulihat tanganmu membiru!”“Tak bisakah sedikit saja kau merasa berdosa padaku setelah melakukan hal itu?”“Kenapa? Kau sendiri yang memanasiku! Kau harus terima resikonya!”Alva hanya bisa tersenyum mengiyakan pernyataan Kevin yang benar.“Pinggangmu tidak sakit duduk menyamping begitu?” tanya Alva pada Bian.“Ini lebih baik!”“Alva, awas!” teriak Kevin.“Ngiiik!” Kuda yang mereka tunggangi sontak menukik. Dengan sigap Alva memeluk Bian dan memposisikannya agar tidak langsung terjatuh ke tanah.Trak!Kevin melepas anak panahnya ke tempat k
“Ternyata begini caramu memandangi nasib ya?” ejek Alva.Kevin hanya berdecak dan mengabaikannya.“Aku kira kau akan memilih balas dendam seperti sebelumnya!”Pria itu tampak terkejut dan memandangi Alva yang telah duduk di sampingnya.“Tidak ada yang memberitahuku. Aku hanya menebak ke mana kau pergi selama dua tahunan itu. ““Kenapa aku harus mencari jauh-jauh jika orang yang kucari ada di depan mata?” tanya Kevin dengan tatapannya yang tajam.“K-kau bercanda’kan?”Srak!Brak!“Uggh!” Alva terhempas jauh setelah berhasil menangkis serangan Kevin yang mendadak.“Sebaiknya kau jangan ikut campur!” gertak Kevin pada Bian yang hendak mendekat.“Sialan. Ternyata kau serius … baiklah jika itu maumu! Akan aku layani dengan serius!” ucap Alva riang.Syuut!Trak!Bian hanya bisa diam memandangi Alva dan Kevin saling beradu pukulan. Beberapa kali mereka saling terhempas akibat serangan bertenaga mereka. Dia pun berpindah ke atas pohon yang lebih teduh.Setelah tiga puluh menit berlalu, pertar