Kata-kata itu terdengar berbahaya. Ada sesuatu di sana, ada sebuah makna. Namun Luke tidak mengerti apa makna tersembunyi yang coba Tiffany sampaikan. Yang ia tahu itu adalah ancaman untuk bayi dan calon istrinya.
“Apa maksudmu? Sampaikan dengan jelas, kamu memiliki mulut untuk mengatakannya.” Luke menatap Tiffany dengan tatapan yang terasa sanggup membuat lubang di antara kedua matanya.
Tapi Tiffany malah tertawa kecil. Melihat Phoenix yang seperti ini, ia tahu seorang penguasa itu tengah merasa panik.
“Kamu seperti bukan Phoenix. Aku tidak mengenal seseorang yang sangat mudah panik hanya karena seorang perempuan yang tengah mengandung.” Tiffany mencemooh, tangannya bergerak di sekitar dada bidang Luke dengan gamang. Bibirnya yang mungil menyunggingkan senyum yang terlampau jahat.
Tapi wanita itu berteriak tertahan setelahnya, gerakan Luke yang sangat cepat cukup mengejutkannya. Luke tiba-tiba saja sudah memeluknya dengan cukup erat da
Thomas tampak sangat terkejut lalu menjatuhkan senjata. Setelah senjata itu menyentuh lantai, Ben memberikan isyarat agar salah satu dari pengawal mereka mengamankannya. Sedangkan Luke tersenyum remeh, hanya dengan gertakan seperti ini Thomas telah gentar. Benar-benar makhluk lemah yang menjijikkan.“Siapa orang itu?! Siapa yang mengirim kalian kemari?!” Kali ini Hendry yang berbicara. Di tangannya telah berada senjata yang sama dengan milik Luke.“Se-seorang rival.” Dahi Thomas mengerut dan ia menunduk dengan kekhawatiran dan ketakutan yang mengisinya. Suasana ini, bagaimana mungkin terjadi secepat ini? Sebelumnya ia yang memegang kendali, tapi bagaimana bisa menjadi seperti ini?Tiffany tampak marah juga sedikit ketakutan lalu merapatkan tubuh ke tubuh suaminya. Thomas melirik Tiffany sebentar lalu tangannya menarik wanita itu ke dalam dekapannya. Berusaha untuk terlihat menjadi suami yang luar biasa.“Katakan
“Rena.” Seorang pria dengan tubuh jakung mengguncang tubuh kurus dengan hati-hati. Tubuh pria itu telah terbalut kemeja biru malam yang mencetak pas tubuh menawannya.Suara Luke sangat lembut dan guncangannya lemah, tapi itu sudah mampu membangunkan Rena. Rena terbangun dengan kernyitan di dahi, perlahan ia bangkit dengan tangan yang memegang kepala. Hanya dari itu, Luke tahu Rena mungkin merasa pening. Jadi ia kembali mendorongnya untuk berbaring.“Luke?” Rena berbisik dengan suara yang serak. Ia tampak sedikit lesu, mungkin karena kehamilannya.Luke tersenyum kecil, Rena terlihat belum mendapatkan kesadaran sepenuhnya. Rena yang hampir selalu lesu, tapi berusaha berbahagia. Luke merasa sedikit tersentuh saat melihat Rena berusaha berbahagia setiap detiknya meski ia lelah. Mereka telah kembali dari rumah sakit setelah petistiwa kedatangan Thomas dan Tiffany. Mereka harus pergi karena peluru yang Hendry tembakkan untuk mengg
Luke berdiam diri sejenak, berpikir apa yang harus ia lakukan untuk memecahkan masalah yang tengah ia hadapi. Perusahaannya sangat prima, namun proyek besar yang dijalankannya memerlukan kerja sama dengan beberapa perusahaan yang benar-benar ia butuhkan. Ia memang belum menjadi pemimpin resmi mengingat ia masih belum menamatkan pendidikan. Tapi ia turut ambil kendali dalam perusahaan karena ayahnya yang menginginkannya. Ia akan diangkat untuk menjadi pemimpin resmi setelah menamatkan pendidikan dan ayahnya hanya akan menjalankan perusahaan cabang di Jepang, sedikit bersantai di usianya yang tidak lagi muda. Ayahnya hanya akan menghabiskan hari tua bersama ibunya, seorang istri yang setia meski pernah diduakan.Ayahnya pernah menikah lagi dahulu, menikah dengan seorang wanita yang telah memiliki sebuah putri dari pernikahan sebelumnya. Menikah hanya untuk sebuah bisnis. Luke tahu ayahnya tidak mencintai wanita itu. Ayahnya hanya menyimpan ibu di dalam hatinya. Pr
“Ya, buka saja pintunya.” Luke menyahut dengan sedikit berteriak saat mendengar ketukan pintu, mengingat kamarnya adalah ruangan yang cukup luas.“Selamat pagi, Bos. Maaf mengganggu pagi Anda. Bella dan Alexa yang Jeff jemput telah tiba, mereka berada di bawah.” Pengawal itu segera melaporkan apa alasan yang membuatnya harus menemui Luke.“Persilakan mereka masuk ke ruang tengah. Katakan pada mereka untuk sedikit menunggu.” Luke menggumam seadanya dengan suara yang tegas.“Baik, Bos. Perintah akan saya jalankan.” Pengawalnya itu menyahut patuh dan cepat yang dibalas dengan kibasan tangan.Pengawal itu membungkuk dalam sebagai bentuk hormat. Ia melangkah mundur dan menutup pintu kamar itu setelah melihat Luke mengangguk untuk menyahut salamnya.Luke kembali berbalik dan menatap jendela luar setelah kepergian pengawalnya itu. Sebenarnya tidak banyak yang ia pikirkan, ia hanya memikirkan Re
Rena telah berada di dalam mobil yang berisi ia, Luke, Jeffrey dan Ben. Telah hampir sepuluh menit mereka di dalam dan Rena hanya diam. Orang-orang yang berbicara hanya Ben dan Luke, mereka berbicara mengenai pekerjaan mereka. Sepertinya pekerjaan yang mereka lakukan di rumah Luke belum berakhir.“Baik, Ben. Aku minta salinan data ini. Usahakan besok pagi telah ada di meja kantorku.” Luke menyerahkan satu rangkap berkas pada Ben yang menoleh dari posisi duduknya yang memang di sebelah Jeffrey yang menyetir.“Baik.” Ben menerima berkas itu dan melihat isinya.Luke menyandarkan tubuhnya dengan wajah yang tampak lega. Tangannya terangkat untuk memijat pangkal hidungnya dengan mata yang terpejam. Ia sedikit terlihat kelelahan dan stres, Rena hanya menatapnya dalam diam. Ia ingat bagaimana Luke membentaknya tadi pagi karena rasa stres, Rena cukup tahu diri untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.“Oh, Rena?”
“Tu-tunggu dulu, Hendry. Hentikan sebentar.” Amora mendorong Hendry yang sedang menyesap lehernya. Laki-laki itu memandangnya bingung sebelum menutup mata kesal.“Katakan saja jika kamu tidak menginginkannya, aku akan berhenti.” Hendry menarik napas sebentar untuk meredakan nafsunya lalu membawa tangannya untuk mengelus dahi Amora yang telah basah oleh keringat. Ia menyingkirkan rambut-rambut halus yang sedikit menghalanginya untuk menatap wajah manis itu.Amora terlihat sedikit ragu dan takut untuk mengusiknya, Hendry jadi khawatir dengan apa yang akan ia lakukan. Ia tidak ingin memaksa, karena sudah cukup dahulu ia melakukannya. Dulu saat mereka masih baru saja bertemu, saat ia masih menjadi orang yang benar-benar egois.“Tidak, Hendry, benar-benar bukan itu.” Amora menggeleng kecil dengan senyuman lalu tangannya meraih tangan Hendry yang mengelus dahinya dengan perlahan. Ia tahu apa yang Hendry pikirkan dan ia
“Begini tidak apa-apa?” Luke berbisik pada Rena. Itu mengenai blitz kamera yang tengah memotret mereka.“Tidak apa-apa, mereka tidak sebanyak tadi.” Rena menyahut disertai senyuman.Luke juga tersenyum, bukti dari seberapa lega perasaannya sekarang. Interaksi itu sangat manis, mereka terlihat seperti pasangan yang hangat dan romantis dari bagaimana mereka tersenyum dan memandang satu sama lain dengan lembut. Blitz kembali bermunculan, media berlomba-lomba mengabadikan momen langka ini.“Luke, tempat telah disediakan dan aku jamin tidak ada satu pun dari media yang dapat menyentuh kalian.” Jeffrey berbisik dengan pandangan yang tanpa henti mengawasi pergerakan media.“Baik, kalau begitu aku akan memulai konferensi pers ini.” Luke berbisik kecil pada Jeffrey, tapi kata-katanya masih dapat Rena dengar.“Mundur lebih dulu, Rena. Berjalanlah bersama Jeff, aku akan memi
“Hati-hati, Rena.” Luke mengucapkannya saat Rena menaiki anak tangga terakhir menuju kamar mereka. Setelah sedikit berbincang dengan sekretaris Hendry tadi mereka segera kembali. Luke semakin mantap untuk kembali dan memasuki ruang kerjanya setelah ia menemukan kain bertuliskan darah di dalam mobilnya. Lagi, teror yang sama. Untung saja Luke lebih dulu memasuki mobil dan sempat menyimpan kain itu di saku celana formalnya tepat sebelum membantu Rena untuk duduk di sebelahnya.Berbicara tentang teror, Luke telah meminta Ben untuk menghubungi seseorang terpercaya pada hari-hari sebelumnya agar segera menyelidiki. Luke telah menyerahkan kain yang sebelumnya pada Ben. Ia benar-benar berhati-hati sehingga memberi itu saat Rena beristirahat di rumah sakit.Luke langsung melepaskan jasnya sesaat setelah mereka memasuki kamar dan Rena yang melihat itu segera mendekati Luke untuk menyampirkan jas itu di lengannya. Rena tampak lelah, Luke kira itu karena
Rena bergerak ke dalam pelukan suaminya. Kulit mereka yang sama polosnya menyentuh satu sama lain. Ini adalah malam hari jadi pernikahan tahun kelima mereka. Riana dan Jeffrey membawa Edrick untuk menginap di rumah Hendry untuk bermain bersama putri Hendry dan Amora, Liliana Lewis. Mereka bermaksud memberikan waktu berdua pada Luke dan Rena untuk menikmati waktu mereka. Hingga mereka sekarang berada di atas tempat tidur, memutuskan untuk mengakhiri hari jadi pernikahan untuk saling menghangatkan.Rena tersenyum samar dan perlahan menangkup wajah suaminya. Luke terlihat tampan meski keringat mulai membasahi wajah. Menatap Luke seperti ini perlahan membuat Rena mengingat lagi tentang masa lalu mereka. Ia kembali mengingat bagaimana Luke saat dulu pertama kali menyentuhnya. Ia juga kembali mengingat bagaimana raut wajah yang ia tunjukkan. Dahulu wajah tampan itu terisi dengan belas kasihan dan sedikit rasa peduli. Tapi sekarang wajah itu menunjukkan cinta dan kebah
Rena hampir menangis karena air susunya tidak cukup untuk menyusui Edrick. Untung saja ibu mertuanya ikut ke rumah Ploy dan mengambil air susu di lemari pendingin. Ia sempat memerah air susunya sesaat sebelum ia berangkat untuk menyelamatkan Luke.“Sudah, tidak apa-apa. Kamu harus lebih tenang agar produksi susumu baik untuk menyusui Edrick selanjutnya. Air susu perah ini hanya cukup untuk menyusuinya sekali ini saja.” Ibu Luke yang menggendong Edrick dan membantunya meminum susunya, membiarkan Rena menenangkan dirinya sendiri.“Baik, Ibu. Aku mengerti.” Rena menyahut setelah menghela napas panjang untuk sedikit menenangkan diri. Sebenarnya ia tidak bisa tenang saat Luke harus menghadapi bahaya. Tapi ia akan berusaha karena bahkan Ibu Luke sekalipun menunjukkan sikap tubuh penuh ketenangan.“Bagus. Kamu harus tenang. Sebenarnya bukan hanya untuk Edrick tapi juga dirimu sendiri. Kalau kamu terlalu stress dan kelelahan k
Orang-orang itu memasuki sebuah ruangan dengan tenang, mengabaikan wajah terkejut banyak laki-laki di sana. Mereka adalah tamu yang tidak disangka akan datang. Mereka adalah Phoenix dan King. Mereka orang-orang terkejam yang sanggup membunuh untuk menunjukkan eksistensi dan kekuatan mereka. Terlebih, mereka datang setelah musibah yang menghampiri Phoenix dan terlihat sama sekali tidak terpengaruh oleh itu.“Ini wilayahku dan kalian masuk tanpa persetujuanku. Apa yang kalian lakukan di sini?” Suara Mark yang geram menyambut keduanya.“Bukankah kamu juga melakukan hal yang sama? Aku hanya melakukan apa yang kamu lakukan sebelumnya. Hanya saja aku lebih bermoral karena tidak memasuki wilayahmu dengan menyelundup.” Luke menyahut dengan tenang sementara matanya berpendar mencari seseorang lagi pembuat masalah. Hingga ia menemukannya, Jane yang mendekati Mark setelah keluar dari sebuah ruangan,“Sialan. Apa yang ingin kamu l
“Aku tidak bangun untuk melihatmu menangis, Rena.” Suara laki-laki yang masih terdengar lemah itu berisi dengan rasa khawatir. Ia baru saja terbangun lalu menemukan Rena yang langsung menangis.Sedangkan Rena malah menangis semakin keras karena Luke yang berupaya menenangkannya. Rasa lega yang menerjangnya terasa terlalu keras hingga ia sendiri kelimpungan dalam menanggapi. Ia hanya terlalu lega hingga kini membuat Luke yang berubah khawatir padanya.“Apa yang harus dikhawatirkan? Lihatlah! Aku baik-baik saja.” Jawaban Luke membuat ibunya menghela napas jengah.“Kamu membuatku khawatir, Luke. Kamu kehilangan kesadaran di depan wajahku. Saat tenaga medis berusaha menyelamatkanmu, kamu dalam kondisi tidak stabil karena kekurangan darah. Sedangkan di rumah sakit ini hanya tersisa satu kantong darah untukmu dan itu tidak banyak membantu. Aku panik sekali.” Kini Rena yang berbicara, nada suaranya terdengar sedikit kes
Luke tengah berada di ruang operasi. Tenaga medis tengah melakukan operasi kecil untuk mengeluarkan peluru yang bersarang di tubuhnya. Tapi operasi itu berjalan lama karena kondisi Luke yang tidak stabil. Ia kehilangan banyak darah, sehingga penanganannya harus sangat hati-hati.“Rena, aku tahu kamu cemas. Tapi aku mohon duduklah sebentar, kamu sudah berdiri terlalu lama. Aku tidak mau kamu pingsan saat nanti Edrick harus kau susui.” Itu Alexa yang berbicara. Ia cerewet hari ini karena melihat Rena yang terlalu ceroboh untuk dirinya sendiri. Sebenarnya ia lebih cerewet sebelumnya saat ia menyuruh Rena mengganti baju dengan baju yang Riana bawa. Ia memang sengaja meminta Riana untuk segera menyusul ke rumah sakit dengan bantuan Ben dan membawa setelan baju yang seukuran dengan tubuh kurus Rena. Ia hanya khawatir saat melihat tubuh Rena berbalut darah. Ia juga seseorang yang rela untuk sangat direpotkan saat membantu Rena untuk menghapus noda-noda dara
Alexa masuk bersama Hendry, Jeffrey, Joseph dan Rena. Sebenarnya Hendry, Jeffrey dan Joseph sudah meminta Alexa untuk tinggal. Tapi mereka berakhir berada di tempat itu karena Rena ingin ikut, membuat Alexa ingin menemaninya. Alexa hanya tidak ingin Rena kehilangan pengendalian diri karena ia mungkin saja masih mengingat kejadian mengerikan yang ia dan Bella hadapi hari itu.“Pelacur sialan! Bagaimana kamu bisa berada di sini?” Jane berteriak marah. Rencananya ia hanya mengundang Rena, tapi pelacur sialan ini malah ikut.“Aku tidak hanya pintar untuk menjajakan tubuhku, tapi juga menggunakan otakku. Itu yang disebut dengan pelacur yang cerdas. Tidak murahan yang memperkosa seorang laki-laki.” Alexa menjawab dengan kesombongan di nada bicaranya. Ia murka, ia tidak terima seorang teman dekat sekaligus suami sahabatnya diperlakukan sebegitu rendah.Sebenarnya tidak hanya Alexa yang merasa amarah membakarnya, terlebih lagi Rena.
Meronta saat merasakan kulitnya dicengkram erat begitu tali-tali di tubuhnya dilepaskan. Ia berencana untuk melepaskan diri, tapi efek obat bius masih membuat ia cukup lemas. Sedangkan Jane hanya diam saat melihat Luke mulai berteriak frustasi. Ia memang mencintai Luke, namun ia tidak bisa diam saat rasa sakit menggigit hatinya. “Apa yang kamu rencanakan? Apa yang ingin kamu lakukan?!” Luke berteriak marah lalu mencoba memberontak. BUG! “Sialan!” Luke berteriak marah pada Mark yang tiba-tiba memukulnya. Ia benar-benar marah pada mereka serta tubuhnya yang terasa seperti bukan tubuhnya sendiri. “Kamu hanya perlu diam dan nikmati apa yang kami berikan padamu. Saatnya kamu yang kalah, Phoenix. Saatnya kau yang merasakan dipermalukan. Saatnya kamu yang merasakan perasaan tidak berdaya.” Mark tertawa setelah itu, merasa puas melihat ketidakmampuan Luke membalas pukulannya. “Hentikan ini sekarang juga! Kamu pikir apa yang akan kamu la
Tubuh laki-laki itu terlihat lemas bersandar pada sebuah kursi di ruangan yang kumuh. Ia terikat oleh seutas tali tambang yang kasar. Posisi tubuhnya terlihat benar-benar tidak nyaman. Sementara orang-orang di sana hanya memandangnya dan menunjukkan wajah yang tenang. “Seberapa banyak dosis obat bius yang kamu berikan?” Seorang laki-laki bertanya pada seorang perempuan di sana. Nada suaranya mulai terdengar tidak sabar. “Bukan aku yang memberikannya, aku meminta dokter pribadiku. Kenapa kamu tidak bersabar sedikit?” Perempuan itu menyahut dengan kesal. “Jane, aku ke sini tidak untuk membuang banyak waktu. Jika aku tahu akan jadi sebegini terlambat, aku akan menunda untuk datang lebih dulu.” Tapi si laki-laki menyahut tidak kalah kesal. Ia memiliki banyak hal yang ingin ia jadikan pencapaian hingga menunggu seperti ini benar-benar terasa tidak berguna. “Lalu apa? Bukankah ini adalah apa yang juga kamu tunggu, Mark? Kamu ingin melihat dia
Cahaya bintang terlihat redup saat ditatap dari taman belakang yang berisi bunga-bunga yang ditanam seorang perempuan cantik belakangan hari saat ia masih mengandung. Udara mendinging dan suara menyepi. Hari telah berubah semakin larut tapi Luke masih terjaga. Rasa rindu pada Rena semakin tidak tertahankan sedangkan ia masih harus bertahan pada kesunyian yang sama demi meluluskan diri dari ujian kesabaran yang ia buat sendiri. Rena selalu pandai bersabar, maka ia juga harus bisa. Memiliki cinta seorang malaikat membuatnya harus merubah diri walau terasa menyakitkan.“Rena, bagaimana kabarmu? Aku merindukanmu. Tidakkah kamu juga merasakan hal yang sama?” Tangan Luke terangkat untuk mencengkram dadanya sendiri. Ia telah sekarat karena rindu yang mulai berkarat.Rasa rindu teramat dalam ini seperti akan merenggut kewarasannya. Oh Tuhan, jika iblis sepertinya boleh memohon. Maka ia memohon jika saat waktu memaksa mereka untuk berpisah, ia ingin ia