"Kamu....?" Alina sempat terdiam beberapa saat, memastikan kembali dengan apa yang sekarang ia lihat.
"Lin, dimana Alya? Dimana putriku?" laki-laki itu terus saja berceloteh, tanpa menyadari ekspresi wajah Alina yang sudah seperti apa.
"Jawab Lin, kenapa kamu diam?"
"Mas Aditya____....?" nama itu lolos begitu saja dari bibir Alina, di sertai tatapan tidak percaya dari wanita itu. "Kamu udah...?"
"Aku udah bebas, Lin? Sekarang kita bisa sama-sama lagi kaya dulu," ucapnya di sertai senyum yang terpancar dari kedua matanya.
Laki-laki itu sangat bahagia karena masa hukumannya tiba-tiba di perpendek, dan hari ini akhirnya ia bebas dan bisa kembali menghirup udara segar.
"Kamu udah bebas Mas, atau jangan-jangan kamu kab__...?" Alina membekap mulutnya sendiri, ia tidak bisa membayangkan jika benar Aditya kabur dari sel tahanan, dan sekarang ia adalah seorang buron polisi.
"Nggak Lin, aku beneran udah bebas."
"Kenapa bisa, harusnya kam
"Jadi, maksud kedatanganmu kesini sebenarnya untuk apa?" Roy melipat kedua tangannya santai, pandangan laki-laki itu terus saja memperhatikan gerak-gerik Elisa yang cukup kaku, mungkin wanita itu tengah mempertimbangkan apa yang ia minta, atau mungkin...entahlah."Ini nggak ada hubungannya sama aku ya, Kak? Aku hanya kasian sama Rey, tiap hari nungguin kamu, apalagi kalau akhir pekan."Elisa masih saja mengelak, padahal ia juga ingin sekali laki-laki di depannya itu pulang, dan kembali seperti dulu sebelum mereka bertengkar."Aku sudah bilang El, kalau aku bakal temuin Rey seminggu sekali, kecuali....?" matanya melirik ke arah wanita itu, membuat Elisa yang menyadari langsung melotot kesal."Kak, apa cuma itu yang ada di otak kamu? "Rasanya dia tak percaya dengan permintaan Roy tadi, bagaimana mungkin laki-laki itu memberikan syarat yang di rasanya sangat keterlaluan."Tentu saja, aku laki-laki normal El, dan aku butuh itu."Elisa ma
"Nyebelin!!!"Elisa menghentakkan kakinya kesal, niat hati datang ke kantor untuk membujuk Roy agar mau pulang, tapi malah ia di tinggalkan begitu saja di ruangan itu sendirian."Lagian bisa-bisanya Papi kenal perempuan seperti itu, siapa tadi namanya, Alin...? Ah, ya Alina. Aku harus telepon Papi, dan menanyakannya langsung.""Pih...?" teriak Elisa manja, seperti biasa wanita itu akan merengek jika menginginkan sesuatu, meski sekarang ia sudah menikah."Ya El, ada apa?" jawab Papi Andreas di seberang sana."Papi beneran, kasih Kak Roy sekertaris seperti itu?" masih dengan gaya khasnya, manja."Maksudmu apa, El?" Tuan Andreas bingung, karena ia memang tidak tau kemana arah pembicaraan putrinya."Papi yakin kasih Kak Roy sekertaris kaya Alina, dia centil Pih, terus pakaiannya juga seksi," ucap Elisa, ia mencoba menjelaskan."Apa itu tandanya kamu cemburu, El?" kini giliran Papi Andreas y
Roy bergegas menuju lobi kantor dan berniat menuju parkiran, rencananya ia akan pulang lebih dulu, lalu singgah sebentar ke rumah untuk menemui Rey sebelum ia berangkat ke Jogja nanti. Kali ini ia akan menemui kerabat ayahnya sendiri dan mencari tau siapa ibu kandung yang telah melahirkan, sekaligus yang tega meninggalkannya begitu saja.Ia melangkah cepat, mengejar waktu 4 jam lagi sebelum ia berangkat menuju Bandara, namun langkahnya terhenti saat sebuah suara memanggilnya dari belakang."Kamu serius mau berangkat sekarang? Masih 4 jam lagi lho jadwal keberangkatannya," Alina yang sedang berdiri di depan lobi langsung menghampiri Roy, entah apa yang di lakukan perempuan itu disana sejak tadi."Aku akan menemui putraku lebih dulu sebelum pergi. Kamu sendiri, sedang apa disini?" Roy bertanya balik, melihat Alina seperti kebingungan sendiri, padahal ia tau kalau jam kerja Alina sudah habis dari satu jam yang lalu."Aku....?""Kamu tidak pulang?" tan
"Alina adalah mantan Tuan Roy, Nona..."Mantan...Mantan...Mantan...Hanya kata itulah yang sedari tadi berputar-putar di kepala Elisa, membuat handphone yang sedang ia pegang jatuh begitu saja tanpa sadar.Elisa tak habis pikir, bagaimana bisa papinya sendiri mengenal sosok perempuan itu, sedangkan jelas-jelas mantan dari suaminya.Apa mereka sengaja melakukan ini?Apa perempuan itu sengaja mendekati Papi agar rencananya tidak ketahuan.Elisa masih berdiri di ruang tamu dengan pandangan kosong, bahkan handphone yang jatuh mengenai kakinya tadi tidak sedikitpun terasa."Padahal aku udah pikirin kata-kata kamu semalaman, Kak? Aku juga udah berusaha mengesampingkan egoku demi semuanya, tapi...apa yang kamu bilang kemarin bohong?" Elisa berbisik pelan, mengulang apa yang sempat ia bicarakan berdua bersama Roy di kantor waktu itu.Ternyata kata-katamu waktu itu tidak main-main, Kak.Apa hanya sebatas ini rasa
"Jangan ngaku-ngaku kamu," ucap seorang pemuda berusia dua puluh tahun itu, tangannya berkacak pinggang sambil terus menunjuk ke arah Roy yang baru saja sampai.Entah apa maksud dari pemuda ini yang tiba-tiba marah padanya, padahal Roy hanya mengatakan bahwa kedatang kesini hanya untuk mencari keluarga ayahnya yang masih ada."Tadi kamu bilang apa, Paman Edi? Memang siapa kamu?" pemuda itu kembali bersuara, membuat Roy yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara."Aku memang mencari Paman Edi, apa benar ini rumahnya?" ungkap Roy kemudian, laki-laki itu menatap rumah sederhana yang di penuhi tanaman-tanaman hias di sekelilingnya."Bapak tidak akan menemuimu, jadi pergilah."Cih, benar-benar pemuda ini membuatku kesal.Perjalanan yang ia tempuh selama satu jam lebih, di tambah lagi ia yang begitu kepikiran dengan Rey membuatnya tidak bisa tidur semalaman, namun ia memaksakan diri untuk melanjutakan perjalanannya demi ingin menemui saudara yang
"Beneran, Bibi lagi nggak bohongin El, 'kan?" tanya wanita itu sekali lagi, Elisa masih tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar."Lho, yo bener tho, Nduk? La wong Bibi juga pernah di kenalin sama laki-laki bernama Wahyu itu kok," ungkap Bi Ami meyakinkan, membuat Elisa kembali mengingat dimana ia pernah mendengar nama itu.Wahyu Aditama...Wahyu, Adi-ta-ma...Aku pernah tau nama itu, tapi dimana ya?Sekalipun hanya menjabat wakil CEO, tapi setidaknya dulu ia seringkali menjalin kerjasama dengan banyak para pengusaha.Kalo nggak salah itu kan nama belakangnya..."Nggak, nggak mungkin. Ini pasti cuma kebetulan sama."Setelah lama memutar otak, Elisa menemukan satu nama yang ia yakini sangat mirip dengan nama itu, tapi..."Kenapa, Nduk? Kepalamu pusing?" Bi Ami yang melihat Elisa gelisah sendiri pun heran, padahal ini semua tidak ada hubungannya dengan dirinya."Tidak Bi, El hanya sedikit lelah,"
Beres...Anton menyimpan kembali peralatan yang baru saja ia gunakan untuk merusak mobil Elisa, lantas berjalan menghampiri Alina yang masih terlihat sibuk mengawasi sekitar."Bagaimana?""Sip. Beres," ucapnya sambil mengerlingkan sebelah matanya ke arah perempuan itu, lantas menarik tangan Alina menjauh dari parkiran Bandara."Ingat. Ini tidak gratis, sayang."Anton melajukan mobilnya perlahan meninggalkan tempat itu, sembari terus melirik ke arah Alina yang sudah duduk tepat di sampingnya."Iya, iya. Pokoknya semaumu," janji Alina pada pria itu, meski ia sendiri bisa menebak akan seperti apa nantinya.Pasti Anton akan mengerjainya habis-habisan sampai ia lemas tak berdaya, dan anehnya pria itu selalu terlihat bugar seakan tidak mempunyai rasa lelah."Oke, kita ketempat biasa."Anton terlihat bersemangat, padahal baru kemarin mereka berlibur bersama, bahkan banyak menghabiskan waktu berdua di dalam kamar."Apa ti
Setelah sambungan telepon terputus, Elisa mencoba menghubungi laki-laki itu lagi, namun sayangnya sampai panggilan ke tiga Roy sama sekali tidak merespon. Tidak patah semangat, Elisa mengirimkan pesan singkat pada suaminya, yapi tetap saja Roy tak membalasnya, bahkan nomer yang ia gunakan sekarang tidak bisa di hubungi lagi.Elisa beralih menghubungi nomer Mbok Nah, karena ingin tau keadaan di rumah saat ini. Meski Elisa harus berulang kali menepikan mobilnya, karena tidak ingin membahayakan keselamtan dirinya sendiri. Baru panggilan pertama, terdengar suara Mbok Nah di seberang sana, membuat Elisa ingin segera tau bagaimana keadaan dirumah saat ini."Mbok, apa Kak Roy sekarang ada di rumah?""Non...?""Iya, Mbok. Apa Kak Roy...?""Den Rey....?"Elisa menjatuhkan handphonenya seketika, jujur saja sekarang pikiran wanita itu benar-benar buntu. Pantas saja Roy tadi menghubunginya berkali-kali, bahkan laki-laki itu memutuskan sambungan telepon
"jadi, maksud Anda istri saya sedang hamil?" Roy mengulangi pertanyaan untuk yang ke sekian kalinya. Menatap tak percaya pada Elisa yang ada di sebelahnya dengan pandangan sama-sama bingung."Iya, Tuan, istri Anda sedang hamil, dan usia kandungannya baru berumur empat minggu.""Apa, Dok? Saya hamil?" Elisa terlambat merespon, di raihnya hasil USG yang ia sendiri tidak paham dengan apa yang tertulis di dalamnya, "Ini beneran kan, Dokter?""Benar, Nona." Dokter pun meyakinkan sekali lagi, bahwa hasil test itu memang benar adanya."Tapi, kenapa usia kandungannya berjalan empat minggu?" Roy kembali menyahut, seingatnya ia berdamai dengan Elisa dan baru melakukan hubungan badan sekitar tiga minggu yang lalu, tapi....?Roy menatap bingung dengan penjelasan Dokter tadi, sempat ada rasa curiga dari pancaran mata lelaki itu. Bagaimana bisa?"Tidak mungkin Dokter, kami melakukannya baru tiga minggu yang lalu, ini kenapa bisa? Atau jangan-jangan----...
"Jangan lupa Kak, belikan aku somay." Isi pesan dari istrinya, membuat Roy mengernyit heran, sejak kapan Elisa suka dengan makanan itu? Bukankah yang ia tahu Elisa kurang suka dengan makanan apa saja yang berbahan ikan. Lelaki itu tidak membalasnya, tapi ia tetap membelikannya untuk Elisa.Roy memacu mobilnya kembali setelah mendapatkan apa yang di minta istrinya. Lelaki itu tiba di halaman depan dan bergegas mencari di mana keberadaan wanita itu."Bik, di mana Elisa?"Bibik yang sedang berada di dapur langsung berbalik, menatap heran sang majikan yang biasanya masih ada di kantor."Nona ada di taman belakang, Tuan.""Oh ya Bik, tolong pindahkan ini ke piring, lalu antarkan segera ke taman." Roy menyerahkan sebungkus somay yang ia bawa, lalu melangkah menuju taman belakang."Kak, kamu udah sampai?" Elisa terlihat berbinar, di letakkan ponsel yang ia pegang, lalu matanya menyipit ke arah kedua tangan suaminya. "Mana pesananku? Tidak ada kah?"
Hari-hari selanjutnya di lalui Elisa dengan sangat manis. Mereka mencoba saling memperbaiki diri dan memulainya kembali dari awal. Pernikahan mereka yang semula hanya status kini benar-benar layaknya pernikahan normal seperti biasa. Keduanya sama-sama menerima apapun kelebihan atau kekurangan dari diri mereka masing-masing."Kak, kapan kita mau jemput Rey?" tanya Elisa suatu pagi. Ini kali ketiganya wanita itu menanyakan, setelah beberapa hari yang lalu selalu Roy abaikan."Iya nanti. Kamu sabar dulu ya? Aku masih ada kerjaan penting yang nggak bisa di tinggalin." Selalu saja jawaban itu yang suaminya berikan. Sabar, sabar. Sampai kapan?"Kalau Kakak memang nggak bisa ninggalin kerjaan, bagaimana kalau aku aja yang jemput Rey sendiri?" Elisa mencoba bernegosiasi. Jika ia harus menjemput putranya sendiri, sebenarnya tidak masalah. Tapi lelaki itu yang selalu menghalanginya."Tunggu aku, El? Nanti kita pergi sama-sama." Lelaki itu terlihat sudah rapi. Di pe
"Ayo, Nak? Katanya mau ketemu Mama?" Aditya mengingatkan pada gadis kecil tentang tujuannya datang ke sini, lagi pula pria itu merasa tidak enak sendiri saat menyadari kalau ada wanita cantik di sebelah sana yang sejak tadi terabaikan keberadaannya."Tapi Alya masih pengen sama Ayah Roy," rengek bocah itu manja. Alya benar-benar terlihat enggan melepaskan lelaki itu yang sejak tadi menggendongnya."Sini sama Ayah Adit gantian, kasiah tuh Ayah Roy capek, kan sejak tadi udah gendong Alya."Gadis itu memandang wajah Roy sejenak, lalu segera bergerak turun dari gendongan lelaki itu. "Tapi Ayah janji kan, mau nengokin Mama lagi?"Roy hanya mengangguk setuju menjawab pertanyaan Alya. Sejujurnya ia kasihan dengan gadis kecil itu, tapi mau bagaimana lagi, Alina memang harus di rawat agar bisa segera sembuh.Aditya dan Alya kembali menyusuri lorong menuju kamar di mana tempat rawat untuk Alina. Keduanya sama-sama terlihat sedih melihat seorang yang sangat d
Elisa melangkah mendekati keduanya, lalu melipat kedua tangannya santai. "Sudah, nostalgianya?" ucap wanita itu sinis. Pandangannya masih tidak bersahabat pada sosok lelaki yang baru saja kemarin menyatakan cinta padanya."Kenapa kalian tidak balikan saja? Kalian cocok kok, yang satu penggoda dan satunya lagi..... PENGHIANAT!""El...!""Apa!!" Emosi wanita itu sudah memuncak, hingga ia tanpa sadar berteriak dan mengundang perhatian para penghuni tempat itu."Apa Kak Roy sengaja, ngajak aku ke sini untuk melihat keromantisan kalian berdua?""El, ini tidak seperti apa yang kamu lihat. Percayalah." Roy mendekati Elisa, meraih tangan wanita itu, namun segera di tepisnya dengan kasar."Lihat apa? Aku bukan anak kecil, Kak? Jika kalian ingin berbalikan, kenapa mengajakku kemari?" Elisa juga terlihat menangis. Bagaimana ia tidak sakit hati mendengar ungkapan Alina tadi yang menunjukkan betapa dekatnya mereka berdua."El, kumohon, berhentilah
Tiga hari berlalu, luka di tangan Rengganis sudah membaik dan hari ini dokter mengijinkannya untuk pulang. Perempuan itu bersiap-siap di bantu Arya yang sudah sejak pagi tadi datang menjemputnya untuk membereskan semua barang yang sudah di pakai selama berada di rumah sakit."Apa ada yang tertinggal?" tanya Arya saat keduanya hendak melangkah keluar. Di tatapnya wajah sang istri yang terlihat bahagia karena sebentar lagi akan bertemu dengan kedua anaknya yang selama tiga hari ini jarang ia temui."Ada."Langkah Arya terhenti, sejenak menatap ke belakang menyapu seisi ruangan yang sudah kosong. "Apa?" tanya lelaki itu bingung."Hatiku yang tertinggal. Di sini." Rengganis menyentuh dada bidang Arya, membuat sang pemilik tersenyum senang mendengarnya."Tiga hari di rumah sakit, kenapa kamu jadi pintar merayau?""Memangnya salah, merayu suami sendiri?" Perempuan itu mengerlingkan sebelah matanya, membuat sang suami gemas dan mendadak mende
"Tan-te....?""Kamu...! Wanita tidak tau malu!" maki Mama Anggi seketika saat melihat siapa orang yang tiba-tiba saja masuk. Perempuan itu mengurungkan niatnya untuk keluar dan lebih tertarik untuk melampiaskan emosinya kepada wanita yang menjadi sumber semua masalah."Tan-te, maaf....?" ucap Elisa menunduk. Wanita itu meremas ujung kain yang membalut tubuhnya dan menyiapkan hati untuk menerima apapun yang akan perempuan itu ucapkan."Mau apa kamu datang kesini! Belum puas menyakiti menantuku?" Pandangannya menajam, seakan sebuah belati yang siap menguliti tubuh wanita itu."Ak-aku hanya ingin minta maaf, Tante.""Minta maaf? Cih, lalu nanti kamu akan mengulanginya lagi? Setelah semua yang kamu lakukan pada mereka, apa menurutmu masih pantas mendapatkan maaf?""Ma...? Tolong jangan berbicara seperti itu?" cegah Papa Pratama dari arah belakang, pria itu menghampiri istrinya dan menahan tubuh perempuan itu agar tidak semakin menyudutkan Elisa.
"Jelaskan semuanya ke aku, Kak?" Elisa masih saja menghujani Roy dengan berbagai pertanyaan,, terutama mengenai ucapan Alina yang sukses membuatnya malu di depan umum.Bagaimana tidak, setelah Alina mengatakannya, tatapan semua orang langsung mengarah padanya. Meski setengah berbisik, tapi Elisa sedikit bisa mendengar gunjingan dari orang-orang yang menyaksikan perdebatan tadi."Kak...!" Entah sudah keberapa kali wanita itu berteriak, namun Roy masih saja bungkam dan tidak sama sekali memberi jawaban. Seharusnya Elisa tau kalau semua juga berawal dari dirinya yang membuat jarak begitu jauh dengan suaminya sendiri. Bahkan ia tidak mau sedikitpun di sentuh oleh lelaki itu.Kini Elisa dan Roy tengah berada di sebuah ruang perawatan. setelah Dokter memeriksanya tadi, beruntung tidak ada sedikitpun luka yang di temukan di tubuh wanita itu, Dokter pun memutuskan untuk meninggalkan mereka berdua."Kak...!""Stttt....! Jangan berisik, El? Nanti mengganggu yang
Sementara di dalam toilet, antara Elisa dan Rengganis tengah terjadi ketengangan. Semua terjadi bukan berasal dua wanita cantik ini, tapi karena seorang perempuan yang tiba-tiba saja muncul dan hendak melukai Elisa."Lepas! Kau gila ya!" Elisa memaki, menahan garpu yang hampir saja melukai wajahnya."Ya, aku gila! Aku memang gila, kau mau apa, hahh!" Perempuan itu sudah seperti kerasukan iblis, ia menempelkan garpu runcing itu tepat di leher Elisa setelah tadi gagal melukai wajah wanita itu."Lepas!"Saat itu Rengganis juga tengah berada di salah satu bilik toilet, ia yang mendengar ke gaduhan langsung mengintip keluar, tubuhnya bergetar, detak jantungnya berpacu dengan cepat saat melihat pemandangan dari balik pintu."El-lisa...?"Rengganis kebingungan. Jika ditanya apa dia masih membenci wanita itu? Tentu saja masih, tapi melihat keadaannya sekarang sangatlah berbeda. Kini yang ada di depannya bukan perkara soal Elisa yang dulu hendak mere